Jumat, 09 Mei 2008

Bikin Film: Orgasmus Maksimus

Tidak dapat diduga sebelumnya, apa yang sudah saya lakukan pada minggu ini. Ya, minggu yang sekiranya cukup membebani budi pikiran. Bagaimana tidak, minggu penuh makna ini dilalui, ya, memang sedikit mengenyampingkan sisi akademik saya (mohon untuk tidak untuk diteladani soal hal ini). Namun, saya bersyukur mendapati pengalaman yang tidak ternilai.


Masa saya memang banyak terambil untuk proyek pembuatan multimedia dari rekan-rekan MEDISAR FKUAJ dalam rangka persiapan mereka menuju gaweannya, Medical First Response (MFR). Multimedia yang digarap ini bertemakan resusitasi jantung paru (RJP) atau cardiopulmonary resucitation (CPR). Saya ditugaskan menjadi seorang editor video. Ya, cukuplah dengan pengalaman beberapa mengedit video sejak dari SMA (Terima kasih Pak Arwanto, seorang guru Bahasa Indonesia yang pasti menugaskan pembuatan video amatir).


Hari yang melelahkan, menyelingi kehidupan sebagai pengurus senat dan penasihat AToMA, bahkan ahrus membagi tugas sebagai mahasiswa, anak dari orang tua, dan berbagai jenis strata yang tertera. Hari Senin mengambil gambar dari sore hingga mentari pun terbenam. Pada hari Selasa, bersyukur ketika ada dokter yang membantu. Rabu, di mana kita bekerja hingga Kamis jam 2 pagi. Pengambilan gambar dari pukul 5 hingga 2 pagi di poli spesialis Rumah Sakit Atma Jaya yang kian menyepi tiap detikan waktu, sungguh menggugah. Belum lagi disembur dengan pengalaman cakram padat yang digunakan mengalami kesalahan fatal. Entah kenapa keesokan harinya, hal ini dapat teratasi, ternyata sang berkas pun tak jadi lenyap.


Suatu keharuan di antara kegembiraan, mungkin seperti itulah yang tergoreskan dalam benak. Hah, kini, sang video pun sudah di tangan dan siap untuk diedit dalam proses penyelesaian. Semoga, dapat memberi hasil yang terbaik.


Pengalaman ini mengingatkan saya pada jerih payah orang-orang dalam rumah produksi film. Video 18 menit dan amatir saja begitu memeras keringat dari pori. Apalaagi sebuah film profesional yang lebih menuntut kemaksimalan dalam senarai aspek. Dan kita pun percaya, kerja keras tidak akan sia-sia belaka. Dan orgasmus maksimus pun hadir dalam pikiran dan menghilangkan dahaga jiwa.

Jumat, 02 Mei 2008

Spesialisiasi: Terlalu dinikah untuk dibicarakan?

Sebuah retorika atau mungkin sebuah prasangka yang masih tak cukup memadai ketika kita (baca: mahasiswa fakultas kedokteran) diberikan pertanyaan:


Ingin menjadi (dokter) spesialis apakah Anda kelak?



Ini bagaikan sebuah simile ketika kita ditanyakan pula saat kita menjejakkan diri sebagai siswa SLTP atau SLTA: Apakah cita-citamu?


Menjadi mahasiswa di Fakultas Kedokteran dengan strata 1, sudah jelas, artinya kita akan menjadi Dokter dengan gelar dr. di depan atau setidaknya S.Ked di belakang, yang akhirnya sang S.Ked tergeser tragis ketika dr. menjadi pionir di depan nama.


Kita bercita-cita menjadi dokter umum. Ya, dokter umum. Tetapi entah mengapa kini banyak yang mengatakan, lebih baik spesialisasi saja. Oh ya? Mengapa? Konon, katanya akan lebih terjamin masa depan.


Benarkah demikian? Padahal hendaknya, dokter umum adalah orang yang lebih depan dari dokter spesialis! Dokter umum adalah dokter pertama yang berkomunikasi dengan pasien, sebelum pasien bertemu dengan dokter spesialis dan konsulen.
Bila semua dokter umum menjadi dokter spesialis, akan kemanakah kita?


Yang saya truliskan adalah sebuah keadaan yang selayaknya terjadi. Tetapi lihatlah masyarakat (terutama yang mampu), biasanya langsung bertandang ke dokter spesialis walaupun itu hanya rhinitis akut ringan yang sebenarnya bisa sembuh sendiri dengan sistem immun kita. Sistem rujukan pun menjadi kacau balau.


Ketika ditanya spesialis apakah yang hendak saya ambil, saya pun hanya bisa berkata "belum tahu". Terlalu dinikah? Atau memang belum ada sesuatu yang dapat menarik minat saya? Tidak juga sebenarnya. Interna, neurologi, radiologi sedikit memberi kontribusi dalam kepala saya. Namun obstetri ginekologi kurang memberikan ketertarikan. Bidang yang cukup aneh, Med.Ed alias Pendidikan Kedokteran sedikit memberikan minat juga. Mungkin orang pun hanya terkekeh miris bila mendengarnya. Saya sendiri masih membentangkan lensa objektif dalam diri untuk memandang dunia yang lebih luas, tidak sesempit daun kelor. Dunia tidak brevis (pendek, red) bung!