Lihat bukunya, jangan tangannya :P |
Ketika saya membuka website toko buku online, saya tertarik pada suatu judul "Kangen Indonesia: Indonesia di Mata Orang Jepang" karangan Hisanori Kato. Saya pun mengeklik beli (tentunya lebih mudah dan pasti daripada saya harus ke Gramedia di ibukota propinsi). Yang membuat saya tertarik adalah, saya adalah orang yang selalu penasaran dengan apa komentar orang lain tentang Indonesia, negeri saya ini. Ya, saya sebenarnya orang yang amat gerah kalau warga Indonesia sendiri memaki dan mencela negaranya sendiri lantas memuja-puji negara orang lain. Apakah rumput tetangga selalu lebih hijau? Saya selalu membela, "Tidak juga." Yang kedua, buku ini terbitan Penerbit Buku Kompas, salah satu harian nasional favorit saya.
Menjadi sebuah hal yang miris, kalau ketika ternyata ada orang lain, bahkan warga negara lain, yang menjadi jatuh cinta pada negeri ini. Walau, memang cinta tak bisa dipaksakan. Inilah kisah perjalanan Hisanori Sato, seorang Jepang, yang seringkali berkunjung ke Indonesia dalam 20 tahun terakhir perjalanannya.
Ia cinta Indonesia dengn hal sederhana. Hal yang mungkin kerap kali membuat kita jengkel, membuat orang Indonesia malah sebaliknya ingin Indonesia seperti Jepang atau Dunia Barat. Namun Kato membantu menyadarkan bahwa setiap bangsa memiliki karakter khasnya masing-masing, itulah bangsa itu.
Kato bercerita bagaimana ia bisa menikmati segala sesuatunya di Indonesia, mencoba berpikir positif seperti kebanyakan orang Jawa, memahami segala jumputan nasi padang dibandingkan renyahnya makanan cepat saji ala Barat atau makanan ala convenience store. Ia menikmati setiap segi manis-pahitnya Indonesia, dan diformulasikannya dalam sebuah kenangan indah dan kerinduannya pada bangsa ini.
Membuat Indonesia seperti rumah keduanya tentu bukanlah hal yang mudah bagi Kato. Apalagi saya mengenal teman-teman saya sendiri, yang notabene asli Jakarta, malah ingin angkat kaki dari ibukota ini.
Macet, banjir... Tapi apakah kita pernah melihat keramahan kita dengan abang penjual nasi goreng, atau manisnya penumpang Kopaja di sebelah kita yang spontan menawarkan segelas air mineral di kala adzan maghrib bergema saat Ramadhan? Ya, tulisan ini, bagi saya, mengajak kita bagaimana kita kembali bisa menyeruput teh hangat kita dengan santai walau dunia tampaknya ini begitu pelik.