Saya masih ingat dulu ketika akhir SMA atau awal kuliah saya menyebutkan kata-kata yang tak biasa dalam kelompok peminatan komputer. Saya menyebutkan kata "mengunggah", "mengunduh", "antarmuka", "kuki". Semua orang bingung. Ketika saya mengganti dengan kata "upload", "download", "interface", "cookies". Semua baru mengerti dan teman saya tiba-tiba ada yang menyeletuk, "Aneh-aneh saja lu Hau, ngapain suka pakai istilah itu."
Sebenarnya ada sesuatu yang membuat saya lebih suka menggunakan kata-kata asing yang di-Indonesiakan. Pertama, ini bahasa Indonesia. Kedua, kata-kata itu seingat saya sudah dibakukan.
Saya terkadang berpikir, mengapa kita lebih suka menggunakan kata-kata yang tidak diserap dari bahasa asing padahal ada padanan katanya. Kita lebih suka menggunakan "blueprint" dibandingkan "cetak biru", "compact disc" dibandingkan "cakram padat", "fashion" dibandingkan "fesyen". (Pasti Anda berkomentar, "Apaaa? Fesyen?")
Bahkan kita sering menyerap sendiri dan membuat sinonim dari kosakata yang sebenarnya sudah ada padanannya. Coba seberapa sering menggunakan "snack" dibandingkan "kudapan", "coffee break" dibandingkan "rehat kopi", "feedback" dibandingkan "umpan balik", "implementasi" dibandingkan "eja wantah", "komparasi" dibandingkan "perbandingan", "event" dibandingkan "acara/kegiatan", atau "regulasi" dibandingkan "peraturan". Walaupun memang penggunaannya berbeda, tergantung pada konteksnya. Namun sayangnya, sinonim yang lama pun berangsur-angsur lenyap tak digunakan.
Kita pun sering latah menggunakan kata-kata asing yang tampaknya tidak ada usaha untuk meng-Indonesia-kan sama sekali, lihat saja "Jakarta Outer Ring Road" -atau yang disebut JORR-, bukannya "Jalan Lingkar Luar Jakarta, atau JLLJ?), atau bahkan "Hati-Hati Busway" bukannya "Hati-Hati Jalan/Jalur Bus".
Jika kata-kata tersebut tidak ada padanan katanya, kita pun pada akhirnya menggunakan kata asli. Hal ini diperbolehkan oleh bahasa kita selama dicetak miring, digarisbawah, atau diberi tanda petik. Namun sayangnya, seringkali penggunaannya pun keliru. Istilah ini diserap secara mandiri tanpa melalui proses pembakuan oleh Pusat Bahasa. Misalnya "event" yang disalahkaprahkan menjadi "even" atau terkadang menjadi "iven", "contact person" menjadi "kontak person". Jika ingin menggunakan istilah asing yang tak diserap, sebaiknya kita pun mengerti bagaimana penulisannya yang benar menurut bahasa aslinya.
Mengapa kita tidak banyak menggunakan kata-kata asli atau baku dari bahasa Indonesia sendiri? Mengapa kita tidak menggunakan "fesyen" atau "kudapan"? Apakah mungkin terdengar kampungan? Saya sendiri tidak merasa kampungan, hanya kita saja yang enggan memakai. Seperti kata "mengunduh" yang kian tidak asing untuk menggantikan "download". Ya, kita hanya perlu menggunakannya saja.
Ketika saya coba membandingkan dengan bahasa lainnya, saya menemukan bahwa mereka justru bangga untuk menggunakan kata yang diserap dengan gaya bahasa mereka, misalnya Bahasa Korea. Kata pizza menjadi 피자 yang dibaca [phi-ja], party menjadi 파티 yang dibaca [pha-ti], shower 샤 워yang dibaca [sya-wo]. Mungkin saja untuk bahasa Korea, penyerapan lebih luwes karena tulisan ditulis dengan tulisan Hangeul. Walaupun demikian, abjad Latin bahasa Indonesia memiliki cara pelafalan sendiri. Sehingga penyerapan seperti "fesyen" adalah suatu yang memang demikian, bukan "kampungan", kecuali kalau kata "fashion" kita mau lafalkan sebagai [fa-si-yon]. Mana jadinya yang "alay"?
Sebenarnya ada sesuatu yang membuat saya lebih suka menggunakan kata-kata asing yang di-Indonesiakan. Pertama, ini bahasa Indonesia. Kedua, kata-kata itu seingat saya sudah dibakukan.
Saya terkadang berpikir, mengapa kita lebih suka menggunakan kata-kata yang tidak diserap dari bahasa asing padahal ada padanan katanya. Kita lebih suka menggunakan "blueprint" dibandingkan "cetak biru", "compact disc" dibandingkan "cakram padat", "fashion" dibandingkan "fesyen". (Pasti Anda berkomentar, "Apaaa? Fesyen?")
Bahkan kita sering menyerap sendiri dan membuat sinonim dari kosakata yang sebenarnya sudah ada padanannya. Coba seberapa sering menggunakan "snack" dibandingkan "kudapan", "coffee break" dibandingkan "rehat kopi", "feedback" dibandingkan "umpan balik", "implementasi" dibandingkan "eja wantah", "komparasi" dibandingkan "perbandingan", "event" dibandingkan "acara/kegiatan", atau "regulasi" dibandingkan "peraturan". Walaupun memang penggunaannya berbeda, tergantung pada konteksnya. Namun sayangnya, sinonim yang lama pun berangsur-angsur lenyap tak digunakan.
Kita pun sering latah menggunakan kata-kata asing yang tampaknya tidak ada usaha untuk meng-Indonesia-kan sama sekali, lihat saja "Jakarta Outer Ring Road" -atau yang disebut JORR-, bukannya "Jalan Lingkar Luar Jakarta, atau JLLJ?), atau bahkan "Hati-Hati Busway" bukannya "Hati-Hati Jalan/Jalur Bus".
Jika kata-kata tersebut tidak ada padanan katanya, kita pun pada akhirnya menggunakan kata asli. Hal ini diperbolehkan oleh bahasa kita selama dicetak miring, digarisbawah, atau diberi tanda petik. Namun sayangnya, seringkali penggunaannya pun keliru. Istilah ini diserap secara mandiri tanpa melalui proses pembakuan oleh Pusat Bahasa. Misalnya "event" yang disalahkaprahkan menjadi "even" atau terkadang menjadi "iven", "contact person" menjadi "kontak person". Jika ingin menggunakan istilah asing yang tak diserap, sebaiknya kita pun mengerti bagaimana penulisannya yang benar menurut bahasa aslinya.
Mengapa kita tidak banyak menggunakan kata-kata asli atau baku dari bahasa Indonesia sendiri? Mengapa kita tidak menggunakan "fesyen" atau "kudapan"? Apakah mungkin terdengar kampungan? Saya sendiri tidak merasa kampungan, hanya kita saja yang enggan memakai. Seperti kata "mengunduh" yang kian tidak asing untuk menggantikan "download". Ya, kita hanya perlu menggunakannya saja.
Ketika saya coba membandingkan dengan bahasa lainnya, saya menemukan bahwa mereka justru bangga untuk menggunakan kata yang diserap dengan gaya bahasa mereka, misalnya Bahasa Korea. Kata pizza menjadi 피자 yang dibaca [phi-ja], party menjadi 파티 yang dibaca [pha-ti], shower 샤 워yang dibaca [sya-wo]. Mungkin saja untuk bahasa Korea, penyerapan lebih luwes karena tulisan ditulis dengan tulisan Hangeul. Walaupun demikian, abjad Latin bahasa Indonesia memiliki cara pelafalan sendiri. Sehingga penyerapan seperti "fesyen" adalah suatu yang memang demikian, bukan "kampungan", kecuali kalau kata "fashion" kita mau lafalkan sebagai [fa-si-yon]. Mana jadinya yang "alay"?