Senin, 30 November 2009

Apa yang Saya Pelajari di Bedah?


Saya (berjongkok) dengan rekan-rekan bersama dengan dr. Iwan, SpB
saat perpisahan di bangsal bedah di RS Atma Jaya


Hari ini adalah hari pertama di stase Ilmu Kesehatan Masyarakat. Apa artinya? Saya memasuki babak kedua dari sebelas babak yang ada di kepaniteraan klinik yang harus saya jalani. Sebelumnya saya mengenyam babak pertama di Ilmu Bedah sejak 14 September lalu hingga 28 November kemarin. 11 minggu yang mendebarkan.

Seperti pikiran saya yang sudah ditulis pada artikel sebelumnya, bahwa saya memulai koas ini dengan rasa yang campur aduk. Sebelum kepaniteraan umum (masa pra-koas) tepatnya. Saya menimbang-nimbang di dalam benak saya, apakah saya layak dan pantas untuk masuk ke dalam babak baru dalam pendidikan saya ini? Lantas apa yang harus saya perbuat? Apakah saya dapat mempertanggungjawabkan diri saya dengan mengenakan jas putih ini?

Dengan pikiran yang beraneka ragam yang mencuat ini saya pun dengan berjalannya waktu, melangkah ke pintu koas yang diawali dengan stase Ilmu Bedah.

Saya masuk dengan rasa deg-degan, was-was, dan juga satu rasa kekaguman bahwa akhirnya saya masuk koas juga. Suatu kebanggaan paling tidak bagi orang tua dan keluarga, bahwa saya telah melalui sebuah batu loncatan, milestone.

Saya pun harus melewati saat-saat sulitnya saya dengan rekan-rekan lainnya, ketika bagaimana harus melakukan sesuatu sebagaimana mestinya. Melakukan SOAP yang semestinya, bertindak peduli dan profesional di hadapan pasien, sikap belajar tiada batas. Hal ini menuntut bahwa saya semestinya bekerja keras untuk meraih apa yang saya mau capai. Walaupun saya kini masih tidak sempurna menorehkan hal itu dalam diri saya, namun pelan-pelan harus tertanam.


Saya dan rekan-rekan dokter muda bedah yang berdinas di RS POLRI bersama
dr. Agus Pudjo, SpOT

Ketika saya kemudian dinas di RS Polri sebagai dokter muda bedah, saya pun merasakan hal lainnya. Ketika di bangsal, terus terang, saya sangat senang mendengar kisah-kisah luar biasa dari pasien. Mendengar bagaimana pasien saya yang TKW diperbudak oleh majikannya, sehingga terkena cedera perut. Bagaimana pasien saya (dua polisi dan satu TKW) yang ternyata satu kampung halaman dengan saya, bercerita bagaimana penyakitnya yang kompleks dan bercerita kehidupan kami di kampung yang sama. Dan kami pun bisa berbicara bahasa Melayu Pontianak yang kental.

Saya pun mengenal salah satu pasien yang saya follow-up setiap hari, seorang ibu asal Padang, dengan tumor mammae yang menurutnya sudah berkali-kali berobat. Namun dia masih menebar senyumnya dan dengan tegar bercerita akan benjolan di payudaranya yang tidak kian sembuh. Namun ia sempat berkata, bahwa yang membuatnya bertahan adalah semangat hidupnya. Semangat yang membawa dia kembali hidup, dan rasa takut akan kematian pun sirna. Dia pun sedikit tersenyum ketika saya menyalaminya assalamualaikum. Ia bertanya, "apakah dokter Muslim? Dokter orang China kan?" "Iya bu, saya China. Tetapi saya seorang Katolik. Memang kenapa ibu?" Ternyata katanya saya mau dikenalkan dengan sanak saudaranya. Hahaha... Sebuah candaan tentunya. Dan ketika diakhir minggu dinas saya, saya masih sempat bertemunya di poliklinik bedah tumor. Saya memang sedang terburu-buru melewati poliklinik. Dan ketika itu ada yang memanggil saya, "Dok... Dokter!" Siapa itu? Ternyata ibu tersebut. Saya masih dikenal ternyata! =) Dan puji Tuhan, keadaannya membaik. Ketika saya mengatakan ini adalah minggu terakhir saya, dia masih mengatakan, "Wah kalau ibu sudah baik, sebenarnya ibu mau memasakan rendang Padang." Saya pun tersenyum.

Banyak yang saya pelajari saat saya berada di bedah. Namun yang paling berkesan bagi saya adalah ketika saya berjumpa dengan pasien dan mereka pun masih mengingat kita dalam senyuman dan kita pun dapat melihat mereka tersenyum kembali selepas dari penyakit mereka. Apalagi ketika mereka berterima kasih kepada kita. Artinya, kita berarti bagi mereka.

Saya pun akan terus melangkah dengan tantangan baru dengan perasaan yang lebih optimis bahwa saya pun berarti untuk pasien, dan di sinilah eksistensi seorang dokter ditegakkan dengan teguhnya!

*Ditulis di Bengawan Solo, Mal Kelapa Gading sambil menikmati segelas Brandy Cookies *nyam* (maunya sih segelas Java Chip Caramel Frapuccino dari Starbucks, tapi lagi akhir bulan alias kekurangan uang) dan mencari inspirasi untuk tulisan berikutnya =) Tapi sepertinya berkas PDF Participatory Learning Appraisal (benar tidak ya saya menulisnya?) tugas dari Prof Charles sudah menunggu untuk dibaca. Hehehe....


Minggu, 29 November 2009

Bila Orang Miskin (Dilarang) Sakit

Pikiran ini terjadi dikala saya tengah dinas jaga di UGD.
Ini terjadi ketika seorang pasien, sebut saja Tn A, datang ke UGD karena kepalanya tertimpuk batu dan kulit kepalanya robek. Dan seperti SOP yang ada, saya dan rekan melakukan tindakan penjahitan. Setelah itu datanglah isterinya yang dengan begitu menangis dan meratapi suaminya yang terbaring dengan verband di kepalanya. Memang dasar pikiran saya yang terlalu dangkal, saya sempat bertanya dalam hati, "Mengapa ia menangis begitu hebat? Padahal suaminya sudah tidak apa-apa. Nyawanya tidak terancam lagi."

Dan saya pun mendengar percakapan mereka, "Mas, saya nanti akan minta pertanggungjawaban mereka.", tukas isterinya seraya menangis. "Mas tunggu di sini aja". Dan isterinya pun meninggalkan UGD.

Waktu berjalan dan Tn A hanya terkulai di atas brankar. Dan sekira-kiranya 4 jam berlalu, isterinya datang ke UGD lagi. Saya hanya menatapi dari jauh, isterinya menangis lagi sambil menunjukkan bon rumah sakit dan beberapa lembaran lima puluh ribuan. Dan setelahnya, isterinya menghampiri saya, "Dok, ini saya mau membayar. Saya dan suami ingin pulang." Dan dia menyerahkan bon dan uang yang tergulung di dalamnya. Saya membuka dan saya menemukan bahwa uang yang ada kurang Rp 30.000,00 dari biaya yang tercantum. Dan ketika itu isterinya berkata lagi, "Dok, suami saya kerja bangunan. Dan sekarang sedang tidak ada kerja. Ini yang kami punya." Saya pun memberikan bon itu ke petugas administrasi yang ada. Dan kami pun berdiskusi untuk bagaimana agar mencukupi. Memang, tak pelak pada dasarnya biaya pun mahal dan bagaimana diatur agar mereka pun tak terbebani.

Isterinya pun kembali mendekati suaminya dan menangis lagi.

Dilarang Sakitkah Mereka?
Memang sebuah hal yang miris ini masih kerap terjadi pada mereka yang hidup di Indonesia ini. Kekurangan biaya untuk kehidupan primer mereka. Apalagi mereka harus menangani hal-hal yang di luar perkiraan mereka seperti kecelakaan ini? Dan ketika berhubungan dengan kesehatan dan nyawa, apakah mereka memiliki hak yang sepadan dengan mereka yang berobat sakit perut di Singapura?

Saya sempat terlintas untuk berpikir, bagaimana kalau saya mengambil dari kocek saya untuk menalangi biaya mereka? Mungkin saja, hal ini solusi tercepat. Tapi hal ini bukanlah solusi yang terbaik.

Mereka yang hidup dengan antara $1 dan $2 setiap harinya harus menanggung beban yang berat. Tidak ada jaminan bagi mereka. Tidak ada suatu sistem yang dapat melindungi mereka. Mereka pun hanya akan hidup dalam lingkaran setan yang hanya akan kian menjerat. Kemanakah sistem itu? Siapa yang harus melindungi mereka?

Dan lantas saya berpikir lagi.

Senin, 23 November 2009

Pagi yang Kacau

Hari ini hari yang kacau tapi alhamdulilah akhirnya tidak apa-apa.
Pagi ini biasa, terbangun pada pukul 04:00 pagi. Badan ini sepertinya sudah terbiasa dengan apa yang terjadi selama 5 minggu. Ya, selama menjalani kepaniteraan di bedah POLRI saya selalu bangun jam 04:00 agar dapat bersiap untuk berangkat ke RS POLRI Kramat Jati pada pukul 05:00.

Kini saya sudah pulang kandang, stase di POLRI sudah berakhir Jumat lalu dan welcome back to RS Atma Jaya.

Berangkat pukul 06:10 denga Vrila. Dan sampai di kampus parkir di Rumah Duka. Rumah Duka? Yup selama di POLRI kemarin saya lupa memperbaharui langganan parkir saya dan jangan memaksa saya untuk menghabiskan Rp11.000,00 untuk parkir di sana. Kalau di Rumah Duka bisa Rp2.000,00 mengapa tidak? Hm....

Seperti biasa, mengambil snelli, memakai nametag, menggendong tas ransel biru yang kian kusam dan resletingnya rusak menjadi-jadi. Well, saya baru teringat mana ya map sakti saya? Sepertinya tadi malam tidak melihatnya.

Map sakti? Yup itu adalah map-plastik-bening-yang-berisi-dokumen-akademik-selama-di-POLRI. Isinya juga terdapat buku nyawa. Duueengg....! Alhasil hati tidak tenang, takikardia, keringatan... Tanda-tanda shock?

Dan saya baru sadar, HP tertinggal. Untungnya masih ada Vrila dan menelpon ke rumah... Sampai telepon berkali-kali... Hasilnya nihil. Aduh dimana ya? Apakah mungkin ada di bangsal ya? Dan tidak ada! Pikiran semakin kalut. Dan saya baru sadar.... sepertinya ketika Sabtu saya ada membawanya saat mau case dengan dosen. Dimanakah? Perpus? Ruangan case? Auditorium? Kalau hilang apa kabar saya? Hilang nyawa?

Pikiran semakin kalut.

Ketika bangsal tenang, saya ijin untuk mencari. Tapi perasaan semakin yakin bahwa map-plastik-bening-yang-berisi-dokumen-akademik-selama-di-POLRI itu ada di perpustakaan. Berharap bahwa penderitaan ini berakhir. Dan ketika saya ke perpustakaan, masuk ke ruangan petugas, dan melihat sesosok yang serupa dengan map-plastik-bening-yang-berisi-dokumen-akademik-selama-di-POLRI...

Taa-daa~~
Lempar-lempar convetti di dalam hati....

Ketemu! Ah puji Tuhan.
Dan kini siap untuk ujian gizi...
Ohya belum lagi saya menulis mengenai bedah di POLRI. Hm tunggu hati tenang dulu kali ya. =)

Selasa, 17 November 2009

Neohabitus ec Koas

Pagi2 kita sudah harus buka mata, pergi mandi, sikat gigi, mana masih ngantuk
Tapi yang namanya koas mana pernah bisa tidur puas

Tanpa sarapan pagi, ku tetap langkahkan kaki menuju Rumah Sakit tempatku berbakti

Tempat kerja mana tidak pernah digaji

Okodong..

Padahal eyk sarjana kedokteran Tapi cuman dihargai dengan nasi rantangan

Eyk bertugas dalam bangsal berbau tengik

Dimana pasien yang masuk akut jadi kronik

Kumulai follow up hitung nadi dan napas, auskultasi pake stetoskop

Selanjutnya nulis resep lanjut terapi

Sambil nunggu visite dokter dikamar ini

Tiba2 perawat mengetuk pintu, itu tandanya ada pasien baru

-Kutipan dari Eppink-Laporan Jaga Malam

Koas Bedah di POLRI bersama Koas Anestesi

Lagu ini adalah lagu lawas yang sudah berkibar di dunia lagu indie 2 tahun silam. Konon, pengarang yang adalah seorang koas yang menjalankan pendidikannya di FK UNHAS Makassar. Yup saat saya pertama mendengar lagu ini di pre-klinik sepertinya hanya sebuah guyonan. Namun dua tahun kemudian, ketika saya menjalani minggu ke-10 pada pendidikan klinik saya, inilah kehidupan baru, demikian pikir saya.

Lagi-lagi, menjadi seorang koas bukanlah hal yang mudah. Penuh pergolakan hati -terus terang saja-. Ketika seorang sarjana kedokteran baru dihadapkan dunia yang 180 derajat berbeda dengan apa yang dialami selama 4 tahun belakangan. Persoalan mungkin tak hanya berkisar mengenai adaptasi yang dangkal. Adaptasi sedalam-dalamnya diperlukan. Terkaget-kaget? Mungkin saja.

Banyak hal yang saya alami yang jauh dari saya yang alami sebelumnya. Berbagai neohabitus (kebiasaan baru) timbul dalam diri saya.

Keseharian

Keseharian jelas berbeda dengan anak preklinik yang datang untuk mendengarkan kuliah, dan terpaksa kalau mengantuk bisa mengambil baris belakang untuk sekadar menutup palpebra (tidur). Namun koas? Datang sudah harus lebih pagi, bukan, lebih subuh. Dan seketika tiba di rumah sakit, sudah harus SOAP pasien dan kemudian menunggu untuk konsulen datang. Sementara itu, di kepala sudah melayang-layang kira-kira pertanyaan apa yang akan muncul saat visite.

Biasanya setelah visite dilanjutkan dengan kegiatan rutin, entah itu menjaga poli atau bangsal, hingga pukul 14:00 (yang tertulis). Dan pulang ke rumah, mulai mencari jawaban PR yang diberikan dosen dan... tanpa terasa sudah menginjak malam dan mata dengan spontan tertidur. Dan... sebelum ayam berkokok, orang lain di rumah bangun, alarm sudah berbunyi.

Berbeda keseharian dulu yang masih bisa membaca headline koran yang dilempar oleh tukang koran pada (05:30 pagi). Atau menonton berita malam di teve saat rehat malam (bahkan saat Gempa Padang dulu saya mengetahui 1-2 hari setelah kejadian!). Membaca buku-buku non-medis. Atau menyentuh PSP? Semua sudah amat sangat jarang terjadi lagi. Dan waktu luang sisa di hari sabtu minggu (dengan catatan kalau tidak ada jaga malam atau kerjaan cito -mendadak), badan ini meminta tidur, tidur, dan tidur. Bahkan tidur menjadi sarana relaksasi tertinggi.

Neohabitus, jalani saja ya?

Minggu, 01 November 2009

Lelah

Mungkin saya memerlukan sesuatu yang merelaksasikan pikiran dan diri. Sehingga niscaya saya mampu menghadapi hari-hari ke depan. Saya bukanlah superman yang bisa menggapai semua, mengolahnya, menyelesaikannya. Namun saya berpikir lagi, apakah baik saya telah memeyorasi pikiran dan argumentasi saya?

Hidup kini hanya dihitung dalam jam, ketika dinilai berapa banyak saya mampu menikmati hidup. Menjalani jejak hidup dalam tawa. Hidup hanya hadir dalam belajar dan lelah akhirnya lelap dalam tidur dan terbangun lagi dalam rutinitas hidup. Namun saya tetap berusaha berpikir positif, namun jelas saya teramat lelah.