Hari ini ternyata adalah hari pertama anak-anak masuk sekolah. Ya, banyak dari teman-teman perawat yang sengaja cuti atau memindahkan jadwalnya ke sore atau malam, demi dapat mengantar putra-putrinya untuk hari sekolah pertamanya. Sungguh manis, bukan?
Ya, saya masih ingat tatkala saya masuk sekolah pertama kali dahulu. Saya dahulu sempat akan dimasukkan ke TK Gembala Baik, sekelas dengan abang sepupu saya yang 1 tahun lebih tua dari saya. Ya, hasilnya saya bak cacing panas, tidak pandai untuk diam. Akhirnya suster kepala sekolah pun tak mengijinkan saya melanjutkan sekolah di hari percobaan itu.
Kemudian saya masuk satu tahun berikutnya ke TK Kristen Immanuel. Saya sempat menjalani dua tingkat TK di sini, yaitu kelas A dan kelas C. Saya tidak tahu persis mengapa saya tidak ke kelas B, atau untuk apa ke kelas B tersebut.
Ketika saya pertama kali masuk SD, saya masuk ke SD Suster. Suatu lingkungan yang benar-benar baru bagi saya. Saya masih ingat saya sempat meraung atau kecewa kepada orang tua karena saya tidak dimasukkan ke SD Immanuel seperti kebanyakan rekan-rekan TK saya. Mungkin karena orang tua saya mau mulai memasukkan saya ke institusi pendidikan Katolik, sesuai dengan agama saya sejak kecil.
Saya ingat persis, hari pertama saya di SD, teringat saya hampir kacau. Saya mencari orang tua saya, namun tidak ada. Mungkin karena sejak hari pertama masuk TK saya tidak ditunggui oleh orang tua lagi. Mungkin beda dengan orang tua sekarang, karena mereka harus memfoto hari pertama sekolah anak mereka dan mengunggahnya ke media sosial.
Saya memang tidak terlalu luwes untuk beradaptasi, saya tidak kenal kiri-kanan saya, walau akhirnya waktu yang menjawab (halah). Saya pun kelabakan untuk mengikuti pelajaran gaya SD, yang sudah mulai tertata rapi dengan jadwal pelajaran, buku catatan, buku PS, buku PR, dengan segala lembar kerja siswa (LKS). Seingat saya, tidak ada lagi perosotan, tidak ada lagi ayunan. Tetapi saya mulai mendapat uang jajan saya sejumlah tiga lembar merah bergambar perahu Pinisi. Saya ingat dengan sejumlah uang itu saya masih bisa membeli permen seharga Rp 25,-, dan tentunya kudapan Chiki yang akhirnya membuat saya diomeli ibu karena sakit tenggorokan.
Saya ingat bahwa masa-masa TK saya berjaya, menjadi pemimpin upacara TK, juara kelas, ikut lomba menggambar (saya masih ingat favorit saya adalah menggambar ulang doraemon). Hingga pada SD, prestasi itu tak terulang di kelas 1. Dulu seingat saya di caturwulan 1 kelas 1 SD, saya juara 8. Hingga di caturwulan 3 baru dapat ke-3 besar.
Untuk SMP saya tak terlalu masalah, karena saya masih di lingkungan yang sama, saya hanya pindah gedung dengan meloncat pagar saja, ke SLTP Suster.
Nah, untuk SMA, cukup membuat sakit kepala. Saya di SMA Kanisius, yang saya sendiri pun agak kurang percaya saya dinilai cukup mampu masuk ke sekolah utama di ibukota ini. Bayangkan saya hanyalah "seorang paman datang dari desa". Saya harus "bersaing" dengan kawan-kawan saya yang baru, yang dunianya jelas berbeda dengan teman-tema saya di Pontianak. Saya harus bisa mengikuti pelajaran yang seringkali diberi pengayaan yang lebih dari buku teks. Saya harus bisa menguasai pemrograman Pascal, padahal dulu saya hanya belajar mengetik dengan mesin tik, Wordstar bahkan Microsoft Office Windows 2000. Saya harus bisa mewawancarai artis ibu kota di majalah sekolah (saya pernah mewawancarai Moammar Emka loh!), padahal saya dulu cuma editor mading sekolah yang spesialnya hanya DUDU (Dari, Untuk, Dengan Ucapan). Akhirnya memang saya tepar di semester 1 kelas 1 SMA. Walaupun demikian saya harus mengejar ketertinggalan saya, walau itu takikardi dan dekompansasi.
Saya pun merasa bersyukur akhirnya saya bisa seperti ini. Ya, waktu berjalan begitu besar dan saya ingin menapak lebih jauh lagi. Saya ingin sekolah lagi. :')
Ya, saya masih ingat tatkala saya masuk sekolah pertama kali dahulu. Saya dahulu sempat akan dimasukkan ke TK Gembala Baik, sekelas dengan abang sepupu saya yang 1 tahun lebih tua dari saya. Ya, hasilnya saya bak cacing panas, tidak pandai untuk diam. Akhirnya suster kepala sekolah pun tak mengijinkan saya melanjutkan sekolah di hari percobaan itu.
Kemudian saya masuk satu tahun berikutnya ke TK Kristen Immanuel. Saya sempat menjalani dua tingkat TK di sini, yaitu kelas A dan kelas C. Saya tidak tahu persis mengapa saya tidak ke kelas B, atau untuk apa ke kelas B tersebut.
Ketika saya pertama kali masuk SD, saya masuk ke SD Suster. Suatu lingkungan yang benar-benar baru bagi saya. Saya masih ingat saya sempat meraung atau kecewa kepada orang tua karena saya tidak dimasukkan ke SD Immanuel seperti kebanyakan rekan-rekan TK saya. Mungkin karena orang tua saya mau mulai memasukkan saya ke institusi pendidikan Katolik, sesuai dengan agama saya sejak kecil.
Saya ingat persis, hari pertama saya di SD, teringat saya hampir kacau. Saya mencari orang tua saya, namun tidak ada. Mungkin karena sejak hari pertama masuk TK saya tidak ditunggui oleh orang tua lagi. Mungkin beda dengan orang tua sekarang, karena mereka harus memfoto hari pertama sekolah anak mereka dan mengunggahnya ke media sosial.
Saya memang tidak terlalu luwes untuk beradaptasi, saya tidak kenal kiri-kanan saya, walau akhirnya waktu yang menjawab (halah). Saya pun kelabakan untuk mengikuti pelajaran gaya SD, yang sudah mulai tertata rapi dengan jadwal pelajaran, buku catatan, buku PS, buku PR, dengan segala lembar kerja siswa (LKS). Seingat saya, tidak ada lagi perosotan, tidak ada lagi ayunan. Tetapi saya mulai mendapat uang jajan saya sejumlah tiga lembar merah bergambar perahu Pinisi. Saya ingat dengan sejumlah uang itu saya masih bisa membeli permen seharga Rp 25,-, dan tentunya kudapan Chiki yang akhirnya membuat saya diomeli ibu karena sakit tenggorokan.
Saya ingat bahwa masa-masa TK saya berjaya, menjadi pemimpin upacara TK, juara kelas, ikut lomba menggambar (saya masih ingat favorit saya adalah menggambar ulang doraemon). Hingga pada SD, prestasi itu tak terulang di kelas 1. Dulu seingat saya di caturwulan 1 kelas 1 SD, saya juara 8. Hingga di caturwulan 3 baru dapat ke-3 besar.
Untuk SMP saya tak terlalu masalah, karena saya masih di lingkungan yang sama, saya hanya pindah gedung dengan meloncat pagar saja, ke SLTP Suster.
Nah, untuk SMA, cukup membuat sakit kepala. Saya di SMA Kanisius, yang saya sendiri pun agak kurang percaya saya dinilai cukup mampu masuk ke sekolah utama di ibukota ini. Bayangkan saya hanyalah "seorang paman datang dari desa". Saya harus "bersaing" dengan kawan-kawan saya yang baru, yang dunianya jelas berbeda dengan teman-tema saya di Pontianak. Saya harus bisa mengikuti pelajaran yang seringkali diberi pengayaan yang lebih dari buku teks. Saya harus bisa menguasai pemrograman Pascal, padahal dulu saya hanya belajar mengetik dengan mesin tik, Wordstar bahkan Microsoft Office Windows 2000. Saya harus bisa mewawancarai artis ibu kota di majalah sekolah (saya pernah mewawancarai Moammar Emka loh!), padahal saya dulu cuma editor mading sekolah yang spesialnya hanya DUDU (Dari, Untuk, Dengan Ucapan). Akhirnya memang saya tepar di semester 1 kelas 1 SMA. Walaupun demikian saya harus mengejar ketertinggalan saya, walau itu takikardi dan dekompansasi.
Saya pun merasa bersyukur akhirnya saya bisa seperti ini. Ya, waktu berjalan begitu besar dan saya ingin menapak lebih jauh lagi. Saya ingin sekolah lagi. :')