Kamis, 19 Desember 2013

Peliknya Banyak Nama Negara dalam Bahasa Indonesia

Apakah Anda sadar bahwa penamaan negara-negara asing dalam bahasa Indonesia tampaknya belum memiliki sebuah standar? Anda tidak percaya? Coba jawab pertanyaan di bawah ini:

Suatu saat Anda diminta untuk menuliskan nama negara berikut ini, mana yang Anda pilih?

1. Republik Rakyat Cina, Republik Rakyat China, atau Republik Rakyat Tiongkok?
2. Papua Nugini, Papua Niugini, atau Papua New Guinea?
3. Belarus atau Belarusia?
4. Greenland atau Tanah Hijau?
5. Pantai Gading atau Ivory Coast atau Côte d'Ivoire?
6. Kamboja, Cambodia, atau Kampuchea?
7. Ceko, Ceka, Cek, Cheska, atau Czech?
8. Bangladesh atau Banglades?
Membingungkan? Ya, membingungkan.

Hingga kini, sejauh yang saya cari, tidak ada suatu pedoman atau penamaan standar untuk nama-nama negara ini dalam bahasa Indonesia.

Saya mencoba mencari sumber yang dianggap standar, misalnya senarai Nama-Nama Negara dan Negeri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang saya miliki edisi Kedua tahun 1995. Untuk pertanyaan di atas, berturut-turut adalah: Republik Rakyat Cina. Papua Nugini, Belarus, Greenland, Pantai Gading, Kampuchea, Cheska, dan Bangladesh. (Mungkin ada perubahan di KBBI terbaru?)

Kemudian kalau menurut sumber yang sering menjadi acuan pengetahuan,  Buku Pintar Seri Senior, edisi cetakan ke-34 tahun 2003: Republik Rakyat China, Papua Nugini, Belorussia, Tanah Hijau/Greenland, Pantai Gading, Kamboja, Ceko, Bangladesh. Dan di samping itu juga digunakan Belau (Palau), Brazilia, Brunai Darussalam, Chili, dan Guinea Khatulistiwa.

Dalam portal milik pemerintah Republik Indonesia pun kian menyemarakkan kebingungan ini, yakni dimasukkannya terminologi "Netherlands" dan "Royal Danish", yang lebih dikenal "Belanda" dan "Denmark".

Bagaimana Nama Negara Ini Diserap?

Menurut UU Suhardi, dari majalah Tempo, dalam suatu artikel menuliskan dalam proses penyerapan nama negara digunakan beberapa cara, yaitu kelaziman, penyesuaian ejaan dari nama asli dan internasional, nama asli dengan/tanpa penyesuian, nama internasional dengan/tanpa penyesuaian, dan hingga penerjemahan. Jadi, banyak sekali! Kita tidak bisa menggunakan standar yang tunggal.

Hasil pengamatan saya, kebanyakan nama negara ini biasa diterjemahkan melalui proses-proses berikut:

  • Penyesuaian dengan lidah Indonesia. Misalnya: Brasil (bahasa Inggris: Brazil, lafal "z" agak asing untuk diucapkan), Irak (bahasa Inggris: Iraq, akhiran "q" sangat jarang dalam bahasa Indonesia), Jamaika (bahasa Inggris: Jamaica), Kuba (bahasa Inggris: Cuba).
  • Nama sudah lazim digunakan sejak lama -mungkin ada faktor sejarah-, misalnya Mesir (bahasa Inggris:Egypt, kata Mesir berasal dari مصر‎ atau misr dalam bahasa Arab), Yunani (bahasa Inggris:Greece, kata Yunani berasal dari  يونان atau yunan dalam bahasa Arab, yang diturunkan dari kata "Ionia", salah satu daerah di Asia Minor. Tak hanya bahasa Indonesia, turunan "Ionia" ini juga diadopsi oleh beberapa bahasa Asia lainnya seperti Hindi, Nepali, Yahudi, Phasto, dan Turki.)
  • Jika nama negara sesuai dengan pelafalan bahasa Indonesia, maka biasanya diserap langsung, misalnya: Burkina Faso, Albania, Laos, India, Fiji, Guam.
  • Ada nama negara yang diserap langsung namun dilafalkan dengan pelafalan yang mirip bahasa Indonesia, walaupun sebenarnya tidak sesuai dengan ejaan khas Indonesia, misalnya Thailand (dibaca dengan /thailan/, bukan /thailen/).
  • Nama negara yang diserap langsung maupun dengan penyesuaian, tetapi dengan ejaan yang tak sesuai dengan lafal dalam bahasa Indonesia, misalnya Swiss (mungkin dari nama resmi internasional Swiss Confederation dibandingkan nama asli Schweizerische Eidgenossenschaf). Padahal tidak ada suku kata -ss- dalam bahasa Indonesia. Kemudian ada Liechtenstein, yang saya yakin pasti menjungkirbalikkan lidah orang Indonesia. Negara kecil yang memang jarang disebut ini, seharusnya dilafalkan sesuai ejaan bahasa Jerman /lih-ten-stain/. Masih ada juga, Sri Lanka (demikian juga dalam bahasa Inggris) yang dilafalkan /sri-langka/ dengan bunyi sengau di tengahnya.
  • Nama yang diserap langsung namun dengan penyesuaian, terutama bagi negara dengan lebih dari satu kata, misalnya Arab Saudi (bahasa Inggris: Saudi Arabia, penyesuaian karena prinsip Diterangkan-Menerangkan), Uni Emirat Arab (bahasa Inggris: United Arab Emirates). 
  • Nama negara yang lazim digunakan sesuai nama resmi dalam bahasa Melayu, misalnya Singapura (bahasa Inggris: Singapore, dan Singapura memang nama resmi)
Belum Ada yang Baku?

Mungkin tidak akan ada yang memusingkan "Filipina" atau "Philippina". Namun untuk beberapa negara -terutama yang jarang disebut- ada yang memberi kebingungan, misalnya "Guinea Ekuatorial atau Guinea Khatulistiwa" (untuk Equatorial-Guinea), "Tanah Hijau" (untuk Greenland), "Santa Lusia" atau "Santa Lucia" (untuk Saint Lucia). Hal ini pun diungkapkan oleh Hasan Alwi dari Pusat Bahasa).

Cina atau China

Kata Tiongkok yang diturunkan dari bahasa Hokkien, mungkin sudah tak banyak dipakai, dibandingkan kata "Tionghoa". Yang lebih sering dipakai untuk menggantikan Tiongkok adalah sinonimnya, Cina atau China. Menurut KBBI, dan standar ejaan yang lazim, adalah Cina.

Nah, kata Cina ini ternyata ada cerita yang menarik. Pada Oktober 2013, Kedutaan Besar Cina merilis sebuah surat untuk sejumlah media massa. Isinya untuk menggantikan kata Cina menjadi China. Remy Silado, pengamat bahasa, menyayangkan hal ini. Memang, dahulu mungkin ada kejadian yang memeyorasikan kata "Cina". Namun menurut Remy, kebakuan bahasa tetaplah harus dipertahankan. Penggantian dengan "sok Inggris" bukanlah hal yang baik, seperti yang dilakukan oleh Metro TV yang kerap mengganti "China", bahkan melafalkannya dengan lafal bahasa Inggris.

Inggris dan UK

Kebingungan pun dapat muncul jika menyebut negara Inggris, antara United Kingdom ataupun England. Sebenarnya, England adalah salah satu bagian dari United Kingdom bersama Wales, Scotland, dan Northern Ireland. Selain itu ada juga istilah Great Britain yang mencakup semua bagian di pulau Britain, yaitu semua dikurangi Northern Ireland yang berada di Pulau Irlandia bersama negara Republik Irlandia.

Susunan hirarki geografis ini seringkali tidak dipahami oleh masyarakat Indonesia. Kita kerap bingung, mengapa di Olimpiade, Inggris ditulis United Kingdom berbendera Union Jack -yang bersilang dan ada bentuk salib dengan berwarna putih-merah-biru-, namun di perhelatan FIFA misalnya Piala Dunia, Inggris ditulis England yang berbendera salib St. George -yang hanya bersalib merah dengan latar putih).

Bahasa Mandarin dann Korea yang juga menganggap United Kingdom dengan 英国 (Yīng guó) ,  영국 (yeong-guk), namun mereka menyebut England sebagai 英格蘭 (Yīng gé lán) dan 잉글랜드 (ing-geul-raen-deu). 

Namun kita sudah memiliki anggapan David Cameron sebagai Perdana Menteri Inggris dan juga Steven Gerrard sebagai kapten tim sepak bola nasional Inggris. Apakah kita perlu menyerap kata "England" atau bahkan "Inglen?" atau "Ingland" (kalau merujuk seperti yang terjadi pada "Thailand").

Yang Kita Perlukan

Sebenarnya yang kita perlukan adalah adanya standarisasi dari penamaan yang ada, mungkin terserah dengan cara proses penyerapan yang mana. Semua ini ditujukan agar tak ada lagi yang bingung harus menggunakan kata yang mana. Standarisasi sudah mulai digunakan oleh dunia internasional, paling tidak bahasa Inggris yang sudah dituliskan dalam ISO 3166.

Bagaimana pendapat Anda?

Bahasa Indonesia yang Perlu Kita Pelajari Kembali

Kalau ditanya soal bahasa Indonesia, saya selalu mengingat kata-kata ini. Banyak orang yang berpendapat bahwa, "Untuk apa belajar bahasa Indonesia, toh kita harus melihat globalisasi yang mendunia dan berkiblat pada bahasa Inggris." atau "Bahasa Indonesia itu gampang sekali kok. Nggak perlu dipelajari terlalu mendalam."

Ya, orang Korea pun akan mengatakan bahasa Korea mereka mudah, sedangkan kita harus agak berpontang-panting menyesuaikan pola kalimat S-O-V mereka, karena keterbiasaan kita dengan pola kalimat S-V-O pada bahasa Indonesia maupun Inggris.

Jadi, tidak ada yang mudah. (Mengenai apakah Bahasa Indonesia termudah di dunia pernah saya sampaikan di sini).

Beberapa hari belakangan ini, saya bertugas menyunting beberapa naskah. Saya menemukan bahwa ada beberapa hal yang sebenarnya sederhana, namun kerap kali menjadi kesalahaan umum. Bahkan ini sering dilakukan oleh para penerjemah. Walaupun kemampuan berbahasa saya tidak sempurna, namun saya ingin menyampaikan beberapa hal ini, agar bahasa Indonesia kita pun kian membaik.

Ejaan Kata Serapan

Banyak masalah ejaan klasik yang timbul dalam pembendaharaan kata kita, misalnya: aktivitas atau aktifitas? nasihat atau nasehat? risiko atau resiko? apotek atau apotik? camilan atau cemilan? handal atau andal? Mungkin ini sebenarnya hal ini dapat menjadi pertanyaan ujian untuk anak SD tahap akhir, tetapi kita kerap keliru.

Hal yang menyebabkan kebingungan ini adalah karena banyaknya penyerapan suatu istilah asing, terutama bahasa Inggris. Kita mungkin sering mendengar kata "aktif" (bahasa Inggris: active), yang akhirnya menjebak kita menjadi memilih lema yang keliru, "aktifitas", dibandingkan "aktivitas". Dilema "f" dan "v" ini memang dapat memberi penyiratan bahwa terjadi hal yang tidak konsisten. Namun tahukah kita bahwa dalam penyerapan kalimat berakhitan -ization atau -ity terjadi hal yang disebut "penyerapan tidak lepas dari kata dasarnya" sehingga "v" tetap bertahan. Oleh karena itu, bahasa Indonesia menyetujui "negativisme" dan "efektivitas", di balik itu juga terdapat "negatif" dan "efektif".

Menyerap Kata yang "Keliru"?

Sebelumnya, mohon dikoreksi bila saya keliru. Saya menemukan terjemahan "metabolized" (dalam bentuk past participle untuk bentuk kalimat pasif, yang diterjemahkan "dimetabolisasi". Sebenarnya saya sendiri tidak setuju dengan penerjemahan ini.

Jika "dimetabolisasi" artinya "di- + metabolisasi". Pertama, tidak ada kata "metabolisasi" atau "metabolization" dalam daftar lema Kamus Merriam-Webster, walaupun saya ada menemukan sedikit penggunaan kata ini saat mencarinya di Google, misalnya judul "Metabolization of Elemental Sulfur in Wheat Leaves Consecutive to Its Foliar Application" yang diterbitkan di Plant Physiol. 1987 December; 85(4): 1026–1030. Namun kata ini jauh kalah populer dibandingkan saudaranya "metabolisme". Dengan penelusuran ini, saya sendiri menyimpulkan bahwa "metabolisme" adalah kata yang baku, dibandingkan "metabolisasi". Karena alasan ini juga, saya lebih memilih kata "dimetabolismekan" -juga daripada "dimetabolisme"- dalam membentuk kata kerja yang berkata dasar kata benda. Mungkin selama ini kita salah kaprah menganggap "metabolisme" sebagai kata kerja, padahal ini adalah "kata benda" yang merujuk pada suatu proses.

*Catatan: Dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka tahun 2000, tertulis ada proses yang disebut transposisi, yaitu penurunan kata yang memperlihatkan peralihan suatu kata dari kategori sintaksis yang satu ke kategori sintaksis lain tanpa mengubah bentuknya. Misalnya dari kata "sikat" yang merupakan kata benda (nomina), menjadi kata kerja (verba) "sikat", sehingga bisa diimbuhkan menjadi "disikat" atau "menyikat". Namun sayangnya apakah pada "metabolisme" menjadi "dimetabolisme" dapat dibenarkan melalui konsep ini. Walaupun jika dibandingkan pelibatan kata dasar "-isme" lainnya kurang lazim digunakan misalnya "dianimisme?", "disarkasme?", "dikomunisme?" . 

Keesokan harinya, saya menerima kiriman buku yang saya pesan dari toko buku sastra daring (online), yaitu buku Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa dari Harimurti Kridalaksana. Dalam buku tersebut terdapat bahasan penerjemahan afiks dari bahasa Inggris dan bahasa Belanda. Dalam halaman 61, dikatakan akhiran -ise atau -ize dalam bahasa Inggris, atau -iseren dalam bahasa Belanda, diterjemahkan menjadi -isir dalam bahasa Indonesia. Jadi, "organize" menjadi "organisir", "nationalize" menjadi "nasionalisir", dan "metabolize" menjadi "metabolisir".

Penggunaan Kata Depan versus Imbuhan

Penggunaan kata depan pun seringkali salah. Contoh sederhana, penggunaan kata "di, ke, dari", terutama "di". Kita perlu menyadari sesadar-sadarnya bahwa ada dua macam "di" dalam bahasa kita, yaitu "di" dan "di-". Kata "di" adalah kata depan, sebuah kata mandiri. Sedangkan "di-" adalah imbuhan awalan atau prefiks.

Kata depan "di", atau preposisi, adalah kata yang mengawali suatu kata benda, yang menyatakan posisi. Karena posisinya sebagai "kata" maka penulisannya dipisahkan dengan kata yang diterangkannya. Misalnya "di atas", "di bawah", "di rumah", "di Jakarta", "di suatu hari", termasuk juga kata yang sering keliru dituliskan, "di mana". Begitu juga "di antaranya". Memang, ada kata kerja "mengantara", namun di sini artinya "menengahi", "menjadi perantara", atau "memberi berantara". Arti ini tentu keliru maknanya jika disandingkan dalam kalimat, "Yang termasuk buah-buahan, di antaranya."

Prefiks "di-", adalah imbuhan awalan yang disematkan dengan kata dasarnya. Karena sifatnya sebagai pengimbuh, maka prefiks ini dilekatkan dengan kata dasarnya, misalnya "dibuka", "dilamar", "disusun".

Penulisan imbuhan dengan kata dasar yang majemuk, seperti "kerja sama", "terima kasih". "putar balik", sering membingungkan. Jika ingin merujuk kepada EYD, maka jika imbuhan tunggal digunakan pada kata majemuk, maka kata majemuk tersebut tetap ditulis terpisah, misalnya "bekerja sama" bukan "bekerjasama", "berterima kasih" bukan "berterimakasih".

Namun, jika imbuhan tersebut gabungan antara awalan dan akhiran, yang disebut konfiks, misalnya "per-an", "di-kan", dan sebagainya, maka kata majemuk tersebut saling dilekatkan di antara konfiks tersebut, misalnya "diputarbalikkan", bukan "diputar balikkan", apalagi penyematan kata hubung "diputar-balikkan".

Ya, agak rumit bukan kalau kita menelisik tata bahasa yang baku. Jadi, lagi-lagi saya simpulkan, bahasa Indonesia tak semudah yang dibayangkan.
  

Senin, 16 Desember 2013

Ini Mengapa Ahok (Kembali) Semprot TVOne


Pagi ini, ketika saya menyusuri linimasa twitter, saya kembali menemukan kicauan yang berbunyi “Ahok Kembali Semprot Wartawan TV One”. Wow, sungguh menarik. Bukan hanya karena saya sungguh salut dengan Wakil Gubernur DKI Jakarta ini, namun ini adalah kejadian kedua kalinya setelah wawancara Ahok dengan wartawan TV One Andromeda saat Satu Tahun Jokowi-Basuki yang juga disiarkan secara langsung alias live.

Saya yakin, pasti Ahok memiliki alasan tersendiri mengapa ia berani melakukan hal ini. Bagi saya yang kerap mengikuti rekaman video-videonya di kanal Pemprov DKI di youtube, beberapa hal ini mungkin menjadi alasannya:

Pertama, Ahok memang memiliki sifat yang blak-blakan dan sesuai dengan konsep pemikirannya. Ia akan mengatakan apa yang harus dikatakan olehnya dan tidak ada yang disembunyikan. Walau demikian, apa yang dikatakannya bukan “asal cablak”. Saya dapat memastikannya dengan mengamati semua perkataannya dalam video rekaman tersebut. Apa yang dikatakannya tetap sejalan seirama di setiap kesempatan. Tidak ada perubahan makna atau pembelokkan konsep demi menyenangkan pihak atau sponsor tertentu.

Kedua, sebenarnya ia (dan termasuk saya) juga gerah dengan kualitas pertanyaan yang disampaikan oleh wartawan TV One di kedua kesempatan tersebut. Pada yang teranyar ini misalnya, wartawan ini tampaknya membuat pertanyaan yang tidak terkonsep dengan baik padahal topik yang tertera adalah tentang “Pencabutan BBM Bersubsidi”. Mungkin menit-menit sebelum video dimulai ada disinggung sedikit soal rencana kebijakan ini, namun nyaris 10 menit setelahnya, apa yang ditanyakan jauh melebar dari kepala beritanya, malahan bertanya tentang sistem transportasi secara makro, bahkan larangan masuknya sepeda motor ke rute yang dilalui bus tingkat yang dipancing oleh pewawancara itu sendiri.

Selain itu, apa yang ditanyakan oleh pewawancara sebenarnya pun sudah menjadi rahasia umum, misalnya tentang kapan pembangunan MRT selesai. Hal ini tidak perlu “diulang” lagi sebenarnya bukan?

Yang membuat Ahok kian naik darah adalah pertanyaan ulangan tentang “kapan penambahan bus akan direalisasikan dan berapa targetnya” untuk kedua kalinya. Padahal Ahok telah menjawab pertanyaan yang sama sebelumnya, dan pewawancara sudah membuat statement di awal, “Bis yang akan diperbanyak segera dalam waktu dekat.” yang berarti seharusnya dalam wawancara ini perihal penambahan bus ini dianggap sudah jelas. Lah, kalau sudah dikonsep sudah jelas, mengapa harus diulang lagi tentang hal yang sama, yaitu tentang kapan dan jumlah penambahan bus, pada enam-tujuh menit kemudian? Hal ini tentu tidak baik dilakukan oleh pewawancara, apalagi disiarkan secara langsung, karena dapat dianggap pewawancara tidak menyimak dengan baik, atau konsep wawancara live ini tidak terencana dengan baik.

Kualitas penanya ini memang agak jomplang, misalnya jika kita membandingkan dengan konten pada wawancara bersama Najwa Shihab di beberapa kesempatan, seperti di Mata Najwa. Sangat jauh.

Ketiga, saya pun tidak boleh bersyakwasangka apakah pewawancara telah membuat konsep sebelum wawancara dengan Ahok, namun beberapa tanggapan pewawancara pun tampak tak nyambung. Misalnya ketika Ahok memaparkan tiga hal yakni tentang pengadaan bus, rencana pengadaan sembako, sistem kesehatan dan pendidikan, rencana pasar rakyat. Sang pewawancara malah menanggapi dengan, “Itu tadi tiga di awal sudah dijalankan dan diberlakukan tapi masih dengan banyak kekurangan.” Kalau saya jadi Ahok, tentu saya pun berpikir, “Anda ini menyimak tidak penjelasan saya, bahwa beberapa ini rencana? Tetapi kok langsung didor dengan pernyataan negatif ‘masih banyak kekurangan’?”

Semua ini yang menurut saya akhirnya membuat Ahok menyemprot TV One. “Itu kelemahan TV One kalau nanya orang gitu loh. Saya ngomong jujur. Itu kenapa saya tidak begitu suka menerima TVOne untuk ngomong. Nanyanya itu agak konyol kadang-kadang. Saya ngomong jujur aja. Ini live, saya bilang saya kenapa tidak begitu suka TVOne karena suka cari gara-gara. Saya ditanya kapan, sudah saya jawab. Jadi nggak usah dipesan-pesan sponsor untuk dijawab sesuatu. Saya ngomong tegas di situ. Saya sudah jawab, kapan bus terus tambah. [...] Kenapa TVOne suka mengulang-ulang pertanyaan yang sama?” Kesempatan disiarkan langsung dan tak akan diedit inilah yang akhirnya digunakan oleh Ahok untuk mengungkapkan pendapatnya selama ini, mungkin tak hanya selama wawancara ini saja, tetapi sudah sejak lalu-lalu (misalnya konsep acara Debat yang pernah disinggung oleh Ahok saat semprotan pertamanya dengan wartawan Andromeda). Pernyataan ini seharusnya memberi terapi syok bagi TVOne untuk berbenah dan memperbaiki kualitas pemberitaannya.

Jokowi-Basuki bukan antikritik atau setengah dewa, tetapi jika ingin mengkritik, lakukanlah dengan baik, bukan asal menggempur tetapi tidak mendasar dan asal bicara.
Bagaimana dengan komentar masyarakat? Sejauh linimasa twitter yang saya cari dengan kata kunci “ahok tv one”, hampir sebagian besar akun twitter mendukung semprotan Ahok ini.

Tetapi saya yakin, Ahok tidak membenci sang pewawancara. Buktinya stafnya sendiri saja tidak segan ia tegur di depan publik (masih ingat ketika Ahok marah-marah saat rapat buruh di mana stafnya mencatat dengan tulisan tangan saat diminta print-out hasil rapat?). Jadi, jangan kecil hati ya Mbak Ventin Oktavi. :)

Dituliskan juga di Media Kompasiana.com

Kamis, 05 Desember 2013

Complicated

When I didn't have any word to say
When I dreadfully swayed
When I got no colorful vision than gray

Everyday
I just wake up for another day
Looking for an emptiness
Drooling for nothing

And
It's complicated
Being awkward chronically

Pontianak, December 5th, 2013

Rabu, 04 Desember 2013

Komunikasi Dokter yang Harus Diintrospeksi

Dalam tulisan ini saya mencoba untuk mengemukakan sebuah sisi lain. Saya tak mau lagi membahas mengenai teknis atau hukum atau hal lainnya yang berkaitan kasus dokter Ayu. Tapi di dalam hati kecil, saya merasakan bahwa ada sesuatu hal yang harus juga segera untuk diperbaiki oleh kami, para dokter. Dalam acara Indonesia Lawyers Club malam ini (3/12/13) pun keluar, yaitu "komunikasi" dan "empati".

Walaupun sebenarnya "komunikasi" dan "empati" seharusnya termasuk bagian algoritma alur hubungan dokter-pasien, terutama dalam membangun rapport, namun seringkali terlupa. Terlupa ini bisa bagian dari sistem, atau juga bagian dari habituasi yang tak disadari.

Komunikasi Pudar oleh Sistem

Ya, hipotesis saya mengatakan demikian. Sistem kesehatan ini seringkali memaksa dokter untuk bekerja ekstra-cepat. Misalnya dalam poliklinik Puskesmas di Jakarta dengan jumlah pasien menembus ratusan, dokter mau tak mau melayani dengan cukup singkat. Padahal pertemuan dokter-pasien yang ideal minimal 15 menit. Dokter mencoba membangun kepercayaan dan hubungan pasien yang baik. Pasien pun merasa enggan dipegang-pegang tubuh dan bagian privasinya pada orang yang ia baru kenal, bukan? Maka, hubungan yang hangat diperlukan di sini.

Tetapi, lagi-lagi sistem, yang perlu diubah entah jumlah tenaga medis yang ditambah atau jumlah sarananya. Saya sendiri, selama bertugas di Puskesmas, memang "beruntung" bahwa jumlah pasien sekitar 10-20an per hari, di mana saya lebih leluasa untuk membangun rapport dan memeriksa pasien. Tak jarang, canda dan sedikit berbagi info lainnya, akan memberi hubungan yang baik antara saya dan masyarakat, terutama jika saya sedang tak lagi berdinas.

Komunikasi karena Habituasi

Saya masih ingat, salah satu guru saya di FK UNIKA Atma Jaya pernah berkata bahwa ia lebih menyarankan siswanya untuk menghabiskan waktu di samping tempat tidur pasien dan berinteraksi dengan pasien, daripada banyak menghabiskan berkumpul di ruangan koas. Ya, ada benarnya, bahwa kita perlu dibiasakan bergaul dengan pasien.

Memang, to err is human. Dokter adalah pekerjaan yang cukup menguras tenaga, dan seringkali kita lupa untuk berinteraksi secara humanis dengan pasien kita. Kita perlu diingatkan terus tentang ini.

Komunikasi Banyak Membantu

Komunikasi yang komunikatif memang akan banyak membantu dokter dalam praktiknya. Memberi penjelasan seefektif mungkin dalam keadaan yang ada. Mungkin dalam kondisi darurat, kita dapat menjelaskan secukupnya atau meminta petugas lain untuk membantu menjelaskan. Atau ketika pasien tak dapat kita tangani, kita menjelaskan sebaik-baiknya sehingga keluarga pasien tak merasa "dokter menolak pasien". Dengan memang pengalaman yang tak banyak ini, saya mendapatkan bahwa suasana praktik kedokteran saya dulu baik-baik saja, sedikit sekali terjadi gesekan dengan pasien, walau memang pasien meninggal.

Cerita pasien yang meninggal pasien ini membekas di ingatan saya. Saat itu malam hari, UGD Puskesmas kami mendapatkan pasien yang tak sadarkan diri. Saya perkirakan ini adalah stroke, namun saya coba jelaskan bahwa kemungkinannya bisa lain-lainnya sehingga perlu pemeriksaan dan tindakan di rumah sakit yang besar. Saat itu, beberapa orang keluarganya datang satu per satu, sehingga saya mau tak mau harus dengan sabar menjelaskan ulang. Saya coba jelaskan bahwa apa yang kami bisa seperti ini, dan keadaan pasien gawat dan bisa meninggal jika tak dibawa ke rumah sakit, walaupun tak menutup kemungkinan pasien juga bisa meninggal saat perjalanan atau di rumah sakit kelak. Setelah mereka berdiskusi, mereka hanya ingin perawatan minimal di Puskesmas saja, dan informed consent pun ditandatangani keluarga. Dengan perawatan yang sebisa kami di Puskesmas untuk pasien yang diduga stroke, akhirnya pasien meninggal menjelang subuh. Keluarga pasien pun menerima dengan lapang dada, dan yang masih membekas di kepala saya adalah ucapan keluarganya, "Terima kasih dok atas usahanya terhadap orang tua kami." Saya pun terperangah, dan jika dipikir-pikir se-"wah" apalah usaha yang bisa kami lakukan di tempat terpencil ini, namun dihargai oleh pasien.

Hubungan yang komunikatif memang tampak sederhana. Ini menunjukkan lagi bahwa hubungan dokter-pasien tak hanya sekedar prestasi-kontraprestasi, tetapi kembali lagi ke hubungan yang manusiawi.

"Cure sometimes, treat often, comfort always." - Hippocrates