Jumat, 30 April 2010

Memoar Ilmu Penyakit Dalam

No greater opportunity, responsibility, or obligation can fall to the lot of a human being than to become a physician. In the care of the suffering, [the physician] needs technical skill, scientific knowledge, and human understanding. . . .

–Harrison's Principles of Internal Medicine, 1950


Sekali lagi saya unduh kutipan dari edisi pertama Harrison's Principles of Internal Medicine pada tahun 1950. Terkadang kita tidak menyadari begitu penting sebuah tanggung jawab seorang dokter, apalagi seorang dokter muda, yang setengah dokter setengah bukan. Tanggung jawab dan membangun integritas seorang (calon) dokter menjadi pembelajaran.


Banyak hal yang dapatkan dalam sepuluh minggu bercokol di siklus ilmu penyakit dalam. Dan kembali sepuluh minggu yang berkesan. Ada sesuatu yang unik yang saya rasakan ketika menyelesaikan stase penyakit dalam ini, paling tidak suatu kebanggaan yang tidak penting, saya telah berhasil menyelesaikan tiga stase mayor berturut-turut, walaupun stase IKM saya masih berhutang ujian. Hahaha.... Tiga puluh dua minggu ini akhirnya telah saya lewati. Setengah tahun lebih saya sudah menyandang profesi koas. Dan satu tahun lagi akan selesai. Sungguh waktu yang tidak sebentar tetapi tidak terasa terlalu lama juga.


Mungkin baiknya kisah ini dimulai.


Menjadi Komandan Tingkat


Sebenarnya kata komandan tingkat tidak benar adanya. Tidak ada tingkat di sepuluh minggu ini. Yang ada mungkin ketua rombongan atau bagaimanalah sebutannya. Menjadi kepala ini memang bukan untuk pertama kalinya. Mengingat dulu sempat menjadi ketua kelas abadi saat akhir SD dan SMP. Menjadi komti sejenak untuk satu semester pun pernah di semester 3 saat kuliah preklinik, dan akhirnya berkarir di badan eksekutif mahasiswa. Bukan suatu hal yang mengagetkan tetapi menjadi komti di stase ini menjadi perjalanan yang luar biasa.


Bersama dengan 42 rekan dokter muda menjalani stase ini bukanlah yang mudah, lagi-laginya. Berbicara, berinstruksi pun menjadi tak semudah dulu. Bahkan menjadi yang saya bergeleng dan mengelus dada, suatu hal sederhana,"Menjaga Kebersihan". Mungkin inilah namanya bagaimana berinteraksi dengan pribadi dewasa, atau berinteraksi dengan pribadi tak seminat yang heterogenik. Namun inilah tantangan, mungkin yang akan saya temukan di masyarakat yang jauh lebih heterogenik. Namun saya tetap memberikan wanprestasi pada mereka dan stase ini dapat berakhir dengan baik.


Pengalaman yang tak terlupakan ketika saya dipanggil oleh dosen. Pengalaman yang berhasil membuat saya palpitasi sejenak, hiperhidrosis pula. Namun pada akhirnya menjadi impresi. Hal yang membuat menghela nafas adalah semua berakhir baik-baik saja.


Menjalani Stase


Menjalani stase ini juga mempunyai suatu harapan. Menjadi dokter penyakit dalam dan kardiolog masuk ke dalam perkiraan peminatan kelak. Artinya saya perlu bekerja lebih keras untuk itu. Mudah-mudahan tercapai. Namun, lagi-lagi hal terkesan saya pun kembali pada pasien. Saya berjumpa dengan berbagai pasien. Dari mereka yang kronis, keracunan zat, hingga hanya perlu tanggapan. Mereka sakit kronis, mereka perlu semangat menjalani pengobatan yang lama.


Saya lagi-lagi bertemu dengan pasien sekampung halaman. Awalnya saya kira pasien ini sulit diapproach karena tampak gelisah dan kurang kooperatif. Saya dan teman saya yang bertanggung jawab atas pasien itu menghampiri dia dan ternyata dia dari Pontianak, maka cobalah saya menggunakan bahasa setempat dan setelah itu komunikasi berjalan sangat baik.


Menjalani stase ini juga penuh banyak memberi pelajaran adaptif. Dengan bahan penyakit dalam yang banyak dengan sub-subnya saya mesti memilah mana yang sekiranya saya perlu pelajari dan tentunya strategi yang sulit. Karena tentu saja tak mungkin bisa melahap semua dalam 10 minggu.


Carolus!


Menjalani stase di Pelayanan Kesehatan Sint Carolus juga adalah keberuntungan. Dengan adanya perombakan nama, akhirnya saya ke Carolus. Di sana memang paparan pasien langsung lebih sedikit, namun apa yang saya dapatkan adalah pelajaran bagaimana kehidupan seorang dokter, gaya seorang dokter, karakter seorang dokter. Sebuah filsafat.


Memang sehari-hari letih. Pulang larut malam. Tetapi semakin lama semakin dibawa enak dan dibarengi rekan-rekan yang menyenangkan. Sekranya tidak menjadikan waktu menjadi halangan. Ilmu-ilmu pun dibawa dan diarahkan menjadi berorientasi pada jurnal yang terakreditasi. Suatu hal yang perlu pembiasaan. Dan satu hal yang sangat penting pula, kami diajarkan bagaimana menyadari diri bahwa ada hal yang tidak tahu dan bagaimana mencari solusi atas itu.


Menjalani hari di ruang endoskopi, tutorial, mengikuti visite satu rumah sakit, makan siang dan malam bersama rekan sejawat (tuan muda, tuan puteri, nenek degeneratif, si sipit, si tonggos) dan dokter observer, menjadi hari-hari bernilai. Dan pada akhirnya di hari terakhir, terasa memang hari berjalan begitu cepat dan pada akhirnya kenangan Carolus membekas.


Pada akhirnya


Pada akhirnya menjalani ujian yang panjang, saya telah melalui stase ilmu penyakit dalam. Dan saya mendapat banyak hal di sini.

Minggu, 25 April 2010

Semarang, aku datang.

Lawang Sewu, sebuah landmark Semarang


Siklus ilmu penyakit dalam sudah selesai, dan dimulailah siklus ilmu kedokteran kehakiman atau forensik. Seharusnya, tulisan ini adalah sedikit memoar mengenai kejadian di ilmu penyakit dalam. Tapi nantilah tunggu ada masanya.

Hari ini dimulai dengan perjalanan kami 19 orang dari Atma Jaya, berkumpul di Soekarno Hatta, menaiki Boeing 737-900ER baru dari Lion Air menuju Ahmad Yani Semarang.

Yap, Semarang. Kota yang dalam impresi saya mirip Medan, dulu ketika saya menghadiri Temilnas BAPIN-ISMKI 2008. Jelas, lebih besar dari Pontianak. Kotanya padat dan sedikit asing bagi saya, mungkin saya yang tidak terbiasa dengan satu kota berlogat Jawa. Hahaha... karena terbiasa dengan logat Betawi di Jakarta.

Saya pun telah melihat beberapa tempat yang ingin dikunjungi, Sam Poo Kong, Lawang Sewu, dan jelas RS dr. Kariadi yang akan menjadi rumah kedua selama satu bulan kepaniteraan forensik ini. Dan saya pun mengambil tempat singgahan di Jalan Solo, tak jauh dari RS. Kamar yang saya tempati memang relatif kecil, namun besar harapan akan menjadi rumah yang mengasyikkan dan akhirnya tetap menjadi suatu kerinduan.

Dan Semarang, semoga kepaniteraan ditempatmu ini berkesan!

Selasa, 20 April 2010

Med-life: Berkorban, Mengorbankan?

Ada hal menarik yang dituliskan oleh Kendra Campbell di Medscape Student. Ia mengisahkan bagaimana hidup seorang mahasiswa kedokteran sangat dipengaruhi oleh hal kedokteran. Bagaimana belajar kedokteran itu menggunakan banyak waktu, membuat banyak pengorbanan, membuat sesuatu yang berlainan, sehingga penghuni di dalamnya perlu membuat perubahan atau penyesuaian kehidupan di dalamnya.

Belajar kedokteran adalah pengorbanan lebih. Waktunya yang lama. Tanggungjawab yang besar. Dunia yang berbeda. Di kala minggu, mungkin orang kebanyakan berekreasi, namun seorang dokter jaga mesti berekreasi di rumah sakit. Mungkin hal ini kalau dilihat secara umum, orang akan berpikir, "Kasihan benar, harus bekerja di hari libur." Atau mungkin diri sendiri berpikir demikian, "Kasihan saya." Namun di dalam prosesnya orang akan berusaha menggeserkan pokok pikiran seperti itu untuk berusaha menikmati tugas jaganya itu, walaupun di sisi lain orang dapat berpesta melepas tanggung jawab, seorang dokter perlu mengemban tanggung jawab.

Apakah kehidupan kedokteran merasuki orang di dalamnya? Iya. Setidaknya itu yang saya amati. Seorang dokter tetap menjadi dokter ketika ia sudah berada di rumah. Ia tetap ditelpon untuk konsul, jam berapapun, saat ia sedang apapun. 24/7 kehidupan tercurah. Sekali lagi, yang diperlukan adalah adaptasi yang sungguh luar biasa dan mungkin kemampuan untuk berlapang dada dan legawa untuk menerima tugas yang ada, dan haram untuk bersungut-sungut. Dokter saya samakan dengan tentara, ia harus siap sedia kapanpun.

Dari tulisan Kendra dan tanggapan dari mahasiswa kedokteran di seluruh dunia yang tercermin dari komentar tulisan tersebut, saya mendapati bahwa hal yang tak kalah penting adalah dukungan dari orang-orang sekitar. Dukungan tentu tak hanya sekedar dukungan, namun pengertian yang sungguh luar biasa terhadap kehidupan seorang (calon) dokter. Kehidupannya akan berbeda. Pengorbanan orang di sekitarnya, amat sangat diperlukan.

Bahasa itu Penting!

Saya menyukai bahasa. Mempelajari bahasa adalah mempelajari budaya suatu bangsa. Dan saya tidak pernah menyesal mempelajari bahasa.

Tentunya saya harus bisa menggunakan bahasa Indonesia, karena ini adalah bahasa resmi di negara saya. Saya harus bisa dalam tahap yang "gape", yaitu bahasa bisa digunakan dalam bahasa cakapan hingga bahasa ilmiah. Bahasa Inggris tidak terlalu baik, saya masih menggunakan secara pasif untuk akademik. Bahasa Mandarin pernah saya pelajari sejak kelas 4 SD hingga SMP dan masih bisa saya gunakan sedikit untuk cakapan sehari-hari. Bahasa Jerman pernah dipelajari juga tapi sayangnya tak selesai dalam kelas Zertifikat Deutsch-nya. Bahasa lain saya pelajari secara otodidak.

Saya menyadari bahwa bahasa adalah sesuatu yang teramat penting. Apalagi saya akan bekerja sebagai profesi yang memerlukan komunikasi dan berhadapan langsung antarpersona.

Saya baru mendapatkan tadi seorang pasien asli RRC yang baru saja pulang dari Pontianak dan mengalami demam 1 minggu. Ia saat itu membawa penerjemah, dan pada akhirnya penerjemah itu hilang, saya diminta untuk memberitahunya untuk menampung urine dan fases di botol bukal. Apa daya saya mencoba menggunakan bahasa yang saya tahu: "Xien shen, ru guo ni yao da bian he xiao bian, ni na zai zhe li. Ru guo hao le, ni ge yi gao xu wo men yung zhe ge (sambil nunjuk bel)." Bahasa yang aneh, gado-gado, nggak jelas. Tapi dia bisa mengerti juga.

Dulu juga terdapat pasien rekan yang berasal dari Pontianak, saya mengajaknya berbicara Tio Ciu, bahasa ibu di Pontianak. Memang, seketika suasana langsung berubah. Suasana kian akrab, seakan kami adalah keluarga yang sudah lama tak berjumpa.

Memang bahasa itu penting, itu kata bapak saya. Saya pun mengangkat jempol kepadanya. Ia menunjukkan kemampuannya bergaul dengan orang lain mulai dari bahasa dan komunikasi. Hal ini juga membuat saya berpikir untuk perlu mengembangkan bahasa ketika saya sudah menyelesaikan pendidikan kepaniteraan klinik ini. Mudah-mudahan bisa! =)

Rabu, 07 April 2010

Tidak Sengaja Menjadi (Calon) Dokter

Ada sebuah grup di situs jejaring Facebook yang unik, namanya Gaster (Ga Sengaja Jadi Dokter). Di dalamnya bayak cerita-cerita bagaimana mereka yang pada awalnya tidak ada pikiran menjadi dokter dan akhirnya terdampar di Fakultas Kedokteran dan tak sedikit yang berhasil bertahan hidup. Seperti yang pernah saya tuliskan bahwa, dokter bukanlah cita-cita saya sejak dulu. Saya ingin menjadi insinyur. Adapun dipikiran saya, insinyur adalah profesi yang mengagumkan. Membangun rumah, membangun gedung bertingkat bak di Jakarta. Menakjubkan.

Adapun suatu proses yang berjalan... Bahwa hingga saya SMP pun belum ada terpikir untuk menjadi dokter, yang ada ingin mencoba yang "menyimpang" (dalam artian tidak biasa di keluarga, mungkin saya yang pertama mempunyai profesi itu kelak di keluarga). Anggaplah wartawan. Sebuah pekerjaan yang menyenangkan, menulis mendeskripsikan pikiran, turun ke lapangan, mengamati lingkungan, bisa pergi ke mana saja. Tetapi sepertinya hal ini tidak cukup baik untuk diterima di keluarga. Sempat terpikir agak jauh, bagaimana bila menjadi rohaniwan? (Hahahaha....)

Adapun saran untuk menjadi dokter mengerucut di SMA, memperoleh segala pengalaman seperti mengunjungi panti asuhan, dan lainnya dan melihat begitu dapat luhurnya seorang dokter. Dan dukungan yang besar dari orangtua akhirnya saya menjejakkan kaki di FK. Tetapi selama di FK, masih banyak hasrat untuk melakukan yang lain. Entah itu menulis, berolah komputer, berjalan-jalan ke tempat baru dan jauh... Asia Timur, Eropa, Indocina... Hmmm....

Banyak impian yang sebenarnya bisa disebutkan "terhambat" ketika menjalani pendidikan dokter yang sangat padat (alias sedikit waktu luang, itupun banyak untuk tidur hahaha) Adapun hasrat ini disimpan dalam-dalam dan berharap agar dapat dikeluarkan di kemudian hari ketika waktu memungkinkan.

Ada sedikit keinginan agar pendidikan ini selesai, agar dapat melakukan hal lainnya... Ya bukan berarti tidak menikmati pendidikan ini. Tetapi mungkin sudah agak jenuh dengan pendidikan yang hampir 5 tahun ini. Dan saya tetap mengumpulkan semangat dan menjalani arung kehidupan.

Jumat, 02 April 2010

Pikiran akan Waktu


Pernah saya berpikir bahwa menjalani koas bukanlah masa yang membuat keilmuan kedokteran terserap sedemikian rupa. Koas, dalam masa 1,5 tahun adalah masa teramat singkat untuk menghabiskan tiap lembar buku teks kedokteran. Terlihat mustahil? Ya, memang mustahil. Namun saya menyadari bahwa, waktu koas bukan untuk demikian. Namun untuk bagaimana para dokter muda menyelami pengalaman, menggodok dalam otaknya, dan membuat caranya dalam menjalani kehidupan menjadi dokter. Pengalaman di sini adalah pengalaman yang tak tertulis di buku teks apapun atau yang selengkap apapun, yaitu cara berpikir, cara hidup, dan cara bertindak. Salah satu dari cara hidup adalah bagaimana menghabiskan waktu sebagai dokter klinisi.

Cara dokter klinisi menggunakan waktu mereka. Kehidupannya ketat dan tak jarang pulang malam. Bekerja dalam poli, bekerja dalam bangsal, belum lagi sebagai dosen pengajar dokter muda. Waktu berjalan begitu berdempet. Makan pun tak jarang begitu cepat, dan bekerja begitu keras, telepon genggam terus menerus berdering karena panggilan dari bangsal.

Bela saya, mungkin ini kembali lagi kepada tipe orang masing-masing, namun dalam pandangan saya sebagian besar pun demikian. Entah ini adalah patognomik untuk dokter? Saya pun berpikir dulu saya sebagai aktivis mahasiswa pun "dicap" sebagai pecandu-kerja, dan mengundang banyak tanya. Dan saya kembali melihat hal seperti ini dan tidak jauh berbeda seperti saya dulu, menurut saya. Saya pun merenung lagi, bagaimana kehidupan saya kelak? Apalagi saya sendiri pun tak jarang kelimpungan mengatur waktu di koas, hingga kehidupan hanya berkisar antara belajar di rumah sakit dan tidur di rumah. Apakah kehidupan dokter demikian, atau mungkin, secara deduktif, apakah seperti inikah dunia kerja?

Dan saya pun kembali berpikir. Saya akan seperti apa kelak?