Ketika jaman-jaman tahun 2009, ketiksa saya masih koas, saya memang tidak tertarik pada Blackberry. Mungkin yang saya lihat nilai plusnya, blackberry memiliki mobile internet yang lebih mahir dari ponsel lainnya, sehingga bisa menjadi alat pencari jawaban instan terhadap pertanyaan konsulen. BBM? Tidak tertarik.
Well, saya memang fansnya Steve Jobs, jadi yang bisa membuat liur saya menetes adalah iPhone tentunya. Ya, saya tidak tertarik dengan Blackberry.
Saya melewatkan beberapa 2 siklus mayor dan 5 siklus minor dengan lancar jaya tanpa BB. Namun pada suatu ketika saya pun geram, ketika jarkom alias jaringan komunikasi via SMS sudah semakin meredup dan terkubur. Semua tersampaikan lewat BBM. Termasuk info, dosen datang, tugas-tugas, dan lainnya. Semua lewat BBM. Akhirnya mau tak mau pun saya menggunakan BBM, jika tidak saya masuk dalam jaman tanpa komunikasi.
Saya pun dibelikan BB Gemini 8520. Ini pun atas rekues adik saya yang gencar menginginkan BB. Saya pun mengangguk saja ketika ditanya apakah saya ingin dibelikan. Dan segala keluhan pun dimulai. Dari awal saya menilai, teknologi BB memang tidak sebanding harganya. Harganya terlalu mahal. Masih lebih baik ponsel Ericsson atau Nokia dengan harga yang sama, atau lebih layak iPhone dengan harga yang lebih mahal dengan fitur yang ditawarkan. Ya, saya menggunakan BB karena BBM. Setelah saya kerja sebagai editor, BB memang menjadi alat yang membantu yaitu sebagai media intenet bergerak dan media sosial (Namun ketika saya membeli iPad, bye-bye internet BB).
BB memang dahsyat di Indonesia. Semua memiliki BB. Bahkan ketika saya di Menjalin, banyak juga petugas Puskesmas yang menggunakan BB. BB sudah merasuki pedalaman bahkan di Kalimantan. Kecintaan masyarakat kita dengan texting memang melambungkan nama BB.
Kini BB saya timbul banyak masalah, entah mungkin karena usianya yang sudah uzur? Baterai sudah saya ganti empat, bukan, lima kali. Slot charger-nya sekarang bermasalah. Dan karena di Menjalin tidak ada blackberry shop, jadi perbaikan ini harus menunggu kepulangan saya ke Pontianak.
Memang apa yang saya rasakan, tanpa BB lebih damai. Tidak banyak spam-spam, test contact, dan entah hal remeh temeh yang harus saya periksa ketika bunyi atau indikator BB menyala. Memang ada hal yang penting juga, namun semuanya bisa dipindahkan melalui SMS di nomor saya dengan HP Nokia X1 yang sangat sederhana.
Namun saya masih berpikir apakah BB ini harus diperbaiki dan dilanjutkan dengan segala kekurangannya, atau membeli BB baru (saya memang agak melirik Armstrong dengan segala keekonomisannya), atau saya tidak membeli BB lagi? Saya mau iPhone.
BB termutilasi milik rekan saya, Ronald. Termutilasi dalam perjalanannya ke Yogya. |
Well, saya memang fansnya Steve Jobs, jadi yang bisa membuat liur saya menetes adalah iPhone tentunya. Ya, saya tidak tertarik dengan Blackberry.
Saya melewatkan beberapa 2 siklus mayor dan 5 siklus minor dengan lancar jaya tanpa BB. Namun pada suatu ketika saya pun geram, ketika jarkom alias jaringan komunikasi via SMS sudah semakin meredup dan terkubur. Semua tersampaikan lewat BBM. Termasuk info, dosen datang, tugas-tugas, dan lainnya. Semua lewat BBM. Akhirnya mau tak mau pun saya menggunakan BBM, jika tidak saya masuk dalam jaman tanpa komunikasi.
Saya pun dibelikan BB Gemini 8520. Ini pun atas rekues adik saya yang gencar menginginkan BB. Saya pun mengangguk saja ketika ditanya apakah saya ingin dibelikan. Dan segala keluhan pun dimulai. Dari awal saya menilai, teknologi BB memang tidak sebanding harganya. Harganya terlalu mahal. Masih lebih baik ponsel Ericsson atau Nokia dengan harga yang sama, atau lebih layak iPhone dengan harga yang lebih mahal dengan fitur yang ditawarkan. Ya, saya menggunakan BB karena BBM. Setelah saya kerja sebagai editor, BB memang menjadi alat yang membantu yaitu sebagai media intenet bergerak dan media sosial (Namun ketika saya membeli iPad, bye-bye internet BB).
BB memang dahsyat di Indonesia. Semua memiliki BB. Bahkan ketika saya di Menjalin, banyak juga petugas Puskesmas yang menggunakan BB. BB sudah merasuki pedalaman bahkan di Kalimantan. Kecintaan masyarakat kita dengan texting memang melambungkan nama BB.
Kini BB saya timbul banyak masalah, entah mungkin karena usianya yang sudah uzur? Baterai sudah saya ganti empat, bukan, lima kali. Slot charger-nya sekarang bermasalah. Dan karena di Menjalin tidak ada blackberry shop, jadi perbaikan ini harus menunggu kepulangan saya ke Pontianak.
Memang apa yang saya rasakan, tanpa BB lebih damai. Tidak banyak spam-spam, test contact, dan entah hal remeh temeh yang harus saya periksa ketika bunyi atau indikator BB menyala. Memang ada hal yang penting juga, namun semuanya bisa dipindahkan melalui SMS di nomor saya dengan HP Nokia X1 yang sangat sederhana.
Namun saya masih berpikir apakah BB ini harus diperbaiki dan dilanjutkan dengan segala kekurangannya, atau membeli BB baru (saya memang agak melirik Armstrong dengan segala keekonomisannya), atau saya tidak membeli BB lagi? Saya mau iPhone.