Selasa, 24 Januari 2012

Ngapain Kamu (Masih) Belajar Bahasa Tagalog?

Jika ada orang di Indonesia yang mungkin membawa-bawa buku bahasa Tagalog, mungkin saja Anda bertemu dengan saya.

Mungkin terdengarnya cukup angkuh di atas. Namun sepanjang pengalaman saya selama hampir setahun ini (walau mulai seriusnya baru beberapa bulan belakangan), saya selalu mendapatkan kesan bahwa belajar bahasa Tagalog adalah hal yang cukup dapat membuat orang mengerutkan dahi.

Seperti apa yang disebut ayah saya kemarin, ia sempat berucap, "Daripada belajar bahasa Tagalog, mendingan belajar bahasa Mandarin." Entah apakah mungkin ia melihat saya terlalu bersemangat belajar bahasa Tagalog, apalagi pasca saya mengurungkan niat untuk belajar spesialisasi di Filipina. Ok, mungkin ia benar bahwa belajar bahasa Mandarin mungkin baik sekali (bertemu dengan pasien berbahasa Mandarin lebih mungkin toh daripada bertemu pasien Filipina). Walau sebenarnya dalam hati kecil saya, belajar bahasa "aneh" ini juga sebuah hal yang cukup menarik kok, dan sebenarnya (lagi) adalah bentuk pelarian saya dari kesulitan saya memahami bahasa tonal seperti Mandarin. Walau saya juga ada rasa ingin yang besar juga belajar bahasa Mandarin.

Mungkin saja tak hanya ayah saya yang bergidik ngeri. Mungkin rekan-rekan saya yang bersama di fakultas kedokteran pun mengira saya ingin segera belajar di Filipina. Namun alasan saya karena "keminatan belajar bahasa asing" pun masih agak-agak tidak masuk akal. Sekali lagi, mengapa harus Tagalog?

Progres

Istilahnya, saya memang terlanjur basah belajar bahasa Tagalog. Seperti yang pernah saya kisahkan awal saya belajar bahasa ini. Saya terlanjur jatuh cinta, eh terlanjur belajar. Rasanya tanggung benar kalau belajar hanya sekedar menyapa selamat pagi sampai petang. Mengapa tidak bercebur langsung saja? Buku-buku teks pun terlanjur terbeli. =)

Well, kemajuan belajar bahasa Tagalog saya sebenarnya cukup signifikan. Kalau ada rekan online saya dari Komunitas KalyeSpeak (Komunitas belajar bahasa Tagalog melalui podcast), saya sudah bisa menjawab. Kemudian kalau ada rekan yang sedang atau pernah ke Filipina dan bisa berbahasa Tagalog, saya juga dapat menanggapinya.

Belajar dari buku Basic Tagalog dari Paraluman S. Aspillera saya juga sebenarnya sudah lumayan jauh, ya kira-kira seperempat perjalanan. Kemudian saya juga ada Tagalog for Beginners yang isinya lebih banyak mengenai percakapan (colloquial?) dan banyak mengenai kultur. Sudah lumayan lah, menurut saya.

Semakin saya mendalami bahasa ini, saya pun mendapat banyak ilmu seperti semakin miripnya dengan bahasa Melayu (+Indonesia) dengan afiksasinya dan dekatnya dengan bahasa Eropa dalam sisi tata bahasanya yang lebih menganut P-S-O. Tentu berbeda dengan bahasa Indonesia atau Inggris yang S-P-O. Lebih menantang lagu kalau pada bahasa Korea atau Jepang yang S-O-P.

Kemudian yang saya suka juga adalah dengan kata-katanya yang sederhana namun terdengar unik walau tetap dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Seperti kata "kili-kili" (artinya ketiak, ups), atau "umuulan! umuulan!" (Hujan! Turun hujan!) yang jadi kata-kata favorit Ellen -adik saya- selain "Magandang umaga" (Selamat pagi).

Komunitas belajar bahasa Tagalog?

Namun yang saya rindukan juga sebenarnya adalah komunitas belajar bahasa Tagalog di Indonesia. Saya sudah menemukan komunitas belajar bahasa Tagalog secara global yaitu di KalyeSpeak. Namun di Indonesia masih sangat sulit. Walau sudah membuka di grup facebook, rasa-rasanya sedikit sekali (hampir tidak ada?) yang berminat. Jadi sulit menemukan rekan bicara di Indonesia.

Bahkan saya mencoba berselencar ke Google, hasilnya nihil. Yang banyak malahan penduduk Malaysia yang belajar bahasa Tagalog. 

Jika ada yang berminat, silakan japri ke saya. Tentu belajar bahasa bersama lebih baik =)

Referensi

Beberapa referensi untuk belajar:
1. Komunitas KalyeSpeak: Facebook, Situs
2. Grup FB yang saya buat, namun sepinya tidak ketolongan. Tagalog for Indonesian.
3. Channel amatir youtube dari MagicMaximo, seorang warga Amerika yang memperistri orang Filipina. Ia memiliki kemampuan bahasa Tagalog dasar, namun ia senang untuk berbagi.
4. Buku "Tagalog for Beginners" karangan Joi Barrios terbitan Tuttle. Kalau saya mengetik "Tagalog" di sesi buku di Amazon, yang keluar pertama adalah buku ini. Buku ini saya temukan di Periplus. Saya membelinya di Periplus Gandaria City.
5. Buku "Basic Tagalog for Foreignrs and Non-Tagalogs" karangan Paraluman S Aspillera terbitan Tuttle juga. Ini saya temukan di Periplus Kelapa Gading. Baru-baru ini (23 Januari 2012 lalu) saya menemukan tiga buku ini dijual dengan harga Rp 85.000,00 + Disc 50%. 
6. Beberapa lagu Filipina juga membuat saya belajar seperti lagu-lagu Ronnie Liang, Parokya ni Edgar, kemudian lagu "Para lang sa'yo" dari Aiza Seguerra (awalnya rekan saya, Limerick, yang menanyakan arti lagu ini).
7. Beberapa film box-office Filipina, Sarah Geronimo (A Very Special Love), Bea Alonzo, dan entah kenapa film yang saya tonton selalu ada John Llyod Cruz. --a

Dua buku sumber belajar saya

Dalam buku Tagalog for Beginners.  Lebih banyak ke percakapan.

Isi dalam buku Basic Tagalog, penekanannya lebih ke arah tata bahasa atau grammatikal.


Cerita lanjutan mengenai kerutan dahinya. Ia semakin mengerutkan dahi ketika saya membeli "Lao Basic" dari Periplus. Bahasa Lao? Bahasa Laos??? (Ya, sebenarnya alasan saya adalah penasaran dengan bahasa ini, dan bukunya cukup murah hanya 20an ribu saja, sedang sale di Periplus.) =D




Sabtu, 14 Januari 2012

2012: Lagi-lagi Menyoal Masa Depan



Tulisan ini tiba-tiba terpikirkan saat saya menunggu penerbangan di Bandara Soekarno-Hatta. Menunggu 5 jam! Walau ini sempat membuat orang rumah dan rekan-rekan lain bergidik, hal ini tetap membuat saya tak bergeming. Mungkin kata akan menunggu sampai mati kebosanan. Namun untungnya, selama baterai Mac masih menyala dan ada benda tak nyata yang disebut wi-fi, saya masih bisa tidak kehilangan gaya. =D

Sesuai dengan judul tulisan ini, Lagi-lagi Menyoal Masa Depan. Yup, mungkin judul atau tema ini sudah menjadi duplikasi dalam blog saya. Entah bagaimana, saya terus menerus mencecarkan isi kepala saya dengan ini. Saya selalu merasa galau, kata anak muda jaman sekarang (Sekarang sudah jadi om-om hampir setengah abad, hehehe).

Tahun 2012 ini agaknya dan seyogyanya menjadi tahun batu pijakan alias milestone bagi saya. Hm, bagaimana tidak. Saya sudah lulus dokter pada Oktober tahun lalu. STR pun sudah di tangan. Artinya, saya sudah siap bekerja sebagai dokter umum.

Seperti yang sudah pernah saya sebutkan juga, saya mendapat banyak pertanyaan kalau bertemu handai taulan atau siapapun, teman SMA, atau lainnya. Mungkin hanya teman-teman senasib (baca: anak fakultas kedokteran yang baru lulus) yang dapat mengerti saya.

Kamu kerja di mana? Kamu mau spesialis apa? Kamu sudah ada pacar belum, kapan kawin?
 Haish.

Kalau ditanya bekerja, saya akan menyebutkan saya bekerja di salah satu website kesehatan sebagai editor medis. Dan memang sudah dapat saya tebak, mereka akan bergidik untuk kedua kalinya. Apa yang dipikirkan orang selama ini, buka praktek dokter sendiri? Kerja di Rumah Sakit? Oh tidak, mereka tidak tahu betapa modal yang perlu dihitung, berapa kontrak yang harus diteken saat kerja di Rumah Sakit. Ya, saya memilih ini agar saya juga bisa ada kesempatan PTT di daerah tahun ini.

Mungkin saya terlihat seperti pengangguran. Banyak di rumah. Menggantungkan jas snelli dan stetoskop. Saya agak enggan kalau menjaga klinik 24 jam. Kurang memiliki passion dalam hal ini. Walau demikian saya juga menyingsingkan snelli di kala bakti sosial atau kegiatan tentatif lainnya.

Untuk tahun 2012, saya berpikir untuk PTT dan kemudian jika ada kesempatan untuk melanjutkan pendidikan. Pendidikan kedokteran tidak semudah kita masuk universitas biasanya. Memerlukan banyak faktor. Saya pun tengah menabung berbagai faktor tersebut. Dan, mudah-mudahan tabungan itu akan membuahkan sesuatu kelak.

Dan pertanyaan terakhir pun sebenarnya sedikit banyak menghantui saya. Dan semoga pada tahun ini ada secercah harapan. Mudah-mudahan :)

Ya, demikianlah hidup seorang dokter. Saya terus belajar untuk mengurangi keluhan, kembali menapak dengan pasti. Tuhan, mohon bimbinganMu...

Hanya sedikit manusia,yang bisa tidak mengeluh,setelah lulus dari fakultas favorit dengan ujian masuk tersulit,tapi masih dianggap tidak kompeten dan masih harus melalui berbagai pembuktian kompetensi yang bukan hanya menghabiskan waktu yang tidak sebentar,tapi juga biaya yang tidak sedikit,sementara teman-teman smanya dulu yang memilih jurusan yang ujian masuknya lebih mudah,sudah bekerja dan bisa dibilang lebih mapan. (Dari sebuah tulisan di Kaskus)