Kematiannya masih belum jelas benar, kecelakaan, atau bunuh diri. Namun yang jelas, mahasiswa Universitas T ini baru saja putus cinta...
(Sumber:detik.com)
Akhir Hidup
Kematian? Suatu hal yang selalu ingin saya cari apa esensinya. Suatu hal yang di mana orang akhiri perjuangan hidup, ketika orang menghembuskan nafasnya terakhir, mengakhiri dunia fana katanya.
Kematian banyak ditakuti, seperti yang terjadi berbagai adegan dalam Say Hello to Black Jack dan Grey's Anatomy. Kematian begitu riskannya, ketika kita berpikir "Aku kanker, umurku tinggal sedikit. Namun bagaimana ku katakan pada anak dan keluargaku?" Setidaknya itu yang saya tangkap, bahwa kematian menimbulkan suatu keresahan baik dalam dirinya sendiri dan orang lain jelas akan menjadi beban.
Hal Paradoksal
Suatu paradoks besar jika ingin disebut demikian, ketika kita melihat orang dengan sadar ingin mati. Ho, kematian begitu menjadi primadona. Dengan taksadar orang yang sakit terminal akan iri padaku, "Lebih baik kauberikan nyawamu padanku saja. Daripada toh sia-sia?". Kalau transplantasi nyawa bisa dilakukan di dunia ini.
Sebuah hal yang paradoks ini memang begitu riuhnya. Setiap hari pasti kita sering melihat sinetron yang bertajuk bunuh diri, bom pun ada bom bunuh diri, bahkan ucapan sumpah serapah pun tak pelak dari frasa ini.
"Eh, mama mati aja. Dari pada melihat kalian bertengkar seperti ini!!"
Kalimat ini pernah saya dengar. Begitu kata diucap, semua diam. Diam sejuta bahasa.
Di sini saya tidak akan membahas maasalah ilmiah dari bunuh diri, karena saya belum mengambil Ilmu Kedokteran Jiwa. Namun saya tertarik melihat sisi filosofisnya saja.
Filosofis Mati
Mati berarti tidak hidup. Tak hidup berarti mati. Suatu yang kehilangan dayanya, kehilangan kekuatan, kehilangan gerakan, hilang semua. Kekakuan, suasana dingin, beku, tiak ada ceria. Inilah gambaran yang sering kita dengar dari mati. Lalu utnuk mencerahkan maka muncullah semangat bahwa Mati adalah Jalan menuju Kehidupan Mendatang. Kehidupan mendatang apa siapa yang tahu?
Mengapa orang mau mati? Jelas bahwa ada orang-yang-akan-mati yang tidak mau mati. Banyak orang takut mati. Ada juga yang ingin mati. Dunia memang miris. Saya berpendapat bahwa orang yang memutuskan ingin mati adalah adalah mereka yang tidak menemukan alasan untuk hidup. Sebuah hal yang rasional bila memiliki alasan. Tetapi segampang itukah alasan itu lenyap dari hidup?
Banyak alasan yang digunakan manusia dalam menyemanagti kematian seperti kesulitan ekonomi, bunuh drii karena absurd, bunuh diri ekstensial, bahkana da yang heroik. Yang belakang ini menurut saya tidak masuk akal. Heroik di kartun atau anime manapun tidak ada yang mau bunuh diri dengan sengaja.
Bunuh diri eksistensial. Bunuh diri agar orang mengetahui tentang dirinya. Ini alasan yang menurut saya juga tidak masuk akal. Ketika pihak itu mati, orang kenal. Lalu? Hanya kenal sebatas nama. Bunuh diri karena patah hati seperti kasus dari detik.com itu, dengan bunuh diri apakah hal akan kembali? Suatu mekanisme defensi yang kemudian dipakai adalah, "keadaan tidak dapat berubah lagi" "semua telah ditetapkan begitu", "dia satu-satunya milikku". Pertanyaannya apakah benar telah diamati seperti itu? Semua pernyataan itu dilakukan dalam ruangan khas fotografi, ruangan gelap.
That's a life!
Ketika hidup diakhiri dengan alasan yang tidak logis alangkah buruknya. Hidup layaknya kertas yang bisa dituliskan baik dan buruk. Hidup yang menempatkan kita dari atas dan bawah. Kita tidak dapat ego agar semua sesuai dengan kehendak kita dan kepuasan kita semata.
Kadang-kadang memang ada yang tidak dapat menerima hal yang terjadi. Saya ingin meminjam dari perilaku Hindu Bali, pasrah (ignorance) atau acuh tak acuh. Masalah itu tidak akan beserta kita lagi dan bukan bagian dari diri kita lagi. Yang ada hanyalah mata baru untuk menatap bukan meratap.
Ketika kita telah gelap mata melihat sesuatu yang buruk, bukalah dunia begitu baiknya. Kita di dunia bukan bekerja untuk satu hal saja, ada ribuan hal yang dapat kita lakukan dan jelas mengembangkan diri kita. Kita harus lentur dalam menghadapi masalah yang ada di dalam hidup kita. Jangan mengedepankan secara supra anterior rasa ego.
Life a Life
So, jangan akhiri hidupmu. Mengakhiri hidup yang begitu indah?