Senin, 30 Juni 2014

Manusiawikah?

Dalam keheningan
Sejenak aku tenggelam di dalam benak
Menatap meratap
Mengakal mengakar

Ketika kita bekerja dengan sepenuh hati
Konon katanya kita tengah berangkuh
Ketika kita tengah tak sehati dengan pekerjaan
Konon katanya kita malas tak terperikan

Ketika kita melambai senyum
Konon katanya kita manis dalam gulita
Ketika kita memberi durja
Konon katanya kita tak akan hidup bahagia

Dunia ini tak semudah ying dan yang
Namun benarkah ini?
Manusiawikah ini?

Ketika hidup bukanlah hitam dan putih
Namun terenyahkan dalam keabu-abuan
Ketika hidup tak lagi tahu benar dan salah
Namun terombang-ambing dalam lautan tak ternisbikan

Manusiawikah?
Inikah manusia?

Pontianak, 30 Juni 2014

Selasa, 17 Juni 2014

Ketika Dokter Berikrar Saudara Sekandung

"[…] Saya akan perlakukan  teman sejawat saya seperti saudara kandung. […]"
- Sumpah Dokter Indonesia, Kode Etik Dokter Indonesia 2012

" […] To consider dear to me, as my parents, him who taught me this art; to live in common with him and, if necessary, to share my goods with him; To look upon his children as my own brothers, to teach them this art. […]"
- Hippocratic Oath



Hingga saat ini yang saya pernah dengar mengenai sebuah profesi yang ada mengucapkan ikrar di hadapan Tuhan Yang Maha Esa untuk menganggap siapapun yang sama profesinya sebagai saudara sekandung, adalah profesi dokter. Mohon dikoreksi jika ternyata ada profesi lain yang serupa.

Ya, janji di hadapan Tuhan! Sebelum para dokter mengucapkan belasan poin dalam sumpahnya, ia mengucapkan terlebih dahulu, "Demi Allah saya bersumpah" dan dibawa naungan kitab suci, di depan pemuka agama, dan di hadapan semua orang awam sebagai saksi. Hal ini bak pernikahan, bukan begitu? Ketika di kala kita berjanji untuk sehidup semati, begitu juga dalam pengangkatan sumpah dokter. Sumpah dokter, bagi saya, nyaris sebuah hal yang sakramental.

Hal ini berarti apa, sikap-sikap ini menjadi sebuah kiblat yang harus dipatuhi karena sudah menjadi janji. Siapapun diri kita, siapapun karakter dan pola perilaku kita, kita perlu diingatkan untuk terus bercermin akan ucapan sumpah kita.

Salah satu sumpah yang cukup unik adalah sumpah yang saya sebutkan dalam paragraf pertama tadi. Menjadi saudara sekandung! Bayangkan. Mungkin bukan hal yang sulit kalau kita menganggap "saudara sekandung"-nya adalah teman satu geng saat kuliah atau bahkan teman satu angkatan di Fakultas Kedokteran kita. Namun, kita harus menerapkan hal ini ke semua orang yang sama profesinya, yaitu dokter. Siapapun dia, setua apapun dia, semuda apapun dia.

Menjadi saudara sekandung, artinya rekan sejawat dokter ini perlu sama diperlakukan seperti adik dan kakak kandung. Betul, kakak dan adik kandung yang ada di rumah kita. Jika kita menyayangi saudara kita, begitulah kita diisyaratkan untuk memperlakukan sejawat kita, termasuk memperhatikan, menjaga suasana perasaan, dan lainnya.

Yang tertulis dalam Pasal 18 Kode Etik Dokter Indonesia (KODEKI) sebagai berikut: "Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan." Ya dalam etika dan filsafat disebut etika timbal balik atau aturan emas alias golden rule. Aturan emas sebenarnya beracuan pada kutipan Injil Matius 22:39 dan Matius 7:12 "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri ” dan “ Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka."

Sulit? Ya, sulit terdengarnya, bahkan mungkin lebih mengarah ke hal yang absurd?

Dalam KODEKI pula disebutkan dalam penjelasan Pasal 18 selain mengenai aturan emas, dikatakan bahwa dokter perlu mawas diri, tidak dilecehkan, tidak diejek, tidak dipersulit, menjaga reputasi rekannya. Sama toh, kita tak ingin melecehkan saudara sekandung kita atau yang jelas kita sendiri tidak ingin dilecehkan atau dipersulit oleh orang lain bukan? Bahkan yang lebih menyinggung sifat ksatriaan, bahwa dokter memiliki rasa kerelaberkorbanan akan sejawatnya. Sungguh besar kasih sayang antarsejawat seyogyanya.

Namun memang, antarsaudara sekandung tak selalu hari adem ayem, pasti pernah diselingi oleh konflik atau pertengakaran. Ya, hal yang manusiawi. Kata salah satu guru saya, semua pasti punya salah. Tidak ada yang tidak pernah tidak salah. Kesalahan ini perlu disikapi dalam perspektif persaudarasekandungan ini. Jika kita bertengkar dengan adik kita, sebaiknya sebagai satu jalinan keluarga, perlu ada pendamaian dan perbaikan hubungan. Tidak ada hal yang dapat memutuskan "darah" sekandung. Ya termasuk bagi dokter yang mungkin baru kita kenal. Masih tetap absurdkah? Jika iya, kita perlu memasang rasa legawa, tepa selira antarsejawat, mengubah cara pandang, menyingkirkan egoisme pribadi.

Sulit melakukan? Bagaimana lagi, hal ini sudah tersumpah dan mendarah daging sebagai sebuah janji kita di akhir kehidupan nanti bersama Tuhan. Walau mungkin ada terminologi mantan istri, namun tidak ada mantan saudara kandung dalam kehidupan ini.

Ya, semoga jalinan saudara dokter di negeri ini tetap lestari, dan tak hanya membahana ketika saja ada hati yang tersakiti.

Rabu, 04 Juni 2014

Kerja Dokter (Di Rumah Sakit) Tak Sekedar Praktek



Ketika saya menulis, saat ini, saya sudah masuk ke dalam masa bulan ketiga bekerja di rumah sakit. Banyak hal yang terjadi. Sungguh. Namun hal terutama yang dapat saya petik adalah tugas seorang dokter (di rumah sakit) sungguh beragam. Banyak hal, baik klinis maupun non-klinis, yang ternyata perlu dimiliki oleh dokter untuk mampu berbuat dan bekerja.

Semakin saya sadari bahwa, sebagai klinisi hanyalah satu dari semesta yang disebut "pekerjaan seorang dokter". Dokter tak hanya anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan terapi. Tetapi saya pun belajar, bahwa dokter harus memikirkan bagaimana lantai kamar mandi di ruang perawatan tidak menjatuhkan pasien saya, bagaimana tukang parkir di rumah sakit mengerti tujuh langkah mencuci tangan versi WHO, bagaimana petugas di linen dapat terhindari dari infeksi atau iritasi zat pencuci. Suatu hal yang dulu saya tidak banyak terpikirkan, baik selama pendidikan maupun pekerjaan saya yang terdahulu. Sungguh, ujian di kepaniteraan tak ada yang menanyakan hal itu, namun hal-hal inilah yang ternyata banyak ditemukan sehari-hari di dalam rumah sakit.

Ya, mungkin semua di atas karena saya terlibat di dalam Komite K3 rumah sakit dan salah satu kelompok kerja di Komite Akreditasi. Namun saya masih merasa tercengang bahwa dunia dokter itu tak sekecil ruang praktek. Praktik klinis dengan segala clinical pathway-nya hanyalah sejumput dari rimba kedokteran. Dengan jas putih ini, kita tak hanya berpikir melulu soal pasien. Ya, tapi sebenarnya hal-hal ini semua berujung pada hal yang disebut patient centered care dan patient safety. Dua buah paradigma lagi yang saya baru dalami selama di rumah sakit dengan segala langkah dan sasaran keselamatan pasiennya.

Walau memang hal-hal tersebut baru (mungkin saja saya yang terlambat atau tenggelam dalam ketidaktahuan), ini membuat saya semakin tertantang untuk kerap membuka diri dan terus belajar dan belajar hingga akhir hayat. Bukankah demikian garis kehidupan dan idealisme seorang dokter?