Hari Senin, 1 April 2013 adalah salah satu hari terbaikku. Hari terbaik di dalam perjalanan saya sebagai dokter. Hari itu adalah hari perpisahan antara saya dengan staf Puskesmas Menjalin yang telah menemani saya selama 1 tahun ini.
Label terbaik ini bukannya karena saya suka perpisahan. Secara pribadi yang lebih cenderung menyukai zona nyaman, saya tidak suka dengan perpisahan. Namun suatu hal yang tak dapat terpungkiri adalah hidup harus jalan terus. Jalan ke depan.
Saya meninggalkan Menjalin, yang terutama adalah habisnya masa SK saya untuk diangkat sebagai dokter PTT di Kabupaten Landak. Kemudian saya pun memiliki rencana untuk bekerja di rumah sakit dan ingin melanjutkan studi lagi. Walaupun sebenarnya masih ada kesempatan bagi saya untuk mengabdi di Landak selama dua tahun ke depan. Namun jika adapun saya tak akan mengambilnya, karena saya tidak mungkin di Menjalin lagi. Saya sudah terlanjur jatih cinta dengan Menjalin.
Mungkin Anda terheran-heran ada apa dengan Menjalin? Ya saya sudah terlanjur cocok dengan Bumi Samabue ini. Terlanjur cocok dengan orang-orang di dalamnya. Saya sudah kepalang tanggung. Sikap masyarakatnya, kondisi kehidupannya sudah sesuai dengan apa yang diharapkan.
Ya, staf-stafnya amat ramah, dalam arti yang sesungguhnya. Saya bersyukur, karena saya pun mendengar ada kawan-kawan saya lain di tempat lainnya bahkan seringkali tak harmonis. Saya suka lingkungan kerja yang tetap humoris, paling tidak untuk menyegarkan pekerjaan dokter yang sungguh menaikkan tensi. Staf-staf seperti Om Saibu, Pak Didy, Bang Uut, Kak Osik, Kak Hatenah Kak Rika, pendatang baru Bang Ason yang bisa membuat rahang Anda pegal. Dan saya suka staf yang suka "wisata kuliner" seperti Trio Macan, Kak Agnes, Kak Ola, Bang Agus, Kak Wila sang pecinta kuning. Kemudian Kak Banyu yang suka membagi kuenya, Kak Sri yang menjual kuenya. Kak Nia dan Mak Dela yang juga tak jarang berbagi. Trio Macan juga menjadi kawan merujak dan gorengan serta apam pinang.
Selain itu mereka pun menghormati satu sama lain dan tak segan belajar satu sama lain, dan bahkan saya pun tak canggung untuk belajar dari mereka juga. Kak Dewi dan Kak Emi yang banyak pengalaman. Atau sebaliknya saya pun sering berbagi dan mengajarkan yang saya bisa ke Dekri dan Bang Ryan, serta Bang Agus dan perawat magang lainnya.
Saya pun sering dibawa jalan-jalan, paling tidak karena saya tidak pandai naik motor. Diajak ke Rees oleh Bang Agus dan Kak Fina, ke Lamoanak bersama Bang Eko, keliling Menjalin, Mempawah, dan Serukam dengan Mas Pur. Saya juga ke Tikalong dengan keluarga Pak Uwi, dan perjalanan terakhir tak terlupakan berjam-jam berdiri dengan Kak Ester di bus Yosua.
Saya juga masih ingat dengan pasien-pasien saya, Pak Sakiman dari Lamoanak, Pak Alex yang sering meminta saya tensi ketika ia menumpang lewat di Puskesmas, Nenek Nulia, Pak Itop, Ibu Raani, We' Indra. Saya akan merindukan ketika bercengkerama dengan mereka di poliklinik atau di zaal rawat inap. Saya juga merindukan bercengkerama dengan perawat di ruang jaga.
Suatu hal yang membahagiakan juga bahwa saya dapat diterima oleh masyarakat tanpa kekurangan suatu apapun. Dan saya amat senang dapat menyumbang sedikit untuk tanah Menjalin, walau tak seberapa. Seperti gajah meninggalkan gadingnya, saya bersyukur dan bahagia dapat meninggalkan nama yang cukup baik sampai saya memparipurnakan tugas.
Kini saya harus terus melangkah ke depan, walau kabut masih di depan mata.
Terima kasih Menjalin.
"Ame lupa ana bamain agi ka Manyalitn boh", kata Bang Ryan.
"Auk!", jawab saya.
Di dalam GA503, perjalanan kembali ke Jakarta.