Ok, tiba-tiba di malam ini saya kebelet ingin mengetik pikiran saya. Suatu hal yang sebenarnya terus terang saja, cukup sulit dibangkitkan. Hasrat saya untuk menulis sepertinya sudah mulai megap-megap. Yeah, saya perlu mood untuk menulisnya.
Sindrom pasca koas akut
Seperti kebanyakan yang kalian tahu, mungkin, bahwa sekarang saya menderita sindrom pasca koas. Sebuah sindrom ciptaan saya, ya bukan itu nama yang tepat. Saya belum selesai dengan koas, paling tidak untuk satu minggu ke depan, saya bisa menanggalkan kata-kata "koas" hingga judisium tiba. Jika ujung-ujung hasilnya bertajuk "her", walahualam. Maka saya putuskan pemberian adendum kata (jelang).
Sekarang saya dalam keadaan yang agak luntang-lantung. Memang dasar saya yang manusia egoistik, saat koas mengerut dahinya dan tampaknya dunia ini sungguh melelahkan buat saya. Namun setelah koas, saya malahan cemburu dengan keadaan koas yang saya anggap penuh "dinamika". Tidak tahu mengapa, mungkin ada dipengaruhi rasa pribadi yang menyalahkan diri sendiri yang masih meminta uang tanpa malu ke orang tua. Sedangkan rekan-rekan saya yang lainnya, bahkan sudah berkeluarga. How can?
Saya memang tak menganggur seratus persen. Ada juga saya bekerja bersama rekan menggarap sana sini. Jadi, bukannya saya membabi di rumah dengan kudapan-kudapan tinggi kalori. Saya sempat bermimpi juga ingin membeli PS3, ya anggaplah membangkitkan mimpi saya untuk bermain game yang tertunda selama koas. Namun setelah timbang kanan, timbang kiri, lebih banyak mudharatnya. Saldo tabungan akan terjun bebas setelahnya. Jadi, saya putuskan untuk bekerja saja.
Travelling?
Lagi-lagi soal travelling. Bukan pesta pora di dalam benak. Namun kalau saya membaca weblog Trinity dan jurnal The Naked Traveler-nya atau buku yang baru saya beli, The Journeys, air liur saya bagai air bah. Meluap-luap. Saya hidup dalam fantasi. Saya ingin menikmati Hagia Sofia di Turki, mencoba bratwurst langsung dari Jerman, indahnya atoll di Maladewa, atau sekedar menikmati ramainya Shibuya atau Ginza di Jepang atau birunya air Raja Ampat.
Entahlah hal ini mengiang-ngiang. Pikiran ini disela bahwa, "Hei-hei, kau belum selesai dari koas sepenuhnya. Judisium, judisium." Ah, memang menganggu pikiran. Namun fantasi tersebut benar-benar psikostimulansia.
Debby, hari ini seraya merayakan detik-detik terakhirnya di stase IKM, tiba-tiba mengungkapkan keinginannya untuk berjalan-jalan, backpacking, atau apalah itu. Menikmati Bali, bahkan hingga ke Filipina. Ketika berada di pusat perbelanjaan di bilangan Pluit, ia menemukan buku semacam log travelling di Filipina dengan sekian juta. Hal ini lumayan membuat saya tertarik, bukan saja karena saya tengah belajar Tagalog. Tapi that's travelling! Ok, keinginan saya.
Oh tidak. Saya sudah bermain dengan bayangan-bayangan saya. Walau pada akhirnya saya harus sadar penuh, kaki saya masih menapak label koas. Dan saya mulai berhitung.
Sindrom pasca koas akut
Seperti kebanyakan yang kalian tahu, mungkin, bahwa sekarang saya menderita sindrom pasca koas. Sebuah sindrom ciptaan saya, ya bukan itu nama yang tepat. Saya belum selesai dengan koas, paling tidak untuk satu minggu ke depan, saya bisa menanggalkan kata-kata "koas" hingga judisium tiba. Jika ujung-ujung hasilnya bertajuk "her", walahualam. Maka saya putuskan pemberian adendum kata (jelang).
Sekarang saya dalam keadaan yang agak luntang-lantung. Memang dasar saya yang manusia egoistik, saat koas mengerut dahinya dan tampaknya dunia ini sungguh melelahkan buat saya. Namun setelah koas, saya malahan cemburu dengan keadaan koas yang saya anggap penuh "dinamika". Tidak tahu mengapa, mungkin ada dipengaruhi rasa pribadi yang menyalahkan diri sendiri yang masih meminta uang tanpa malu ke orang tua. Sedangkan rekan-rekan saya yang lainnya, bahkan sudah berkeluarga. How can?
Saya memang tak menganggur seratus persen. Ada juga saya bekerja bersama rekan menggarap sana sini. Jadi, bukannya saya membabi di rumah dengan kudapan-kudapan tinggi kalori. Saya sempat bermimpi juga ingin membeli PS3, ya anggaplah membangkitkan mimpi saya untuk bermain game yang tertunda selama koas. Namun setelah timbang kanan, timbang kiri, lebih banyak mudharatnya. Saldo tabungan akan terjun bebas setelahnya. Jadi, saya putuskan untuk bekerja saja.
Travelling?
Lagi-lagi soal travelling. Bukan pesta pora di dalam benak. Namun kalau saya membaca weblog Trinity dan jurnal The Naked Traveler-nya atau buku yang baru saya beli, The Journeys, air liur saya bagai air bah. Meluap-luap. Saya hidup dalam fantasi. Saya ingin menikmati Hagia Sofia di Turki, mencoba bratwurst langsung dari Jerman, indahnya atoll di Maladewa, atau sekedar menikmati ramainya Shibuya atau Ginza di Jepang atau birunya air Raja Ampat.
Entahlah hal ini mengiang-ngiang. Pikiran ini disela bahwa, "Hei-hei, kau belum selesai dari koas sepenuhnya. Judisium, judisium." Ah, memang menganggu pikiran. Namun fantasi tersebut benar-benar psikostimulansia.
Debby, hari ini seraya merayakan detik-detik terakhirnya di stase IKM, tiba-tiba mengungkapkan keinginannya untuk berjalan-jalan, backpacking, atau apalah itu. Menikmati Bali, bahkan hingga ke Filipina. Ketika berada di pusat perbelanjaan di bilangan Pluit, ia menemukan buku semacam log travelling di Filipina dengan sekian juta. Hal ini lumayan membuat saya tertarik, bukan saja karena saya tengah belajar Tagalog. Tapi that's travelling! Ok, keinginan saya.
Oh tidak. Saya sudah bermain dengan bayangan-bayangan saya. Walau pada akhirnya saya harus sadar penuh, kaki saya masih menapak label koas. Dan saya mulai berhitung.