Sabtu, 15 Oktober 2011

Rupiah Pertama Sebagai Dokter

Sebenarnya saya cukup menantikan hari ini. Ya ini adalah pekerjaan medis saya pertama sejak disumpah menjadi seorang dokter.

Dan yang cukup membanggakan dan kenangan bagi saya, saya mendapat pendapatan pertama saya sebagai dokter. Bahwa peluh saya sebagai dokter bisa menghasilkan dan membiayai sedikit dari hidup. Memang ini adalah salah satu hal yang menjadi perhatian bagi saya. Saya sebenarnya cukup iri melihat rekan-rekan saya yang sudah bekerja dan sudah bisa memiliki pendapatan. Tetapi saya di usia 24 tahun ini dan baru saja resmi berprofesi. Saya harus bisa mandiri, untuk kelak bisa menghidupi diri saya dan keluarga saya di waktu depan.

Saya sangat senang. =) Thanks God.

Rabu, 12 Oktober 2011

Nag-aaral ako ba sa Pilipinas?



Kumusta po kayo. Ako si Andreas. Nagtatrabaho ako sa TDA. Doktor ako. Medicine ang major ko. Ikinagagalak ko pong makilala kayo.

Ini adalah sepenggal kata-kata yang keluar dari mulutku. Aku mengulang-ulang kata ini. Layaknya aku sedang berbicara dengan lawan bicara ku. Terkadang lidahku terselip, aku pun salah mengucapkan kata-katanya. Ya, aku sedang belajar bahasa Tagalog, bahasa nasional Filipina.

Aku sebenarnya sudah mulai belajar bahasa ini sejak April lalu, setelah aku menyelesaikan keseluruhan studiku menjadi koas. Di situlah aku mulai resah, bahwa waktu-waktuku di fakultas kedokteran ini tak lama lagi akan berakhir. Jarum jam sudah mulai berdetak berlari. Ke manakah aku akan berlabuh dalam jalan hidupku berikutnya? Ketika inilah aku menentukan arah hidupku menjadi seorang dokter.

Beberapa pilihan melayang-layang di dalam benakku. Apakah aku akan belajar ilmu kedokteran spesialistik? Spesialistik apa? Kalau iya di manakah akan kuambil? Di Indonesiakah? Di Filipinakah? Di luarkah? Banyak tanda tanya dalam pikiranku. Semua hal ini membuatku semakin di dalam gulana.

Aku berpikir dalam segala hal, semua hal memiliki jalan terjalnya masing-masing. Jalan terjal yang amat sungguh curam. Aku harus benar-benar mempersiapkan segala perlengkapanku, dimanapun jalan itu. Walau tak pelak juga aku harus berkelahi dengan impianku. Pertentangan antara cita dan realita. Walau aku pun tak boleh angkuh dengan diriku, bahwa aku harus mencari jalan tengah.

Aku menetapkan diriku. Aku berpikir untuk menjadi kardiolog. Walau tak jarang juga pikiran-pikiran yang menjerumuskan masih terngiang dalam telingaku. "Apakah engkau yakin ini jalanmu? Apakah engkau benar telah siap menanggung semuanya? Segala kesulitan dan kesenangannya?" Memang ini tampak seperti aku akan menikah saja, mengikatkan sebuah janji sehidup semati. Tetapi, inilah penentuan satu lagi batu pijakan dalam hidupku.

Aku pun berpikir lagi, ke manakah akan ku jalani hidupku ini? Apakah di Indonesia? Di Filipina? Di entah negeri dongeng mana yang akan kutempuh? Aku sempat memasukkan Filipina dalam daftarku, namun setelah aku berpikir, sebaiknya aku menempuh dulu jalan terdekat, yaitu di Indonesia. Walau sebenarnya aku tak mengubur penuh impianku untuk menimba ilmu di luar negeri. Tapi apa daya inilahh hukum dan aturan yang berlaku di negeriku. Aku pun masih bermimpi untuk suatu saat ke sana, entah sebagai pencari ilmu atau pelancong.

Namun kini aku tak menyesal bila masih membuka buku Tagalogku. Aku masih menyimpan impianku.

Pupunta ako.

Rabu, 05 Oktober 2011

Dokter pun Juga Manusia, Cemas Bila Dibedah


Cemas. Yup, ini yang saya rasakan menjelang operasi esok hari. Besok pukul 4 sore, saya akan menjalani bedah untuk ekstraksi atau pengeluaran gigi bungsu saya yang tumbuh miring tidak pada tempatnya. Apapun itu yang saya rasakan adalah cemas. Saya tahu saya adalah seorang dokter. Seorang dokter! Namun kini saya berposisi sebagai seorang pasien. Pasien yang cemas menghadapi operasi.

Mengingat pasienku dulu


Saya masih ingat betul, 2 tahun lalu, ketika saya menjalani pendidikan profesi. Tepat waktu itu saya menjalani siklus ilmu bedah. Saya masih ingat Tuan R yang mengalami fraktur pada tulang di kakinya (os calcaneus kalau saya tak salah).

Karena saat itu siklus masih bersifat integrasi dengan anestesi, saya juga melakukan pemeriksaan pra-bedah (pre-op). Saat itu ibu dan ayahnya cemas bukan main, mereka khawatir dengan bedah ini. Mengingat mereka sempat kehilangan anaknya yang tak bisa tertolong karena meninggal akibat kecelakaan. Cemaslah mereka. Saat itu, saya adalah dokter muda yang menangani kasus itu. Saya hanya bisa menepuk bahu sang ayah, "Tenang pak, kami mencoba melakukan yang terbaik. Berdoa untuk dia dan kami ya." Saat itu saya mungkin hanya berkata sesuai dengan apa yang diajarkan dalam buku teks medis, bahwa sebagai dokter kita harus mendukung pasien, atau meningkatkan semangatnya. Saya kira hanya dengan begitu, selesai tugas saya, dan pasien menjadi tenang. Kini saya sadar bahwa apa yang saya lakukan mungkin hanyalah sebuah untaian kata dalam checklist buku teks.

Pecundang?

Saya sempat berpikir lagi dalam hati dan kembali merenungkan kebodohan saya. Hati saya berujar, "Hei kamu bodoh. Kamu adalah dokter. Kamulah yang selama ini mengatakan kepada pasien untuk tak perlu untuk cemas. Kamu yang selalu mengatakan semua akan baik-baik saja. Namun apa yang kamu rasakan kini?" Saya tampak menjadi pecundang.

Saya kembali berujar dalam diri bahwa esok adalah operasi kecil, operasi minor pada gigi. Saya mencoba menenangkan hati, tak perlu cemas. Jangan saya terus melebih-lebihkan. Namun saya pun harus jujur pada hati saya dan membiarkan di kepala saya menari-nari, "Bagaimana ya besok? Apakah akan terasa sakit? Ya Tuhan, semoga baik-baik saja."

Menjadi dokter, saya harus sedikit mematikan rasa. Saya harus tampak tenang dan tegar menghadapi apa yang disebut kesakitan. I should become an angel. Namun semua ini semakin saya sadari bahwa saya dokter, namun saya juga manusia. Saya juga seorang pasien.

Dan saya kini hanya berdoa dan Tuhan akan mengatakan, "Semua akan baik-baik saja."