Tulisan ini saya tuliskan setelah saya pulang dari misa pagi dan saya memutar salah satu audio renungan dari PriaKatolik.com. Ya, saya tahu, saya adalah orang yang masih tidak religius dan kadang masih menggerutu untuk pergi ke misa pagi. Ya, saya merasa masih dangkal dalam perihal iman dan saya merasa haus untuk mencari penyegaran iman bagi roh saya yang, jujur saja, sangat kering dan gersang.
Saya dulu pernah mencoba untuk mencoba rutin mengikuti renungan dan membaca Alkitab, bahkan mencoba membaca renungan Kristen non-Katolik. Walau demikian, saya secara pribadi lebih menyukai kalender liturgi Katolik yang telah disusun rapi dan berkronologis sehingga "nyambung" dengan misa mingguan. Ya, saya masih memerlukan cambukan yang kuat untuk rajin menjalani hal ini.
Nah, dalam salah satu renungan PriaKatolik.com itu, saya menemukan judul yang menarik: Apakah Aku Sudah Menikahi Wanita Yang Salah?. Ya, saya memang belum menikah, tapi judul ini membuat hati saya sungguh penasaran. Pikiran ini, terus terang, pernah saya alami dulu dalam menjalani dua kisah saat berpacaran. Saya beradu argumentasi dengan pikiran saya, dengan rasionalitas saya, "Benarkah dia untuk saya?", "Benarkah ini wanita yang akan kunikahi kelak?". Suatu pemikiran yang mungkin bisa dianggap terlalu dini untuk dipikirkan. Namun saat itu otak rasional saya berkata, "Perkawinan bukanlah hal yang memalukan untuk direncanakan." dan bersamaan dengan ini, segala keragu-raguan dan kecemasan atas kegagalan dahulu agak memberatkan langkah saya.
Namun saya sadar bahwa pemikiran semacam hal ini memang seringkali mengganggu bagi saya. Otak rasional saya berkelahi dengan otak emosional saya, yang akhirnya menghasilkan hal yang absurd.
Akhirnya saya mencoba memutar renungan itu. Ada bagian yang sempat saya garisbawahi. Dalam perkawinan ada pandangan yang ekstrem yang keliru, yakni pandangan sempit: "Hanya satu orang jodoh, yakni soulmate yang memang sudah dipilih Tuhan. Jika menikah, maka akan cocok dan bahagia selamanya", dan pandangan luas: "Asalkan dia perempuan, hobby sama, seiman, dan saya cintai maka dia adalah pasangan saya." Kedua pendapat ini tetap akan memunculkan keragu-raguan.
Ada hal yang patut kita sadari bahwa ada titik ekuilibrium, bahwa tidak ada pasangan yang "benar-benar tepat atau cocok" di dunia ini, walau saya sebagai Katolik, saya percaya bahwa perkawinan adalah suatu rahmat Tuhan dan diinginkan oleh Tuhan. Ya, hal resiprokalnya, bahwa kita semua akan menikahi pasangan yang "salah". Artinya, tidak ada orang di muka bumi ini pun yang akan menjadi pasangan yang seratus persen cocok dengan kita. Mungkin kita akan banyak menemukan karakter atau sikap lainnya selama berpacaran atau saat menikah sekalipun. Namun ketika konflik itu muncul, timbullah suatu kerendahan hati kita untuk tetap mencintai orang yang kita pilih tersebut.
I, … . , take you, … ., to be my wife/husband. I promise to be true to you in good times and in bad, in sickness and in health. I will love you and honor you all the days of my life.
Saya, ..…, memilih engkau, ....., menjadi isteri/suami saya. Saya berjanji untuk setia mengabdikan diri kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit. Saya mau mengasihi dan menghormati engkau sepanjang hidup saya.
나…..는 당신을 내 아내(남편으)로 맞아들여, 즐거울 때나 괴로울 때나, 성하거나 병들거나, 일생 당신을 사랑하고 존경하며 신의를 지키기로 약속합니다.
Perkawinan adalah janji. Janji yang dihadapan Tuhan dan orang terdekat kita bahwa kita setia bertindak melayani pasangan kita dalam keadaan apapun dan saling mengasihi dan menghormati. Perkawinan bukanlah suatu janji bahwa selalu berbahagia, sehingga pada suatu kerundungan kita malahan berpikir, "Benarkah ia pasangan tepat bagi saya?".
Semoga hal ini bisa mereformasi apa yang ada dalam diri saya dan terus tetap mampu bersyukur.
Amin.
0 buah diagnosa diferensial telah diberikan:
Posting Komentar
Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: