Sabtu, 22 Januari 2011

Cerita Tentang Makan-memakan Koas



Saya dan rekan-rekan (Vili, Devi, dr. Hendy, Astrid, Darwin, dan Gerry *yang mengambil gambar*) di Kantin STIKES St. Carolus di PK Sint Carolus Salemba, Jakarta. Gambar ini diambil saat Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Sint Carolus.

Koas juga manusia. Koas juga perlu makan.

Bukannya karena saya berperut tambun terus berkoar-koar tentang makanan ya. Tetapi menurut saya, topik ini cukup menarik untuk diceritakan. Memang, makanan yang dimakan oleh koas itu tidak luar biasa. Namun, sebuah proses untuk mendapatkannya, itu yang luar biasa.

Kapan koas makan?

Ini pertanyaan pertama, yang mendasar. Kapan koas makan? Terkadang jawaban saya pada pernyataan ini membuat ibu saya mengelus dada. Saya selalu menjawab, saya akan makan ketika ada waktu. Saya seringkali tak makan pagi. Hanya menenggak susu panas buatan Mak Unah (salah satu orang di rumah tante saya), dan saya tak jarang mengatakan tak perlu susu bila pukul jam menunjukkan jam 5 pagi.

Ketika siklus mayor, saya sering harus mengeset alarm weker di pukul 04:30. Sering pula weker itu saya matikan tak sadar, dan ketika bangun sudah pukul 05:30. Astaganaga! Seringkali tak mandi (ups), tak makan, hanya bergegas ricuh, menyalakan si perak, tanpa pamit (karena orang rumah belum bangun kecuali Mak Unah), dan langsung ngacir ke rumah sakit yang menempuh 15-20 menit. Itu di rumah sakit di Pluit. Nah kalau di Kramat Jati, waktu harus diatur lebih awal lagi. Hal ini membuat ketika di rumah sakit, perut pun bernyanyi keroncong-an.

Memang, kalau di siklus minor yang datang jam 7, tidak perlu follow-up pasien, memang kesejahteraan perut di pagi hari lebih terjamin.

Tidak makan di pagi hari, sering juga dilanjutkan sampai siang menjelang sore, sehingga baru menyuapi perut dengan makanan pada sore hari.

Rekor saya makan adalah mendekati makan malam, karean harus menjaga pasien yang begitu buruk, dan rekan-rekan saya lain juga sibuk dengan pasiennya. Memang urusan pasien harus diutamakan dari urusan perut. Krukk.. krukkk...

Bagaimana cara koas makan?

Terutama kalau jaga malam, dan jam sudah mulai maghrib, inilah waktu koas mencari makan. Serunya, kalau jaganya ramai, kita akan berseragam memesan makanan. Saya sendiri jarang dan hampir tak pernah membawa makanan jaga untuk makan malam. Selain basi, tentu rasanya tidak sepenanggungan dengan rekan-rekan sejaga malam.

Mengapa saya katakan seru kalau memesan makanan? Karena masing-masing otak akan memesan seleranya masing-masing. Nah, sampai menemukan suara bulat, perlu waktu, dan menengok ke belakang makanan apa saja yang pernah dimakan di jaga malam sebelumnya. Untungnya kalau sedikit orang, dulu saya pernah memesan belasan kepala (karena ditebengi oleh koas bagian lain yang bangsalnya dekat). Hahaha... Selain ribet nelponnya karena pesanannya banyak, repot harus konfirmasi lagi (takut kalau ada yang ketinggalan), dan repot menagihnya! Pastinya uang itu akan ditalangi oleh seseorang dan menagihnya yang cukup repot. Di sinilah terlihat, siapa yang cincai-cincai (apa yang terjemahannya?) dan orang yang kikir dan teliti (bahkan ratusan pun dihitung!). Bagaimana membayar KFC yang harganya Rp 28.976 ya? Hehehe...

Apa saja yang dimakan koas?

Kami makan segala hal. Mulai dari nasi padang, nasi ayam, pesenan warung, indomie, sampai ayam goreng cepat saji. Kalau lagi di awal bulan atau uang masih "berlimpah" terkadang kami bisa sedikit royal memesan makanan. Kalau lagi bokek, indomie sudah bersyukur hehehehe....

Makan malam koas adalah suatu peristiwa yang harus disyukuri, peristiwa yang tak boleh dilewatkan. Dari sini akan mengenal kebiasaan masing-masing. Siapa yang jorok tidak cuci tangan, siapa yang makan supercepat tidak bernapas (*tunjuk tangan*), siapa yang makan berbunyi hehehe...

Ketika yang lain bersama keluarga

Satu hal lagi yang perlu diperhatikan adalah kami, para koas, harus makan malam di rumah sakit, dan sedangkan orang lain akan makan malam bersama keluarga mereka di rumah, menikmati masakan rumah. Ya, bisa menjadi suatu kerinduan, namun tetap menjadi suatu bela rasa di dalam diri, mengabdi dan melayani. Dan makan bersama rekan-rekan jaga pun tak kalah nikmat karena sudah anggap jadi keluarga sejaga malam.

Itulah kisah kami para koas, dokter muda dengan segala kisahnya mengenai makan-memakan. (Asal jangan makan teman saja ya... =p)

Selasa, 18 Januari 2011

Lagi-lagi Tentang Masa Depan Para Koas

Entah bagaimana pembicaraan para koas ini bisa bermula. Saat itu saya, dan dua rekan, I dan F tengah duduk membaca di depan kamar bersalin. Tiba-tiba muncul perbincangan tentang sesuatu yang namanya masa depan.

Mungkin rasa cemas ini pernah saya tuliskan di blog ini. Rasa cemas tentang "masa depan" muncul. Dulu ketika beranjak dari putih abu-abu menuju mahasiswa, menentukan pilihan menjadi dokter begitu membingungkan. Kemudian menjadi mahasiswa preklinik nan lugu menuju dunia koas, saya merasakannya kembali (Lihat, Jangan Ragu Lagi). Apakah itu suatu mekanisme transisi yang situasional, ataukah apa? Kini waktu terus berdetak, paling tidak untuk seratusan hari ke depan dimulai tanggal ini, saya pun selesai dari koas. Dan monster itu kembali menghantui. Saya kembali berpikir saya mau seperti apa masa depan ini? Sempat saya berpikir untuk PTT, studi lanjut. Mungkin hal-hal lain menanti seperti pernikahan, kemapanan hidup, dan lainnya.

Rekan saya F berceloteh, "Lu enak kali Hau. Lu cowok. Lu bisa menentukan sebebasnya dengan apa yang lu mau. Gw iri sama cowok." Apa yang saya tarik adalah masih banyak masalah-masalah lain di sana. Entah masalah gender, "umur", pernikahan, membentuk keluarga dan lainnya juga dirasakan oleh orang lain, terutama wanita? Tapi, begitu pula beban pun ada pada laki-laki, terutama bagaimana bisa menjadi kepala keluarga, memberikan nafkah.

Memang masalah begitu banyak. Banyak yang perlu timbang sana timbang sini. Sulit sekali membuat formulasi yang tepat. Saya sendiri memang sudah menyusun beberapa rencana setelah koas, namun lagi-lagi masih belum matang benar. Waktu sudah mulai mengejar.

Dan tak jarang pula saya bermimpi. Seperti rekan saya yang membayangkan, di suatu saat PTT di pulau yang tenang, penduduk yang ramah, dan makhluk koas ini menjelajah bumi. Saya sendiri membayangkan sungguh menyenangkan bila terjadi demikian. Namun sekali lagi ini adalah mimpi dan masih perlu pertimbangan (lagi-lagi) untuk menjadikannya kenyataan.

Masa depan ini masih dirasa buram, dan saya masih mencari di mana sang kacamata itu.
Tabik!

Mengenai "Catatan Koas"

Ini adalah tulisan selingan, intermezzo. Sembari menunggu membangun mood untuk membaca bahan kedokteran, dan ya mungkin bisa menghilangkan kepenatan.

Saya iseng-iseng membuka control panel dari Blogger ini dan menemukan ada Statistik. (Yeay!) Sungguh mati penasaran. Selama saya menulis blog ini, saya tak pernah menyentuh subpanel ini.
Dan beberapa hal membuat saya pun agak mengernyitkan dahi.

Reffering URL terbanyak ternyata dari web ICT Watch. Yup, tahun lalu, di bulan berapa -lupa-, bahwa blog ini pernah diberi penghargann Bronze Award. Ya artinya web saya termasuk yang terpilih di minggu itu. Ternyata efeknya lumayan!

Dan, yang membuat saya kaget, bahwa kata kunci terbanyak adalah "semarang"! Mungkin gara-gara Catatan Kuliner Koas Forensik yang ditulis dalam dua seri itu! =P Dan ternyata orang-orang yang menggugling (googling maksudnya) dengan kata "apa itu koas", "koas dalam kedokteran", "buku umum yang harus saya baca sebagai mahasiswa fk" bahkan "hak dan kewajiban koas" (Undang-undang kali ya!). Dan yang paling aneh "rintihan koas". Saya jadi berpikir apa saya pernah merintih di blog ini. *Ngubek-ngubek blog.

Akhirnya, posting yang paling banyak dibaca adalah..... Dokter Muda (Koas): Benarkah Mereka Sombong Sekali?, sebuah tulisan tanggapan atas artikel Afandi Sido di Kompasiana. Kemudian mengenai Semarang, Aku Datang serta Tuan R Pasien Perdana.

Saya pun berharap agar blog sederhana ini bisa membantu bagi mereka yang memerlukannya. *Seperti minta sumbangan* Hehehehe....

Jumat, 14 Januari 2011

Engkau Guru dan Penyembuh Tauladan Kami

(In Memoriam dr. Lutfi Hamzah, Sp.BOnk)

Seketika aku terdiam
Aku berulang kali memastikan
Segala huruf yang tertera dalam pesan singkat itu
Sebuah kabar lelayu akan guru kami
Aku tak percaya, sungguh tak percaya

Langsung terbayang di benakku
Sebuah kenangan lama akan sosok itu
Ia, seorang guru
Ia, seorang penyembuh

Yang terbesit dengan cepat ialah wajahnya
Dengan kacamata dan janggut panjangnya
Ia, seorang guru
Ia, seorang penyembuh

Satu hal yang ku sesali ialah ia telah selamanya pergi
Tidak dapat lagi ku dengar siulannya lagi
Tiada lagi nyanyian-nyanyian kecilnya di sebuah pagi
Tak ada lagi wajah ramahnya meramaikan hari

Apa yang kudapati adalah sebuah sikap rendah hati
Masih ku ingat ketika ia menyempatkan waktunya
Dengan sabar, dengan peluhnya
Untuk memberi ilmu dan tauladan dengan lembut hati

Operasi demi operasi tak kenal lelah ia jalankan
Pasien demi pasien ia sapa dengan ramah
Bahkan pasien kanker yang tak ada lagi asa
Diberikannya semangat sehingga bertambahlah rasa

Namun dengan segalanya itu
Kini ia telah menunaikan tugasnya
Dan ditinggalkannya sang bima sakti
Selamat jalan guru, selamat jalan penyembuh

Engkau tetap hadir di sanubari

Sunter-Jakarta, 14 Januari 2011


Alm. dr. Lutfi Hamzah, Sp.BOnk bersama saya dan rekan-rekan saat menjalani kepaniteraan klinik Ilmu Bedah di Rumah Sakit Kepolisian Pusat Raden Said Soekanto, Kramat Jati, Jakarta Timur. Gambar diambil November 2009.

Minggu, 09 Januari 2011

Resolusi 2011

Hal ini terangkat dari rekan-rekan yang tengah gencar menuliskan Resolusi mereka di tahun 2011. Bagaimana dengan resolusi saya?


1. Menentukan Jargon Kriteria "Mau Jadi Dokter Seperti Apa?"

2. Menyelesaikan Sisa Kepaniteraan Klinik agar tak lagi jadi sarden dan lulus tepat waktu

3. Lulus Ujian Kompetensi Dokter Indonesia

4. Menentukan Minat Bidang Studi Lanjut (PTT? Sp atau Magister?)

5. Mengembangkan Bahasa, terutama Bahasa Inggris, Mandarin, dan Jerman

6. Travelling setelah koas

7. Cari pengalaman dunia kerja setelah koas

8. Terus memperbaiki diri, spirituil terutama berpikir positif dan mengendalikan diri

9. Mengembangkan kemampuan menulis, minimal 1 tulisan masuk ke media cetak

10. Memperbaiki berat badan, menuju ke BMI Overweight (Bye bye- Obese 1)

11. Menjalani resolusi dengan tepat guna.

Sabtu, 08 Januari 2011

Sehari Tanpa Medis

Akhirnya saya menyelesaikan rotasi Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin di RS P di Jakarta. Ini adalah sebuah kelegaan (artinya saya tinggal harus menyelesaikan 2 rotasi lagi). Rotasi Kulkel ini meninggalkan kesan yang lumayan, berada di rekan-rekan yang mengasyikkan, kasus-kasus medis yang banyak dan bejibun. Yup di RS P pasien begitu beragam, berbagai kasus kulit dan kelamin didapatkan. Cukup bersyukur sebenarnya memperoleh rotasi di sini.

Salah satu yang menjadi kerinduan, setelah menyelesaikan ujian, adalah perasaan "libur". Saya terakhir kali benar-benar merasakan hal ini saat setahun lalu. Memang sudah sangat lama bukan? Tanggal merah yang ada di kalender pun rasa-rasanya belum cukup. Saya memutuskan untuk mencoba merasakannya lagi kemarin, Sehari Tanpa Medis. Maksudnya, adalah hari-hari ketika saya bisa mengerjakan dengan leluasa segala hobi-hobi non medis, membaca buku non-fiksi hingga selesai. Pokoknya benar-benar tak ada satu ons pun perihal medis di otak dan tak ada hal pekerjaan atau masalah-masalah pelik di otak saat hari itu.

Saya pun berangan. Bayangan saya, mungkin menikmati pantai laut di Maladewa, menikmati semilir anginnya, dan tenang temaram, sambil berangan-angan ingin melakukan hal-hal lainnya. Sayangnya itu adalah hal yang terlalu mustahil, dan janganlah menjadi waham atau delusi (Doh, istilah medis lagi!). Maka dari itu saya berusaha menikmati apa yang saya punya.

Yang penting adalah refreshing dan mencoba bermimpi, menikmati hidup sehari tanpa medis. Saya pun kembali diingatkan mengenai kehidupan yang indah dan tak selamanya pelik.