Well, cuaca di Menjalin sedang panas-panasnya. Rasa ingin meleleh, namun ini tidak menggentarkan saya untuk tetap menulis.
Saya ingin berbagi mengenai hal ini. Saya mengalaminya sudah dua kali sebagai dokter PTT, walaupun sebenarnya sudah puluhan kali jika dihitung selama masa koas. Namanya kesulitan komunikasi dengan pasien.
Stroke
Yang pertama adalah ketika saya mencoba menikmati pagi pada Sabtu kemarin, tiba-tiba saya dipanggil oleh seseorang laki-laki bermotor. Teriaknya, "Tolong Pak ada yang sakit di gereja Advent sana." Saya pun langsung mengganti celana pendek saya dan mengambil perlengkapan seadanya. Saya pun dijemput dan diantar ke gereja.
Terlihat bagi saya seorang ibu 68 tahun, tergeletak di bangku gereja tak berdaya. Mengorok. Saya pun terlintas di kepala, wah apakah ini sinkop? Stroke? Apa yang dialami ibu ini Tuhan?
Saya mencoba memeriksa, tekanan darah 240/120 mmHg, gerakan refleks pupil kanan tidak bergerak, ada refleks saraf yang patologis. Saya pun menyimpulkan bahwa ini kemungkinan besar adalah stroke perdarahan. Saya pun berkata pada suaminya, "Pak. Kemungkinan ini stroke. Kita tidak bisa merawatnya di sini. Mumpung ini masih baru saja kejadiannya. Kita bisa cepat larikan ke Mempawah atau Pontianak untuk mendapatkan penanganan lanjut."
"Apakah bisa diselamatkan dokter?", tanya suaminya.
That's a though question. "Kita berharap yang terbaik pak. Kita larikan lebih cepat lebih baik."
"Saya mau dirawat di sini saja, dok."
Oh Tidak, Tuhan, pikirku. Saya mencoba mengatakannya, "Rawat inap Puskesmas tidak memungkinkan Pak. Tidak ada alatnya. Ini perlu obat suntik, monitor."
Salah satu umat lainnya mengatakan, "Kalau begitu bawa saja ke klinik susteran." Ini bukanlah pilihan yang lebih baik, pikirku lagi. Saya mencoba melobi pemikiran medis saya dengan pendeta. Namun ia mengatakan, "Memang benar dok. Namun memang ini pilihan dia. Keputusannya padanya."
Memang mungkin persetujuan keluarga sebagai
proxy consent memang demikian adanya. Hati kecilku tidak setuju. Kita masih bisa berjuang dengan prognosis yang lebih baik.
Pada akhirya dengan ambulans kecamatan, ibu tersebut dirujuk ke klinik susteran. Sesuai dengan pikiranku, klinik susteran pun tidak mampu merawat. Memang, secara medis kasus ini harus dilarikan ke rumah sakit. Stroke berpacu dengan waktu. Setelah mendapat penjelasan suster, sang suami mengatakan, "Baiklah suster. Kita ke Mempawah."
Sayapun lega mendengarnya. Saya tidak mengantar sampai ke Mempawah dan saya turun di Puskesmas. 10 menit kemudian saat saya nongkrong di warung depan Puskesmas, saya melihat mobil ambulans kembali lagi. Saya bertanya pada Mas Pur, pengendara ambulans, apa sebab ia kembali. Ternyata suaminya meminta berhenti di rumahnya saja, tidak perlu ke Mempawah. Menurutnya, ia sudah pasrah. Saya pun hanya bisa menghormati keputusan itu.
Pada siang pukul 14, saya sempat dipanggil lagi ke rumah pasien untuk memperbaiki infus yang macet. Saya pun melihat keadaan yang makin buruk. Badannya panas sekali, khas stroke. Berdasarkan pengalaman saya di stase saraf, ini prognosis yang buruk. Sangat buruk.
Dan memang pada pukul 16 saya mendapat kabar duka bahwa ia telah meninggal.
Dalam hati kecil saya lagi, saya berandai-andai, andaikan ia cepat dirujuk "mungkin" ia akan tak seperti ini. Namun saya mengatakan lagi dalam diri saya, tidak ada ketepatan dalam hidup ini. Dan saya pun mencoba membela diri, mungkin ini yang terbaik dan jalannya, sesuai dengan kepasrahan suaminya.
Fraktur Terbuka
Yang kedua, baru saja terjadi kemarin. Saya dipanggil lagi untuk memeriksa pasien di Baweng, Desa Lamoanak. Dengan perjalanan jauh, hampir jatuh dari boncengan motor. Di sana ada seorang bapak mengalami patah tulang terbuka. Ia mengalami kecelakaan lalu lintas sehingga tulang betis dan kering kanannya patah dan remuk dan sebagian tulang keringnya keluar dari kulit.
Ia sebenarnya sudah mendapat penanganan di Mempawah. Namun setelah saya gali, ternyata mereka minta pulang lagi atas permintaan keluarga. Saya mengelus dada. Mempawah adalah kota yang dekat dengan Pontianak, tempat satu-satunya yang ada dokter bedah ortopedi (bedah tulang). Tinggal selangkah lagi ia akan mendapatkan penanganan yang baik.
Keluarga tersebut menanyakan kepada saya, apakah bisa saya masukkan kembali tulang itu dan selanjutnya dirujuk saja ke dukun tulang kampung. Dalam imajinasi saya,
there is a facepalm. Saya mencoba menjelaskan ini tidak mungkin saya reposisi mengingat keadaannya yang sudah bengkak. Pergeseran tulangnya pun sudah 2 cm ke depan dan patahan tulang saling bertumpu. Ini memerlukan penanganan seperti pemasangan
pen.
Keluarga pun masih bersikeras. Saya menolak dan ini adalah kasus yang perlu dirujuk, lebih cepat lebih baik. Apalagi tulang ini sangat terekspos keluar.
Dengan segala daya upaya, menjelaskan satu per satu pada setiap pertanyaan. Mereka pun mau dirujuk. Saya bernapas lega lagi.
Komunikasi pasien
Apa yang saya dapat bahwa komunikasi dengan pasien dan keluarga adalah suatu hal yang sulit, sangat sulit. Apalagi jika mereka sudah berkomitmen atau memegang prinsip tertentu. Apa yang saya bisa lakukan sebagai dokter adalah menjelaskan sesuai dengan keilmuan saya sebagai medis. Apa yang terbaik secara medis inilah yang saya tawarkan. Walaupun memang tidak semua pasien akan mendengar advis saya.
Memang, apapun itu, ketika
informed consent sudah terbubuhi tanda tangan, dokter seperti "lepas tangan". Namun saya pribadi memang tidak dapat langsung setenang itu. Saya sering kali ingin mencoba menawarkan terus. Namun saya sadar bahwa saya tidak dalam kapasitas demikian.
I have done my job.
Namun saya pun berpikir lagi, sudah tepatkah hal yang saya lakukan ini? Ini menjadi sebuah kontemplasi.