No greater opportunity, responsibility, or obligation can fall to the lot of a human being than to become a physician. In the care of the suffering, [the physician] needs technical skill, scientific knowledge, and human understanding. . . .
–Harrison's Principles of Internal Medicine, 1950
Sekali lagi saya unduh kutipan dari edisi pertama Harrison's Principles of Internal Medicine pada tahun 1950. Terkadang kita tidak menyadari begitu penting sebuah tanggung jawab seorang dokter, apalagi seorang dokter muda, yang setengah dokter setengah bukan. Tanggung jawab dan membangun integritas seorang (calon) dokter menjadi pembelajaran.
Banyak hal yang dapatkan dalam sepuluh minggu bercokol di siklus ilmu penyakit dalam. Dan kembali sepuluh minggu yang berkesan. Ada sesuatu yang unik yang saya rasakan ketika menyelesaikan stase penyakit dalam ini, paling tidak suatu kebanggaan yang tidak penting, saya telah berhasil menyelesaikan tiga stase mayor berturut-turut, walaupun stase IKM saya masih berhutang ujian. Hahaha.... Tiga puluh dua minggu ini akhirnya telah saya lewati. Setengah tahun lebih saya sudah menyandang profesi koas. Dan satu tahun lagi akan selesai. Sungguh waktu yang tidak sebentar tetapi tidak terasa terlalu lama juga.
Mungkin baiknya kisah ini dimulai.
Menjadi Komandan Tingkat
Sebenarnya kata komandan tingkat tidak benar adanya. Tidak ada tingkat di sepuluh minggu ini. Yang ada mungkin ketua rombongan atau bagaimanalah sebutannya. Menjadi kepala ini memang bukan untuk pertama kalinya. Mengingat dulu sempat menjadi ketua kelas abadi saat akhir SD dan SMP. Menjadi komti sejenak untuk satu semester pun pernah di semester 3 saat kuliah preklinik, dan akhirnya berkarir di badan eksekutif mahasiswa. Bukan suatu hal yang mengagetkan tetapi menjadi komti di stase ini menjadi perjalanan yang luar biasa.
Bersama dengan 42 rekan dokter muda menjalani stase ini bukanlah yang mudah, lagi-laginya. Berbicara, berinstruksi pun menjadi tak semudah dulu. Bahkan menjadi yang saya bergeleng dan mengelus dada, suatu hal sederhana,"Menjaga Kebersihan". Mungkin inilah namanya bagaimana berinteraksi dengan pribadi dewasa, atau berinteraksi dengan pribadi tak seminat yang heterogenik. Namun inilah tantangan, mungkin yang akan saya temukan di masyarakat yang jauh lebih heterogenik. Namun saya tetap memberikan wanprestasi pada mereka dan stase ini dapat berakhir dengan baik.
Pengalaman yang tak terlupakan ketika saya dipanggil oleh dosen. Pengalaman yang berhasil membuat saya palpitasi sejenak, hiperhidrosis pula. Namun pada akhirnya menjadi impresi. Hal yang membuat menghela nafas adalah semua berakhir baik-baik saja.
Menjalani Stase
Menjalani stase ini juga mempunyai suatu harapan. Menjadi dokter penyakit dalam dan kardiolog masuk ke dalam perkiraan peminatan kelak. Artinya saya perlu bekerja lebih keras untuk itu. Mudah-mudahan tercapai. Namun, lagi-lagi hal terkesan saya pun kembali pada pasien. Saya berjumpa dengan berbagai pasien. Dari mereka yang kronis, keracunan zat, hingga hanya perlu tanggapan. Mereka sakit kronis, mereka perlu semangat menjalani pengobatan yang lama.
Saya lagi-lagi bertemu dengan pasien sekampung halaman. Awalnya saya kira pasien ini sulit diapproach karena tampak gelisah dan kurang kooperatif. Saya dan teman saya yang bertanggung jawab atas pasien itu menghampiri dia dan ternyata dia dari Pontianak, maka cobalah saya menggunakan bahasa setempat dan setelah itu komunikasi berjalan sangat baik.
Menjalani stase ini juga penuh banyak memberi pelajaran adaptif. Dengan bahan penyakit dalam yang banyak dengan sub-subnya saya mesti memilah mana yang sekiranya saya perlu pelajari dan tentunya strategi yang sulit. Karena tentu saja tak mungkin bisa melahap semua dalam 10 minggu.
Carolus!
Menjalani stase di Pelayanan Kesehatan Sint Carolus juga adalah keberuntungan. Dengan adanya perombakan nama, akhirnya saya ke Carolus. Di sana memang paparan pasien langsung lebih sedikit, namun apa yang saya dapatkan adalah pelajaran bagaimana kehidupan seorang dokter, gaya seorang dokter, karakter seorang dokter. Sebuah filsafat.
Memang sehari-hari letih. Pulang larut malam. Tetapi semakin lama semakin dibawa enak dan dibarengi rekan-rekan yang menyenangkan. Sekranya tidak menjadikan waktu menjadi halangan. Ilmu-ilmu pun dibawa dan diarahkan menjadi berorientasi pada jurnal yang terakreditasi. Suatu hal yang perlu pembiasaan. Dan satu hal yang sangat penting pula, kami diajarkan bagaimana menyadari diri bahwa ada hal yang tidak tahu dan bagaimana mencari solusi atas itu.
Menjalani hari di ruang endoskopi, tutorial, mengikuti visite satu rumah sakit, makan siang dan malam bersama rekan sejawat (tuan muda, tuan puteri, nenek degeneratif, si sipit, si tonggos) dan dokter observer, menjadi hari-hari bernilai. Dan pada akhirnya di hari terakhir, terasa memang hari berjalan begitu cepat dan pada akhirnya kenangan Carolus membekas.
Pada akhirnya
Pada akhirnya menjalani ujian yang panjang, saya telah melalui stase ilmu penyakit dalam. Dan saya mendapat banyak hal di sini.