Selasa, 17 Juli 2012

Punya Blackberry, Benci Tapi Terpaksa

Ketika jaman-jaman tahun 2009,  ketiksa saya masih koas, saya memang tidak tertarik pada Blackberry. Mungkin yang saya lihat nilai plusnya, blackberry memiliki mobile internet yang lebih mahir dari ponsel lainnya, sehingga bisa menjadi alat pencari jawaban instan terhadap pertanyaan konsulen. BBM? Tidak tertarik.

BB termutilasi milik rekan saya, Ronald. Termutilasi dalam perjalanannya ke Yogya.


Well, saya memang fansnya Steve Jobs, jadi yang bisa membuat liur saya menetes adalah iPhone tentunya. Ya, saya tidak tertarik dengan Blackberry.

Saya melewatkan beberapa 2 siklus mayor dan 5 siklus minor dengan lancar jaya tanpa BB. Namun pada suatu ketika saya pun geram, ketika jarkom alias jaringan komunikasi via SMS sudah semakin meredup dan terkubur. Semua tersampaikan lewat BBM. Termasuk info, dosen datang, tugas-tugas, dan lainnya. Semua lewat BBM. Akhirnya mau tak mau pun saya menggunakan BBM, jika tidak saya masuk dalam jaman tanpa komunikasi.

Saya pun dibelikan BB Gemini 8520. Ini pun atas rekues adik saya yang gencar menginginkan BB. Saya pun mengangguk saja ketika ditanya apakah saya ingin dibelikan. Dan segala keluhan pun dimulai. Dari awal saya menilai, teknologi BB memang tidak sebanding harganya. Harganya terlalu mahal. Masih lebih baik ponsel Ericsson atau Nokia dengan harga yang sama, atau lebih layak iPhone dengan harga yang lebih mahal dengan fitur yang ditawarkan. Ya, saya menggunakan BB karena BBM. Setelah saya kerja sebagai editor, BB memang menjadi alat yang membantu yaitu sebagai media intenet bergerak dan media sosial (Namun ketika saya membeli iPad, bye-bye internet BB).

BB memang dahsyat di Indonesia. Semua memiliki BB. Bahkan ketika saya di Menjalin, banyak juga petugas Puskesmas yang menggunakan BB. BB sudah merasuki pedalaman bahkan di Kalimantan. Kecintaan masyarakat kita dengan texting memang melambungkan nama BB.

Kini BB saya timbul banyak masalah, entah mungkin karena usianya yang sudah uzur? Baterai sudah saya ganti empat, bukan, lima kali. Slot charger-nya sekarang bermasalah. Dan karena di Menjalin tidak ada blackberry shop, jadi perbaikan ini harus menunggu kepulangan saya ke Pontianak.

Memang apa yang saya rasakan, tanpa BB lebih damai. Tidak banyak spam-spam, test contact, dan entah hal remeh temeh yang harus saya periksa ketika bunyi atau indikator BB menyala. Memang ada hal yang penting juga, namun semuanya bisa dipindahkan melalui SMS di nomor saya dengan HP Nokia X1 yang sangat sederhana.

Namun saya masih berpikir apakah BB ini harus diperbaiki dan dilanjutkan dengan segala kekurangannya, atau membeli BB baru (saya memang agak melirik Armstrong dengan segala keekonomisannya), atau saya tidak membeli BB lagi? Saya mau iPhone.

Selasa, 10 Juli 2012

Balada Air PTT

Suatu hari itu saya ingin mandi pagi. Ketika sampai di WC rumah dinas, saya melihat bak tinggal sepertiga. Saatnya mengisi air, pikir saya. Saya pun mencolok mesin pompa air yang ada. Namun air tak ada setetes pun yang keluar. #kemudianhening.

Saya tak menyangka bahwa suatu saat saya akan merasakan yang namanya kekurangan air. Ya, saya masih ingat dulu sekali, mungkin 11-12 tahun lalu ketika saya belum beranjak ke Jakarta dan masih menetap di Pontianak. Saat itu aliran PDAM mati, dan ayah saya pun mau tak mau beli air jerigenan. Saya masih ingat, saya mandi dengan berdiri di atas waskom. Ya, air bekas bilasan mandi ini akan digunakan lagi untuk membilas BAB atau BAK di kloset. Efisiensi, katanya ayah.

Dan saat ini, di Bumi Samabue, Menjalin. Saya pun merasakannya lagi. Saya seperti buaya di game Where's My Water? yang "nangis" karena tidak ada air. Tentunya saya tak menangis secara harafiah. Namun otak saya pun berteriak, saya mau mandi dan cuci dengan apa nanti?

Di Bumi Samabue, musim hujan sepertinya sudah mulai berlalu dan frekuensi hujan mulai berkurang. Jika kemarau tiba, konon kata Perawat, adalah masalah bagi rumah dinas dokter. Ya, rumah dinas dokter hanya memiliki sumur dangkal, bukan sumur air tanah yang dalam. Jadi, sumur ini mau tak mau bergantung dengan air hujan yang turun.

Nampung air!


Air ini memang saya gunakan untuk MCK (mandi, cuci, kakus). Untuk air minum, saya berlangganan air galonan dari perawat yang membuka usaha air galonan (konon, airnya dari mata air gunung di Anjongan). Ketika air tak ada, saya harus berpikir keras mana yang harus diprioritaskan. Saya mungkin saja tak mandi, kalau menurut saya badan tidak bau-bau amat. :D Kalau masalah kakus sepertinya tidak bisa ditawar karena menahan BAB adalah derita terberat di dunia. Hehehehe XD. Untuk cuci memang menggunakan air yang cukup banyak apalagi kalau cucian baju sangat banyak. Biasalah, saya menumpuk baju, sampai tampak persediaan baju bersih sudah tak cukup baru akan dicuci.

Air hujan adalah rejeki bagi saya, dokter PTT di Menjalin. Saatnya saya menampung air hujan yang menetes dari atap dan berharap-harap sumur saya nan dangkal itu terisi sebanyak-banyaknya. Saya pun mengamati setiap tetes air yang jatuh dari atap rumah. Mungkin, saya berkilah dalam hati, ini pengalaman bagi saya juga untuk dapat menghargai setiap tetes air yang ada.

Saya memang memikirkan apakah saya sebaiknya membuat penampungan hujan, tapi setelah menghitung cost-nya, saya tinggal 8 bulan lagi. Ya, saya memutuskan untuk menikmati "derita" ini. Toh, kalau hidup saya mulus-mulus saja di PTT ini, nanti tidak ada kisah yang bisa saya bagikan di blog ini dan untuk anak cucu saya kelak.

Dituliskan di Rumah Dinas Dokter Puskesmas Menjalin. Selasa, 10 Juli 2012. 15:30 WIB.
Di saat sore dengan hujan yang hanya rintik-rintik saja X(

Rabu, 04 Juli 2012

Renungan PTT Bulan Ke-3: Biaya Jasa Konsultasi Dokter yang Terlupakan

Siapa yang di dunia ini tidak mau tidak dihargai? Tentu semua orang mau untuk dihargai selayaknya dan sewajarnya. Menghargai adalah suatu keinginan dari semua manusia. Penghargaan adalah suatu keinginan tertinggi, bahkan suatu bentuk aktualisasi diri, yang menjadi puncak dari kebutuhan manusia menurut Teori Maslow.



Saya sebagai dokter pun ingin dihargai selayaknya kami dihargai. Saya menghargai Anda, Anda pun menghargai saya. Suatu hal yang sudah tercantum erat dalam aturan emas.

Tulisan ini berawal dan tercetus dari pengalaman tadi siang bahwa ada pasien yang menghitung-hitung harga obat satu per satu karena menurutnya biaya berobatnya mahal. Ia tidak menghitung sesuatu yang disebut biaya konsultasi atau biaya jasa dokter. Pelayanan medis bukanlah pelayanan farmasi semata. Memang, jika dibalik, pelayanan farmasi adalah salah satu bagian pelayanan medis.

Dokter di desa-desa seperti saya ini memang tidak memiliki apotik, sehingga saya perlu menyediakan obat yang saya anggap perlu untuk pasien saya. Tak jarang saya juga harus mencari kesana kemari di kota untuk obat yang tidak ada pada distributor. Saya pun mencari obat yang kami anggap optimal bagi pasien, karena saya pun harus memikirkan bagaimana kantong pasien di desa. Kalau saya memilih bersikap tak mau tahu, tentu obat bermerek yang nilainya hingga ratusan ribu rupiah mungkin bisa saja saya bebankan. Namun semuanya diperhitungkan sedemikian rupa hingga semua pun baik bagi pasien dan juga tentu baik bagi saya.

Memang dalam renungan saya sebelumnya, bahwa saya memiliki pikiran apakah biaya yang saya bebankan menambah sekali derita pasien. Namun di satu sisi, saya pun harus memikirkan isi dapur dan masa depan saya. (Anak istrinya saya mau makan apa nanti?) Saya pun mendapat ilham generalisasi bahwa semua hal di dunia ini perlu sedikit surplus bagi siapapun yang menjalani usahanya. Kalau tidak dia mau makan apa? Tentu dalam penentuan surplus tidaknya ini harus mempertimbangkan banyak hal, jangan sampai keterlaluan. Lagi-lagi sewajarnya. Sesuai dengan teori analisis transaksional Thomas Harris: I'm OK, you're OK.

Sembari menulis ini saya mengingat kembali kata-kata dari guru saya, dr. Djoko T. Basuki Sp.OG, bahwa, "Kamu harus PTT, untuk mendewasakan diri kamu sebagai dokter." Ya, saya setuju. Setidaknya inilah yang berkecamuk dan berbaur dalam pikiran saya, segala idealisme saya dipadukan dengan apa yang terjadi dalam masyarakat, membentuk sesuatu hal yang disebut realitas kehidupan seorang dokter.

Selamat datang dalam rimba raya kedokteran.