Saya (berjongkok) dengan rekan-rekan bersama dengan dr. Iwan, SpB
saat perpisahan di bangsal bedah di RS Atma Jaya
Seperti pikiran saya yang sudah ditulis pada artikel sebelumnya, bahwa saya memulai koas ini dengan rasa yang campur aduk. Sebelum kepaniteraan umum (masa pra-koas) tepatnya. Saya menimbang-nimbang di dalam benak saya, apakah saya layak dan pantas untuk masuk ke dalam babak baru dalam pendidikan saya ini? Lantas apa yang harus saya perbuat? Apakah saya dapat mempertanggungjawabkan diri saya dengan mengenakan jas putih ini?
Dengan pikiran yang beraneka ragam yang mencuat ini saya pun dengan berjalannya waktu, melangkah ke pintu koas yang diawali dengan stase Ilmu Bedah.
Saya masuk dengan rasa deg-degan, was-was, dan juga satu rasa kekaguman bahwa akhirnya saya masuk koas juga. Suatu kebanggaan paling tidak bagi orang tua dan keluarga, bahwa saya telah melalui sebuah batu loncatan, milestone.
Saya pun harus melewati saat-saat sulitnya saya dengan rekan-rekan lainnya, ketika bagaimana harus melakukan sesuatu sebagaimana mestinya. Melakukan SOAP yang semestinya, bertindak peduli dan profesional di hadapan pasien, sikap belajar tiada batas. Hal ini menuntut bahwa saya semestinya bekerja keras untuk meraih apa yang saya mau capai. Walaupun saya kini masih tidak sempurna menorehkan hal itu dalam diri saya, namun pelan-pelan harus tertanam.
Saya dan rekan-rekan dokter muda bedah yang berdinas di RS POLRI bersama
dr. Agus Pudjo, SpOT
Ketika saya kemudian dinas di RS Polri sebagai dokter muda bedah, saya pun merasakan hal lainnya. Ketika di bangsal, terus terang, saya sangat senang mendengar kisah-kisah luar biasa dari pasien. Mendengar bagaimana pasien saya yang TKW diperbudak oleh majikannya, sehingga terkena cedera perut. Bagaimana pasien saya (dua polisi dan satu TKW) yang ternyata satu kampung halaman dengan saya, bercerita bagaimana penyakitnya yang kompleks dan bercerita kehidupan kami di kampung yang sama. Dan kami pun bisa berbicara bahasa Melayu Pontianak yang kental.
Saya pun mengenal salah satu pasien yang saya follow-up setiap hari, seorang ibu asal Padang, dengan tumor mammae yang menurutnya sudah berkali-kali berobat. Namun dia masih menebar senyumnya dan dengan tegar bercerita akan benjolan di payudaranya yang tidak kian sembuh. Namun ia sempat berkata, bahwa yang membuatnya bertahan adalah semangat hidupnya. Semangat yang membawa dia kembali hidup, dan rasa takut akan kematian pun sirna. Dia pun sedikit tersenyum ketika saya menyalaminya assalamualaikum. Ia bertanya, "apakah dokter Muslim? Dokter orang China kan?" "Iya bu, saya China. Tetapi saya seorang Katolik. Memang kenapa ibu?" Ternyata katanya saya mau dikenalkan dengan sanak saudaranya. Hahaha... Sebuah candaan tentunya. Dan ketika diakhir minggu dinas saya, saya masih sempat bertemunya di poliklinik bedah tumor. Saya memang sedang terburu-buru melewati poliklinik. Dan ketika itu ada yang memanggil saya, "Dok... Dokter!" Siapa itu? Ternyata ibu tersebut. Saya masih dikenal ternyata! =) Dan puji Tuhan, keadaannya membaik. Ketika saya mengatakan ini adalah minggu terakhir saya, dia masih mengatakan, "Wah kalau ibu sudah baik, sebenarnya ibu mau memasakan rendang Padang." Saya pun tersenyum.
Banyak yang saya pelajari saat saya berada di bedah. Namun yang paling berkesan bagi saya adalah ketika saya berjumpa dengan pasien dan mereka pun masih mengingat kita dalam senyuman dan kita pun dapat melihat mereka tersenyum kembali selepas dari penyakit mereka. Apalagi ketika mereka berterima kasih kepada kita. Artinya, kita berarti bagi mereka.
Saya pun akan terus melangkah dengan tantangan baru dengan perasaan yang lebih optimis bahwa saya pun berarti untuk pasien, dan di sinilah eksistensi seorang dokter ditegakkan dengan teguhnya!
*Ditulis di Bengawan Solo, Mal Kelapa Gading sambil menikmati segelas Brandy Cookies *nyam* (maunya sih segelas Java Chip Caramel Frapuccino dari Starbucks, tapi lagi akhir bulan alias kekurangan uang) dan mencari inspirasi untuk tulisan berikutnya =) Tapi sepertinya berkas PDF Participatory Learning Appraisal (benar tidak ya saya menulisnya?) tugas dari Prof Charles sudah menunggu untuk dibaca. Hehehe....