Rabu, 16 Januari 2013

Resensi Buku: Kangen Indonesia - Indonesia Di Mata Orang Jepang

Walaupun saya berada di desa yang terpencil di Kalimantan, hasrat saya masih terlalu tinggi untuk membuka internet. Suatu mukjizat bahwa kecamatan saya telah dilalui sinyal 3G dalam dua bulan terakhir, walau masih suka hilang timbul. Kalau demikian yang tak bisa dilakukan tentunya adalah mengunduh alias download! :)


Lihat bukunya, jangan tangannya :P

Ketika saya membuka website toko buku online, saya tertarik pada suatu judul "Kangen Indonesia: Indonesia di Mata Orang Jepang" karangan Hisanori Kato. Saya pun mengeklik beli (tentunya lebih mudah dan pasti daripada saya harus ke Gramedia di ibukota propinsi). Yang membuat saya tertarik adalah, saya adalah orang yang selalu penasaran dengan apa komentar orang lain tentang Indonesia, negeri saya ini. Ya, saya sebenarnya orang yang amat gerah kalau warga Indonesia sendiri memaki dan mencela negaranya sendiri lantas memuja-puji negara orang lain. Apakah rumput tetangga selalu lebih hijau? Saya selalu membela, "Tidak juga." Yang kedua, buku ini terbitan Penerbit Buku Kompas, salah satu harian nasional favorit saya.

Menjadi sebuah hal yang miris, kalau ketika ternyata ada orang lain, bahkan warga negara lain, yang menjadi jatuh cinta pada negeri ini. Walau, memang cinta tak bisa dipaksakan. Inilah kisah perjalanan Hisanori Sato, seorang Jepang, yang seringkali berkunjung ke Indonesia dalam 20 tahun terakhir perjalanannya.

Ia cinta Indonesia dengn hal sederhana. Hal yang mungkin kerap kali membuat kita jengkel, membuat orang Indonesia malah sebaliknya ingin Indonesia seperti Jepang atau Dunia Barat. Namun Kato membantu menyadarkan bahwa setiap bangsa memiliki karakter khasnya masing-masing, itulah bangsa itu.

Kato bercerita bagaimana ia bisa menikmati segala sesuatunya di Indonesia, mencoba berpikir positif seperti kebanyakan orang Jawa, memahami segala jumputan nasi padang dibandingkan renyahnya makanan cepat saji ala Barat atau makanan ala convenience store. Ia menikmati setiap segi manis-pahitnya Indonesia, dan diformulasikannya dalam sebuah kenangan indah dan kerinduannya pada bangsa ini.

Membuat Indonesia seperti rumah keduanya tentu bukanlah hal yang mudah bagi Kato. Apalagi saya mengenal teman-teman saya sendiri, yang notabene asli Jakarta, malah ingin angkat kaki dari ibukota ini.

Macet, banjir... Tapi apakah kita pernah melihat keramahan kita dengan abang penjual nasi goreng, atau manisnya penumpang Kopaja di sebelah kita yang spontan menawarkan segelas air mineral di kala adzan maghrib bergema saat Ramadhan? Ya, tulisan ini, bagi saya, mengajak kita bagaimana kita kembali bisa menyeruput teh hangat kita dengan santai walau dunia tampaknya ini begitu pelik.

Kamis, 10 Januari 2013

Ngahe Diri' Nian

Ketika alapm baganti siang
Siang baganti malapm
Lekoa uga' diri' jaku
Limpahe rasanya nang barubah

Ketika diri' diapm
Bapikir ka dalapm hati

Ngahe diri' nian ada ka' dian
Ngahe diri' nian masih basengat
Ngahe diri' nian masih bajalatn
Ahe nang diinginkatn Jubata jaku

Nanak ada lagi uang manyak
Nanak ada lagi makanan nang repo
Nanak ada lagi nang bera-bera
Kade sengat nian telah diambil Jubata sabesap mata

Auklah kade memang lekoa
Untuk ahe hidup untuk babaro
Bukeknya kita' arus hidup barage
Berbuat edo', bacuramin ka Saruga

Aku matakatn pada diriku
Hidup tak lebih dari sejentik jari Tuhan
Milekah aku dipanggilatnkanNya
Kita samua arus basiap-siap

Manyalitn, 10 Januari 2013


 

Rabu, 09 Januari 2013

Galau Jakarta dari Desa

Saya yakin inilah penyakit yang banyak diderita oleh para dokter-dokter PTT. Malarindu dan galaukoma (lebih dari galausopor!). Sungguh.

Bagaimana hidup sendiri, terutama untuk yang belum menikah, nan jauh ratusan kilometer dari keluarga, awalnya pasti merongrong hati. Namun seiiring perjalanan waktu, perasaan sudah mulai biasa saja, maka bisa saja dilalui.

Namun (lagi-lagi namun) hal itu bisa rekurensi lagi ke pikiran superfisial kita ketika masa galau. Ya, masa-masa galau tidak jarang timbul di desa, di kala mau tak mau terpikirkan. Sebut saja, masa kalau mati lampu. Apalagi kalau hanya dokter, rumah dinas yang gelap ditemani lampu emergency yang kian meredup. Sungguh galau bukan!

Kedua, memandangi lautan bintang di langit sambil duduk di teras rumah dinas...

Ketiga, memandangi halaman rumah dinas sambil mencium bau rumput basah setelah hujan datang...

Keempat, pikiran kosong saat 30 menit menunggu rendaman pakaian kotor yang tengah direndam di waskom. Aaarghh...!

Sungguh banyak waktu galau dokter PTT. Di tengah galau, pasti banyak yang terekskresi keluar dari pikiran. Entah bagaimana nyak-babe di rumah, bagaimana adik saya bisa menyelesaikan skripsi saya... Dan tak pelak, sungguh, saya rindu Jakarta. Saya rindu untuk berpetualang dengan busway, menjelajah Kota Tua, berburu buku baru dan bekas, menikmati kesendirian di Sushi Tei dan Sushi Groove *loh*. Saya rindu "polusi" Jakarta, di kala semua tampaknya enggan ke Jakarta.

Kini waktuku di Menjalin sudah berderik-derik. Kurang dari 100 hari. Aku mencium bau Jakarta, aku mencium bau petualangan... Namun, bisakah kelak. Aku pun kembali menikmati lautan bintang dan berharap ada bintang yang jatuh.

Menjalin, 9 Januari 2013.

 

 

Minggu, 06 Januari 2013

Dokter Suntik Saya Dong!

"Dokter, saya mau disuntik vitamin."

"Tidak disuntik saja dok?"

"Pak Dokter, saya mau basuntik."

Kata-kata ini entah mungkin ribuan kali telah saya dengar selama saya bertugas di Menjalin 10 bulan ini. Semua orang minta disuntik, kecuali anak-anak tentunya. Apalagi kalau pasien Anda berusia 50 tahun ke atas. Hanya sedikit saja yang takut disuntik. Masyarakat di sana mempercayai bahwa suntikan adalah keris sakti mandraguna yang bisa mengenyahkan semua penyakit. Bahkan suntik dirasakan lebih manjur dari tablet obat apapun. Apapun sakitnya, minumnya, eh, obatnya disuntik!

 

Saya termasuk yang memegang teguh apa yang saya percayai selama di bangku kuliah. Saya "anti" terhadap pemberian suntikan yang tak perlu. Pertama, yang menjadi pegangan saya, suntikan mempertinggi risiko terjadinya renjatan atau syok. Kedua, saya tak ingin memberi obat yang sia-sia berdasarkan evidence based medicine. Yang kedua ini misalnya, demam typhoid yang obatnya antibiotika, tapi saya berikan suntikan kobalamin yang merah jingga merona, tentu menjadi kekeliruan terbesar abad ini. Ketiga, untuk pasien rawat jalan, obat suntikan secara farmakologis memiliki pengaruh lebih cepat habis masa kerjanya dibandingkan kalau terapi oral secara berkesinambungan.

Sayang beribu sayang, dalam kedokteran dikenal juga namanya pengobatan yang dipengaruhi oleh sugestif. Secara psikis bisa merangsang proses tertentu dalam tubuh dan memberi efek kesembuhan. Misalnya ada nenek-nenek yang merasa pegal-pegal, lalu disuntik anggaplah plasebo, maka bisa saja nenek ini merasakan efek kesembuhannya dibandingkan tidak diberi sama sekali.

Saya berpikir, apakah hal ini bisa dikurangi? Memang sambil mengikuti waktu, bisa, karena meningat masyarakat generasi baru (baca:anak dari pasien yang menyenangi suntikan) biasanya lebih menyukai terapi oral dibandingkan suntikan. Tapi sampai kapan? Edukasi ini pun bukan edukasi yang mudah, mengingat masih banyak tenaga kesehatan dan acara-acara tertentu seperti baksos yang masih menganggap suntikan sebagai sang primadona. Dan memang di desa faktanya, dengan memberi suntikan biasanya orang lebih rela membayar lebih dibandingkan setumpuk blister tablet obat.

Terkadang saya pun menghadapi dilema. Misalnya ada pasien yang datang dari jauh lalu meminta disuntik. Antara idealisme menolak dan proyeksi "Ya sudahlah, kasihan datang dari jauh." menjadi saling berkecamuk. Saya pun sendiri pernah "diomeli" pasien karena tidak disuntik. Ya, memang mengubah suatu kebiasaan perlu waktu. Apalagi kalau masyarakatnya begitu banyak.

Jadi, saya pun berusaha untuk menjelaskan bahwa pengaruh suntikan seperti ini-ini-ini sesuai dengan kedokteran berbasis bukti. Dam akhirnya masyarakat pun mungkin mengenal saya, "Kalau ke dokter nggak akan disuntik." Duh!