Yup, ini adalah tulisan sayang paling pertama setelah saya memulai pendidikan PPDS di Manado ini. Bukan saya tidak ingin bercerita selama nyaris 3 bulan saya menjejakkan kaki di kota ini, tetapi saya ingin mencoba mengumpulkan segala apa yang saya rasakan.
Selama 3 bulan ini, well, dari sebuah tabula rasa menjadi sebuah kondisi yang terus terang saya agak sulit untuk menggambarkannya. Saya berada di kota yang benar-benar baru. Seperti yang saya ceritakan di blog sebelumnya, kalau perpindahan dari Pontianak ke Jakarta dulu, memang saya berpindah dari kota kecil ke ibukota, namun faktor masih banyaknya sanak saudara mungkin saya tidak begitu merasakan. Namun di usia 15 tahun dulu berpindah, ya, mungkin saat itu masih anak-anak yang tidak mengenal kata galau. Hahaha....
Kini saya sebagai seorang yang berusia 29 tahun, yang berpindah ke sebuah kota yang benar-benar baru. Tidak ada sama sekali saudara dekat yang saya kenal di sini, kecuali banyak teman-teman baru, guru-guru baru. Memang, ada beberapa teman sealmamater yang juga belajar di kota ini, namun tentu mereka sudah cukup sibuk dengan kegiatan masing-masing. Suasana kosan pun sudah seperti apartemen di Jakarta yang cukup dingin, berbeda dengan keadaan kos-kosan mahasiswa dulu.
Rindu kampung halaman? Iya, banget. Mungkin lebih ke suasana dan cita rasa makanan. Mungkin dulu di Jakarta, daerah Sunter, Pademangan, Mangga Dua, Pangeran Jayakarta, Pluit, Muara Karang, tidak sulit untuk mencari suasana dan makanan yang cukup familiar.
Saya sempat dalam fase "craving" mencari cita rasa. Beberapa kios dan rumah makan cita rasa Tionghoa (alias Chinese Food) di kota Manado memang banyak, dan bahkan ketika saya berkenalan dengan sang pemilik, mereka ternyata banyak keturunan dari Pontianak! Saya pun tak pelak terkejut pula. Namun gaya memasak dan masakan sudah banyak diadaptasi dengan masyarakat lokal. Namun perjalanan pencarian membuah hasil sedikit, ada toko Bakmi Kalimantan yang menyajikan Jam Mien Singkawang (walau sebenarnya saya lebih rindu Jam Mien Pontianak). Namun ini tetap adalah sebuah bongkahan emas, untuk menikmati makanan Singkawang dan bercakap-cakap dengan Bahasa Khek dengan si A Ce pemilik kios tersebut yang baru dibuka tak sampai satu tahun itu.
Akhirnya saya memang saat ini saya sudah cukup terbiasa dengan masakan lokal, walau saya menginginkan sayuran rumahan selain kangkung dan bunga pepaya. Hiks... Memang, ada masakan-masakan franchise nasional di mall seperti Ta Wan, namun tentunya kalau sering kantong juga cepat menipis... (Rp 40.000,- untuk sepiring kailan? Tentunya sebuah kemewahan...).
Dan tentunya saya rindu sekali dengan masakan mama di rumah... Wew, T_T....
Well, saya masih berjuang dalam beradaptasi dan semoga perjalanan studi saya dapat baik adanya....