Selasa, 31 Maret 2009

Kata-kata Bagus: Dunia, Putraku Mulai Sekolah Hari Ini!

"Dunia, awasilah anakku - ia mulai sekolah hari
ini! Selama beberapa saat, semuanya akan
menjadi aneh dan baru baginya, dan aku berharap
engkau akan memperlakukannya dengan lembut.
Engkau lihat, sampai sekarang, ia telah menjadi
raja. Ia menjadi bos halaman rumah belakang.
Saya senantiasa mendampinginya untuk merawat
luka-lukanya, dan saya selalu dekat untuk
menenangkan perasaan-perasaannya.


Tetapi sekarang segala sesuatu akan menjadi
berbeda. Pagi ini ia akan berjalan menuruni
tangga, melambaikan tangannya dan memulai
sebuah petualangan besar yang mungkin akan
termasuk perang, tragedi, dan kesedihan.


Hidup dalam dunia ini memerlukan iman, kasih
dan keberanian. Jadi, Dunia, aku berharap engkau
akan memegang tangannya yang masih muda dan
megajarnya hal-hal yang harus ia ketahui. Ajarilah
dia - tetapi dengan lembut, jika engkau bisa.


Aku tahu, ia akan belajar bahwa semua orang
tidak adil - bahwa semua laki-laki dan perempuan
tidak benar. Ajarilah dia bahwa untuk setiap
kelompok penjahat, ada seorang pahlawan; bahwa
di antara musuh ada seorang sahabat. Biarkanlah
ia belajar lebih awal bahwa para penggertak adalah
orang-orang yang paling mudah dikalahkan.


Ajarilah dia sesuatu yang menakjubkan dari
buku-buku. Berilah dia waktu tenang untuk
merenungkan rahasia abadi dari burung-burung di
udara, lebah yang beterbangan di siang hari dan
bunga-bunga di bukit yang hijau.


Ajarilah dia bahwa jauh lebih terhormat gagal
daripada menyontek. Ajarilah dia untuk meyakini
gagasan-gagasannya sendiri, walaupun setiap
orang mengatakan kepadanya bahwa gagasan-
gagasannya itu salah.


Berusahalah memberi anakku kekuatan untuk
tidak mengikuti massa ketika setiap oarng
mengikuti arus. Ajarilah dfia mendengarkan orang
lain, tapi menyaring semua yang ia dengar dengan
penapis kebenaran dan mengambil hanya yang
baik.


Ajarilah dia untuk tidak menaruh kartu harga di
hati dan jiwanya. Ajarilah dia untuk menutup
teliganya pada ‘gonggongan’ orang banyak - dan
untuk berdiri kukuh dan berjuang jika ia yakin ia
benar. Ajarilah dia dengan lemah lembut, tetapi
janganlah memanjakan dia karena hanya dengan
ujian api, baja menjadi bermutu baik.


Ini adalah pesan yang besar, Dunia, tetapi
lihatlah apa yang dapat engkau lakukan. Ia adalah
seorang anak yang baik."


Abraham Lincoln

Cinta Almamater: Apa dan Bagaimana

Sedikit banyak ini adalah tulisan yang sebenarnya ingin sekali saya goreskan sejak lama. Mengenai apa yang saya rasakan ketika saya berada di dalam sebuah almamater.

Apa itu Almamater?
Almamater adalah sebuah potongan dari slogan Alma Mater Studiorum (yang dipakai juga sebagai slogan Universitas Bologna, Italia). Yang dalam bahasa Indonesia diartikan: Ibu yang Memelihara pada Pendidikan. Dahulu istilah Alma Mater sering merujuk pada dewi-dewi maternal pada Romawi kuno dan Bunda Perawan Maria pada masa Kristen bangkit.

Dalam masa modern ini, alma mater merujuk pada sebuah institusi (sekolah, universitas atau kolese) di mana seseorang belajar.

Saya pribadi paling tidak memiliki empat almamater:
  1. TKK Kristen Immanuel, Pontianak
  2. Sekolah Suster dari Yayasan Pengabdi Sesama Manusia, Pontianak
  3. Kolese Kanisius dari Yayasan Budi Siswa, Jakarta
  4. UNIKA Atma Jaya dari Yayasan Atma Jaya Jakarta

Almamater Saat SMA

Saat wisuda SMA Kolese Kanisius 2005

Saya sendiri merasa hadirnya sosok almamater dalam hati saya adalah sejak saya menempuh di Kolese Kanisius Jakarta. Perasaan ini bukan hanya sekedar perasaan berbangga atau secara sarkastik sebut saja chauvinisme, melainkan sebuah rasa memiliki yang terasuki dalam diri saya.

Saya memang hanya 3 tahun menempuh di Kolese Kanisius karena saya tidak menjalani SLTP di sana. Tetapi rasa ini begitu mengena di hati saya. Saya amat berbangga menyebut diri saya sebagai Kanisian, sebutan bagi pelajar yang menempuh di Kolese Kanisius.

Pada awalnya rasa memiliki ini timbul dari Ospek, Percasis (Perkenalan Calon Siswa). Saya begitu ditempa dengan kerasnya hidup yang harus dilalui oleh laki-laki (Bagi yang belum tahu, Kanisius adalah sekolah homogen pria). Saya yang segar datang dari daerah begitu tergugah dengan apa yang saya alami di Percasis.

Ketika menyanyi mars yang baru saja saya hapal, dengan teriakan slogan: "Aku Cinta CC" membangkitkan rasa Kanisianisme atau CC-isme dalam diri saya.

Memang, tidak serta merta bahwa Kanisianisme bisa tumbuh begitu dewasa dan ranumnya dalam diri saya selepas Percasis. Namun hal ini ditopang dengan semangat-semangat lainnya yang tetap dikobarkan saat menjalani masa pendidikan.

Pendidikan yang melatih bertanggungjawab, teman-teman yang memberikan makna solidaritas dan kebersamaan yang sangat tinggi, kebebasan berekspresi secara akademik dan ekstrakurikuler. Kemudian dijunjung semangat Kepintaran, Hati Nurani, dan Kepedulian (Competence, Conscience, Compassion). Semangat ini tidak hanya pada pelajar saja, namun guru dan pimpinan pun terlibat aktif dalam mengobarkan semangat ini.

Begitu semangat ini dikobarkan terus menerus, sehingga timbul rasa mencintai Kanisius, kerela berkorbanan terhadap Kanisius, memiliki, dan adanya rasa tanggung jawab terhadap Kanisius. Hal ini saya rasakan dan kadang-kadang saya merasa implisit hingga tersadar. Misalnya ketika saya berjumpa dengan alumni Kanisius manapun, saya merasa berbangga. Saya merasa bahwa mereka saudara dan jika mereka perlu bantuan saya, maka saya memiliki suatu kewajiban moral dalam mengulurkan tangan.

Tercetus rasa keinginan yang kuat untuk dapat berkontribusi pada kolese saya ini ketika saya sudah mapan dan dapat berbagi.

Cinta Almamater: Bagaimana Harus Dikembangkan?

Ospek hanyalah pintu masuk untuk menggugah bagaimana mencintai almamater

Apakah cinta almamater penting? Penting. Dan bagaimana harus dikembangkan?

Cinta almamater bukanlah hanya sekedar tanggung jawab dari pelajar atau mahasiswa, atau dalam kata umumnya: peserta didik. Cinta almamater juga menjadi tanggung jawab pimpinan dan dosen atau guru. Pimpinan dan pengajar harus memberi tauladan dalam mencintai almamater. Banyak hal-hal sederhana yang sebenarnya dapat menunjukkan bagaimana seseorang mencintai almamaternya:
  • Bagaimana seseorang ini memberi citra pada dirinya yang menunjukkan almamaternya dengan segenap kerendahan hati?
  • Bagaimana seseorang bersikap atas identitas dan simbolisme almamaternya, seperti jaket almamater, lambang almamater?
  • Bagaimana ia merasa bertanggung jawab dan ingin berkontribusi secara profesional dalam pengembangan institusinya?
Rasa cinta almamater tidak hanya bisa (mohon diperhatikan, saya tidak menuliskan "tidak bisa") ditumbuhkan dalam ospek atau latihan dasar kepemimpinan. Namun ini dapat menjadi suatu penggugah semangat. Dan jelas, setelahnya perlu adanya tindakan berkelanjutan dalam pengembangan semangat ini. Jika hanya dipaparkan dalam satu kesempatan saja, maka semua akan sirna tak berbekas. Dan semua harus berupa tindakan secara konkrit bukan hanya sekedar teriakan-teriakan terhadap jargon belaka.

Senin, 30 Maret 2009

Aku dan AToMA



Posting asli ini bertanggal 10 Februari 2008 o9:33 pagi.

"Apa nilai Aku untuk AToMA dan AToMA untuk Aku?"


Itu adalah pertanyaan yang saya sampaikan ketika Grand Battle Calon Pengurus Baru AToMA 2008-2009. Semuanya mempertanyakan ulang apa maksud pertanyaan itu. Padahal sebenarnya jelas sekali, menurut saya. Jawablah dahulu "Apa nilai Aku untuk AToMA?", artinya apa yang akan kamu lakukan untuk organisasi ini. Kemudian "Apa nilai AToMA untuk Aku?" artinya bagi diri Anda, AToMA itu sebagai apa.


Pertanyaan yang terlalu filosofis mungkin.Sehingga orang pun terus mempertanyakan. Asyiknya filosofis. Termasuk pertanyaan: "Ada sebuah pintu di depan Anda, apakah Anda akan masuk?" Saya tidak menambahkan keterangan apapun, apakah disekitarnya ada pintu lain, apakah ada teman, dll. Saya ingin melihat apakah diri tersebut berani mengambil risiko.


Masuk ke dalam AToMA dan kepengurusannya adalah sebuah pilihan dan ketertarikan. Terlebih di dalam pengurus, Anda harus bernilai plus. Ya iya, karena ada titel pengurus. Sebagai pengurus, harus ada jiwa pemimpin dan manajer. Sebagai manajer bukanlah sekedar tuan tanah atau mandor. Di dalamnya pun ada loyalitas dan keinginan menciptakan komunitas. Komunitas tidak selamanya harus eksklusif.


AToMA. Sebenarnya apa dia? Sehingga saya sendiri sering dibuatnya pulang malam, tidur subuh, dan berputar otak. Saya pun sampai diomeli oleh bapak saya. "Organisasi terus..." (Karena beliau seringnya mendengar bahwa saya terus-terusan pulang malam karena rapat.) Oh begitu "sombong"nya saya, sehingga menjadi eksekuif muda berbaju mahasiswa...


AToMA adalah organisasi yang satu-satunya saya ikuti di FK. Tahun 2005 saya masuk karena ajakan dari Bim2 (yang dulu mengaku sebagai kakak kelas di CC, padahal saya hanya tahu namanya dan bentuknya saja dari jurnalis Kaleidoskop karena pembatalan CSC hahaha...).


AToMA saya masuk dengan alasan, meneruskan jejak di Canicomp. Padahal saya masuk Canicomp baru di tahun 2004 dan langsung sekonyong-konyong menjadi kepala divisi web. Langsunglah saya bertemu dengan orang-orang di dalamnya seperti: Agnes (bernama Anyo, yang saya kira dulu adalah pria), Bim2, James, dll.


Masuk dengan keadaan yang biasa saja. Mengikuti apprentice yang... memeras serebrum (baca:otak). Belum ada loyalitas yang tumbuh begitu subur.


Ketika ditunjuk langsung menjadi wakil di kabinetnya Albert. Ketika merasa ada pemberian tongkat estafet. Memang ada rasa: "Mau tidak mau, saya ditugaskan menjadi wakil dan saya harus menjalaninya". Akhirnya rasa loyalitas mulai tumbuh sumbur, eksponensial.


Komunitas yang terasa nyaman. Komunitas yang bebas mengeluarkan ide dan pendapat. Komunitas yang menerima dirimu apa adanya. Komunitas yang ekspresif. Komunitas yang serius dan profesional. Komunitas yang berpandang jauh. Komunitas yang belajar. Komunitas beraneka ciri.


Bahwa artinya ada perkembangan yang didapat. Tidak sekedar saya membuang detik menit saya dengan percuma. Bukan berarti menghabiskan waktu di jam 7 malam di lab adalah kesiasiaan.


Saya mendapatkan sesuatu di dalamnya. Mendapatkan sesuatu yang tidak hanya berguna bagi saya sebagai dokter, tapi sebagai profesionalis.


Akhirnya pun saya memindahkan tongkat estafet saya ke rekan lainnya. Namun tidak seperti lari estafet di atletik yang saya harus berhenti. Saya pun harus tetap berlari bersama yang lainnya dan bersama para pemegang tongkat dahulu.


Akhirnya kita pun belari bersama.

Kamis, 26 Maret 2009

Cheng Beng Festival: Sebuah renungan akan hidup


Ini adalah tulisan lama saat Cheng Beng tahun lalu. Hari ini kami pun merayakan Cheng Beng, mungkin bisa menjadi refleksi. Tulisan ini 29 Maret 2008 pada 10:32 WIB di Tanah Kusir, Jakarta.


Ini adalah post gw dari blackberry yang masih kredit. Baru bayar sepertiganya. Hehe..


Hari ini, gw mewakili nyokap ikut dalam cheng beng. Yang menurut almanak tionghoa berarti semua ruh turun ke bumi. Kita sebagai jiwa terkandung badan memberikan sambutan kepada saudara yang telah mendahului kita.


Jam 6 saya dan beberapa keluarga dari nyokap berangkat ke pemakaman Tanah Kusir. Rencananya akan bertandang ke pusara Kungkung, Popo, om Kuncoro, tante Leony, dan Ci Budi, anak Ie Ie Gede.


Sebuah pikiran yang cukup menghenyakkan adrenalin. Hal ini timbul karena saya melihat pusara dari orang orang disekitar. Mereka yang begitu dikasihi oleh rekannya, meninggal dalam usia hidup yang beragam. Ada yang menjadi kakek dalam usia 60 tahun. Ada juga yang hanya 1 hari saja.


Saya terpikir lagi. Saya dalam usia 20 tahun. Saya pun agak merinding, mengingat kelak saya pun akan terlelap dalam pusara suatu hari. Hidup begitu banyak jenisnya. Awal dan akhir bukan lagi urusan logika dan campur tangan insani. Saya pun berpikir lagi, apa benar apa yang saya isi dalam hidup telah sedemikian berarti? Aku pun kini berpikir tentang hidupku yang bisa saja segera berakhir dan tak seorang pun yang dapayt menaksir dalam nisbi hidup.

Selasa, 17 Maret 2009

Benarkah Alasan Belajar saat Kuliah adalah Segalanya?

Ini adalah sebuah refleksi sejenak bagi saya. Hal ini timbul dalam suatu kejadian ketika ada sebuah kegiatan yang telah direncanakan sudah lama, dan kemudian seketika bertabrakan dengan jadwal akademik, dan kemudian ada permintaan kegiatan itu untuk dapat mengakomodir mahasiswa yang ingin kuliah. Padahal kegiatan tersebut sudah dirancang sedemikian rupa dan akan berantakan bila diminta mengakomodir akademik.

Dan kegiatan ini tetap saja menggantung dan tetap pihak peserta tetap mengatakan: Lebih pentingnya akademik dibandingkan kegiatan yang sudah direncanakan itu.

Tentunya kegiatan ini bukanlah kegiatan main-main, fun, hura-hura atau riang gembira namun sebuah kegiatan pengembangan diri.

Saya sendiri berpendapat bahwa alasan akademik ini tidak beralasan walaupun terhadap dalih alasan kita kuliah adalah untuk belajar! Namun di balik itu kita tetap harus melihat tingkat prioritas. Dalam menentukan prioritas kita tetap harus melihat: kepentingan acara, urgensi acara.

Dalam kegiatan tersebut memiliki urgensi yang sangat tinggi, tanpa ini jalannya kegiatan lainnya tentu akan berpengaruh dan yang mendapat pengaruh adalah orang-orang yang ada di luar dirinya dan dirinya sendiri.

Kalau melihat dari kuliah, kegiatan ini adalah kegiatan untuk diri sendiri tidak langsung ke orang lain secara eksternal. Dan diri sendiri pun tak akan rugi karena banyak cara lain untuk dalam mengompensasi hal ini.

Tentunya kuliah dalam hal ini adalah salah satu bentuk atau cara belajar. Kita tidak bisa mengatakan bahwa saat kuliah adalah mutlak untuk belajar. Banyak cara belajar yang lain yang dapat menggantikan kuliah dalam kesempatan tertentu.

Contoh ekstrimnya. Ketika Anda dalam jalan kaki menuju kuliah dan Anda sudah telat, kemudian Anda melihat kecelakaan dan korban memerlukan pertolongan segera. Apakah tetap alasan kuliah adalah segalanya?

Kefleksibelan hidup pun diperlukan.

Sabtu, 14 Maret 2009

Mempertanyakan Kekatolikan?

PERHATIAN!
Tulisan ini memuat ajaran nilai agama. Bila Anda merasa tidak bisa menerima dan ingin meniadakan serta memperolok ajaran agama karena berbeda dengan ajaran agama Anda yang Anda yakini, Anda tidak perlu membaca tulisan ini. Tulisan ini adalah hasil kognitif dan afek pribadi saya terhadap agama yang saya anut. Mohon maaf bila ada sedikit miskonsepsi kecil dengan ajaran yang ada dengan tulisan saya ini. Anda bisa memberikan komentar kepada saya untuk koreksi.


Akhir-akhir ini entah mengapa saya tiba-tiba banyak dipaparkan mengenai hal-hal keagamaan, terutama agama yang saya anut, Katolik. Banyak sekali hal-hal yang ada, dan sebenarnya berpucuk dalam satu inti: Mengapa Katolik? atau Why Catholic?

Memang dalam usia saya yang hampir 22 tahun, iman saya memang belum setegar beringin. Namun hati terasa gatal untuk mencari jawaban atas pertanyaan itu.

Masa Awal

Saya memang dibaptis sejak bayi dan menyandang nama salah satu rasul, Andreas. Konon saya dibabptis di Gereja Santo Petrus dan Paulus, Jakarta. Kemudian saya masuk di TKK Kristen Immanuel yang dipayungi oleh Gereja Kristen Jemaat Kalimantan Barat. Saya sempat mengalami kebingungan karena apa yang diajari oleh ibu saya berbeda. Doa Bapa Kami berbeda! Saya hanya bisa mengikuti.

Saat saya pindah ke SD Suster, saya sempat menolak karena teman-teman saya tentunya melanjutkan ke SD Immanuel. Namun orang tua memasukkan saya ke SD Suster. Di sinilah saya mengalami pelajaran Katolik secara resmi dan menhadiri kelas Bina Iman setiap Jumat pulang sekolah. Ketika kelas 4 atau 5 SD saya mengikuti kelas Komuni Pertama. Saya sangat senang, pada akhirnya saya bisa menerima komuni dengan ibu saya.Saat kelas 6 SD, saya menjadi putera altar atau misdinar di Putera Puteri Altar Santo Kristoforus, Paroki Katedral St. Yosef, Pontianak.

Pelajaran agama terus saya dapat saat SLTP. Saat SLTP saya lumayan sering ditugaskan pelayanan di misa-misa khusus, misalnya misa natal, misa tahun ajaran baru. Seringnya memang menjadi lektor -pembaca sabda-. Saya dulu merasa takut karena harus berbicara di depan publik dan sedikit-sedikit menghilang. Saat itu pula saya menerima Sakramen Penguatan, dan dengan nama penguatan: Valentinus.

Jadilah, Valentinus Andreas Erick Haurissa.

Masa SMA

Masa SMA ini membukakan mata saya akan perihal pelajaran agama. Karena di sini diajarkan lebih generalis dan menyentuh masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan bagaimana hubungannya dengan Gereja. Menyentuh ensiklik-ensiklik gereja, semacam Rerum Novarum dan Quaddragesimmo Anno. Di sini pula saya belajar akan sejarah-sejarah Gereja dan pergolakannya di Reformasi Gereja yang menghasilkan Kalvinisme dan Lutheran.

Katolik dan keluarga: masalah tradisi?

Katolik adalah sebuah agama yang banyak diterima oleh keluarga saya. Rata-rata keluarga dengan strata saya (sepupuan) sebagian besar menganut Katolik. Keluarga saya, terutama jika dibandingkan keluarga ayah, adalah keluarga Katolik pertama.

Pada awalnya, tidak mudah bagi saya menjadi seorang Katolik, paling tidak itu yang saya rasakan. Saya pun menerima tertawaan semacam: Katolik yang dipeyorasikan menjadi (Katok Terbalik - maaf, pakaian dalam yang dibalik). Semacam bahan tertawaan seperti itu. Karena dulu selain saya, semua sepupu menganut tradisi Tionghoa. Dan pada akhirnya mereka pun sebagian besar adalah Katolik.

Kekatolikan menjadi begitu besar di dalam keluarga saya, terutama keluarga ayah. Padahal dulu saya pun tahu, ada sepupu saya yang dimana ibunya tak setuju ia mengikuti sekolah minggu.

Tapi entah mengapa Katolik menjadi diterima. Saya berusaha mencari jawabannya. Dan saya paling tidak menemukan satu, bahwa Katolik sendiri terbuka dengan kultur budaya. Selama nilai-nilai itu dapat disinkronkan. Misalnya nilai Katolik dapat masuk ke dalam budaya Tionghoa. Katolik tidak melarang imlek dan tata caranya, tidak melarang cheng beng, dan fleksibel. Perlu dicatat bahwa ini diterima selama memang sesuai. Misalnya memegang hio tidak dilarang, karena di dalam Katolik pun mengenal dupa dan wirug, selama hio digunakan sebagai tanda penghormatan tidak apa-apa, bukan sebagai penyembahan berhala.

Katolik menerima tradisi selama esensinya tidak bertolak belakangan dengan agama

Pada akhirnya nilai-nilai tradisi, tidak perlu ditanggalkan dan masih bisa diterima.

Kekatolikan, ada yang salah: Benarkah?

Katolik berasal dari bahasa Yunani: καθολικός (katholikos) berarti universal.

Banyak nilai-nilai Katolik yang salah dipersepsikan dan dianggap sebagai suatu kesalahan. Karena persepsi yang salah itulah menjadi penilaian yang buruk akan Katolik dan tak jarang hal ini menjadi senjata. Di sini saya membahas sejauh pemahaman saya selama ini:

a. Mana Kristiani yang Asli?

Masing-masing Kristiani menganggap merekalah yang benar. Namun kalau kita ulur tali sejarah, bahwa Katolik adalah yang pertama. Penyebutan Katolik sendiri muncul pada akhir abad pertama setelah jemaat perdana. Kristen ortodoks (abad ke-11) sendiri berawal dari Katolik namun mengalami perkembangan sendiri karena pengaruh yang berbeda di Eropa Timur. Begitu juga ritus-ritus lain yang berkembang karena pengaruh geografis yang berbeda, sebut saja ritus Malabar yang dibawa Rasul Thomas. Namun ritus-ritus ini kemudian bergabung dalam Katolik.

Hingga pada abad ke-16 muncul reformasi gereja yang berawal dari Gereja Katolik. Memang, pada saat itu terjadi kesalahgunaan jabatan oleh para pengurus gereja yang menimbulkan reformasi ini. Dan gereja Katolik sendiri sadar akan kesalahan itu dan membenahi diri dan para sarjana gereja melakukan pembaruan dan tetap dalam Gereja Katolik. Tidak ada perubahan nilai-nilai secara religi. Yang dilakukan adalah pembaruan sumber daya, tidak ada masalah pada ajaran dasarnya.

Gereja Katolik sendiri membuka dirinya dan mengembangkan nilai-nilai sosialnya mulai dari Konsili Vatikan, kemudian ajaran sosial gereja. Tentunya pengembangan ini merupakan salah satu pengembangan dari nilai-nilai dasar Katolik.

Dari sini, saya menyimpulkan bahwa, bila mau didasari secara historis, maka Gereja Katoliklah jawabannya.

b. Benarkah Sola Scriptura?

Dalam Surat ke-2 Rasul Paulus kepada Jemaat di Tesalonika (2 Tes: 2:15) memang disebutkan:

Oleh sebab itu, Saudara-saudara, berdirilah teguh dan berpeganglah terus kepada ajaran-ajaran yang sudah kami berikan kepadamu, baik secara lisan maupun secara tertulis.

Yohanes pun menuliskan (Yoh 21:25)

Masih banyak hal lain yang dilakukan oleh Yesus. Andaikata semuanya itu ditulis satu per satu, saya rasa tak ada cukup tempat di seluruh bumi untuk memuat semua buku yang akan ditulis itu.

Dalam buku Etika Dasar, Frans Magniz-Suseno juga menyebutkan bahwa perlu adanya pertimbangan-pertimbangan etika dalam menafsirkan sebuah ajaran agama.

Dan Petrus menuliskan (2 Pet 3:16)

Dalam semua suratnya, Paulus selalu menulis tentang hal itu. Memang ada beberapa hal yang sukar dipahami dalam surat-suratnya itu. Dan bagian itu diputarbalikkan oleh orang-orang yang tidak tahu apa-apa dan yang tidak teguh imannya. Hal itu tidak mengherankan, karena bagian-bagian lain dari Alkitab diperlakukan begitu juga oleh mereka. Apa yang mereka lakukan itu hanya mengakibatkan kehancuran mereka sendiri.

Oleh karena itu bahwa apa yang tertulis di Alkitab memang menjadi pedoman bagi kita. Namun dalam memahami Alkitab diperlukan juga hal-hal lain yang dipertimbangkan dan tidak serta-merta langsung diartikan.

Kita perlu memahami bahwa Alkitab sendiri ditulis oleh masyarakat masa lalu yang tentunya dengan serta Roh Kudus. Banyak hal yang mempengaruhi sudut pandang dari tulisan, seperti Injil yang dituliskan dalam empat sudut pandang. Kisah penciptaan di Kejadian yang memiliki dua versi yang sebenarnya merujuk ke keadaan masa saat itu dituliskan, dan terpengaruh oleh budaya dan cerita rakyat masa itu.

Gereja Katolik pun mengajarkan bahwa hal-hal dalam Kitab Suci memiliki makna yang perlu diresapi dan bergantung pada konteks dan tidak bisa diterjemahkan secara redaksional.

c. Katolik yang Penuh Tradisi

Perayaan Ekaristi, sebuah tradisi Katolik

Memang Katolik adalah agama yang banyak tradisi karena agama ini adalah agama yang berawal dari 2000 tahun lalu. Saya rasa kita pun bisa memperkirakan seperti apa 2000 tahun lalu. Tentu piala yang ada, bukan gelas glosi.

Tradisi ini ada karena tetap dipertahankan hingga saat ini. Tentunya ada tradisi yang mengalami perubahan karena perkembangan jaman dan pengubahan ini tidak mengubah esensi nilai-nilai Katolik tentunya.

Tradisi yang ada sebenarnya adalah perlambangan atas sikap kita. Misalnya ketika ada bendera dinaikkan, mengapa kita harus mengangkat tangan dan menghormat sedemikian rupa. Mengapa ketika kita bertemu dengan rekan kita perlu untuk berjabat tangan atau melambai tangan.

Begitulah analoginya, mengapa saat masuk misa membuat tanda salib. Ini sebagai tanda bahwa kita membersihkan diri kita untuk siap bermisa. Mengapa harus berlutut saat mengaku dosa, kaena ini sebagai tanda pertobatan dengan Tuhan. Seperti ketika seorang pria melamar dan berlutut sambil membawa kotak perhiasan. Mengapa ia berlutut? Karena ia ingin menunjukkan bahwa wanita tersebut adalah sesuatu yang berharga dan ia rela untuk merendahkan hatinya.

Perilaku dan simbol yang ada adalah perlambang diri kita.

d. Benarkah menyembah patung?

Patung Yesus Kristus

Analogi ini saya mengambil analogi yang diberikan guru agama saat SLTP. Ketika Anda menghormati bendera apakah artinya Anda menyembah? Ketika seseorang meninggal dan ada fotonya, kemudian kita menangisi di depan foto, apakah kita artinya menangisi foto?

Tentunya barang-barang ini hanyalah media yang membantu kita dalam mengenang atau memusatkan perhatian kita. Misalnya ada seseorang yang kita kasihi sudah lama meninggal. Kemudian kita melihat fotonya. Ada rasa terbesit tersebut perihal orang itu bukan? Begitu pula dengan patung Yesus dalam salib misalnya, kita tidak menyembah patung yang terbuat dari tanah liat itu atau logam, namun karakter Yesus itu sendiri.

e. Santo Santa?

St. Petrus Kanisius, seorang santo yang saya kagumi

Santo dan santa ini adalah sebagai mengenang jasa mereka dan dapat menjadi tauladan bagi kita. Santo dan santa (termasuk beata) adalah orang yang kudus. Kudus di sini artinya mereka telah menjalani sesuatu yang luar biasa dalam hidup mereka (merujuk pada "Etika" karangan Prof. Bertens).

Dengan adanya sosok ini kita dapat memiliki patokan, oh saya hidup dalam Katolik seperti ini yang telah dicontohkan.

Kita berdoa bukan kepada santo-santa tetapi melalui perantaraan mereka. Karena Katolik percaya adanya kehidupan kekal setelah kematian dan para santo santa ini memiliki tempat yang dekat dengan Tuhan. Karena kedekatan itulah kita bisa minta perantaraan mereka. Kita percaya bahwa mereka akan menyampaikannya ke Tuhan.

Lalu timbul pertanyaan mengapa kita harus pakai perantara? Tuhan seperti ayah kita. Santo santa seperti kakak kita. Terkadang kita lebih bisa mengutarakannya kepada kakak daripada langsung kepada ayah. Dan tidak ada salahnya juga memang kita langsung kepada ayah. Dan disinilah manusia sebagai umat dapat memilih, pada akhirnya semua pun akan kepada Tuhan.

Dalam Wahyu pun dituliskan bahwa orang kudus berperan: (Why 5:8)

Ketika Ia mengambil gulungan kitab itu, tersungkurlah keempat makhluk dan kedua puluh empat tua-tua itu di hadapan Anak Domba itu, masing-masing memegang satu kecapi dan satu cawan emas, penuh dengan kemenyan: itulah doa orang-orang kudus.
Selain orang kudus, dalam Gereja manapun (Katolik dan bukan Katolik) pun percaya akan doa yang diperantarai oleh manusia. Ketika kita minta didoakan orang lain. Walaupun tingkatan berbeda, namun analoginya serupa.

f. Perihal Bunda Maria

Bunda Maria, Katolik tidak menyembah Bunda Maria


Sama seperti santo santa. Kita tidak berdoa kepada Bunda Maria, kita tidak menyembah Bunda Maria. Kita menghormati Bunda Maria sebagai orang terdekat Tuhan dan sebagai sosok wanita yang menjadi ibu bagi kita. Kita dapat menjadikannya perantara kepada Tuhan.

Dalam doa Salam Maria yang dianut oleh Katolik, sama sekali tidak menyebutkan bahwa adanya penyembahan Bunda Maria. Begitu pula makna doa Rosario.

Salam Maria, penuh rahmat,
Tuhan sertamu;
terpujilah engkau di antara wanita,
dan terpujilah buah tubuhmu, Yesus.
Santa Maria, bunda Allah,
doakanlah kami yang berdosa ini
sekarang dan waktu kami mati
Amin.
Kita meminta Bunda Maria untuk mendoakan kita (meminta perantaraanya). Tidak ada penyembahan bukan di sini?

Katolik bagi Saya

Bagian ini adalah bagian terakhir. Kekatolikan bagi saya bukanlah hanya sekedar tradisi. Atau sekedar otomatis karena saya dibaptis bayi. Namun menjadi sesuatu yang bermakna mendalam bagi saya dan menjadi salah satu bagian hidup. Saya merasakan sesuatu dalam Katolik, baik itu kuasa Tuhan, dan berkah yang ada.

Saya bersyukur saya menjadi seorang Katolik.

Kamis, 12 Maret 2009

Mempersakit Pasien Penyakit Jiwa?

Ia pernah sakit jiwa dan itu menyakitkan bagi dia
Ibunya begitu pasrah dan merelakannya
Ketika ia mulai pulih dan dapat tersenyum
Ia masuk ke kehidupan yang biasa disebut "hidup normal"
Kini ia menikam gadis
dan masuk bui


Kisah di atas mungkin adalah sebuah kisah fiktif hasil tangan saya. Namun kita tidak bisa berpaling bahwa kisah ini nyata dalam kehidupan.


Penyakit Jiwa
Penyakit jiwa, kelompok penyakit lainnya yang sebenarnya setara saja dengan penyakit dalam (interna), kebidanan, saraf (neurologi), dan lainnya. Namun ia kian spesial karena terkadang menyulitkan dan menyakit jiwa seseorang. Jiwa, sesuatu yang amat abstrak. Jiwa bukanlah sebuah sisi anatomi yang memiliki segala sudut sehingga memiliki nomenklatur Latin. Jiwa mungkin memiliki sisi faali dan biokimiawi yang dapat menyokong sesuatu yang bernama "hidup".


Kejiwaan adalah sesuatu yang terkadang membuat masalah lebih besar dalam ilmu kedokteran. Ketika kita mengungkap schizophrenia, psikopat, homoseksual, kleptomania. Suatu keadaan yang sulit dapat didiagnosa dengan prinsip palpasi atau auskultasi.


Saya berusaha memikirkan sebuah pertanyaan, apakah penyakit jiwa adalah penyakit ringan? Apakah ia setara dengan penyakit flu? Atau dalam tingkatan berat seperti karsinoma pankreas stadium terminal yang akhirnya berakhir dengan morfin dosis tinggi dan meninggal? Apakah penyakit jiwa dapat benar-benar tersembuhkan atau paling tidak dapat dianalogikan dengan penyakit cacar air yang di mana bekas penderitanya memiliki kekebalan sehingga agen penyakit tidak bisa masuk ke tubuh?


Orang Gila?
Masalah yang ada dalam kisah yang saya tuliskan akan berlanjut,


Ia kembali sakit jiwa, demikian kata polisi
Ia kambuh lagi dan kembali terjun ke masa lalu
Ibunya kembali pasrah dan rela
Inikah nasibku?, katanya dalam hati
Aku memang orang gila, seperti kata mereka

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kita hidup dalam masyarakat yang memiliki banyak label streotipe (stigma). Orang Cina dianggap pelit, orang Batak dianggap agak kasar. Begitu pula dengan streotipe penyakit, ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) itu adalah orang tunasusila. Orang dengan penyakit jiwa adalah orang gila.


Gila, menurut KBBI 1990, adalah orang yang sakit ingatan dan sakit jiwa (saraf terganggu atau pikiran tak normal). Demikian kata ahli bahasa Indonesia yang menyusun KBBI. Di sini memiliki satu kelemahan, bila kita mengikuti pakem yang sudah ada di masyarakat. Saya kembali mengkritisi apa yang dimaksud dengan normal? Bagaimana sesuatu bisa dianggap normal? Berapa orang yang diperlukan untuk menentukan kenormalan dan keabnormalan? Anggaplah seorang ahli seni menganggap gambar atau patung telanjang adalah normal, kemudian berbagai kelompok keagamaan mengatakan itu adalah pornografi yang tak direstui Tuhan. Mungkin Michaelangelo, pelukis pada masa Renaisans, akan menyesali "Daud"-nya?


Orang yang berpenyakit jiwa memang gila. Namun sayangnya, kata gila sendiri telah mengalami peyorasi yang sangat jauh. Orang sakit sakan harus keluar dari komunitas sosial dan dipersatukan dengan kelompok yang dianggap pantas. Adilkah ini? Kemanakah pasien flu, pasien batuk rejan? Bukankah itu lebih menular?


Kalaupun mau dikatakan orang gila atau sakit jiwa. Masing-masing personal memiliki unsur kelainan jiwa misalnya. Seperti ketidaksempurnaannya perkembangan individu sesuai dengan apa yang dikemukaan Sigmund Freud, Erik Erikson, Jean Piaget, atau Kohlberg? Seseorang yang mengalami stagnansi perkembangan. Mereka pun gila. Tapi sekali lagi, kata gila terlanjut dipeyorasikan.


Sakit Jiwa Terpeyoratif
Sebuah pertanyaan yang saya kemukakan di atas, apakah sakit jiwa dapat disembuhkan? Ini memiliki arti yang luas. Dalam kisah kita akan melihat orang tersebut (atau Aku) pernah menderita penyakit jiwa, kemudian kembali ke "hidup normal" dan kemudian mengalami masalah yang pelik, pembunuhan. Ia dianggap sebagai seorang psikopat oleh orang lain.


Sebuah label yang cepat ditempel dalam diri seseorang, karena ia memiliki riwayat sakit jiwa? Kejadian seperti ini akan menggemparkan dunia jurnalistik. Ahli psikiater mendadak terkenal dan diwawancarai oleh wartawan atau ada yang diundang ke studio televisi. Begitu gemparnyakah penyakit jiwa?


Sebuah hal yang cukup memutar otak, mengapa orang yang memiliki riwayat sakit jiwa yang sebelumnya telah dinyatakan sembuh, begitu diagung-agungkan pada seseorang tersangka pembunuhan? Tidakkah pernah ditulis: "Tersangka pembunuhan dengan riwayat hipertensi?". Apakah ini menomorsatukan atau menomorduakan penyakit jiwa?


Dulu merka dianggap sembuh. Seperti, sembuh dari flu. Sembuh dari gejala typhoid. Itu masa lalu dan hanya rekam medis. Dan kini ketika suatu masalah datang, inikah kambing hitamnya?


Sakit Jiwa Ada Jiwa
Tidakkah kita berpikir, atau terlintas di benak, mereka punya hati. Apa yang kita rasakan ketika mengatakan "Pak, Anda menderita kanker prostat.". Ini bukanlah suatu hal yang serupa dengan "Selamat Hari Jadi". Ini sama dengan perkataan "Ia terkena sakit jiwa".


Hati ini terus bergejolak dan semakin memanas. Apa yang ada di kepala menjadi racun. Apalagi ia masih sempat berpikir, apa kata orang tentang aku? Bagaimana ibuku? Ia memiliki anak berpenyakit jiwa?


Kita mengacuhkan itu... Yes, we do.

Sabtu, 07 Maret 2009

Saat Terakhirku

Hari ini derpaan terbang melandai
Aku pun mencoba untuk menerpa
Rasa itu terasuki hebat dan mataku terbelalak
Namun mulut ini tak mampu berkata
Lenyap kata

Mataku mulai tersungkur
Dalam pikiranku hanya terbuai lamunan
Tersambut gejolak mencari jalan
Tanganku ingin bergerak menopang
Dan seketika terpaku dalam hendaya

Renjatan jantungku miris tertatih
Telinga berdenging dan tak terdengar lagi dunia
Peparu berhenti dan napas tak terhembus
Dalam batinku, aku masih bergundah
Lidah pun merasa getirnya darah

Badanku sudah terhempas ke bumi
Mataku sudah hampir tertutup
Semua indera sudah menyelesaikan sang tugas mulia
Hanya mulutku yang masih bisa membahana

Walau tak ada lagi gema terucap
Hanya gerak kecil yang tertera
Aku hanya ingin
Alam untuk mendengarkan aku
"Terimalah jiwaku di saat akhirku"

Dan aku pun bisa tersenyum dengan indah
Dalam gurindam kedamaian
Dan meninggalkan badanku.

-hau
Jakarta, 7 Maret 2009
10:34 WIB
Dalam mengisi waktu kosong melankoliknya

Minggu, 01 Maret 2009

TDA, Engkau yang Membuat Hariku



Gilaaa.... hari ini saya berkutat seharian dengan TDA. Web ini akan diupgrade CMSnya.
Yup. dari versi 5 ke 6 yang lumayan berbeda tata caranya.
Mana lagi pada awalnya saya menghapus CMS versi 5 (tentunya saya backup dulu file lama). Dan saya unggah semua versi 6. Dan ternyata ada setting PHP yang tidak cocok. Dan ketika saya minta administrator host untuk diubah, adminnya menolak karena katanya memang variabel ini tidak boleh diubah.
Alamat, katanya diminta upgrade via Fantastico.
Dan akhirnya saya hapus lagu berkas versi6 dan ambil file backup versi5 dan diunggah kembali.
Dan update di Fanatstico pun terlihat aneh, proses saat itu memang belum selesai tetapi data di Fantasticonya menyebutkan bahwa berkas sudah terupgrade.

Dan apa daya saya melihat error-error. Ketika coba konsul ke Bim dan ada salah seorang member forum, ternyata katanya ada masalah di theme. Memang saya lupa mereset themenya. Namun masakan begitu? Dari siang begitu... hingga jam 21 tadi. Saya coba mengutak-ngutik lagi proses update di Fantastico dan saya mencium keanehan... Kok URLnya berubah! Dari proses http://www.xxx.com/update.php misalnya hanya menjadi http://update.php. Dan saya coba masukkan nama domainnya dan ternyata... It's work dan proses upgrade berlanjut dan sampai CMSnya mengatakan: Proses selesai!
Dan CMSnya bisa!
Kini mencoba mengatur ulang theme dan modulenya....

Fantastico, you sucks.