Kamis, 19 Desember 2013

Peliknya Banyak Nama Negara dalam Bahasa Indonesia

Apakah Anda sadar bahwa penamaan negara-negara asing dalam bahasa Indonesia tampaknya belum memiliki sebuah standar? Anda tidak percaya? Coba jawab pertanyaan di bawah ini:

Suatu saat Anda diminta untuk menuliskan nama negara berikut ini, mana yang Anda pilih?

1. Republik Rakyat Cina, Republik Rakyat China, atau Republik Rakyat Tiongkok?
2. Papua Nugini, Papua Niugini, atau Papua New Guinea?
3. Belarus atau Belarusia?
4. Greenland atau Tanah Hijau?
5. Pantai Gading atau Ivory Coast atau Côte d'Ivoire?
6. Kamboja, Cambodia, atau Kampuchea?
7. Ceko, Ceka, Cek, Cheska, atau Czech?
8. Bangladesh atau Banglades?
Membingungkan? Ya, membingungkan.

Hingga kini, sejauh yang saya cari, tidak ada suatu pedoman atau penamaan standar untuk nama-nama negara ini dalam bahasa Indonesia.

Saya mencoba mencari sumber yang dianggap standar, misalnya senarai Nama-Nama Negara dan Negeri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang saya miliki edisi Kedua tahun 1995. Untuk pertanyaan di atas, berturut-turut adalah: Republik Rakyat Cina. Papua Nugini, Belarus, Greenland, Pantai Gading, Kampuchea, Cheska, dan Bangladesh. (Mungkin ada perubahan di KBBI terbaru?)

Kemudian kalau menurut sumber yang sering menjadi acuan pengetahuan,  Buku Pintar Seri Senior, edisi cetakan ke-34 tahun 2003: Republik Rakyat China, Papua Nugini, Belorussia, Tanah Hijau/Greenland, Pantai Gading, Kamboja, Ceko, Bangladesh. Dan di samping itu juga digunakan Belau (Palau), Brazilia, Brunai Darussalam, Chili, dan Guinea Khatulistiwa.

Dalam portal milik pemerintah Republik Indonesia pun kian menyemarakkan kebingungan ini, yakni dimasukkannya terminologi "Netherlands" dan "Royal Danish", yang lebih dikenal "Belanda" dan "Denmark".

Bagaimana Nama Negara Ini Diserap?

Menurut UU Suhardi, dari majalah Tempo, dalam suatu artikel menuliskan dalam proses penyerapan nama negara digunakan beberapa cara, yaitu kelaziman, penyesuaian ejaan dari nama asli dan internasional, nama asli dengan/tanpa penyesuian, nama internasional dengan/tanpa penyesuaian, dan hingga penerjemahan. Jadi, banyak sekali! Kita tidak bisa menggunakan standar yang tunggal.

Hasil pengamatan saya, kebanyakan nama negara ini biasa diterjemahkan melalui proses-proses berikut:

  • Penyesuaian dengan lidah Indonesia. Misalnya: Brasil (bahasa Inggris: Brazil, lafal "z" agak asing untuk diucapkan), Irak (bahasa Inggris: Iraq, akhiran "q" sangat jarang dalam bahasa Indonesia), Jamaika (bahasa Inggris: Jamaica), Kuba (bahasa Inggris: Cuba).
  • Nama sudah lazim digunakan sejak lama -mungkin ada faktor sejarah-, misalnya Mesir (bahasa Inggris:Egypt, kata Mesir berasal dari مصر‎ atau misr dalam bahasa Arab), Yunani (bahasa Inggris:Greece, kata Yunani berasal dari  يونان atau yunan dalam bahasa Arab, yang diturunkan dari kata "Ionia", salah satu daerah di Asia Minor. Tak hanya bahasa Indonesia, turunan "Ionia" ini juga diadopsi oleh beberapa bahasa Asia lainnya seperti Hindi, Nepali, Yahudi, Phasto, dan Turki.)
  • Jika nama negara sesuai dengan pelafalan bahasa Indonesia, maka biasanya diserap langsung, misalnya: Burkina Faso, Albania, Laos, India, Fiji, Guam.
  • Ada nama negara yang diserap langsung namun dilafalkan dengan pelafalan yang mirip bahasa Indonesia, walaupun sebenarnya tidak sesuai dengan ejaan khas Indonesia, misalnya Thailand (dibaca dengan /thailan/, bukan /thailen/).
  • Nama negara yang diserap langsung maupun dengan penyesuaian, tetapi dengan ejaan yang tak sesuai dengan lafal dalam bahasa Indonesia, misalnya Swiss (mungkin dari nama resmi internasional Swiss Confederation dibandingkan nama asli Schweizerische Eidgenossenschaf). Padahal tidak ada suku kata -ss- dalam bahasa Indonesia. Kemudian ada Liechtenstein, yang saya yakin pasti menjungkirbalikkan lidah orang Indonesia. Negara kecil yang memang jarang disebut ini, seharusnya dilafalkan sesuai ejaan bahasa Jerman /lih-ten-stain/. Masih ada juga, Sri Lanka (demikian juga dalam bahasa Inggris) yang dilafalkan /sri-langka/ dengan bunyi sengau di tengahnya.
  • Nama yang diserap langsung namun dengan penyesuaian, terutama bagi negara dengan lebih dari satu kata, misalnya Arab Saudi (bahasa Inggris: Saudi Arabia, penyesuaian karena prinsip Diterangkan-Menerangkan), Uni Emirat Arab (bahasa Inggris: United Arab Emirates). 
  • Nama negara yang lazim digunakan sesuai nama resmi dalam bahasa Melayu, misalnya Singapura (bahasa Inggris: Singapore, dan Singapura memang nama resmi)
Belum Ada yang Baku?

Mungkin tidak akan ada yang memusingkan "Filipina" atau "Philippina". Namun untuk beberapa negara -terutama yang jarang disebut- ada yang memberi kebingungan, misalnya "Guinea Ekuatorial atau Guinea Khatulistiwa" (untuk Equatorial-Guinea), "Tanah Hijau" (untuk Greenland), "Santa Lusia" atau "Santa Lucia" (untuk Saint Lucia). Hal ini pun diungkapkan oleh Hasan Alwi dari Pusat Bahasa).

Cina atau China

Kata Tiongkok yang diturunkan dari bahasa Hokkien, mungkin sudah tak banyak dipakai, dibandingkan kata "Tionghoa". Yang lebih sering dipakai untuk menggantikan Tiongkok adalah sinonimnya, Cina atau China. Menurut KBBI, dan standar ejaan yang lazim, adalah Cina.

Nah, kata Cina ini ternyata ada cerita yang menarik. Pada Oktober 2013, Kedutaan Besar Cina merilis sebuah surat untuk sejumlah media massa. Isinya untuk menggantikan kata Cina menjadi China. Remy Silado, pengamat bahasa, menyayangkan hal ini. Memang, dahulu mungkin ada kejadian yang memeyorasikan kata "Cina". Namun menurut Remy, kebakuan bahasa tetaplah harus dipertahankan. Penggantian dengan "sok Inggris" bukanlah hal yang baik, seperti yang dilakukan oleh Metro TV yang kerap mengganti "China", bahkan melafalkannya dengan lafal bahasa Inggris.

Inggris dan UK

Kebingungan pun dapat muncul jika menyebut negara Inggris, antara United Kingdom ataupun England. Sebenarnya, England adalah salah satu bagian dari United Kingdom bersama Wales, Scotland, dan Northern Ireland. Selain itu ada juga istilah Great Britain yang mencakup semua bagian di pulau Britain, yaitu semua dikurangi Northern Ireland yang berada di Pulau Irlandia bersama negara Republik Irlandia.

Susunan hirarki geografis ini seringkali tidak dipahami oleh masyarakat Indonesia. Kita kerap bingung, mengapa di Olimpiade, Inggris ditulis United Kingdom berbendera Union Jack -yang bersilang dan ada bentuk salib dengan berwarna putih-merah-biru-, namun di perhelatan FIFA misalnya Piala Dunia, Inggris ditulis England yang berbendera salib St. George -yang hanya bersalib merah dengan latar putih).

Bahasa Mandarin dann Korea yang juga menganggap United Kingdom dengan 英国 (Yīng guó) ,  영국 (yeong-guk), namun mereka menyebut England sebagai 英格蘭 (Yīng gé lán) dan 잉글랜드 (ing-geul-raen-deu). 

Namun kita sudah memiliki anggapan David Cameron sebagai Perdana Menteri Inggris dan juga Steven Gerrard sebagai kapten tim sepak bola nasional Inggris. Apakah kita perlu menyerap kata "England" atau bahkan "Inglen?" atau "Ingland" (kalau merujuk seperti yang terjadi pada "Thailand").

Yang Kita Perlukan

Sebenarnya yang kita perlukan adalah adanya standarisasi dari penamaan yang ada, mungkin terserah dengan cara proses penyerapan yang mana. Semua ini ditujukan agar tak ada lagi yang bingung harus menggunakan kata yang mana. Standarisasi sudah mulai digunakan oleh dunia internasional, paling tidak bahasa Inggris yang sudah dituliskan dalam ISO 3166.

Bagaimana pendapat Anda?

Bahasa Indonesia yang Perlu Kita Pelajari Kembali

Kalau ditanya soal bahasa Indonesia, saya selalu mengingat kata-kata ini. Banyak orang yang berpendapat bahwa, "Untuk apa belajar bahasa Indonesia, toh kita harus melihat globalisasi yang mendunia dan berkiblat pada bahasa Inggris." atau "Bahasa Indonesia itu gampang sekali kok. Nggak perlu dipelajari terlalu mendalam."

Ya, orang Korea pun akan mengatakan bahasa Korea mereka mudah, sedangkan kita harus agak berpontang-panting menyesuaikan pola kalimat S-O-V mereka, karena keterbiasaan kita dengan pola kalimat S-V-O pada bahasa Indonesia maupun Inggris.

Jadi, tidak ada yang mudah. (Mengenai apakah Bahasa Indonesia termudah di dunia pernah saya sampaikan di sini).

Beberapa hari belakangan ini, saya bertugas menyunting beberapa naskah. Saya menemukan bahwa ada beberapa hal yang sebenarnya sederhana, namun kerap kali menjadi kesalahaan umum. Bahkan ini sering dilakukan oleh para penerjemah. Walaupun kemampuan berbahasa saya tidak sempurna, namun saya ingin menyampaikan beberapa hal ini, agar bahasa Indonesia kita pun kian membaik.

Ejaan Kata Serapan

Banyak masalah ejaan klasik yang timbul dalam pembendaharaan kata kita, misalnya: aktivitas atau aktifitas? nasihat atau nasehat? risiko atau resiko? apotek atau apotik? camilan atau cemilan? handal atau andal? Mungkin ini sebenarnya hal ini dapat menjadi pertanyaan ujian untuk anak SD tahap akhir, tetapi kita kerap keliru.

Hal yang menyebabkan kebingungan ini adalah karena banyaknya penyerapan suatu istilah asing, terutama bahasa Inggris. Kita mungkin sering mendengar kata "aktif" (bahasa Inggris: active), yang akhirnya menjebak kita menjadi memilih lema yang keliru, "aktifitas", dibandingkan "aktivitas". Dilema "f" dan "v" ini memang dapat memberi penyiratan bahwa terjadi hal yang tidak konsisten. Namun tahukah kita bahwa dalam penyerapan kalimat berakhitan -ization atau -ity terjadi hal yang disebut "penyerapan tidak lepas dari kata dasarnya" sehingga "v" tetap bertahan. Oleh karena itu, bahasa Indonesia menyetujui "negativisme" dan "efektivitas", di balik itu juga terdapat "negatif" dan "efektif".

Menyerap Kata yang "Keliru"?

Sebelumnya, mohon dikoreksi bila saya keliru. Saya menemukan terjemahan "metabolized" (dalam bentuk past participle untuk bentuk kalimat pasif, yang diterjemahkan "dimetabolisasi". Sebenarnya saya sendiri tidak setuju dengan penerjemahan ini.

Jika "dimetabolisasi" artinya "di- + metabolisasi". Pertama, tidak ada kata "metabolisasi" atau "metabolization" dalam daftar lema Kamus Merriam-Webster, walaupun saya ada menemukan sedikit penggunaan kata ini saat mencarinya di Google, misalnya judul "Metabolization of Elemental Sulfur in Wheat Leaves Consecutive to Its Foliar Application" yang diterbitkan di Plant Physiol. 1987 December; 85(4): 1026–1030. Namun kata ini jauh kalah populer dibandingkan saudaranya "metabolisme". Dengan penelusuran ini, saya sendiri menyimpulkan bahwa "metabolisme" adalah kata yang baku, dibandingkan "metabolisasi". Karena alasan ini juga, saya lebih memilih kata "dimetabolismekan" -juga daripada "dimetabolisme"- dalam membentuk kata kerja yang berkata dasar kata benda. Mungkin selama ini kita salah kaprah menganggap "metabolisme" sebagai kata kerja, padahal ini adalah "kata benda" yang merujuk pada suatu proses.

*Catatan: Dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka tahun 2000, tertulis ada proses yang disebut transposisi, yaitu penurunan kata yang memperlihatkan peralihan suatu kata dari kategori sintaksis yang satu ke kategori sintaksis lain tanpa mengubah bentuknya. Misalnya dari kata "sikat" yang merupakan kata benda (nomina), menjadi kata kerja (verba) "sikat", sehingga bisa diimbuhkan menjadi "disikat" atau "menyikat". Namun sayangnya apakah pada "metabolisme" menjadi "dimetabolisme" dapat dibenarkan melalui konsep ini. Walaupun jika dibandingkan pelibatan kata dasar "-isme" lainnya kurang lazim digunakan misalnya "dianimisme?", "disarkasme?", "dikomunisme?" . 

Keesokan harinya, saya menerima kiriman buku yang saya pesan dari toko buku sastra daring (online), yaitu buku Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa dari Harimurti Kridalaksana. Dalam buku tersebut terdapat bahasan penerjemahan afiks dari bahasa Inggris dan bahasa Belanda. Dalam halaman 61, dikatakan akhiran -ise atau -ize dalam bahasa Inggris, atau -iseren dalam bahasa Belanda, diterjemahkan menjadi -isir dalam bahasa Indonesia. Jadi, "organize" menjadi "organisir", "nationalize" menjadi "nasionalisir", dan "metabolize" menjadi "metabolisir".

Penggunaan Kata Depan versus Imbuhan

Penggunaan kata depan pun seringkali salah. Contoh sederhana, penggunaan kata "di, ke, dari", terutama "di". Kita perlu menyadari sesadar-sadarnya bahwa ada dua macam "di" dalam bahasa kita, yaitu "di" dan "di-". Kata "di" adalah kata depan, sebuah kata mandiri. Sedangkan "di-" adalah imbuhan awalan atau prefiks.

Kata depan "di", atau preposisi, adalah kata yang mengawali suatu kata benda, yang menyatakan posisi. Karena posisinya sebagai "kata" maka penulisannya dipisahkan dengan kata yang diterangkannya. Misalnya "di atas", "di bawah", "di rumah", "di Jakarta", "di suatu hari", termasuk juga kata yang sering keliru dituliskan, "di mana". Begitu juga "di antaranya". Memang, ada kata kerja "mengantara", namun di sini artinya "menengahi", "menjadi perantara", atau "memberi berantara". Arti ini tentu keliru maknanya jika disandingkan dalam kalimat, "Yang termasuk buah-buahan, di antaranya."

Prefiks "di-", adalah imbuhan awalan yang disematkan dengan kata dasarnya. Karena sifatnya sebagai pengimbuh, maka prefiks ini dilekatkan dengan kata dasarnya, misalnya "dibuka", "dilamar", "disusun".

Penulisan imbuhan dengan kata dasar yang majemuk, seperti "kerja sama", "terima kasih". "putar balik", sering membingungkan. Jika ingin merujuk kepada EYD, maka jika imbuhan tunggal digunakan pada kata majemuk, maka kata majemuk tersebut tetap ditulis terpisah, misalnya "bekerja sama" bukan "bekerjasama", "berterima kasih" bukan "berterimakasih".

Namun, jika imbuhan tersebut gabungan antara awalan dan akhiran, yang disebut konfiks, misalnya "per-an", "di-kan", dan sebagainya, maka kata majemuk tersebut saling dilekatkan di antara konfiks tersebut, misalnya "diputarbalikkan", bukan "diputar balikkan", apalagi penyematan kata hubung "diputar-balikkan".

Ya, agak rumit bukan kalau kita menelisik tata bahasa yang baku. Jadi, lagi-lagi saya simpulkan, bahasa Indonesia tak semudah yang dibayangkan.
  

Senin, 16 Desember 2013

Ini Mengapa Ahok (Kembali) Semprot TVOne


Pagi ini, ketika saya menyusuri linimasa twitter, saya kembali menemukan kicauan yang berbunyi “Ahok Kembali Semprot Wartawan TV One”. Wow, sungguh menarik. Bukan hanya karena saya sungguh salut dengan Wakil Gubernur DKI Jakarta ini, namun ini adalah kejadian kedua kalinya setelah wawancara Ahok dengan wartawan TV One Andromeda saat Satu Tahun Jokowi-Basuki yang juga disiarkan secara langsung alias live.

Saya yakin, pasti Ahok memiliki alasan tersendiri mengapa ia berani melakukan hal ini. Bagi saya yang kerap mengikuti rekaman video-videonya di kanal Pemprov DKI di youtube, beberapa hal ini mungkin menjadi alasannya:

Pertama, Ahok memang memiliki sifat yang blak-blakan dan sesuai dengan konsep pemikirannya. Ia akan mengatakan apa yang harus dikatakan olehnya dan tidak ada yang disembunyikan. Walau demikian, apa yang dikatakannya bukan “asal cablak”. Saya dapat memastikannya dengan mengamati semua perkataannya dalam video rekaman tersebut. Apa yang dikatakannya tetap sejalan seirama di setiap kesempatan. Tidak ada perubahan makna atau pembelokkan konsep demi menyenangkan pihak atau sponsor tertentu.

Kedua, sebenarnya ia (dan termasuk saya) juga gerah dengan kualitas pertanyaan yang disampaikan oleh wartawan TV One di kedua kesempatan tersebut. Pada yang teranyar ini misalnya, wartawan ini tampaknya membuat pertanyaan yang tidak terkonsep dengan baik padahal topik yang tertera adalah tentang “Pencabutan BBM Bersubsidi”. Mungkin menit-menit sebelum video dimulai ada disinggung sedikit soal rencana kebijakan ini, namun nyaris 10 menit setelahnya, apa yang ditanyakan jauh melebar dari kepala beritanya, malahan bertanya tentang sistem transportasi secara makro, bahkan larangan masuknya sepeda motor ke rute yang dilalui bus tingkat yang dipancing oleh pewawancara itu sendiri.

Selain itu, apa yang ditanyakan oleh pewawancara sebenarnya pun sudah menjadi rahasia umum, misalnya tentang kapan pembangunan MRT selesai. Hal ini tidak perlu “diulang” lagi sebenarnya bukan?

Yang membuat Ahok kian naik darah adalah pertanyaan ulangan tentang “kapan penambahan bus akan direalisasikan dan berapa targetnya” untuk kedua kalinya. Padahal Ahok telah menjawab pertanyaan yang sama sebelumnya, dan pewawancara sudah membuat statement di awal, “Bis yang akan diperbanyak segera dalam waktu dekat.” yang berarti seharusnya dalam wawancara ini perihal penambahan bus ini dianggap sudah jelas. Lah, kalau sudah dikonsep sudah jelas, mengapa harus diulang lagi tentang hal yang sama, yaitu tentang kapan dan jumlah penambahan bus, pada enam-tujuh menit kemudian? Hal ini tentu tidak baik dilakukan oleh pewawancara, apalagi disiarkan secara langsung, karena dapat dianggap pewawancara tidak menyimak dengan baik, atau konsep wawancara live ini tidak terencana dengan baik.

Kualitas penanya ini memang agak jomplang, misalnya jika kita membandingkan dengan konten pada wawancara bersama Najwa Shihab di beberapa kesempatan, seperti di Mata Najwa. Sangat jauh.

Ketiga, saya pun tidak boleh bersyakwasangka apakah pewawancara telah membuat konsep sebelum wawancara dengan Ahok, namun beberapa tanggapan pewawancara pun tampak tak nyambung. Misalnya ketika Ahok memaparkan tiga hal yakni tentang pengadaan bus, rencana pengadaan sembako, sistem kesehatan dan pendidikan, rencana pasar rakyat. Sang pewawancara malah menanggapi dengan, “Itu tadi tiga di awal sudah dijalankan dan diberlakukan tapi masih dengan banyak kekurangan.” Kalau saya jadi Ahok, tentu saya pun berpikir, “Anda ini menyimak tidak penjelasan saya, bahwa beberapa ini rencana? Tetapi kok langsung didor dengan pernyataan negatif ‘masih banyak kekurangan’?”

Semua ini yang menurut saya akhirnya membuat Ahok menyemprot TV One. “Itu kelemahan TV One kalau nanya orang gitu loh. Saya ngomong jujur. Itu kenapa saya tidak begitu suka menerima TVOne untuk ngomong. Nanyanya itu agak konyol kadang-kadang. Saya ngomong jujur aja. Ini live, saya bilang saya kenapa tidak begitu suka TVOne karena suka cari gara-gara. Saya ditanya kapan, sudah saya jawab. Jadi nggak usah dipesan-pesan sponsor untuk dijawab sesuatu. Saya ngomong tegas di situ. Saya sudah jawab, kapan bus terus tambah. [...] Kenapa TVOne suka mengulang-ulang pertanyaan yang sama?” Kesempatan disiarkan langsung dan tak akan diedit inilah yang akhirnya digunakan oleh Ahok untuk mengungkapkan pendapatnya selama ini, mungkin tak hanya selama wawancara ini saja, tetapi sudah sejak lalu-lalu (misalnya konsep acara Debat yang pernah disinggung oleh Ahok saat semprotan pertamanya dengan wartawan Andromeda). Pernyataan ini seharusnya memberi terapi syok bagi TVOne untuk berbenah dan memperbaiki kualitas pemberitaannya.

Jokowi-Basuki bukan antikritik atau setengah dewa, tetapi jika ingin mengkritik, lakukanlah dengan baik, bukan asal menggempur tetapi tidak mendasar dan asal bicara.
Bagaimana dengan komentar masyarakat? Sejauh linimasa twitter yang saya cari dengan kata kunci “ahok tv one”, hampir sebagian besar akun twitter mendukung semprotan Ahok ini.

Tetapi saya yakin, Ahok tidak membenci sang pewawancara. Buktinya stafnya sendiri saja tidak segan ia tegur di depan publik (masih ingat ketika Ahok marah-marah saat rapat buruh di mana stafnya mencatat dengan tulisan tangan saat diminta print-out hasil rapat?). Jadi, jangan kecil hati ya Mbak Ventin Oktavi. :)

Dituliskan juga di Media Kompasiana.com

Kamis, 05 Desember 2013

Complicated

When I didn't have any word to say
When I dreadfully swayed
When I got no colorful vision than gray

Everyday
I just wake up for another day
Looking for an emptiness
Drooling for nothing

And
It's complicated
Being awkward chronically

Pontianak, December 5th, 2013

Rabu, 04 Desember 2013

Komunikasi Dokter yang Harus Diintrospeksi

Dalam tulisan ini saya mencoba untuk mengemukakan sebuah sisi lain. Saya tak mau lagi membahas mengenai teknis atau hukum atau hal lainnya yang berkaitan kasus dokter Ayu. Tapi di dalam hati kecil, saya merasakan bahwa ada sesuatu hal yang harus juga segera untuk diperbaiki oleh kami, para dokter. Dalam acara Indonesia Lawyers Club malam ini (3/12/13) pun keluar, yaitu "komunikasi" dan "empati".

Walaupun sebenarnya "komunikasi" dan "empati" seharusnya termasuk bagian algoritma alur hubungan dokter-pasien, terutama dalam membangun rapport, namun seringkali terlupa. Terlupa ini bisa bagian dari sistem, atau juga bagian dari habituasi yang tak disadari.

Komunikasi Pudar oleh Sistem

Ya, hipotesis saya mengatakan demikian. Sistem kesehatan ini seringkali memaksa dokter untuk bekerja ekstra-cepat. Misalnya dalam poliklinik Puskesmas di Jakarta dengan jumlah pasien menembus ratusan, dokter mau tak mau melayani dengan cukup singkat. Padahal pertemuan dokter-pasien yang ideal minimal 15 menit. Dokter mencoba membangun kepercayaan dan hubungan pasien yang baik. Pasien pun merasa enggan dipegang-pegang tubuh dan bagian privasinya pada orang yang ia baru kenal, bukan? Maka, hubungan yang hangat diperlukan di sini.

Tetapi, lagi-lagi sistem, yang perlu diubah entah jumlah tenaga medis yang ditambah atau jumlah sarananya. Saya sendiri, selama bertugas di Puskesmas, memang "beruntung" bahwa jumlah pasien sekitar 10-20an per hari, di mana saya lebih leluasa untuk membangun rapport dan memeriksa pasien. Tak jarang, canda dan sedikit berbagi info lainnya, akan memberi hubungan yang baik antara saya dan masyarakat, terutama jika saya sedang tak lagi berdinas.

Komunikasi karena Habituasi

Saya masih ingat, salah satu guru saya di FK UNIKA Atma Jaya pernah berkata bahwa ia lebih menyarankan siswanya untuk menghabiskan waktu di samping tempat tidur pasien dan berinteraksi dengan pasien, daripada banyak menghabiskan berkumpul di ruangan koas. Ya, ada benarnya, bahwa kita perlu dibiasakan bergaul dengan pasien.

Memang, to err is human. Dokter adalah pekerjaan yang cukup menguras tenaga, dan seringkali kita lupa untuk berinteraksi secara humanis dengan pasien kita. Kita perlu diingatkan terus tentang ini.

Komunikasi Banyak Membantu

Komunikasi yang komunikatif memang akan banyak membantu dokter dalam praktiknya. Memberi penjelasan seefektif mungkin dalam keadaan yang ada. Mungkin dalam kondisi darurat, kita dapat menjelaskan secukupnya atau meminta petugas lain untuk membantu menjelaskan. Atau ketika pasien tak dapat kita tangani, kita menjelaskan sebaik-baiknya sehingga keluarga pasien tak merasa "dokter menolak pasien". Dengan memang pengalaman yang tak banyak ini, saya mendapatkan bahwa suasana praktik kedokteran saya dulu baik-baik saja, sedikit sekali terjadi gesekan dengan pasien, walau memang pasien meninggal.

Cerita pasien yang meninggal pasien ini membekas di ingatan saya. Saat itu malam hari, UGD Puskesmas kami mendapatkan pasien yang tak sadarkan diri. Saya perkirakan ini adalah stroke, namun saya coba jelaskan bahwa kemungkinannya bisa lain-lainnya sehingga perlu pemeriksaan dan tindakan di rumah sakit yang besar. Saat itu, beberapa orang keluarganya datang satu per satu, sehingga saya mau tak mau harus dengan sabar menjelaskan ulang. Saya coba jelaskan bahwa apa yang kami bisa seperti ini, dan keadaan pasien gawat dan bisa meninggal jika tak dibawa ke rumah sakit, walaupun tak menutup kemungkinan pasien juga bisa meninggal saat perjalanan atau di rumah sakit kelak. Setelah mereka berdiskusi, mereka hanya ingin perawatan minimal di Puskesmas saja, dan informed consent pun ditandatangani keluarga. Dengan perawatan yang sebisa kami di Puskesmas untuk pasien yang diduga stroke, akhirnya pasien meninggal menjelang subuh. Keluarga pasien pun menerima dengan lapang dada, dan yang masih membekas di kepala saya adalah ucapan keluarganya, "Terima kasih dok atas usahanya terhadap orang tua kami." Saya pun terperangah, dan jika dipikir-pikir se-"wah" apalah usaha yang bisa kami lakukan di tempat terpencil ini, namun dihargai oleh pasien.

Hubungan yang komunikatif memang tampak sederhana. Ini menunjukkan lagi bahwa hubungan dokter-pasien tak hanya sekedar prestasi-kontraprestasi, tetapi kembali lagi ke hubungan yang manusiawi.

"Cure sometimes, treat often, comfort always." - Hippocrates

Rabu, 27 November 2013

Dokter Kebal Hukum?

Maraknya pewartaan di Hari Solidaritas Dokter Indonesia (yang oleh masyarakat disalahpersepsikan menjadi Mogok Nasional, karena untuk urusan gawat darurat tetap dibuka), timbul berbagai macam pendapat di masyarakat. Ada yang mengatakan bahwa para dokter ini menjadi defensif, dokter "lebay" (merujuk headline di Kompasiana, pada pukul 12:55 WIB), dokter antikritik (bahkan ada yang mengutip kata Soe Hok Gie yang mengatakan seseorang yang tak suka kritik dibuang saja ke tempat sampah), dan ada yang mengatakan dokter kebal hukum.

Sebuah ironi bahwa permasalahan ini  akhirnya merembet kemana-mana dan menjadi makanan empuk media. Bahkan ada yang menyentil masalah dokter kaya (padahal masih banyak dokter yang digaji di bawah UMP sekalipun). Ah sudahlah, ini adalah arus masalah yang lain. Kita fokus dengan dokter dan hukum ini saja dulu.

Dokter  kebal hukum?

Saya pastikan bahwa tidak ada penduduk di negeri ini yang kebal hukum. Bahkan duta besar pun dengan imunitasnya memiliki tanggung jawab juga terhadap penegakkan hukum.

Terus mengapa dokter protes saat temannya dihukum?

Ini sebenaranya adalah puncak kami, ketika dengan berbagai jalan yang ditempuh tak membuahkan hasil. Rekan kami yang dihukum MA ini adalah cacat, karena dikatakan "atas kelalaiannya menyebabkan kematian pasien." yang dalam kasus ini disebabkan emboli udara.

Lah kan pasiennya mati?

Perlu diingat bahwa ikatan pasien dan dokter secara hukum adalah inspanning verbintenis atau perikatan upaya. Bukan resultaat verbintenis yang merujuk pada hasil. Jadi perlu ditekankan bahwa dokter berupaya seoptimal mungkin yang dapat ia lakukan sesuai keilmuannya, bukan untuk memastikan bahwa pasien tetap hidup.

Guwandi, seorang ahli hukum, dalam bukunya "Hukum dan Dokter" mengatakan bahwa setiap tindakan yang tak diharapkan tak selamanya berujung ke kelalaian dokter, namun ada yang disebut kecelakaan medik atau medical misadventure.

Kenalilah apa itu kecelakaan medis

Kecelakaaan medik adalah sebuah peristiwa medik yang tak terduga, tidak enak, tidak menguntungkan, bahkan mencelakakan dan membawa malapetaka. Kecelakaan medik ini sesuatu yang dapat dimengerti, dan dimaafkan, dan tidak dipersalahkan, serta tidak dihukum. Kecelakaan tidak sama dengan kelalaian. Inilah yang sering disalahartikan oleh masyarakat nonmedis karena mereka selalu memiliki ekspektasi yang tak selalu bisa dipenuhi oleh ilmu pengetahuan, terutama kedokteran.

Sesuatu dapat disebut tindakan bersalah (schuld) jika mengandung unsur:

  • wederrrechtelijkheid: tindakan bertentangan dengan hukum
  • voorzienbaarheid: akibatnya dapat dibayangkan sebelumnya
  • vermijdbaarheid: akibatnya dapat dicegah atau dihindarkan
  • verwijtbaarheid: timbulnya akibat dapat dipersalahkan kepada pelaku 

Uraian di atas dikemukakan Jonkers, yang mana jika tidak dipenuhi maka tindakan tersebut bukanlah kesalahan. Apa yang terjadi oleh dr. Ayu tidak memenuhi kriteria di atas. Emboli udara pasca bedah adalah suatu kejadian yang tidak diharapkan oleh dokter siapapun, namun tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Memang sebabkan kematian, seperti gempa bumi yang terjadi apakah kita memidanakan seismolog atau badan bencana?

Banyak hal yang dapat terjadi di luar perkiraan dokter dengan motivasi yang baik oleh dokter. Misalnya terjadinya syok atau renjatan anafilaktik karena obat yang tidak diketahui sebelumnya. Tubuh manusia yang berbeda-beda memiliki respons yang berbeda dan memiliki efek alergi yang berbeda juga yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Termasuk di dalamnya kasus sindroma Steven Johnson, atau patahnya tulang iga saat tindakan resusitasi jantung paru.

Dokter membela yang salah?

Apa yang terjadi hari ini adalah tindakan yang sudah dipikirkan masak-masak dengan segala tinjauan ilmiahnya baik oleh IDI maupun organisasi moral Dokter Indonesia Bersatu. Jadi bukan ujug-ujug tindakan reaktif sesaat tanpa berpikir panjang.

Apakah dokter tak dapat salah?

To err is human. Dokter juga manusia yang dapat salah. Jika dokter tersebut membuka praktik aborsi ilegal, bisa dipidanakan. Jika dokter tak lagi putih nuraninya, dan terlibat dalam persengkokolan pembunuhan, bisa dipidanakan. Jadi, jika memang terbukti secara meyakinkan baik secara keilmuan dan hukum, maka dapat dipidanakan, sesuai dengan 4 kriteria Jonkers di atas.

Jadi?

Pesan yang ingin disampaikan jelas, bahwa dokter dalam segala tindakannya tidak serta merta diputuskan tanpa mempertimbangkan etik, disiplin, dan hukum yang berlaku di kedokteran. Dunia kedokteran ini memang unik. Seringkali dianggap perpanjangan tangan Tuhan, walau di satu sisi dokter adalah manusia tak sempurna seperti Anda yang tengah membaca tulisan saya ini.

*Terima kasih untuk sepupu saya yang meminjam laptopnya untuk saya tik. :)


Sabtu, 02 November 2013

"Tidak Boleh Mengganti Obat Tanpa Seizin Dokter?"

(Entah kenapa, dua hari belakangan ini, saya menjadi rajin menulis. Huff, thanks to endorphine? Ide-ide tiba-tiba berseliweran dan sepertinya amat sayang kalau dilewatkan begitu saja.)

Ketika pagi ini saya berselancar di ranah dunia maya ini, saya tiba-tiba mendapatkan tulisan yang menyatakan bahwa dokter mengambil banyak untung karena memaksa pasien untuk membeli obat-obat yang dituliskannya. Katanya, tertulis dalam kertas resep, "Tidak boleh mengganti obat tanpa seizin dokter." Benarkah demikian? Ini beberapa hal yang ingin saya luruskan.

1. "Mengganti Obat" Ada Aturannya

Di sini saya sengaja memasukkan kata "mengganti obat" dalam tanda kutip, karena tidak bisa diartikan secara harafiah. Nah apa yang dimaksud mengganti obat?

Jika yang dimaksud "mengganti obat" adalah mengganti obat yang satu dengan obat yang lain dengan insiatif sendiri dan tidak sesuai resep, itu tidak boleh! Menurut Kepmenkes 1026/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, apoteker menyerahkan obat kepada pasien dengan kesesuaian yang tertera dalam resep. (Bab III Poin 1.2.4). Mengganti obat dengan sediaan zat yang berbeda, misalnya amoksisilin menjadi ciprofloxacin, tentu hal yang berbahaya.

Jika yang dimaksud "mengganti obat" karena apoteker merasa ragu terhadap apa yang dituliskan di resep, maka ia harus berkonsultasi dahulu dengan dokter penulis resep. (Bab III Poin 1.1.3). Ya, apoteker boleh ragu karena ia adalah sosok mitra dokter yang profesional terhadap pengetahuan kefarmasian, efek samping obat, alergi, interaksi, kesesuaian, dan lainnya.

Jika yang dimaksud "mengganti obat" adalag mengganti obat paten ke generik, itu boleh! Justru mengganti generik ke paten yang dilarang! Hal ini jelas dalam Kepmenkes  922/Menkes/PER/X/1993 yang diperbaharui dengan 1332/Menkes/SK/X/2002 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. Apakah mengganti obat paten ke generik merugikan pasien? Tidak, karena keduanya telah melalui proses cara pembuatan obat yang baik (CPOB).

(2)Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generik yang ditulis didalam resep dengan obat paten.
(3)Dalam hal pasien tidak mampu menbus obat yang tertulis dalam resep, Apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih tepat.
Bahkan dalam poin 3 dituliskan juga apotek sebenarnya tidak bisa menyerahkan obat "setengah resep" dan lainnya, karena dosis amat penting. Jelas, jika pasien tidak mampu menebus obat, ia perlu berkonsultasi pada dokter untuk memilih obat yang lebih tepat.

2. Mengapa Ada Tulisan "Tidak Boleh Mengganti Obat Tanpa Seizin Dokter"?

Di sini terus terang saya pun tidak tahu, mengapa bisa terjadi. Hal ini tak jarang kita lihat di kertas resep (walau saya yakin tidak semua dokter melakukan hal ini). Sepengatahuan saya di ilmu farmasi yang saya pelajari saat kuliah, dalam standar kertas resep dokter, jelas tertulis bahwa yang boleh ada tertera dalam resep dokter adalah:
  • Inscriptio: Nama dokter, SIP, alamat/nomor telepon, tanggal penulisan resep.
  • Invocatio: Permintaan dokter, ditulis dengan "R/" yang berarti resipe, berikanlah.
  • Prescriptio: Nama obat, jumlah, bentuk sediaan.
  • Signatura: Tata cara pemberian, dosis, waktu
  • Subscriptio: Tanda tangan atau paraf dokter.
  • Pro: Kepada siapa resep ini ditujukan berisi nama dan usia, dan alamat (untuk resep obat golongan narkotika)
Sederhana, tidak ada tempat untuk menuliskan label "Tidak Boleh Mengganti Obat Tanpa Seizin Dokter". Mungkin, saya tak mau su'udzon atau berburuk sangka, maksudnya agar sesuai aturan yang saya sebutkan di nomor 1 di atas. Tapi ini tidak sesuai dengan aturan kertas resep yang berlaku. Tulisan ini berisiko menimbulkan persepsi yang berbeda oleh masyarakat yang tidak memahami dunia kefarmasian.

Mengapa bisa ada? Iya, sekali lagi, saya tidak tahu. 

Jumat, 01 November 2013

Dokter, "Buruh", dan Kesejahteraan


Akhir-akhir ini marak diberitakan mengenai demo buruh di berbagai tempat di negeri ini. Yang paling disorot tentu buruh di DKI Jakarta. Mereka menginginkan Upah Minimum Provinsi alias UMP 2014 sebesar Rp 3.700.000,-. Tuntutan mereka begitu meningkat dari UMP 2013 sebesar Rp 2.200.000,-. Saya tak mau membahas soal Dewan Pengupahan, Kebutuhan Hidup Layak (KHL), atau UMP. Saya ingin mengingatkan saja bahwa ada dokter umum yang digaji Rp 1.200.000,- di negeri ini. Ya, dokter umum.

Dokter = “Buruh”

Bagi para sejawat dokter, jangan tersinggung dulu kalau disebut dokter adalah “buruh”. Terminologi ini sengaja saya ketikkan dalam tanda petik, karena istilah ini saya kutip langsung dari Undang Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Siapapun di negeri ini yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan adalah “pekerja/buruh” (Pasal 1, ketentuan umum poin 3). Ya, saya kira jangan pernah menyangkal bahwa dokter pun adalah kaum pekerja.

Di sini saya bukan bermaksud untuk merendahkan profesi saya. Tetapi saya ingin mengingatkan bahwa dokter, sebagai pekerja, memiliki apa yang disebut HAK-nya, salah satunya jelas tertulis di definisi di atas (baca: imbalan/upah). Dan tentunya hak-hak lainnya seperti jaminan keselamatan kerja dan lainnya yang berujung pada kesejahteraan. Dan fungsi upah ini jelas agar memperoleh kehidupan yang layak (Pasal 89 ayat 2). Dan pada pasal 90, “pengusaha” dilarang membayat upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana yang dimaksud oleh pasal 89.

Apakah dokter dibayar oleh “pengusaha”? Iya! “Pengusaha” ini dapat berupa badan sarana penyedia layanan kesehatan seperti rumah sakit, klinik, dan lainnya, dan termasuk bagi yang dibawah naungan pemerintah (pegawai negeri, pegawai tidak tetap).

Apa Dokter Belum Sejahtera?

Ya, saya tahu, kebanyakan stigma “dokter itu kaya” sudah melekat pada profesi ini. Maaf saja, itu sudah tak lagi relevan. Bahkan banyak dokter, terutama dokter umum, yang kini berjuang keras bagaimana bisa menghidupi keluarganya.

Jika kita melihat klinik-klinik di kota besar seperti Jakarta, atau pesan singkat yang sering masuk ke ponsel dokter umum: “Uang Duduk 250 ribu / 24 Jam. Jasa per pasien Rp. 15.000 (dihitung setelah pasien ke 15).

Iklan di atas malah mungkin lebih tinggi dari rata-rata klinik di Jakarta. Kalau dilihat, uang Rp 250.000,- cukup besar bukan? Tapi lihatlah waktu kerjanya, 24 jam. Padahal UU Ketenagakerjaan mensyaratkan jam kerja ideal adalah 40 jam seminggu (Pasal 77 ayat 1). Memang jika dokter tersebut tahan banting dan terus menerus praktik, maka penghasilannya besar. Tetapi ini cara yang kurang baik bukan?

Seberapa Seharusnya Penghasilan Dokter?

Ikatan Dokter Indonesia sudah memberikan rekomendasinya pada Panduan Kompensasi Dokter dan Jasa Medik pada November 2008 (5 tahun lalu!). Pada halaman 6 dituliskan, formula kompensasi setahun bagi dokter umum yang ideal adalah: 10-14 x pendapatan perkapita. Jika kita ambil pendapatan perkapita Indonesia pada tahun 2012 adalah 3.797 USD, artinya pendapatan dokter di Indonesia idealnya adalah 37.970-53.158 USD. Jika memakai kurs 2012 sekitar Rp 330.000.000,- sampai Rp 462.500.000,-, atau Rp 27.500.000,- sampai 38.500.000,- per bulan. Angka yang fantastis! Dan dituliskan juga, “Kompensasi ini adalah kompensasi dari kerja utama dengan waktu kerja 40 jam/minggu, 220 hari kerja efektif setahun.” Belum lagi faktor pengali indeks geografi praktik (IGP), yang dapat 1,5x pada daerah terpencil.

Kondisi kini, penghasilan dokter umum internsip adalah Rp 1.200.000,- per bulan, dokter PTT di daerah terpencil (Rp 4.800.000,- sampai Rp 7.500.000,-). Bahkan IDI sendiri menyebutkan kesenjangan penghasilan dokter umum dan spesialis adalah 8-244 kali. Luar biasa? Lain cerita lagi jika dibandingkan dengan penghasilan sarjana-sarjana lainnya.

Sebagai perbandingan di luar negeri (hanya sebagai gambaran), pendapatan dokter keluarga di Amerika Serikat per tahunnya rata-rata 173.000 USD (Medscape, Physician Compensation Report 2013). Di Malaysia, tahun ini, pendapatan dokter umum berkisar 7.000 - 12.000 RM per bulan, artinya 26.880-46.080 USD per tahun. Di Singapura, pendapatan dokter umum berkisar 3.500-6.000 SGD per bulan, atau 33.600 USD - 57.600 USD per tahun. Tak hanya dokter, gaji paramedis seperti perawat pun cukup tinggi.

Dokter bukannya perlu dibayar mahal, tetapi dibayar dengan pantas dan layak sesuai dengan kompetensi yang ia punyai. Menakertrans, Muhaimin Iskandar, berkata, “Upah itu harus berdasarkan kompetensi, Misalnya gaji sarjana Rp 3,7 juta itu rendah jika kompetensinya tinggi,”

Dokter Internsip yang Merana

Ini kisah lain lagi.

Dokter internsip mungkin Anda baru dengar. Program ini baru berjalan 1-2 tahun belakangan ini. Program ini menurut Permenkes 299/MENKES/PER/II/2010 adalah proses pemantapan mutu profesi dokter yang harus diikuti oleh dokter yang baru lulus Program Studi Pendidikan Dokter, selama 1 tahun. Pasal 11 dinyatakan, biaya hidup dan transportasi selama mengikuti program Internsip Ikatan Dinas ditanggung oleh Pemerintah. Ditanggung. Ya, ditanggung Rp 1.200.000,- yang mungkin lebih rendah dari kebanyakan UMP provinsi di negeri ini.

Dokter internsip ini sudah bertindak selayaknya dokter, bekerja seperti dokter, namun berbeda hanya ada pendamping. Mereka sudah terhitung profesional. Anda sudah mulai prihatin?

Kenapa Kok Perhitungan Sekali?! Dokter itu Mengabdi!

Ya, jika buruh mendapat penghasilan tak layak disebut perbudakan, sedangkan jika dokter berpenghasilan tak layak disebut pengabdian. Saya rasa buang jauh-jauh pendapat ini sekarang. Dokter pun juga manusia, yang perlu menghidupi keluarganya, yang perlu menyekolahkan anaknya, menghidupi pasangannya, dan lainnya. Dokter perlu hidup layak.
Jika ditanya soal mengabdi. Ya, dokter memang harus mengutamakan kepentingan pasien. Kami tidak pernah bertanya sebelum menolong, “Bapak/Ibu punya duit tidak?”. Saya pribadi saat PTT juga tidak pernah memaksa menagih atas jasa tindakan medis ketika pasien tak mampu membayar. Namun dokter pun perlu dijamin dengan sebuah sistem kesehatan yang juga mengatur tenaga kesehatan yang baik, yang bisa menjamin kesejahteraan kami. Sistem ini diperlukan tanpa membebani masyarakat. Dokter tidak boleh dianggap sebagai “lintah” masyarakat yang menyedot segala harta mereka. Dokter perlu keadilan sosial, bukan bantuan sosial.

Dokter Bersuara

Dokter (baca: dokter umum) di negeri ini harus dapat meniru seperti buruh di DKI. Yaitu, bersuara! Menyatakan hal-hal apa saja yang perlu disampaikan. Tentu, sebagai profesi yang luhur, cara yang digunakan pun perlu santun dan dilakukan tanpa merugikan pihak siapapun.

*Dipublikasikan juga di Kompasiana

Kamis, 31 Oktober 2013

Memaknai Kematian ala Ahok

"Mati adalah Keuntungan" - Basuki T. Purnama (Ahok)

Kematian mungkin menjadi hal yang tabu untuk dikisahkan. Kematian mungkin adalah hal yang sedemikian buruk ketika semua orang ingin menghindarinya. Dan apalagi bila disandingkan dengan keprofesian sebagai dokter, ada yang mengatakan dokter berusaha "melawan" kematian.

Ketika kita berpikir, mengapa kematian itu harus sedemikian ditakutkan? Apakah ia memberikan luka duka yang sedemikian dalamnya? Apakah ia membuat seseorang tak lagi hidup? Apakah ia membuat seseorang tak bisa lagi merasakan hasrat keduniawian?

Dalam agama yang saya percayai, Katolik, bahwa "hidup" di dunia ini adalah hal yang bersifat sementara. Di mana kita mengerjakan dan berkarya, hingga ajal menjemput dan masuk ke dalam kehidupan kekal. Jadi jika menurut Katolik, "hidup" dan kehidupan kekal adalah hal yang setara dan tidak ada yang patut untuk ditakutkan.

Begitu pula yang selalu diutarakan Ahok dalam setiap kesempatannya. Ia selalu mengatakan bahwa ketika ia kelak mati dalam tugas bernegara, tidak ada yang perlu ia maupun keluarga sesalkan. Ketika ia telah hidup, mengerjakan segala tugas dan kewajibannya sesuai dengan aturan negara dan agama, untuk apa kita takut untuk mati? Jika suatu saat Ahok mati, ia ingin dikebumikan di Belitung dan ia mita dituliskan kalimat di atas pusaranya, "Mati adalah Keuntungan."

Begitu beraninya Ahok mengumbar soal kematian? Salah satu hal logis yang ia katakan adalah saat kita hidup inilah kita bisa mengungkapkan apa yag kita pikirkan tentang kematian. Adakah orang yang telah mati dapat mengirimkan pesan-pesan terakhir kepada orang yang hidup? Masuk akal. Jadi, hendaklah berbicara soalnya tidak dianggap tabu. Kematian adalah hal yang alamiah dan akan terjadi kepada segala makhluk di bumi ini, bukan?

Apakah kita perlu takut untuk mati muda, seandainya garis hidup kita demikian? Ahok menjawab dengan perumpamaan yang cerdas. Ia mengatakan lihat saja Bruce Lee dan Marilyn Monroe, ia mati dengan kenangan postur muda yang begitu baik. Orang akan mengenang kita sesuai dengan apa yang kita telah kerjakan, bukan karena panjangnya usia kita.

Pemaknaan kematian ala Ahok ini membuat saya berpikir kembali, bahwa kematian adalah yang biasa di dunia ini. Tinggal bagaimana kita dapat berbuat dan berkarya di dunia ini sebelum kita menghadapi pengadilan terakhir setelah roh ini tak terkandung lagi dalam badan.


Addendum: 
(Bagian ini boleh dilewatkan bagi pembaca yang tidak tertarik tafsiran Alkitab).

Ternyata kutipan "mati adalah keuntungan" ternyata adalah kutipan Alkitabiah (Thanks to Chieka!) Ini diambil dari Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Filipi (Phillipians 1:21). Dikatakan, "For to me life is Christ, and death is gain." yang terjemahannya, "bagiku (aku di sini berarti Paulus) Kristus adalah hidup dan kematian adalah keuntungan."

Karena saya bukan ahli tafsir Alkitab, saya ambil tafsiran dari Little Rock Catholic Study Bible. Filipi 1:19-25 secara keseluruhan adalah jawaban debat Paulus atas makna kemartiran (pengorbanan) terhadap karya misinya. Ia mengatakan bahwa Kristus berada di segala pusat dirinya, baik dalam hidup dalam nama Kristus, dan kematian berarti menyatu dengan Kristus.

Rabu, 30 Oktober 2013

Ini Dia Sebab Orang Nyasar ke Blog Saya

Terus terang, saya membuat blog ini tidak ada harapan yang terlalu besar untuk banyak dibaca oleh orang lain. Blog ini memuat tulisan saya dari jaman purba dari blog Friendster sampai kini.

Yang paling menarik adalah ketika saya membaca statistik dari web ini. Saya pun tersenyum simpul memandang angka-angka yang berbicara tersebut.

Hingga artikel ini ditulis, blog saya sudah dihampiri 104.378 klik. Grafik mulai naik per April 2009, yang berarti ini adalah masa saya menjalani kepaniteraan umum saat memulai pendidikan koas. Dari 587 pengunjung per bulan hingga menjadi 3.000an klik per bulan. Saat itu saya banyak mengisi tentang pengalaman interaksi saya selama duduk di bangku koas hingga saya pun menuliskan beberapa pengalaman medis saya selama PTT di Menjalin.

Namun Maret 2013 adalah titik balik dari semuanya, web tiba-tiba diakses 7.577 klik. Analisis saya, hal ini disebabkan artikel curhat saya atas sikap Ahok yang "menyemprot" dokter dan sikap Wandah Hamidah yang meminta NICU di Puskesmas. Dan sejak itu tingkat lalu lintas web merangkak naik per bulannya hingga 6.000-an klik dan terutama ditunjang lagi dengan artikel seri Backpacking saya ke Vietnam dan Kamboja.

Yang paling mengagumkan juga adalah daftar kata kunci orang yang diketikkan dalam Google dan akhirnya jatuh ke web saya:

koas, sushi, belajar bahasa tagalog, apa itu koas, bahasa dayak ahe, koas adalah, koas kedokteran, koas dokter, bahasa tagalog, arti koas.

Koas ini ternyata cukup cetar-membahana! Dan yang mengagumkan juga adalah bahasa tagalog dan bahasa dayak ahe. Wooow...! Ternyata banyak juga yang mencari ini. Padahal saya mengira dua hal ini tidak cukup populer.

Mungkin ke depannya suatu saat, saya bisa mengembangkan kedua bahan ini. :D

Terima kasih untuk para pembaca yang mungkin selalu mampir di blog saya ini! Tabik!


Senin, 28 Oktober 2013

Ahok: Harapan di Balik Chauvinisme dan Primordialisme

Basuki T. Purnama alias Ahok (Sumber gambar: Tempo)


Saya ingin membuat pengakuan bahwa saya sudah tersihir oleh kedua pemimpin Jakarta, Jokowi-Ahok. Ya, memang dari sejak Pilkada, saya lebih memilih ke arah mereka dibandingkan abang alumni SMA saya, Fauzi Bowo. Kemudian kian hari saya mengikuti perjalanan mereka waktu demi waktu, entah dengan menonton rekaman rapat mereka di kanal Youtube PemprovDKI, mengikuti berita dengan label "Gebrakan Jokowi-Basuki", dan lainnya. Entah kenapa ada rasa harapan yang timbul yang begitu besar dari dalam diri saya. Ya ini dipertegas oleh Ahok dalam setiap kesempatannya, "Yang memilih kami adalah orang yang memiliki harapan."

Saya memilih Jokowi-Ahok bukan karena "efek Kelapa Gading" alias kesamaan suku. Saya sudah tak mau lagi mendekatkan diri dengan hal-hal berbau chauvinistik atau primordialistik. Omong kosong dengan kedua hal itu. Ya, saya memang berdarah keturunan Cina, namun KTP saya jelas tertulis WNI, bukan WNC. 

Saya percaya bahwa Jakarta dan negeri ini akan berubah. Berubah dengan seiiring timbulnya budaya malu dan meninggalkan hal-hal yang inkonstitusional yang memang sudah terlanjur mendarah daging di segala urat nadi negeri ini. Jokowi-Ahok akan menegakkan konstitusi negara bukan sekedar ayat suci atau tradisi segala hal berbau agamais ataupun etnis. Kita harus kembali kepada segala yang telah menjadi tiang pancang fondasi negeri ini yang dibangun oleh bapak bangsa kita.

Ahok pun sudah secara tegas menunjukkan ke-Indonesia-annya, bukan ke-Tionghoa-annya. Inilah yang saya dapatkan setelah menonton beberapa videonya seperti pada pertemuan Koko-Cici Jakarta dan beberapa perhimpunan Tionghoa. Tidak ada perilakunya pun yang menganakemaskan etnis Tionghoa, namun apa yang ia lakukan adalah menyamakan hak yang setara bagi tiap-tiap warga negara dengan sewajarnya.

Dalam beberapa tulisan di blog ini pernah saya sampaikan bahwa saya begitu mengidolakan Jokowi-Ahok, terutama memang Ahok. Sekali lagi bukan karena dia Tionghoa, tetapi dia tegas dan menggebrak serta membuat sesuatu terang-benderang, bukan hanya sekedar menyampaikan rasa prihatin.

Saya sangat senang dengan jawaban-jawaban dan tindakan Ahok yang "membela" Lurah Susan Jasmine, walaupun pernyataannya bertolak dengan pernyataan Gamawan Fauzi. Saya sangat senang dengan bahwa ia dengan posisinya sebagai birokrat tetap menempatkan ayat konstitusi dan ayat suci dalam porsinya masing-masing. Saya sangat senang bahwa ia tidak gentar dengan orang-orang yang melawan peraturan bahkan anarkis. Ia pun tak segan melawan orang seetnisnya pun dari kalangan konglomerat sampai melarat yang tak sesuai dengan apa yang seharusnya dipatuhi. Saya pun senang bahwa ia tak mengambil jalan belakang bahkan untuk stafnya sendiri yang tidak lolos administrasi dalam mengikuti tes CPNS. Ia menegakkan konstitusi.

Memang saya dulu pernah agak kecewa dengan Ahok yang pada awal-awalnya begitu galak dengan profesi dokter. Namun setelah saya pikir-pikir, memang ada benarnya juga, bahwa profesi ini dan segala institusi pendidikan serta kerjanya pun masih banyak harus dibersihkan, agar siapapun memperoleh hak dan kewajibannya secara adil dan proporsional.

Saya tetap berharap dan ingin terus berkontribusi, menghapuskan chauvinisme dan primordialisme. Tidak ada tempat bagi keduanya di Indonesia.

Sabtu, 26 Oktober 2013

Tunjukkan Padaku Seorang Wanita yang...

Malam ini
Aku berdoa pada Tuhanku

Tuhan jangan tunjukkan padaku
Seorang wanita yang berparas indah
Seorang bidadari yang turun dari khayangan
Seorang peri tak bercela
Seorang manusia yang sempurna

Tetapi berikanlah pasangan bagiku
Yang mengerti di kala aku kecewa
Yang menegurkan di kala kesedihanku
Yang bersamaku di kala aku membisu
Yang bergandengan tangan di kala aku dibutakan
Yang memberikan tawa di tengah kesungutanku
Menjadi obat penawar segala kesakitanku
Dan aku pun demikian juga bagimu

Aku menutup doa
Agar Tuhan selalu memelihara hatiku
Hatimu
Hati kita

Pontianak, 26 Oktober 2013


Jumat, 18 Oktober 2013

Tenaga Kesehatan pun Punya Perasaan: Sopanlah dengan Dokter Anda

Suatu saat rekan online saya, dr. Andreas Kurniawan, memoskan suatu gambar yang menarik. Gambar tersebut ia dapat dari sebuah blog The Travel Art. Dari gambar tersebut mengatakan demikian, "Tenaga Kesehatan pun Punya Perasaan: Bersikap sopanlah dengan dokter Anda." Dari gambar tersebut tampak dokter berkulit hitam yang tengah dimarahi oleh pasiennya. Ya, ternyata inilah sebuah gambaran dari masyarakat di Malawi yang diambil pertengahan tahun 2008 silam.

  13820789611245704766 

Gambar tersebut diambil oleh seorang Barat yang tengah berkunjung ke Livingstonia, Malawi, negara di Afrika. Ia merasa heran karena di dunia Barat, dokter begitu dihormati. Namun di Afrika, entah mungkin karakter penduduk, dokter sering dibentak atau diomeli. Ya tentunya, di sini kita menyampingkan dahulu delik dugaan malapraktik atau kekeliruan.

Bagaimana di Indonesia?

Di Indonesia, paling tidak selama saya menjalani pendidikan dan program PTT di daerah terpencil di Kalimantan Barat, untungnya saya tidak menemukan hal ini. Walau saya pun tidak jarang juga mendengar jeritan hati sejawat yang diperlakukan tidak baik oleh masyarakat di daerah lain. Kita tidak bisa menutup mata dengan ini. Jika demikian, apakah dokter harus dihormati? Saya jawab tegas, "Iya!". Namun tentunya dihormati bukan berarti sama dengan kami gila hormat. Namun kami pun menghormati pasien kami. Ya, sesuai aturan emas, "Lakukanlah kepada orang lain seperti apa Anda sendiri ingin diperlakukan." Sebenarnya hal ini tak berlaku di dalam relasi dokter-pasien saja, namun kepada semua orang, siapapun itu.

Masalah Pasien di Pedesaan?

Saya sudah menjalaninya selama 1 tahun di Kecamatan Menjalin, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Sekali lai apakah mungkin saya yang untung, bahwa relasi saya dengan masyarakat tidak ada masalah. Masyarakat justru mudah sekali mengenal "Pak Dokter", dan menyapa serta membantu saya ketika bertemu di pasar kecamatan. Tak jarang pula buah tangan pun diberi. Ya, pikir saya, selama kita mampu membawa diri dan menegakkan aturan emas, semua akan lancar-lancar saja.

Masalah di Pasien Perkotaan
Justru, saya melihat ada tunas masalah di daerah perkotaan. Dari sisi dokter, mungkin dokter tersebut terlalu tergesa-gesa, memiliki jam praktik yang ketat, sehingga kurang memiliki waktu untuk mendengar pasien dan memberi informasi. Dari sisi pasien juga, tidak sedikit pasien yang mulai mengarah ke swadiagnosis atau self-diagnosis karena mudahnya mendapat informasi medis, atau bahkan ekstrimnya malah tidak tahu sama sekali. Apalagi kalau ditambah bumbu sifat "sok tahu". Hal inilah yang sering kali menjadi bibit konflik di atas meja praktik sampai ke meja hijau.

Solusinya?

Saya kira, kembali ke aturan emas tadi dan kembali ke "kodrat"-nya masing-masing antara dokter dan pasien. Dokter dan pasien harus tahu betul apa-apa saja yang menjadi hak dan kewajiban mereka, sehingga relasi dokter-pasien pun sarat keharmonisan. Sebenarnya hal ini sudah sering kita dengar di masyarakat kok.

Pernah dengar, "Anda sopan, kami segan?"

Di Tanjung Bajau

Di Tanjung Bajau
Aku enyahkan risau
Coba hilangkan ingat akan engkau

Membunuh semua rasa kecewa
Yakinkan diri segarkan jiwa
Jauhkan duka dekatkan tawa

Tuhan bantu diriku
Bukakan telinga mataku
Cairkan hati yang beku

Aku pandangi lagi pantai
Harap engkau di sejauh cakrawala laut ramai
Hidup baru 'kan lagi aku semai

Tanjung Bajau, Kalimantan Barat
14 Oktober 2013



Rabu, 04 September 2013

Bus Transjakarta Harus Malu dengan Singapura

Semua orang yang pernah berkunjung ke Singapura, pasti terkesima dengan yang namanya sarana Mass Rapid Transit alias MRT. Di Singapura, MRT dikelola penuh di bawah nauangan Land Transport Authority yang juga menyinergikan moda transportasi darat lainnya selain berbasis rel, yaitu bus. Saya selalu mencoba membandingkan pelayanan MRT Singapura ini dengan Bus Transjakarta yang dikelola oleh BLU Transjakarta di bawah Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta. Memang, perbandingan ini bukan perbandingan yang selaras atau apple to apple, namun konsep desain Bus Transjakarta sejalan dengan MRT yaitu konsep Bus Rapid Transit (BRT) yang tetap mengedapankan konsep masal dan cepat dengan infrastruktur khas.

(Sumber: Jaktv)


Salah satu yang dibanggakan dari MRT Singapura adalah diberikannya informasi yang detail. Informasi ini adalah hal-hal yang diterima oleh pengguna moda transportasi sehingga mereka cukup nyaman dan mudah dalam menggunakan transportasi ini. Berikut beberapa hal yang bisa sampaikan:

Informasi Lokasi Halte

Di Singapura, semua pihak menginformasikan bagaimana mereka terhubung dengan MRT. Lihat saja iklan-iklan apartemen di Singapura, mereka menggambarkan seberapa dekat bangunan yang ditawarkan dengan MRT. Begitu juga dengan rumah sakit (misalnya National University Hospital melalui stasiun Kent Ridge), pusat perbelanjaan (misalnya Orchard Road, Sommerset), tempat wisata, dan lainnya.

Kita di Jakarta, amat jarang mendapatkan informasi "Bagaimana Saya Menuju Ke Sana?" atau "How to get there?" atau "How to go there?". Kita amat jarang diinformasikan bagaimana saya bisa ke Taman Impian Jaya Ancol melalui bus Transjakarta? Atau bagaimana pusat perbelanjaan Mangga Dua juga mudah dicapai dengan bus Transjakarta? Tidak ada informasi yang gencar. Jika orang tahu dengan bus Transjakarta ia bisa mudah menjangkau lokasi tujuannya, pasti ini hal yang amat menarik.

Informasi Jalur/Koridor

Informasi jalur Transjakarta kacau-balau. Hingga kini tidak ada peta standard bagi Transjakarta! Kalau kita sering melihat peta MRT Singapura, pasti hanya terbayang satu peta dengan gaya yang standard juga. Kalau kita perhatikan peta di koridor 12, koridor 9, di dalam bus koridor 1, semua tidak ada yang sama. Bahkan saya pernah lihat peta yang dimampatkan sampai tidak karuan bentuknya di dalam bus koridor 9.

Padahal, informasi jalur koridor ini penting. Mungkin tidak penting bagi mereka yang sudah biasa, namun ini adalah informasi emas bagi turis atau pendatang yang baru pertama kali mengenal bus Transjakarta.

Bahkan informasi jalur dan halte juga turut kacau balau, terutama informasi koridor 12. Di beberapa peta, ada halte yang disebut Pluit Autoplaza namun di lain pihak ditulis Pluit Landmark, lalu juga halte Danau Agung dengan Danau Sunter Barat, halte Gunung Sahari-Mangga Dua menjadi Mangga Dua-Gunung Sahari. Bahkan halte Pluit sering tidak dituliskan dalam bus koridor 12. Mungkin sepele, tapi amat membingungkan dan fatal! Kemudian juga halte Jembatan Merah yang keberadaannya seperti anak tiri, sering tidak ada dalam peta di dalam bus, namun ada di peta besar. Belum lagi kalau melihat petunjuk rute di bus Zhong Tong baru di koridor I. Alamak jang!


Desain rute bus di bus koridor 11 (Sumber: Okezone)


Peta macam apa ini? Desain rute bus di bus koridor 1. Jika dibandingkan koridor lainnya semua tidak konsisten.
Ke mana halte Pangeran Jayakarta? Kok ada halte Angkasa dan Landas Pacu Barat?
(Peta Koridor Busway di Halte Pluit)


Masalah warna-warni koridor juga tidak diperhatikan sama sekali. Jika di Singapura, kalau melihat warna merah kita sudah tahu North-East Line, warna kuning adalah Circle Line. Bus Transjakarta sejatinya memiliki warna khas seperti merah untuk koridor 1. Namun kini sekarang tampaknya tidak ada standarnya lagi. Padahal informasi warna ini perlu sekali untuk memudahkan penumpang, terutama di halte transit bila perlu menukar bus.

Papan informasi yang jelas di MRT Singapura. (Sumber: Singaporeshots.com)
Peta standar MRT Singapura. Stasiun dan warna jalur sangat jelas.


Informasi dalam Halte

Saya seringkali membantu orang yang baru pertama kali menaiki bus Transjakarta dan tidak tahu arah serta lokasi dalam halte. Seperti di halte Bendungan Hilir, di mana jalur untuk transit ke halte Semanggi, kemudian di halte Pluit di mana tempat menunggu koridor 12.

Memang, sudah ada tulisan di dalamnya. Namun tulisan tersebut seringkali teramat kecil dan tidak kentara. Siapa yang menyangka ada tulisan print-an kertas yang menulis "Antrian Menunggu Koridor 12, Priok dan Kota". Tidak terlihat! Jika kita membandingkan dengan MRT Singapura, semua informasi terpampang jelas dengan desain yang pakem di semua koridor.

Informasi dalam Bus

Di dalam bus lebih kacau lagi. Yang sangat jelas adalah tidak seragamnya dan tidak jelas volume informasi atau suara dalam menyampaikan pesan atau halte yang akan tiba. Masih mending tidak seragam, malah seringkali informasi suara ini tidak dinyalakan atau mungkin rusak? Akhirnya informasi suara ini digantikan suara petugas di dalamnya yang terasa malah seperti bus metro mini.

Selain suara, petunjuk rute di dalam bus seperti yang saya sampaikan sebelumnya, juga tidak informatif dan menyesatkan.

Kesimpulannya, pengelolaan informasi dalam Bus Transjakarta harus banyak dibenahi. Mereka harus berkaca dengan yang lebih baik. Berkacalah dengan yang terdekat, MRT Singapura. Tinggal dicontoh saja, tidak susah kan?

Selasa, 27 Agustus 2013

Berhenti Lu Masuk Jalur Busway, Emang Ini Jalan Nenek Lu!

Serobot jalur Busway itu melanggar peraturan loh? *Pura-pura tidak tahu?* (Foto: Detik.com)

Suatu saat di siang hari, saya berjanji dengan kawan saya untuk bertemu di halte Bus Transjakarta "Gunung Sahari Mangga Dua". Ternyata oh ternyata, sebelum kawan saya ini tiba di halte ini, ada busway yang tiba-tiba mogok beberapa meter di depannya. Ada hal yang menarik, ternyata ada banyak rentetan kendaraan pribadi yang mengekori bus ini. Akibatnya mereka terjebak! Kendaraan pribadi ini tidak bisa melindasi pemisah jalan karena separatornya cukup tinggi. Akhirnya, bak di film komedi, satu-satu kendaraan pribadi ini mundur dari halte sampai di perempatan Jalan Mangga Dua Raya-Gunung Sahari. Mau cepat jadi terhambat kan?

Saya sudah nyaris 2 bulan terakhir ini menjadi pelanggan bus Transjakarta, baik menuju kantor di daerah Bendungan Hilir, mengunjungi adik di Pluit, bahkan untuk berjalan menuju Plaza Senayan dan Pasar Pramuka. Semuanya terhubung dengan bus Transjakarta. Saya sudah sangat jarang menggunakan si Perak, Avanza saya. Saya karena selain lebih irit, saya tak perlu pusing memikirkan macet. Jika saya bermacet ria di bus Transjakarta, saya tinggal membuka buku yang saya bawa. Kalau saya yang menyetir sendiri, mana bisa?

Pengemudi Inkonstitusional

Karena seringnya menggunakan bus Transjakarta, saya -dan pengguna bus lainnya- paling jengkel kalau bermacet ria karena banyak kendaraan pribadi yang masuk. Ini seringkali saya temui di koridor IX di Pluit-Pinang Ranti apalagi di kawasan Grogol-Tomang-Slipi-Pejompongan. Menurut kami, ini adalah kemacetan yang inkonstitusional.

Mengapa inkonstitusional? Karena bus Transjakarta sudah di-Pergub-kan memiliki jalanan yang khas dan eksklusif untuk jalurnya sendiri. Ini sudah diatur. Jadi siapapun yang masuk ke daam jalur ini kecuali bus Transjakarta atau bus lain yang dibolehkan, adalah melanggar peraturan. Tapi sayang seribu sayang, Polisi pun yang sebenarnya memiliki wewenang menegakkan peraturan, seringkali menyuruh kendaraan pribadi untuk masuk ke dalam jalur Transjakarta. Alasan Polisi-nya amat klasik, "untuk mengurai kemacetan". Justru, menurut saya, biarkan bus Transjakarta dengan segala eksklusivitasnya ini melenggang dan kendaraan di jalan lainnya mengertak gigi dan menggigit jari mereka. Inilah yang akan dipandang menarik dan seksi agar orang mau menggunakan bus Transjakarta. Intinya, mau bebas macet, naiklah bus Transjakarta. Demikian, seharusnya.

Jika polisi tak mampu, apalagi Dishub yang tidak memiliki kuasa menilang, maka masyarakat yang harus bertindak. Saya sangat senang bahwa sudah mulai ada aksi publik yang mulai membara setelah kasus Anak Jenderal dan Ibu-Ibu Keriting yang terhembus karena terjepret kamera. Maka muncullah website masukbusway.com yang menjepret para pengemudi pelanggar peraturan ini. Moga-moga saja bahwa aksi ini dapat dipandang juga oleh pihak-pihak yang memiliki kuasa, terutama Pemprov DKI.

Para Pelanggar Harusnya Malu

Para pelanggar harusnya malu. Malu karena mereka merampok hak pengguna Transjakarta. Malu karena mereka dengan sadar membuat kejahatan. Memang penduduk kita masih tidak sadar dengan ke-malu-an mereka.

Lihat saja warga Singapura. Mereka memiliki jalur bus yang sama dengan bus Transjakarta tetapi tanpa separator! Tapi tidak ada yang berani melanggarnya. Apakah berarti ke-malu-an kita benar-benar hilang? Kita malah melenggang tanpa rasa bersalah sedikitpun mengorupsi hak orang lain.

Apalagi jika para pelanggar ini kemudian mengklakson karena ia terhambat bus Transjakarta yang tengah menarik-turunkan penumpang di halte. Suatu hal yang teramat lucu. Sudah melanggar, kok ngeyel? Tak pantaskah kami sebagai penumpang Transjakarta turut naik pitam?

Tolonglah hai para penyerobot jalur Transjakarta alias Busway, bertobatlah.

Jika saya boleh menggunakan gaya Ahok, "Behenti lu masuk jalur Busway, emang ini jalan nenek lu!"

Jumat, 16 Agustus 2013

Backpacking Vietnam-Kamboja (9-tamat): Anggaran

Anggaran berikut ini adalah anggaran yang saya keluarkan untuk dan selama di perjalanan Vietnam dan Kamboja, namun tidak termasuk pengeluaran selama saya transit pulang ke Kuala Lumpur. Saya sadar bahwa biaya yang saya keluarkan untuk makan dan jajanamat signifikan hehehehe...

Pesawat 
CGK-KUL (Jakarta-Kuala Lumpur) 2x496000 IDR 992.000
KUL-SGN (Kuala Lumpur-Ho Chi Minh) 2x157 MYR 314
REP-KUL (Siem Reap-Kuala Lumpur) 2x78,7 USD 157
Booking Hostel
Booking Ngoc Thao Guesthouse USD 14
Booking Velkommen Guesthouse USD 5
Pengeluaran 14 April 2013
Airport Tax Soekarno Hatta 2x150.000 IDR 300.000
Minum kopi di vending machine T3 IDR 10.000
Makan siang di LCCT KL MYR 21
Biaya bus 152 Airport-Pham Ngu Lao VND 15.000
Makan malam di Pho Quynh VND 100.000
Bayar tur Cu Chi Tunnel+Cao Dai 2x10 USD 20
Bayar tur Delta Mekong 2x7 USD 14
Bayar pelunasan Ngoc Thao Guesthouse USD 86
Pengeluaran 15 April 2013
Makan pagi 2x23000 VND 56.000
Beli roti di ABC Bakery, Pham Ngu Lao VND 47.000
Makan siang  VND 200.000
Tiket Cu Chi Tunnel 2x90000 VND 180.000
Tips VND 120.000
Makan malam VND 195.000
Pengeluaran 16 April 2013
Makan pagi 2x23000 VND 56.000
Beli permen kelapa VND 30.000
Beli topi VND 50.000
Beli oleh-oleh kaos VND 280.000
Makan malam VND 100.000
Beli kopi vietnam VND 200.000
Beli tempelan kulkas VND 50.000
Pengeluaran 17 April 2013
Makan pagi 2x23000 VND 56.000
Makan siang VND 224.000
Tiket Museum HCMC 2x15000 VND 30.000
Tiket Reunification Palace 2x30000 VND 60.000
Brosur Penjelasan Reunification Palace VND 10.000
Beli minum di Reunification Palace VND 20.000
Tiket War Remnant Museum 2x15000 VND 30.000
Tiket Water Puppet Show, 2x150000 VND 300.000
Pengeluaran 18 April 2013
Makan pagi 2x23000 VND 56.000
Taksi ke Jade Emperor Pagoda VND 87.000
Tiket masuk Museum Vietnamese History 2x15000 VND 30.000
Taksi dari Museum Vietnamese History ke Sungai Saigon VND 41.000
Belanja di Benh Thanh VND 460.000
Makan siang di Benh Thanh VND 80.000
Makan malam VND 77.000
Beli Bahn Mi VND 20.000
Pengeluaran 19 April 2013
Makan pagi 2x23000 VND 56.000
Belanja makanan utk perjalanan ke PP VND 102.000
Scam di Imigrasi, 2x1 USD 2
Makan siang USD 4
Makan malam USD 4
Belanja di PP Night Market USD 2
Pengeluaran 20 April 2013
Tiket Wat Phnom 2x1 USD 2
Tiket Choeung Ek 2x5 USD 10
Tiket Tuol Sleng 2x5 USD 10
Biaya tuktuk USD 15
Makan siang di Warung Bali USD 7
Tiket Museum nasional 2x5 USD 10
Tiket Silver Pagoda dan Royal Palace 2x6,5 USD 13
Beli buku Angkor USD 10
Makan eskrim di Blue Pumpkin 2x1,5 USD 3
Makan malam USD 10
Pengeluaran 21 April 2013
Biaya hotel Velkommen dan makan pagi 20 April USD 35
Biaya tuktuk ke pangkalan Mekong Exp USD 3
Makan siang USD 7
Biaya apsara  dance dan makan malam buffet 2x10 USD 20
Biaya tuktuk pulang ke hostel USD 3
Pengeluaran 22 April 2013
Tur tuktuk ke Angkor Wat USD 20
Tips USD 5
Makan siang USD 6
Tiket Angkor 2x20 USD 40
Pengeluaran 23 April 2013
Biaya hotel Golden Mango + makan malam 22 April USD 57
Biaya tuktuk ke Bandara Siem Reap USD 4
Tiket Lion Air KUL-CGK 2 orang IDR 1.158.200
Total Pengeluaran IDR 2.460.200 = IDR 2.460.200
MYR 335 = IDR 1.038.500
VND 3.418.000 = IDR 1.674.820
USD 597 = IDR 5.846.680
Total Pengeluaran IDR 11.020.200
Pengeluaran Per orang IDR 5.510.100
Rate
MYR 1 = IDR 3.100
VND 1 = IDR 0,49
USD 1 = IDR 9.800



<< Sebelumnya: Backpacking Vietnam-Kamboja (8)