Minggu, 14 Agustus 2016

Adaptasi di Kota yang Baru

Yup, ini adalah tulisan sayang paling pertama setelah saya memulai pendidikan PPDS di Manado ini. Bukan saya tidak ingin bercerita selama nyaris 3 bulan saya menjejakkan kaki di kota ini, tetapi saya ingin mencoba mengumpulkan segala apa yang saya rasakan.

Selama 3 bulan ini, well, dari sebuah tabula rasa menjadi sebuah kondisi yang terus terang saya agak sulit untuk menggambarkannya. Saya berada di kota yang benar-benar baru. Seperti yang saya ceritakan di blog sebelumnya, kalau perpindahan dari Pontianak ke Jakarta dulu, memang saya berpindah dari kota kecil ke ibukota, namun faktor masih banyaknya sanak saudara mungkin saya tidak begitu merasakan. Namun di usia 15 tahun dulu berpindah, ya, mungkin saat itu masih anak-anak yang tidak mengenal kata galau. Hahaha....

Kini saya sebagai seorang yang berusia 29 tahun, yang berpindah ke sebuah kota yang benar-benar baru. Tidak ada sama sekali saudara dekat yang saya kenal di sini, kecuali banyak teman-teman baru, guru-guru baru. Memang, ada beberapa teman sealmamater yang juga belajar di kota ini, namun tentu mereka sudah cukup sibuk dengan kegiatan masing-masing. Suasana kosan pun sudah seperti apartemen di Jakarta yang cukup dingin, berbeda dengan keadaan kos-kosan mahasiswa dulu.

Rindu kampung halaman? Iya, banget. Mungkin lebih ke suasana dan cita rasa makanan. Mungkin dulu di Jakarta, daerah Sunter, Pademangan, Mangga Dua, Pangeran Jayakarta, Pluit, Muara Karang, tidak sulit untuk mencari suasana dan makanan yang cukup familiar. 

Saya sempat dalam fase "craving" mencari cita rasa. Beberapa kios dan rumah makan cita rasa Tionghoa (alias Chinese Food) di kota Manado memang banyak, dan bahkan ketika saya berkenalan dengan sang pemilik, mereka ternyata banyak keturunan dari Pontianak! Saya pun tak pelak terkejut pula. Namun gaya memasak dan masakan sudah banyak diadaptasi dengan masyarakat lokal. Namun perjalanan pencarian membuah hasil sedikit, ada toko Bakmi Kalimantan yang menyajikan Jam Mien Singkawang (walau sebenarnya saya lebih rindu Jam Mien Pontianak). Namun ini tetap adalah sebuah bongkahan emas, untuk menikmati makanan Singkawang dan bercakap-cakap dengan Bahasa Khek dengan si A Ce pemilik kios tersebut yang baru dibuka tak sampai satu tahun itu.

Akhirnya saya memang saat ini saya sudah cukup terbiasa dengan masakan lokal, walau saya menginginkan sayuran rumahan selain kangkung dan bunga pepaya. Hiks... Memang, ada masakan-masakan franchise nasional di mall seperti Ta Wan, namun tentunya kalau sering kantong juga cepat menipis... (Rp 40.000,- untuk sepiring kailan? Tentunya sebuah kemewahan...). 

Dan tentunya saya rindu sekali dengan masakan mama di rumah... Wew, T_T.... 

Well, saya masih berjuang dalam beradaptasi dan semoga perjalanan studi saya dapat baik adanya....

Minggu, 15 Mei 2016

Awal dari Sebuah Perjalanan

Manado, Hari Raya Pentakosta, 15 Mei 2016

Jika ada yang menanyakan kepadaku, bagaimana perasaanku saat ini? Hmmm... rasanya campur aduk. Tepatnya, saya tidak bisa memberikan satu kata yang pas untuk menjawabnya. Ada rasa senang, ada rasa khawatir, ada rasa sedih. Jadi, aku tidak bisa tertawa, aku tidak bisa bermuram. Entah, apa namanya.

Perasaan ini sungguh berbeda dengan dahulu. Ya, setidaknya saya pernah merasakan dua kali saat harus jauh dari kampung halaman. Waktu perpindahan saya dari SLTP ke SMA, dan itu sudah 14 tahun yang lalu. Sudah tidak aktual, tapi saya masih mengingatnya. Saat itu, anak kecil yang baru lulus SLTP dan harus tinggal dengan tantenya di Jakarta. Dan pikiran tanpa beban, tanpa kekhawatiran. Mungkin saat itu aku hanya berpikir untuk meninggalkan teman-teman di Pontianak.

Lalu waktu pun berjalan hingga pada tahun 2012, 4 tahun yang lalu, saya memulai perjalanan PTT, masuk ke dalam daerah-terpencil-yang-saya-tidak-kenal, Menjalin. Namun saat itu, kontrak saya kepada negara hanya 1 tahun dan itu masih di Kalimantan Barat.

Dan tiba saatnya kini, saya memulai perjalanan PPDS saya di Manado, 2600an kilometer saya tempuh dari Pontianak-Jakarta-Manado. Sebuah pulau, Sulawesi, yang mungkin saja hanya bersebelahan dengan kampung halamanku di Kalimantan. Saya memulai jejak ini dengan tanpa keluarga dan kerabat dekat. Ya, memang akan ada teman-teman seangkatanku di Atma Jaya, atau sejawat lainnya yang saya kenal. Tapi rasa galau itu tetap terasa.

Namun yang tetap terutama yang saya khawatirkan adalah kedua orang tua dan adik, paling tidak untuk sampai saat ini merekalah yang patut saya amat khawatirkan. Dan, saya meminta bantuan Tuhan untuk agar tetap menjaga mereka di sana.

Dimulailah perjalanan 5 tahun ini... 

Kamis, 07 Agustus 2014

Masalah Kesehatan di Indonesia



Saya sebagai seorang dokter, dalam masa pasca penetapan presiden terpilih, tentu salah satu hal yang dinanti-nantikan adalah penyusunan kabinetnya yang salah satunya akan menjalankan segala kebijakan yang berkaitan dengan kesehatan. Terlepas dari siapa oknum Menkes yang akan dipilih, saya hanya berharap bahwa siapapun yang menduduki jabatan tersebut harusnya yang kompeten dan benar-benar mengerti soal dan peliknya masalah kesehatan di Indonesia.

Beberapa hal mayor yang menurut saya terus menghantui masalah kesehatan di Indonesia adalah:

Akses Kesehatan Bagi Siapa Saja
Jika hal ini diterapkan, maka alhasil tak ada lagi dogma "Orang (miskin) dilarang sakit." Siapapun penduduk di negeri ini harus mendapatkan akses kesehatan yang baik dan juga pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau. Akses kesehatan yang terbuka siapapun tak sama dengan "pelayanan kesehatan gratis". Jika pelayanan kesehatan gratis, tetapi untuk mencari tenaga kesehatan saja harus mendaki gunung, tentu tidak elok.

Akses kesehatan menyeluruh adalah pemerataan fasilitas kesehatan di manapun di pelosok Indonesia. Misalnya, puskesmas sebagai pelayanan strata primer harus memiliki peralatan yang standar di semua Indonesia. Jika puskesmas harus memiliki EKG, laksanakanlah. Jika puskesmas berfungsi sebagai PONED atau Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar, fungsikanlah. Yang terjadi selama ini adalah pelayanan setengah-setengah dan pengadaan hal yang justru tidak perlu.

Pelaksanaan BPJS pun harus kerap dievaluasi, walaupun sebenarnya rohnya sudah baik. Perlu adanya kebijakan untuk menghasilkan pelayanan yang baik, tidak overcharged dan tidak under-treatment. Semua harus bekerja sesuai dengan standar ilmiah, misalnya dengan clinical pathway yang menstandarkan asuhan dan perawatan pasien. Memang, perlu waktu untuk terus mengevaluasi, tetapi pemerintah pun harus bertelinga juga untuk menyempurnakannya.

Kesejahteraan Tenaga Kesehatan
Maksudnya, bukan tenaga kesehatan harus menjadi kaya. Namun pokok pikirannya adalah tenaga kesehatan dibayar sesuai kinerjanya, risiko pekerjaannya, dan kemampuannya. Tenaga kesehatan baik dokter sub spesialis sampai dokter di desa, baik ners sampai bidan desa, memiliki kehidupan yang layak. Sekali lagi, bukan untuk kaya, tetapi hidup layak. Kata salah satu dosen saya, "Jika mau kaya, jangan jadi dokter, tetapi jadi pengusaha."

Pelayanan Preventif Diutamakan
Perlu perubahan paradigma dari mengobati pesakit menjadi pencegahan sakit. Sudah terbukti di ilmu kesehatan komunitas dan kesehatan masyarakat bahwa tindakan prevensi lebih murah biayanya dari tindakan pengobatan. Paradigma ini memerlukan keberanian untuk mengintervensi hal-hal perusak kesehatan yang selama ini dibiarkan begitu saja, seperti tembakau.

Pemerataan Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia harus dikembangkan seoptimal mungkin. Siapapun yang memiliki bakat dan kemampuan harus dibina, bukan untuk melihat saingan, sisi SARA, ekonomi, dan lainnya. Sumber daya manusia harus dibina untuk bekerja sebagai tim, sebagai tenaga kesehatan yang berpadu dan berintegrasi, dan berfokus pada pasien, bukan berpusat pada keakuan atau "ini bidang saya". Tenaga kesehatan pun harus luwes untuk berubah dan beradaptasi dengan segala perubahan dalam dunia kesehatan.

Pengutamaan Penelitian
Penelitian harus kembali diangkat, sehingga Indonesia memiliki kemampuan untuk mengembangkan ilmu sendiri. Dengan adanya banyak rangsangan untuk menumbuhkan minat penelitian maka ilmu akan menjadi semakin pesat sehingga riset-riset itu sendiri akan memberi timbal balik terhadap kualitas pelayanan kesehatan.

Senin, 14 Juli 2014

Ketika Pertama Kali Masuk Sekolah...

Hari ini ternyata adalah hari pertama anak-anak masuk sekolah. Ya, banyak dari teman-teman perawat yang sengaja cuti atau memindahkan jadwalnya ke sore atau malam, demi dapat mengantar putra-putrinya untuk hari sekolah pertamanya. Sungguh manis, bukan?

Ya, saya masih ingat tatkala saya masuk sekolah pertama kali dahulu. Saya dahulu sempat akan dimasukkan ke TK Gembala Baik, sekelas dengan abang sepupu saya yang 1 tahun lebih tua dari saya. Ya, hasilnya saya bak cacing panas, tidak pandai untuk diam. Akhirnya suster kepala sekolah pun tak mengijinkan saya melanjutkan sekolah di hari percobaan itu.

Kemudian saya masuk satu tahun berikutnya ke TK Kristen Immanuel. Saya sempat menjalani dua tingkat TK di sini, yaitu kelas A dan kelas C. Saya tidak tahu persis mengapa saya tidak ke kelas B, atau untuk apa ke kelas B tersebut.

Ketika saya pertama kali masuk SD, saya masuk ke SD Suster. Suatu lingkungan yang benar-benar baru bagi saya. Saya masih ingat saya sempat meraung atau kecewa kepada orang tua karena saya tidak dimasukkan ke SD Immanuel seperti kebanyakan rekan-rekan TK saya. Mungkin karena orang tua saya mau mulai memasukkan saya ke institusi pendidikan Katolik, sesuai dengan agama saya sejak kecil.

Saya ingat persis, hari pertama saya di SD, teringat saya hampir kacau. Saya mencari orang tua saya, namun tidak ada. Mungkin karena sejak hari pertama masuk TK saya tidak ditunggui oleh orang tua lagi. Mungkin beda dengan orang tua sekarang, karena mereka harus memfoto hari pertama sekolah anak mereka dan mengunggahnya ke media sosial.

Saya memang tidak terlalu luwes untuk beradaptasi, saya tidak kenal kiri-kanan saya, walau akhirnya waktu yang menjawab (halah). Saya pun kelabakan untuk mengikuti pelajaran gaya SD, yang sudah mulai tertata rapi dengan jadwal pelajaran, buku catatan, buku PS, buku PR, dengan segala lembar kerja siswa (LKS). Seingat saya, tidak ada lagi perosotan, tidak ada lagi ayunan. Tetapi saya mulai mendapat uang jajan saya sejumlah tiga lembar merah bergambar perahu Pinisi. Saya ingat dengan sejumlah uang itu saya masih bisa membeli permen seharga Rp 25,-, dan tentunya kudapan Chiki yang akhirnya membuat saya diomeli ibu karena sakit tenggorokan.

Saya ingat bahwa masa-masa TK saya berjaya, menjadi pemimpin upacara TK, juara kelas, ikut lomba menggambar (saya masih ingat favorit saya adalah menggambar ulang doraemon). Hingga pada SD, prestasi itu tak terulang di kelas 1. Dulu seingat saya di caturwulan 1 kelas 1 SD, saya juara 8. Hingga di caturwulan 3 baru dapat ke-3 besar.

Untuk SMP saya tak terlalu masalah, karena saya masih di lingkungan yang sama, saya hanya pindah gedung dengan meloncat pagar saja, ke SLTP Suster.

Nah, untuk SMA, cukup membuat sakit kepala. Saya di SMA Kanisius, yang saya sendiri pun agak kurang percaya saya dinilai cukup mampu masuk ke sekolah utama di ibukota ini. Bayangkan saya hanyalah "seorang paman datang dari desa". Saya harus "bersaing" dengan kawan-kawan saya yang baru, yang dunianya jelas berbeda dengan teman-tema saya di Pontianak. Saya harus bisa mengikuti pelajaran yang seringkali diberi pengayaan yang lebih dari buku teks. Saya harus bisa menguasai pemrograman Pascal, padahal dulu saya hanya belajar mengetik dengan mesin tik, Wordstar bahkan Microsoft Office Windows 2000. Saya harus bisa mewawancarai artis ibu kota di majalah sekolah (saya pernah mewawancarai Moammar Emka loh!), padahal saya dulu cuma editor mading sekolah yang spesialnya hanya DUDU (Dari, Untuk, Dengan Ucapan). Akhirnya memang saya tepar di semester 1 kelas 1 SMA. Walaupun demikian saya harus mengejar ketertinggalan saya, walau itu takikardi dan dekompansasi.

Saya pun merasa bersyukur akhirnya saya bisa seperti ini. Ya, waktu berjalan begitu besar dan saya ingin menapak lebih jauh lagi. Saya ingin sekolah lagi. :')

Senin, 30 Juni 2014

Manusiawikah?

Dalam keheningan
Sejenak aku tenggelam di dalam benak
Menatap meratap
Mengakal mengakar

Ketika kita bekerja dengan sepenuh hati
Konon katanya kita tengah berangkuh
Ketika kita tengah tak sehati dengan pekerjaan
Konon katanya kita malas tak terperikan

Ketika kita melambai senyum
Konon katanya kita manis dalam gulita
Ketika kita memberi durja
Konon katanya kita tak akan hidup bahagia

Dunia ini tak semudah ying dan yang
Namun benarkah ini?
Manusiawikah ini?

Ketika hidup bukanlah hitam dan putih
Namun terenyahkan dalam keabu-abuan
Ketika hidup tak lagi tahu benar dan salah
Namun terombang-ambing dalam lautan tak ternisbikan

Manusiawikah?
Inikah manusia?

Pontianak, 30 Juni 2014