Certain things seem to be taboo topics among medical students. Or at least things that medical students are not expected to say or feel. One of those things is doubt. Doubt about wanting to keep going. Doubt about how you're feeling. Doubt about yourself. And doubt about your motivations.
Dikutip dari tulisan Semper Jeff di blog The Differential, Med Student Taboo: Admitting Doubt
Sebuah rasa ketidakpercayaan yang bercampur antara kebingungan, kebahagiaan, kecemasan, keraguan, bahwa saya dinyatakan lulus ujian OSCE pada minggu lalu Rasa bingung dan ragu karena saya sempat menyatakan dalam hati kecil, ya sudahlah mungkin tidak lulus. Kebahagiaan karena saya bisa menelpon ayah, ibu, dan adik di jauh sana bahwa saya akan tak lama lagi masuk klinik, sebuah milestone (pijak loncatan) pada studi saya. Cemas bahwa saya pikir apakah saya benar-layak-pantas untuk mengemban amanah ini?
Seperti saya yang utarakan pada tulisan lalu mengenai kontemplasi terhadap profesi kedokteran melalui
jas putihnya. Saya sempat menanyakan apakah diri saya layak untuk mengenakan jubah ini? Ketika saya dalam fase transformasi. Tapi apakah benar saya tengah dalam proses ini?
Pertanyaan ini kembali mencuat, ketika saya mengetahui siklus pertama saya. Saya tahu apapun dimanapun siklus saya, saya harus memberikan yang terbaik yang bisa diberikan. Ilmu bedah, siklus yang diamanahkan bagi saya menjadi buah pikir bagi saya. Saya yang baru saja lulus OSCE ini akan menjalani siklus mayor yang akan berjalan 11 minggu. Saya akan masuk ke dalam fase baru dalam studi. Fase baru yang merupakan tantangan bagi saya.
Saya tahu pikiran ini berkecamuk dan saya mencari di mana titik jalannya. Saya menjadi teringat kembali, apapun itu dimanapun itu lakukan dengan terbaik, sebuah hal yang sebenarnya sudah dialami di AToMA. Hampir terlupa di pikiran saya. Mudah-mudahan saya bisa menjalani siklus-siklus yang ada di koas hingga lulus di sumpah dokter kelak.
Saya menjadi berpikir ketika membaca komentar dari salah satu teman sejawat di komentar blog The Differential dalam artikel Med Student Taboo: Admitting Doubt dari Semper Jeff. Mungkin saja ada stres, frustasi dalam studi kita. Namun harus kita sadari hal ini akan membentuk kita menjadi dokter yang hebat. Mungkin pekerjaan kita tampak tidak sempurna, tapi lihatlah ini menjadi pelyang kita untuk meningkatkan kemampuan. Tetap pandangi dunia dengan teguh dan ke depan bahwa apa yang kita bekerja akan bermanfaat bagi kita dan dunia.
Sebuah renungan yang baik. Semoga kita akan tetap bekerja dengan baik dimanapun dan kapanpun.
None of us really realized the toll Medical School would take on our lives. The stress and frustrations are all a part of what it is to become a great doctor. It seems like the work is never done and there is always room for improvement. And, yes, we hold our heads up high and make the whole world believe we are meant for this life. That is because it makes the time go by easier and it helps us believe we are truly called for this career. Being optimistic and enduring all the hardships that comes with medical school doesn't have to mean denial. It just means we do whatever we need to to make it feel like we are where we belong and to feel like it all means something. We have to feel like we are making a difference, like we are going somewhere... Without that, we give in to defeat, emotionally, spiritually, mentally...
Diambil dari pendapat raeleighcr, Medical Student, Pediatrics, Oncology, 06:10PM Feb 17, 2009 dari Blog The Differential, Medscape.