Saya masih ingat hingar-bingar saya sebagai "mahasiswa pre-klinik yang mendambakan dirinya segera menggunakan jas putih". Sebuah rasa kebanggaan tak terkira. Saat itu masih mendambakan alias berangan-angan. Namun memang dasar kelewat percaya diri, bahkan sebelum Sarjana Kedokteran diraih, rata-rata mahasiswa pre-klinik sudah memiliki jas putihnya.
Memang terus terang, ada perubahan secara fisik yang ditimbulkan oleh jas putih. Ketika mengingat mahasiswa yang biasanya menggunakan t-shirt seadanya, jins biru yang kerap tidak dicuci. Kini harus bertransformasi menjadi mahasiswa profesi yang menggunakan celana bahan, kemeja rapi jali, dan dibalut jas putih serta papan nama kecil di atas kantung jas. Mungkin secara kepribadian masih sama nakalnya dengan saat mahasiswa pre-klinik, tapi persepsi penampilannya menjadi berubah.
Saya jadi bertanya, apa sebenarnya makna dari jas putih ini? Apakah hanya sekedar simbol menandakan "Gue Dokter", atau apa? Setelah saya mencoba merenungkan, saya mendapatkan bahwa jas dokter ini menandakan sebuah tanggungjawab yang diemban. Sebuah tanda bahwa saya memiliki sesuatu yang baru yang harus saya pegang amanahnya. Mungkin seperti pastor dengan stola dan kasulanya di depan altar misa jelas berbeda ketika ia dalam keseharian menggunakan kemeja biasa. Di misa, ia bertanggungjawab dalam memimpin misa. Begitu pula dokter, dengan jas putih ini berarti memiliki tanggung jawab.
Seperti apa yang saya temui saat kepaniteraan umum kemarin. Ketika saya membantu pengukuran tanda vital seperti tekanan darah, saya disebut dokter oleh salah satu pasien. Padahal siapa sih saya? Dokter bukan. Koas bukan. Ya apalah itu sebutan bagi mahasiswa pre-klinik yang menjalani masa transisi ke klinik. Ehm, dokter muda transisi?
Mengapa harus putih? Mengapa tidak cokelat seperti polisi, merah seperti branwir? Dalam buku Dr. Triharnoto mengatakan mungkin saja ini adalah perlambang kemurnian atau secara aktual disebutkan sebagai kejujuran dan kerendahhatian. Tentunya ini menjadi suatu tambahan tanggungjawab yang harus diemban. Menjadi seorang dokter yang "murni" jelas menjadi tantangan di tengah segala idealisme yang mendasari seseorang menjadi dokter. Apapun idealismenya bahkan idealisme yang sifatnya materiil.
Jaman telah berubah, dokter bukan lagi di jama Hippokrates di mana pasien begitu percaya sepenuhnya kepada dokter. Tapi menjadi pertanyaan yang terbalik bagi saya, mengapa dulu bisa demikian dan sekarang menjadi tidak bisa? Pertama mungkin saja pengetahuan kedokteran saat itu adalah sangat eksklusif bagi dokter, pasien tidak (atau tidak perlu?) tahu. Kini mungkin pasien lebih tahu. Itu dari sisi pasien.
Sisi dokter? Mungkin saja dokter dulu tetap pada kiblat melayani secara sepenuhnya. Kini lebih divergen, dari melayani secara penuh hingga, ya tadi, idealisme materiil.
Jas dokter tetap menjadi perlambang bahwa profesi dokter tetap adalah profesi penuh amanah, profesi yang riskan, karena nyawa manusia menjadi taruhannya.
Saya merenung lagi, sudah siapkah (baca: sepantasnyakah) saya mengenakan jas putih ini.