Selasa, 25 Agustus 2009

Jas Putih?

Saya masih ingat hingar-bingar saya sebagai "mahasiswa pre-klinik yang mendambakan dirinya segera menggunakan jas putih". Sebuah rasa kebanggaan tak terkira. Saat itu masih mendambakan alias berangan-angan. Namun memang dasar kelewat percaya diri, bahkan sebelum Sarjana Kedokteran diraih, rata-rata mahasiswa pre-klinik sudah memiliki jas putihnya.

Memang terus terang, ada perubahan secara fisik yang ditimbulkan oleh jas putih. Ketika mengingat mahasiswa yang biasanya menggunakan t-shirt seadanya, jins biru yang kerap tidak dicuci. Kini harus bertransformasi menjadi mahasiswa profesi yang menggunakan celana bahan, kemeja rapi jali, dan dibalut jas putih serta papan nama kecil di atas kantung jas. Mungkin secara kepribadian masih sama nakalnya dengan saat mahasiswa pre-klinik, tapi persepsi penampilannya menjadi berubah.

Saya jadi bertanya, apa sebenarnya makna dari jas putih ini? Apakah hanya sekedar simbol menandakan "Gue Dokter", atau apa? Setelah saya mencoba merenungkan, saya mendapatkan bahwa jas dokter ini menandakan sebuah tanggungjawab yang diemban. Sebuah tanda bahwa saya memiliki sesuatu yang baru yang harus saya pegang amanahnya. Mungkin seperti pastor dengan stola dan kasulanya di depan altar misa jelas berbeda ketika ia dalam keseharian menggunakan kemeja biasa. Di misa, ia bertanggungjawab dalam memimpin misa. Begitu pula dokter, dengan jas putih ini berarti memiliki tanggung jawab.

Seperti apa yang saya temui saat kepaniteraan umum kemarin. Ketika saya membantu pengukuran tanda vital seperti tekanan darah, saya disebut dokter oleh salah satu pasien. Padahal siapa sih saya? Dokter bukan. Koas bukan. Ya apalah itu sebutan bagi mahasiswa pre-klinik yang menjalani masa transisi ke klinik. Ehm, dokter muda transisi?

Mengapa harus putih? Mengapa tidak cokelat seperti polisi, merah seperti branwir? Dalam buku Dr. Triharnoto mengatakan mungkin saja ini adalah perlambang kemurnian atau secara aktual disebutkan sebagai kejujuran dan kerendahhatian. Tentunya ini menjadi suatu tambahan tanggungjawab yang harus diemban. Menjadi seorang dokter yang "murni" jelas menjadi tantangan di tengah segala idealisme yang mendasari seseorang menjadi dokter. Apapun idealismenya bahkan idealisme yang sifatnya materiil.

Jaman telah berubah, dokter bukan lagi di jama Hippokrates di mana pasien begitu percaya sepenuhnya kepada dokter. Tapi menjadi pertanyaan yang terbalik bagi saya, mengapa dulu bisa demikian dan sekarang menjadi tidak bisa? Pertama mungkin saja pengetahuan kedokteran saat itu adalah sangat eksklusif bagi dokter, pasien tidak (atau tidak perlu?) tahu. Kini mungkin pasien lebih tahu. Itu dari sisi pasien.

Sisi dokter? Mungkin saja dokter dulu tetap pada kiblat melayani secara sepenuhnya. Kini lebih divergen, dari melayani secara penuh hingga, ya tadi, idealisme materiil.

Jas dokter tetap menjadi perlambang bahwa profesi dokter tetap adalah profesi penuh amanah, profesi yang riskan, karena nyawa manusia menjadi taruhannya.

Saya merenung lagi, sudah siapkah (baca: sepantasnyakah) saya mengenakan jas putih ini.


Kamis, 13 Agustus 2009

Saya dan Buku Kedokteran

Di Tahun Pertama

Saya masih ingat dengan jelas, ketika itu saya hanyalah seorang mahasiswa semester pertama yang baru segar-segarnya lulus dari SMA. Baru saja mengecap kegiatan ospek di universitas dan mengenyam kelas pertamanya di fakultas kedokteran.

Kemudian masuklah kakak-kakak kelas yang dengan senyumannya menawarkan menjual buku-buku kedokteran. Ya, buku. Sesuatu yang saya senangi, buku apapun itu. Namun saya agak terheran juga, banyak sekali yang menawarkan buku-buku seperti buku atlas anatomi, buku teks fisiologi, buku embriologi, bahkan ada yang menawarkan buku praktikum anatomi. Konon katanya, buku ini akan terpakai pada "masa-masa awal preklinik". Padahal, kalau dilihat dari sisi rasionalnya, saya adalah mahasiswa yang baru saja akan mengecap biologi, fisika, kimia. Sedangkan ilmu biomedik dasar seperti anatomi baru saya ambil di semester kedua.

Saya masih ingat kata-kata "a must" untuk buku-buku itu. Karena saya pecinta buku, dan konon pengalaman kakak-kakak kelas yang "sudah menggunakan" buku itu. Belilah saya buku, walau saya tidak beli semuanya. Saya masih ingat jelas, kamus kedokteran Dorland yang tebalnya ajudbilah, buku atlas Sobotta yang mahalnya bukan kepalang (1 jutaan!), kemudian buku-buku yang sekarang malah menjadi bahan senyuman saya. Ya ampun, saya tidak mengerti isinya. Pada saat itu saya juga dengan bodohnya (atau pintarnya?) membeli dua buku dengan dua versi yaitu fisiologi Lauralee Sheerwood edisi 2 bahasa Indonesia dan edisi 5 bahasa Inggris. Karena saat itu saya menyadari, istilah yang dialihbahasakan begitu asing. Hingga sampai saat ini saya rasakan, bahwa kebanyakan buku kedokteran yang dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia menjadi buku yang sulit ditelaah. Bukannya tidak mencintai bahasa negeri, namun perasaan ini sulit.

Kini?

Namun kebiasaan saya membeli buku kedokteran terus ada hingga kini. Menyadari bahwa belum (belum ya, bukan tidak) semua dibaca. Saya menyimpan paling tidak satu buku untuk satu ilmu. Walaupun belum lengkap. Saya mengoleksi buku mulai dari buku-buku kedokteran bekas yang harganya cukup miring, sampai fotokopi dari perpustakaan. Saya sadar bahwa saya tidak bisa membeli buku dermatologi 1 jutaan, tapi dengan sedikit membajak bolehlah.

Sebelum saya sudah menyebutkan kesadaran saya bahwa "belum" semua buku saya baca dengan dalih bahwa "suatu saat" akan saya baca. Hm, ya apakah akan terjadi?

Untuk Apa?

Membeli buku bukan untuk gengsi-gengsian, walaupun ada pendapat umum bahwa mahasiswa kedokteran adalah mahasiswa yang paling dekat dengan buku. Bahkan dengan jas dokter putih, tampaknya belum pol, seorang mahasiswa kedokteran jika tidak membawa buku -paling tidak sebuah buku tebal.

Selama menjalani orientasi klinik di kepaniteraan umum, ada sesuatu yang saya dapatkan. Bahwa dalam kedokteran, yang kini diarahkan ke dalam kedokteran berdasarkan bukti (KBB, atau EBM dalam bahasa Inggris), dokter dituntut untuk berbicara atas dasar, tidak bisa atas pendapat atau opini dalam rasionalisasi tindakan. Bahkan begitu pula dalam mahasiswa. Ketika menjawab sesuatu, harus ada referensinya. Maka, sepertinya buku-buku ini juga akan membantu saya dalam mencari referensi.

Sebenarnya ada juga satu impian. Bahwa suatu saat ketika koleksi ini sudah cukup mumpuni, saya bisa memiliki perpustakaan pribadi, paling tidak di dalam rumah. Tidak harus hanya buku kedokteran, namun tampaknya bidang inilah yang akan mendominasi. Kini buku yang ada berderet di dua lajur rak buku saya. Dan tampaknya saya masih harus menambah lajur ketiga.

Di perpustakaan FKUAJ ada ruangan khusus koleksi Prof. Sidharta. Kagum dengan koleksi-koleksi beliau.

Saya tampaknya tidak dapat hidup lepas dari buku-buku.

Selasa, 11 Agustus 2009

OSCE oh OSCE

OSCE - Ada apa di balik tirai...

Ah, sepertinya sudah lama sekali saya tidak memperbarui blog ini. Ya akhir-akhir ini di masa panum, saya merasakan rasa lelah dan jenuh dan berakibat menjadi malas melakukan apapun.

Hari ini saya dalam situasi yang tidak tenang, karena besok adalah pelaksanaan dari ujian OSCE. Ujian yang seharusnya objektif namun kadar subjektifnya juga tidak dapat dipungkiri. Besok konon hanya 11 stase yang diujikan dari 30an skill yang diajarkan. Fuuh...

Persiapan, bisa dibilang cukup bagi saya. Belajar di manekin setiap hari dan ada juga sesi belajar dengan rekan-rekan lainnya. Namun sekarang yang perlu diperkuat adalah hati. Hati yang mampu percaya bahwa saya tidak perlu mengkhawatirkan ujian ini.

Tapi tetap saja, saya terdiagnosa palpitasi dan kecemasan et causa OSCE...