Kini, saya sudah berada di minggu ke-3 di stase Ilmu Kedokteran Jiwa dan Perilaku. Sehari-hari memang saya menghabiskan waktu di Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heerdjan, atau oleh masyarakat lebih populer disebut RSJ Grogol.
Ya, namanya sudah RSJ, berarti pasien yang ada adalah pasien dengan gangguan jiwa. Ini sebuah pengalaman yang menarik, pertama kalinya, hingga menegangkan. Bagaimana tidak, mungkin kalau kita bertemu dengan pasien lainnya sehari-hari, kita lebih mudah untuk membina hubungan dokter-pasien dan berkomunikasi satu sama lainnya. Tapi bagaimana dengan pasien gangguan jiwa? Akan seperti itu pulakah?
Bayangan Stigma
Di bayangan saya memang memiliki stigma, yang saya sadari sudah terlekat sejak kecil. Saya masih mengingat dulu di samping rumah saya di Sisingamangaraja, Pontianak. Adalah seorang ibu-ibu berperawakan menor, berperilaku aneh, berbicara cadel, dan bisa saja membuka baju dia bila disuruh. Pekerja tetangga saya sering mengerjai dia dan akhirnya memperolok dia, "Orang gila!". Selain itu, sering pula saya menemukan orang tanpa busana, jorok, hanya berjalan-jalan saja, tidur di trotoar, dan tak jarang mengamuk. Dan itu juga kata ayah saya, "Itu orang gila." Dan korelasi yang saya dapat adalah orang gila itu ada gangguan jiwanya. Dan saya pun berpikir sejenak,"Apakah saya akan bertemu seperti bayangan saya itu." Saya pun mula terbukakan ketika belajar Psikiatri, apa itu gangguan jiwa, apa itu rentang gangguan jiwa, dari Gangguan Mental Organik hingga berbagai gangguan semacam penggunaan zat psikoaktif, skizofrenia, manik-depresi, neurotik, dan lainnya. Ternyata sangat luas.
Namun tetap saja, jantung ini berdebar, pasien macam apa yang akan saya temui nanti.
Dan apa yang saya temukan di RSJ, memang pasien dalam rentang yang lebar. Memang ada yang berperilaku diam-diam saja, ada yang paranoid, gaduh-gelisah, namun tak sedikit yang bersahabat. Tetapi jujur saja, ketika masuk bangsal, saya masih tetap deg-degan, bagaimana kalau pasien mengamuk? Namun untungnya, itu hanya pikiran yang bodoh. Memang itu bisa saja terjadi, namun kalau bisa membina rapport yang baik, membuat pasien bisa merasa nyaman, dan itu bisa terjadi.
Dua Pengalaman
Ada pengalaman pula bahwa ada pasien yang tengah curiga gaduh-gelisah tiba-tiba menghardik saya, "Mana tangan dokter!". Terus-terang saya bingung apa saya memberi tangan saya atau tidak. Akhirnya saya berpikir mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa. Saya memberi tangan saya. Tapi hasilnya, tangan saya dijabat begitu erat dengan ekspresi mukanya yang galak. Saya bingung. Namun saya mencoba, "Sudah ya bu ya. Dokter mau keluar dulu.", dengan nada rendah. Untungnya, pada akhirnya ia melepaskannya.
Saya juga ada pengalaman dengan pasien yang logorrhea (banyak bicara) dan flight of ideas (ide pikirannya banyak). Dan seringkali kepala saya pusing, karena tak biasa. Mereka bercerita banyak dan berlompat-lompat, dan sulit dihentikan. Namun saya berpikir, mungkin ini karena ketidakbiasaan saya. Tentunya, saya perlu untuk biasa. Allah bisa karena biasa.
Apakah Mereka Berbeda?
Pada akhirnya saya mendapat jawaban bahwa mereka toh sama saja dengan pasien lain, kita dapat berkomunikas, berinteraksi dengan mereka, dan pastinya dengan cara berbeda. Cara yang berbeda ini juga bukanlah hal yang luar biasa, anggaplah pasien dengan gangguan saraf dengan pasien patah tulang, juga cara komunikasinya berbeda. Begitu pula dengan pasien gangguan jiwa.
Kita harus kembali disadarkan bahwa mereka tetaplah pasien, tetaplah sesama. Mereka bukan alien, atau orang yang perlu disingkirkan. Mereka memang kini termarjinalisasi oleh lingkungan sosial, namun kita yang sadar jangan ikut menyingkirkan atau bahkan memperburuk keadaan. Justru, kita perlu merangkul mereka.