Senin, 26 Juni 2006

Pacaran?

Topik ini kian panas dalam perbincangan sehari-hari di kampus. Sebuah kejadian unik yang bernama pacaran. Banyak lika-liku di dalamnya, ada yang senangnya jadian, ada yang merundung duka setelah putus, serta pernak-pernik di dalamnya.

Mendengar opini dari banyak orang, pacaran adalah seuatu yang dinamis. Setiap orang punya harapan dan pemikiran sendiri tentang hal ini. Ada yang menanggapi secara eross, ada yang menaganggap sebuah momen, atau bahkan sebuah keisengan.

Semua yang Anda akan baca adalah opini dan penapat dari saya:

Menurut gw... pacaran adalah sesuatu yang nggak bisa main-main. Soalnya kita akan 'bermain 'dengan yang namanya perasaa bukan sekedar acara video game atau tayangan realita di teve.

Pacaran adalah memadu kasih antara dua insan. Memberikan hati masing-masing untuk mencapai tujuan bersama yang telah disepakati, kemudian menikmati tujuan dan merasakan kehangatan bersama. Saling memperhatikan, memperbaiki segala kesalahan.

Ketika saya sendiri tak bisa menerima bahwa pacaran adalah nafsu belaka. Memang, ketika feromon telah tiba, hadir nafsu, namun itu hadir dalam rasa ketertarikan antara insan. Ketika telah berjalan, dan membicarakan segala tentang diri dan menggapai sebuah tujuan bersama serta komitmen.

Memadu kasih bukan berarti sekedar tercetus adanya seks. Mengingat bahwa semua yang lakukan adalah tanggung jawabmu. Mengingat kalau pacaran bukanlah perkawinan. Ketika kebebasan tak berarti suatu kebablasan. Sesuatu tak akan terjadi hingga kita memulainya.

Satu hal yang terpikirkan dalam menarik garis kisah kasih yang gw jalani.. dari SD (cinta monyet atau tidak?) hingga kini. Sebuah hal yang terpikirkan ketika dewasa, kemapanan. Suatu kesiapan melangkah menuju suatu jejak yang baru, tak lagi ada keset kekanak-kanakan. Menapaki langkah dengan siap. Suatu masa ketika tanggung jawab telah dapat diambil.

Menapaki dunia kasih adalah sebuah tantangan ketika semua hal baru akan datang dan tiba begitu saja. Kini tak langi bertanggung jawab atas diri sendiri namun satu diri lagi. Melindungi dan memperhatikan serta menjadi sahabat yang paling setia dari yang ada. Menjadi teman selagi suka dan duka dan mendengarkan segala masalah.

Banyak cara yang dapat kita lakukan untuk menunjukkan kasih dari diri kita untuk indah. Tak hanya suatu dengan sentuhan atau kedipan. Namun dengan satu ikatan tangan yang akan terus bersama dalam menapaki seluruh jalan hidup yang penuh tantangan...

Senin, 19 Juni 2006

Cita-citaku (bukan) Dokter dan Keinsensitifitas

Dokter itu...
Sebuah musuh yang gw takuti selama waktu gw kecil. Suntiknya, puyernya, obat pahit...
Entah karma, gw malah sekarang mahasiswa kedokteran. *Dooonggg!


Dokter adalah sebuah profesi yang nggak pernah gw pikirkan selama kecil. Dulu gw sangat terinspirasi untuk menjadi seorang insinyur (engineer), ya bukannya pengen ikutin si Doel. Tapi lihatin bokap gw yang notaris, kerjaannya banyak banget, dan males deh. Insinyur lebih santai ya.


Cita-cita insinyur tetap bergema selama gw SD dan SMP. Males sama IPS (paling ok cuma geografi, karena, mungkin loe ga percaya, dulu gw gemar banget sama Atlas dan Peta Buta). Khusus Geografi nih, dulu pas gw kecil, SD, udah bisa sebutin semua negara pecahan USSR. Pulau di Indonesia pun jago.... Gw sendiri malah agak prihatin dengan teman-teman SMA gw yang nggak tahu Pontianak (Kalimantan Timur kan?).


Dan mulai keliatan pas kelas 2 SMP yang biologinya topik sistem organ (jauh lebih berhasil dari biologi kelas 1 yang topiknya membosankan seperti ekologi). Menejlaskansistem organ enak kayaknya tapi kata "dokter" belum muncul sama sekali.


Gw akhirnya beranjak ke kelas 1, mulai bisa menikmati dunia. Dunia yang real di Jakarta. Kota kotor dan di SMA pula gw lebih intens dengan namanya kesehatan. Apalagi mendengar gula darah gw lebh dari 100 mg/dl (shock). Takut Diabetes.


Gw juga mulai mencintai dengan si sayur hijau. (Dulu cuma mau makan Kailan dan Daun Ubi) Dan gw juga melihat banyak yang perlu gw tolong. Mungkin enak kali ya nolong orang?


Kelas 1 mulai ada Education Fair di CC. Cari informasi. Kelas 2 SMA akhirnya mulai terbesit, gw mau masuk FK. Gw masih inget gara2 itu, nilai biologi gw agak jatuh karena menurut guru gw: "Kalian yang mau jadi dokter, nilai bio harus tinggi" gara-gara ini, gw ga bisa PMDK Atma... Hiks. Tapi mulai terpacu dengan bau-bau dokter. Masih terasa kurang mantap.


Kelas 3 udah harus nentuin keputusan. Akhirnya bulat gw mau jadi DOKTER. Masuk FK. Impian gw adalah FKUI, sbeelumnya sempat masuk di Jerman (tapi setelah mendengar regulasi susah nanti di Indo...). Gw toh kerjanya di Indo. FKUI gagal... malah kepilihnya FKUNPAD. Masuk FKUAJ saja deh. Maaf karena gw hilangin satu tempat di FKUNPAD T_T.


Masuk di FKUAJ adalah sebuah lingkungan baru buat gw. Sebuah tempat yang gw harap bisa gw jalani. Paling gw takuti dulu adlah bertemu mayat. (Dulu gw penakutnya....). Tapi sekarang biasa aja ngubrak ngabrik perut Mayat dan mengeluarkan usus... Kenapa ya?


Gw pun terus mau memantapkan jalan gw. Selagi gw belajar, pengen menemukan arti menjadi dokter. (Baca Black Jack yaaaa). Terus terang gw belum mengerti penuh apa inti menjadi dokter. Mengeruk uang? Atau membantu sesama? Sebuah paradoks melihat ketajiran dokter.


Adalagi sebuah nilai minus, tampaknya dokter adalah komunitas eksklusif. Berbicara dengan bahasa sendiri. Loe bisa enak banget menyebut kata-katayang sebnarnya haram jadah seperti "Flatus Lo" (Kentut Lo), "Labia Mayora", "Glandula Mamma", "Kelenjar Sirkumanalis". Yang gw sering salah gunakan.... (Maaf gw, Tuhan). Sebuah kata yang enak aja dikeluarkan di Mal, di Pizza Hut buat becandaan temen2 mahasiswa. Gila tadi gw di Kopami 02, sempat berpikir, apakah gw jadi insensitif ya?


Gw nggak mau jadi insensitif. Kalau begitu mendingan gw usah jadi dokter. Mungkin terdengar bego di telinga orang ide gw ini. Bego nggak mau membisiniskan kedokteran.


Terkadang gw merasa udah menjadi dokter. Ato karena geer ya. Pas gw di Baksos Cilincing. Gw sipanggil Pak Dokter. Padahal... gw cuma anamnesa. Gw sampai sekarang masih terkenang dengan pernyataan orang. Ketika pasien itu keluar gw mengucapkan "Terima kasih bu. Cepat sembuh ya." Pasien itu langsung menyahut "Pak Dokter, terbalik... Saya yang harusnya terima kasih." Ah, gila gw merasa gimana gitu. Merasa udah jadi dokter. Emang kebiasaan jelek gw selalu mengucapklan Terima Kasih dengan kondisi yang salah. Tapi kebiasaan baik kan itu? ^^


Hari ini cukup sekian...
Moga-moga gw bisa mencari makna untuk menjadi dokter....

Kamis, 08 Juni 2006

Aku Mati

Aku terbangun dalam pecahan
Menoleh ke ribaan tanah
Aku melihatku luluh darah
Tubuh tergeletak tanpa nyawa
Aku mati


Tak urung pikiranku tertuju
Kau telah tunggu di ujung
Merasah desah kalbu
Sayang,
Aku mati


Berkas putih lembar lara
Tangan terima pasrah
Aku sungguh tak mau kau berlinang
Aku mati


Pusara lara duka senja
Taburan kemboja lirih
Aku pergi menghadap bapa
Aku mati


Tak tahan aku melihatmu
Aku pun mau bersamamu
Bererita segala dunia
Tapi dunia siapa?


Kerjaku mengasah asa
Melihat jauh pada masa
Aku lihat dirimu!
Dari ujung
Aku hidup, sayang


Sunter - Jakarta
8 Juni 2006, 16:17 WIB


*Inspirasi ini tiba-tiba terbesit ketika gw melihat video opening dari sebuah sinetron. Ah, jadinya ada gunanya sinetron buat gw.