Jumat, 30 Juli 2010

Senyuman dan Keluguan di Bangsal Anak

Ini adalah sebuah tulisan, yang ditulis di saat-saat terakhir siklus junior pediatri di RS A. Ya, minggu depan sedianya saya berada di RS di Pontianak. Sembari menunggu pula datangnya adik dan orang tua di sebuah mal di bilangan Pluit dan terlintaslah tulisan ini.

Delapan hari belakangan ini saya berdinas di bangsal Anak. Jelas berbeda ketika saya berada di kamar bayi dan unit gawat darurat pada saat yang lalu. Ruang lingkupnya luas dan ya, sama dengan bangsal Penyakit Dalam yang pernah saya jalani.

Ada hal yang menarik bagi saya dengan bangsal ini. Bukan karena penyakit, bukan karena hiruk pikuknya. Tetapi dengan kehadiran dua anak yang mengesankan. Dua anak ini memiliki hal khusus, mereka menderita gizi kurang dan gizi buruk. Sebut saja mereka R dan O.

Walau memang saya bukanlah dokter muda yang menangani mereka, tetapi saya berusaha memperhatikan mereka. Ya, pertemuan saya yang pertama dengan mereka memang lebih awal dari kehadiran saya di bangsal. Saya, yang pada saat itu bertugas di UGD, sempat dipanggil ke atas untuk membantu memantau kedua anak ini ketika mereka transfusi. Mereka nakal tidak tertolong, bisa-bisa selang transfusi itu dicabut begitu saja dan tentu saja menghambat terapi.

Saya menghampiri O, anak dengan gizi buruk, setelah saya merasa bosan hanya melihat dan observasi dari jauh. O, Badannya tak sesuai dengan anak 12 tahun. Apalagi perkembangan mentalnya. Tetapi setidaknya ia masih bisa diajak berkomunikasi sederhana. Pada awalnya, tentu tangisan, melihat orang asing baginya. Ia kemudian menunjukkan mainannya, sebuah kertas tempel-tempelan, ia meminta untuk dibuka. Kemudian saya buka mainan itu dan ditempelkannya di tiang infus transfusinya. Kemudian memang pembicaraan sangat tidak nyambung. Ia selalu mengucapkan "Polisii...!", "Bajaj, bajaj!" "Om mau mam...". Lucu dan miris sebenarnya melihat keadannya. Entah bagaimana ia, entah bagaimana kehidupannya, tapi dia hidup begitu tanpa beban.

Pada saatnya makan, dokter muda bangsal lainnya sedang dalam tutor, akhirnya saya berbagi tugas dengan petugas bangsal untuk menyuapi kedua anak itu. Lucu sekali melihat mereka, bagaimana membujuk mereka untuk menghabiskan makanannya, dan menyembunyikan sayuran yang tidak disukainya agar tetap termakan. Seperti ada kesenangan tersendiri bagi saya ketika mereka berhasil melahap tuntas makanannya.

Dan apa yang membuat saya sedikit kaget adalah ternyata O dengan segala keterbatasannya memiliki rasa berbagi dengan rekannya R yang keadaannya lebih buruk darinya. "Ayamnya buat R saja!". Tidak ada keserakahan dari dirinya. Nah kita?

Semakin lama kehadiran O dan R memberi warna tersendiri bagi bangsal ini. Terkadang kami pun hanya bisa tertawa ketika O berendam dalam bak kamar mandi bangsal, ketika O menyuapi temannya R ketika R harus berpuasa. Dan tentunya yang membuat kami senang adalah ketika O dapat kembali ke panti dengan badan yang lebih segar dan gizi yang lebih baik.

O memberi pesan bahwa dengan kesederhanaan dan keterbatasan bahwa mereka dapat berbagi, menikmati hidup mereka, walau mungkin merekalah yang paling merasakan kejamnya dunia ini.

Terima kasih atas pengalaman yang kalian berikan!


Minggu, 04 Juli 2010

Mukhlis


Sangkala begitu cepat berlalu
Sekiranya rintih ini sudah tak lagi menitik
Menyisakan gusar yang tiada murka
Namun ihwal apa sebab kau bersoal

Jangan lagi kau kenang
Berjalan dan berlarilah
Biarkan jasadku tersenyum karam terlalaikan
Dan rohku merajut kembali atmaku

Jakarta, 4 Juli 2010

Jumat, 02 Juli 2010

Pasien Psikiatri: Sebuah Topi Biru

Hari ini hari terakhir di Psikiatri. Sebuah perjalanan yang cukup panjang, 5 minggu. Hari-hari yang berbeda dengan apa yang saya jalani selama beberapa stase belakangan ini. Ada satu hal yang saya peroleh di sini. Saya harus mampu mendengar. Jelas, kepekaan harus diasah dan dipertajam di sini. Mungkin dulu saya mendengarkan pasien yang mengeluh demam lima hari tak urung sembuh. Namun kini mungkin saya mendengarkan kisah serupa, pasien marah-marah dan mengamuk, misalnya. Yang membuat berbeda adalah akar kisah-kisah yang ada. Mungkin bila dulu akar masalahnya adalah karena lingkungannya sedang banyak nyamuk demam berdarah. Nah yang ini, karena sejak dulu ia memang pendiam dan sulit mengungkapkan perasaannya.

Di dalam psikiatri, yang saya rasakan, diperlukan sensor-sensor rasa yang peka. Ketika ia mutisme, tidak mau bercerita. Atau mungkin ia sedang euforia, sehingga meluap-luap berbicara. Dan tentunya keduanya memiliki artinya masing-masing. Dan di sinilah bergantung bagaimana kita mampu berkomunikasi dan observasi. Dan tentunya hal ini tak sekedar menggunakan logika dan rasional saja, tetapi perasaan.

Itulah uniknya psikiatri sejauh yang saya peroleh. Kita pun perlu merajut ulang bagaimana perjalanan hati mereka sehingga pada akhirnya mereka mengalami gangguan jiwa. Memahami mereka sebagai individu dan bagaimana kita, mungkin, bisa menjadi pihak yang bisa "membela" mereka ketika mereka dihantui dan ditikam oleh stigma masyarakat.

Mengarungi Hidup

Gangguan jiwa memiliki perjalanan yang pelik dan rumit, serta personal. Di sinilah kehidupan seorang pasien dirajut. Bagaimana pasien bisa akhirnya terjatuh dan mengarungi hidup mereka. Hidup rumit bagi mereka dan jelas tak serumit apa yang selama ini kita keluhkan. Mereka merasakan lebih dari kita.

Adalah Tn. F, pasien yang kebetulan menjadi tanggung jawab saya untuk menyusun laporan kasus. Ok, pada awalnya mungkin sebuah "neraka" bagi saya. Bagaimana tidak! Ia mutisme (tidak mau berbicara), miskin isi pikiran, tertawa menyeringai, suasana perasaan sulit dirabarasakan, kurang kooperatif. Ya, sebuah kasus yang tentunya sulit. Dasar memang otak saya, keluarlah isi pikiran egoistik: "Bagaimana laporan saya ini?", "Apa yang mau saya tulis kalau dia ngomong saja tidak mau?". "Haduh! Cilaka ini.". Otak saya yang egois itu berceramah panjang. Tapi ada satu hal yang akhirnya meredam semua, "Memang nanti kalau praktik bisa memilih pasien sesuka jidatmu?". Hati nurani pun menang. Saya mulai mendekati dia.

Dan... oh Tuhan ternyata ia lumpuh, dengan otot tungkai bawahnya yang mengecil. Ketika saya memperkenalkan diri, ternyata ia menyambut jabatan tangan itu. Saya pun mulai berbicara dan ketika saya mulai dengan pembicaraan formal sesuai dengan isi status laporan (Riwayat gangguan sekarang, riwayat gangguan sebelumnya, dsb), semuanya kacau. Ia tidak tahu apa-apa. Ya, saya sadar bahwa saya salah langkah. Akhirnya saya berbicara biasa saja, tentang makanan kesukaannya, apa cita-citanya, siapa artis favoritnya, memberinya kertas dan membiarkan ia menggambar. Memang masih kesulitan, dan ternyata pembicaraannya lebih baik daripada sebelumnya, walaupun status laporan saya masih kosong.

Mulai Tersenyum

Dan pada akhirnya pembicaraan itu mulai lunak, walau tidak selancar pasien lainnya. Menilai perilaku, tindak-tanduk dari observasi ternyata mulai memberi tanda untuk saya tuliskan. Mungkin pembicaraan saya tidak berstandar wawancara psikiatri sama sekali. Mungkin bila saya OSCE wawancara, saya sudah pasti akan her skillslab itu. Masa bodohlah pikir saya, yang penting bina rapportnya sudah mulai ada. Apa yang membuat saya senang adalah pada akhirnya dia bisa tersenyum simpul (bukan menyeringai tentunya) dengan membuat lelucon bodoh. Saya bilang saya malam-malam melihat dia sedang berbicara. Namun tiba-tiba ia seperti tertarik: "Memang dokter tahu saya berbicara apa?" (Satu-satunya kalimat terpanjang dia). Walaupun sepertinya tidak ada lucunya, namun mungkin bagi dia sesuatu yang menarik. Padahal itu lelucon lagi-lagi, untuk mengisi kolom "Halusinasi" di status.

Harapan Sebuah Topi

Lama kelamaan dia pun mulai berkata, "Saya mau topi." Ketika saya bertanya untuk apa, "Untuk gaul." Ternyata untuk gaul. Ah, menurut saya suatu hal yang biasa-biasa saja. Ternyata hal itu bukan hal yang bisa dipandang sebelah mata setelah saya mewawancara ibunya. Ternyata ia adalah anak tertutup, sulit menyatakan perasaannya pada orang lain, dan seringkali putus asa karena harapannya sering tak tergapai. Dan inilah yang menjadikannya, skizofrenia hebefrenik, selain masa kecil dan remaja yang juga kurang baik. Ini membuat saya sedikit terpanggil. Mungkin saya selama ini masih tidak bersyukur dengan apa yang saya miliki, dengan kemampuan yang dimiliki orang tuaku. Saya padahal semestinya bersyukur dengan apa yang saya miliki dan saya masih bisa mewujudkan apa yang saya inginkan. Saya pun berkata kepadanya, "Dokter janji ya nanti dokter carikan topi yang dokter sudah tidak pakai lagi." Saya ingin paling tidak ia sesekali bisa menikmati apa yang ia ingini.

Saya pun kembali ke F,setelah laporan kasus selesai saya sampaikan. Pada akhirnya saya bertemu dengannya seraya memberikan topi biru berlogo sepak bola nasional Prancis kepadanya. Saat bertemu dengannya saya menemukannya sedang duduk sendiri, dengan baju yang dilepaskan dan diletakkan begitu saja di kepalanya. Saya pun menghampirinya, "F, kok begitu, bajunya dipakai atuh." dan saya mengenakan topi kepadanya. "Ayo, bilang apa?", kata saya. "Terima kasih dok" dan ia pun tersenyum. "Jangan hilang ya F topinya. Tetap semangat ya F, biar cepat pulih!" Dalam pikir saya, entah apakah kalimat terakhir itu dapat ia cerna atau tidak. Namun yang membuat saya senang adalah bisa membuat ia senang, itu saja.

Keesokan harinya, rekan saya mengabarkan kabar yang membuat saya sedikit terharu. F ternyata masih mengenakan topi itu, walaupun miring! Sedikit lega sih, saya kira barang itu akan entah bagaimana nasibnya. Terima kasih ya F, telah memberikan pengalaman ini di stase psikiatri.

Terima kasih bagian psikiatri, dan selamat datang stase anak untuk 11 minggu ke depan!

Kamis, 01 Juli 2010

Akhirnya menemukan Tesaurus

Kemarin adalah hari ujian di stase jiwa. Wew, lumayan menegangkan. Mengingat sekalian ujian referat dan ujian kasus. Akhirnya setelahnya, saya memutuskan untuk sedikit memanjakan mata. Ya seperti biasa, saya memanjakan mata dengan melihat-lihat buku di Gramedia Sunter Mal.

Mungkin memang dasar beruntung atau apapun itu. Saya menemukan.... TESAURUS diskon 50%. AAArrrrgghhhh! Seperti mendapat durian runtuh. Selama dua tahun ini saya memendam keinginan untuk memiliki satu buku tesaurus bahasa Indonesia. Namun harganya cukup mahal. Nah kini tengah didiskon 50% dan bukunya tinggal satu. Ya, hati ini pun luluh. Ya memang bukunya agak cacat, namanya juga buku diskonan. Namun yang penting isinya toh.

EEEhh bentar-bentar. Apakah kalian tahu apa itu tesaurus? Yang jelas dia bukan saudara tyranosaurus atau brontosaurus! ya, tesaurus adalah buku kamus sinonim. Terkadang dalam kita menulis, seringkali kita berusaha untuk menghindari penggunaan kata yang berganda atau diulang. Di sinilah kita memerlukan sinonim atau kata yang sama artinya.


Tesaurus Bahasa Indonesia

Ya, saya sangat takjub dengan buku tesaurus. Namun ada satu hal yang saya dapat ketika membaca tesaurus. Ternyata apa yang kita ketahui mengenai kosakata bahasa Indonesia selama ini, ternyata masih sangat-sangat sedikit. Lema-lema yang ada begitu banyak, begitu luas, dan kita masih harus terus belajar.