Sumber gambar: http://www.murtiindahsentosa.com
Mereka bercerita bahwa mereka memiliki pasien laki-laki berusia 16 tahun dengan trombosis vena subklavia akut. Ketika dokter tersebut berusaha menjelaskan diagnosa kepada keluarga pasien, sekonyong-konyong ayah dari pasien tersebut berceletuk, "Itu sindroma Paget von Schroetter" Ia mendapatkan sindroma itu dengan menelusuri gejala klinis anaknya di bar google. Kemudian ia dapat menjelaskan patofisiologi singkatnya. Setidaknya ini mejadi buah pikiran bagi dokter, sejauh mana pencarian di google memberikan hasil diagnosa yang tepat.
Clinical decision support (CDS) memang menjadi pembicaraan. Dikala spektrum penyakit begitu banyak, CDS menjadi masalah etis dan non-etis, serta berkaitan apakah hal ini akan mengganggu keprofesian dokter. Sudah banyak CDS yang dikembangkan dari CDS mengenai nyeri abdomen, CDS Addison disease. Tang dan Ng menemukan bahwa 58% kasus benar "didiagnosa" oleh google. Apalagi google dapat menjadi CDS yang inklusif, karena google dapat diakses oleh sesiapa saja untuk apa saja. Apalagi hal ini ditunjang dengan distribusi akses jaringan internet yang kian meluas.
Internet menjadi dua muka, antara pasien dapat mencari data selengkapnya sehingga dapat saja melebihi apa yang diketahui oleh dokter. Dokter pun harus bisa legawa, terus memutakhirkan ilmunya agar dapat terjadi relasi yang ekuivalen. Dan pasien pun harus bisa menempatkan relasi setara, tanpa chauvinik satu sama lainnya.
Selain itu kita pun perlu mengingat adanya hak dan kewajiban legal, hak keprofesian dokter, bahwa hal ini tetap menempatkan posisi dokter yang mantap. Begitu juga dengan pasien. Maka seharusnya relasi ini sekali lagi tetap ekuivalen, dan tidak ada pihak yang menjadi objek penderita. Dan dokter ataupun pasien tidak perlu untuk takut dengan kehadiran teknologi apapun, CDS apapun.