Cemas.
Yup, ini yang saya rasakan menjelang operasi esok hari. Besok pukul 4 sore, saya akan menjalani bedah untuk ekstraksi atau pengeluaran gigi bungsu saya yang tumbuh miring tidak pada tempatnya. Apapun itu yang saya rasakan adalah cemas. Saya tahu saya adalah seorang dokter. Seorang dokter! Namun kini saya berposisi sebagai seorang pasien. Pasien yang cemas menghadapi operasi.
Mengingat pasienku dulu
Saya masih ingat betul, 2 tahun lalu, ketika saya menjalani pendidikan profesi. Tepat waktu itu saya menjalani siklus ilmu bedah. Saya masih ingat Tuan R yang mengalami fraktur pada tulang di kakinya (os calcaneus kalau saya tak salah).
Karena saat itu siklus masih bersifat integrasi dengan anestesi, saya juga melakukan pemeriksaan pra-bedah (
pre-op). Saat itu ibu dan ayahnya cemas bukan main, mereka khawatir dengan bedah ini. Mengingat mereka sempat kehilangan anaknya yang tak bisa tertolong karena meninggal akibat kecelakaan. Cemaslah mereka. Saat itu, saya adalah dokter muda yang menangani kasus itu. Saya hanya bisa menepuk bahu sang ayah, "Tenang pak, kami mencoba melakukan yang terbaik. Berdoa untuk dia dan kami ya." Saat itu saya mungkin hanya berkata sesuai dengan apa yang diajarkan dalam buku teks medis, bahwa sebagai dokter kita harus mendukung pasien, atau meningkatkan semangatnya. Saya kira hanya dengan begitu, selesai tugas saya, dan pasien menjadi tenang. Kini saya sadar bahwa apa yang saya lakukan mungkin hanyalah sebuah untaian kata dalam
checklist buku teks.
Pecundang?
Saya sempat berpikir lagi dalam hati dan kembali merenungkan kebodohan saya. Hati saya berujar, "Hei kamu bodoh. Kamu adalah dokter. Kamulah yang selama ini mengatakan kepada pasien untuk tak perlu untuk cemas. Kamu yang selalu mengatakan semua akan baik-baik saja. Namun apa yang kamu rasakan kini?" Saya tampak menjadi pecundang.
Saya kembali berujar dalam diri bahwa esok adalah operasi kecil, operasi minor pada gigi. Saya mencoba menenangkan hati, tak perlu cemas. Jangan saya terus melebih-lebihkan. Namun saya pun harus jujur pada hati saya dan membiarkan di kepala saya menari-nari, "Bagaimana ya besok? Apakah akan terasa sakit? Ya Tuhan, semoga baik-baik saja."
Menjadi dokter, saya harus sedikit mematikan rasa. Saya harus tampak tenang dan tegar menghadapi apa yang disebut kesakitan.
I should become an angel. Namun semua ini semakin saya sadari bahwa saya dokter, namun saya juga manusia. Saya juga seorang pasien.
Dan saya kini hanya berdoa dan Tuhan akan mengatakan, "Semua akan baik-baik saja."