Rabu, 23 Mei 2012

Repo, Mae Kitak?

Dalapm diri aku bakata
Marasa sabebet udara dalam idukng
Udara nang atakng
Basengat nang dalapm

Ka' maraga aku baampus
Marasa diri nang tuha
Nanak ada lagi kamuda
Nanak ada lagi nang de' e

Kade aku bermimpi
Tentang ari-ariku nang repo
Ari dan ati Bacuramin ka masa nang lalu
Kade ariku nang aya'
Udahka ati uga'?

Ahe samua nang enek
Enek dan sabebet sabebet

Au', aku harus manarima samua
Baik kah jahat
Nian nang damanyu dunia
Lekoa lah idup Aku tarus balajar

Arukng idup
Nang aku nanak tahu sangahe lama agik
Aku pun hanya panjatnan doa ka Tuhan
Mancari mae ari nang repo

Menjalin, 23 Mei 2012



*teks dalam bahasa Dayak Kanayatn. Jika pembaca menemukan kesalahan tata bahasa, mohon disampaikan. Penulis pun juga tahap belajar bahasa ini.

Selasa, 15 Mei 2012

Rosario Perkenalan Dokter

Selasa, 15 Mei 2012, 19:00 WIB

Malam ini adalah malam rosario di tempat rumah dinas saya. Suatu momen juga yang menjadi milestone saya bersama warga setempat terutama Lingkungan Dusun Sei Bandung, Menjalin.




Pada awalnya memang saya tak terpikirkan untuk terlibat aktif dalam doa rosario yang dijalankan bergiliran pada setiap warga. Kegiatan ini memang dilakukan dalam rangka Bulan Bunda Maria pada Mei dan Oktober.

Pada hari minggu lalu, kebetulan rumah Bu Nia, perawat yang ada diseberang saya -masih dalam kompleks Puskesmas- menjadi tuan rumahnya. Kemudian Bapak pemimpin doa, Pak Willy, menanyakan bagaimana bila di rumah Pak Dokter? Memang sebelumnya rumah saya belum terdaftar karena daftar ini sudah dibuat dua bulan sebelumnya. Lagipula, dokter PTT sebelumnya adalah seorang non-Katolik. Saya pun mengiyakan.

Ternyata pada hari ini, doa rosario begitu ramai, banyak ibu-ibu dan anak-anak hadir -bapak-bapaknya hanya bertiga saja-. Dan memang banyak didoakan bagi saya dan warga dalam ujud-ujud doa. Saya pun menjadi merinding, apalagi ketika Pak Willy mempersilahkan saya memperkenalkan diri sebagai warga baru Dusun Sei Bandung. Wah, saya senang sekali. Sayapun sempat berkata, "Panggil Saya Pak Andreas, jangan melulu Pak Dokter." Dan ini mengundang tawa dan senyum, memang nama asli saya seakan tenggelam dan panggilan Pak Dokter.

Saya pun senang bisa berbaur dengan warga setempat mengingat saya yang sedikit kaku, namun saya sebagai dokter harus tetap dapat mencair dengan warga.

Terima kasih warga lingkungan Dusun Sei Bandung, Menjalin. :)

Selasa, 08 Mei 2012

Satu Bulan PTT: Kontrol Diri.

Tulisan ini sebenarnya dituliskan dari sisa-sisa baterai laptop dan baterai modem wi-fi saya, di tengah mati lampunya Menjalin yang entah keberapa kalinya hari ini. Dan tiba-tiba terlintas di benak saya bahwa saya kira-kira hampir genap satu bulan bertugas sebagai dokter Pegawai Tidak Tetap Kementerian Kesehatan RI di Kecamatan Menjalin, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Saya pun terngiang di dalam hati, apa yang saya dapatkan selama bulan ini? Apa yang saya harus saya perbaiki dalam menjalani sebelas bulan sisa waktu saya sebagai dokter PTT? Dan saya pun terhisap dalam pusaran ketikan isi pikir ini.

Adapun yang saya dapatkan adalah sebuah perubahan dalam diri saya. Saya yang sudah sekian lama tenggelam dalam hingar bingar ibukota. Ya, saya hampir 10 tahun lebih berada di DKI Jakarta sejak saya melanjutkan pendidikan SMA hingga lulus dokter. Saya terbiasa dengan hidup dalam ibukota. Bahkan ketika saya berlibur di Pontianak saat itu, saya merasa lebih betah di Jakarta. Terutama lagi ketika saya sudah bersama Si Perak (Mobil Avanza saya) sejak 2008. Saya merasa bebas kemanapun saya mau. Saya bisa menikmati internet super kencang, mengunduh berkas berkapasitas besar dalam waktu singkat, menonton siaran apapun yang saya mau. Istilahnya saya tak perlu lagi jin botol.

Namun semua berubah di sini, di sebuah daerah. Saya tahu bahwa kota ini tak jauh-jauh benar dari ibu kota provinsi (2-3 jam dengan bus umum). Namun keseharian di dalamnya, membuat saya hidup dalam kesederhanaan. Sederhana bukan berarti buruk.

Saya bertempat di Dusun Sungai Bandung, sebuah dusun yang berjarak 2 kilometer dari Pasar Menjalin. Pasar di sini artinya deretan ruko yang memiliki tingkat keramaian yang lebih intens. Jika sudah pukul 18:00, yang saya dengar hanyalah deru kendaraan yang lewat di depan, suara jangkrik, dan suara anak perawat yang ada di depan. Rumah tetangga pun tak banyak di sini. Bahkan jam 20:00 atau 21:00 pun saya sudah tidur, atau kalau tidak sampai jam 23:00 kalau sedang asyik berselancar internet (kalau sinyalnya pun sedang "waras").

Keseharian saya? Bangun pukul 5 atau 6, menyiapkan makan pagi, mandi, menunggu jam dinas, lalu dinas sampai siang, setelahnya pulang, saya menyiapkan makan siang (tanak nasi, memanaskan sayur jadi yang baru dibeli di Bu Iin, penjaja sayur keliling langganan saya), lalu melayani pasien yang datang ke rumah, menunggu malam, tidur, dan siklus pun berulang. Saya pun juga menyiapkan DVD serial sebagai hiburan dan puluhan game di iPad. Saya tidak membawa teve di sini, walaupun sebenarnya bisa, namun saya tak mau menambah beban pindahan kelak. Saya pun jarang menonton teve, kecuali siaran berita. Inilah keseharian saya. Lalu saya turun ke kota Pontianak pada akhir pekan, untuk membeli barang konsumsi yang memang sudah berkurang. Jika tidak turun kota, maka saya akan melewatkan akhir minggu di Menjalin.

Yang saya sadari bahwa selama PTT ini saya menjadi orang yang tidak meminta macam-macam. Kalau di Jakarta, saya mengingat bahwa begitu kompulsifnya diri saya untuk bertandang ke Gramedia. Sangat kompulsif. Kemudian ketika diri mencetuskan keinginannya untuk makan sushi, maka sistem limbik ini menjadi aktif. Namun di sini, ketika saya terpikir sesuatu, tidak ada yang bisa saya peroleh di sini. Saya mencoba mengontrol diri saya.

Begitu pula dengan keadaan lainnya. Saya adalah orang yang tidak bisa tidur tanpa AC, mungkin saya tidur tanpa AC kalau saya ada di gunung saja. Kemudian saya juga orang yang begitu takut dengan padam lampu. Namun di sini semuanya begitu sering terjadi. Misalnya padam lampu yang bisa nyaris sepuluh kali dalam sehari. Saya hanya bisa berkata dalam hati, "Ow, mati lagi.", saya nyaris tak mau lagi mengumpat. Paling saya hanya memikirkan bagaimana nasib barang-barang elektronik saya yang kalau-kalau habis daya alias habis baterai.

Malam ditemani oleh lampu darurat.


Seperti juga dalam makan memakan. Saya tidak bisa lagi menempatkan diri menjadi picky eater. Apapun di hadapan saya, inilah makanan saya hari ini. Telur saja? Tempe tahu? Ikan? Sayur? Tidak ada empat sehat lima sempurna di sini. Walau memang ini sepertinya hanyalah akibat kemalasan saya dalam mengusahakan variasi makanan. Namun saya juga berjuang bagaimana tidak ada sushi, nasi campur, masakan China, bibimbap, dan lainnya.

Kemudian dengan lowongnya waktu, memang memberikan saya kesempatan untuk belajar banyak hal. Termasuk saya membuka lagi renungan-renungan, perikop Alkitab, dan lainnya. Mudah-mudahan ini akan membuat saya menjadi pribadi yang lebih berkenan dibandingkan sebelumnya.

Semoga.


Selasa, 01 Mei 2012

Komunikasi dengan Pasien, Tak Semudah Itu

Well, cuaca di Menjalin sedang panas-panasnya. Rasa ingin meleleh, namun ini tidak menggentarkan saya untuk tetap menulis.

Saya ingin berbagi mengenai hal ini. Saya mengalaminya sudah dua kali sebagai dokter PTT, walaupun sebenarnya sudah puluhan kali jika dihitung selama masa koas. Namanya kesulitan komunikasi dengan pasien.



Stroke


Yang pertama adalah ketika saya mencoba menikmati pagi pada Sabtu kemarin, tiba-tiba saya dipanggil oleh seseorang laki-laki bermotor. Teriaknya, "Tolong Pak ada yang sakit di gereja Advent sana." Saya pun langsung mengganti celana pendek saya dan mengambil perlengkapan seadanya. Saya pun dijemput dan diantar ke gereja.

Terlihat bagi saya seorang ibu 68 tahun, tergeletak di bangku gereja tak berdaya. Mengorok. Saya pun terlintas di kepala, wah apakah ini sinkop? Stroke? Apa yang dialami ibu ini Tuhan?

Saya mencoba memeriksa, tekanan darah 240/120 mmHg, gerakan refleks pupil kanan tidak bergerak, ada refleks saraf yang patologis. Saya pun menyimpulkan bahwa ini kemungkinan besar adalah stroke perdarahan. Saya pun berkata pada suaminya, "Pak. Kemungkinan ini stroke. Kita tidak bisa merawatnya di sini. Mumpung ini masih baru saja kejadiannya. Kita bisa cepat larikan ke Mempawah atau Pontianak untuk mendapatkan penanganan lanjut."

"Apakah bisa diselamatkan dokter?", tanya suaminya.

That's a though question. "Kita berharap yang terbaik pak. Kita larikan lebih cepat lebih baik."

"Saya mau dirawat di sini saja, dok."

Oh Tidak, Tuhan, pikirku. Saya mencoba mengatakannya, "Rawat inap Puskesmas tidak memungkinkan Pak. Tidak ada alatnya. Ini perlu obat suntik, monitor."

Salah satu umat lainnya mengatakan, "Kalau begitu bawa saja ke klinik susteran." Ini bukanlah pilihan yang lebih baik, pikirku lagi. Saya mencoba melobi pemikiran medis saya dengan pendeta. Namun ia mengatakan, "Memang benar dok. Namun memang ini pilihan dia. Keputusannya padanya."

Memang mungkin persetujuan keluarga sebagai proxy consent memang demikian adanya. Hati kecilku tidak setuju. Kita masih bisa berjuang dengan prognosis yang lebih baik.

Pada akhirya dengan ambulans kecamatan, ibu tersebut dirujuk ke klinik susteran. Sesuai dengan pikiranku, klinik susteran pun tidak mampu merawat. Memang, secara medis kasus ini harus dilarikan ke rumah sakit. Stroke berpacu dengan waktu. Setelah mendapat penjelasan suster, sang suami mengatakan, "Baiklah suster. Kita ke Mempawah."

Sayapun lega mendengarnya. Saya tidak mengantar sampai ke Mempawah dan saya turun di Puskesmas. 10 menit kemudian saat saya nongkrong di warung depan Puskesmas, saya melihat mobil ambulans kembali lagi. Saya bertanya pada Mas Pur, pengendara ambulans, apa sebab ia kembali. Ternyata suaminya meminta berhenti di rumahnya saja, tidak perlu ke Mempawah. Menurutnya, ia sudah pasrah. Saya pun hanya bisa menghormati keputusan itu.

Pada siang pukul 14, saya sempat dipanggil lagi ke rumah pasien untuk memperbaiki infus yang macet. Saya pun melihat keadaan yang makin buruk. Badannya panas sekali, khas stroke. Berdasarkan pengalaman saya di stase saraf, ini prognosis yang buruk. Sangat buruk.

Dan memang pada pukul 16 saya mendapat kabar duka bahwa ia telah meninggal.

Dalam hati kecil saya lagi, saya berandai-andai, andaikan ia cepat dirujuk "mungkin" ia akan tak seperti ini. Namun saya mengatakan lagi dalam diri saya, tidak ada ketepatan dalam hidup ini. Dan saya pun mencoba membela diri, mungkin ini yang terbaik dan jalannya, sesuai dengan kepasrahan suaminya.

Fraktur Terbuka


Yang kedua, baru saja terjadi kemarin. Saya dipanggil lagi untuk memeriksa pasien di Baweng, Desa Lamoanak. Dengan perjalanan jauh, hampir jatuh dari boncengan motor. Di sana ada seorang bapak mengalami patah tulang terbuka. Ia mengalami kecelakaan lalu lintas sehingga tulang betis dan kering kanannya patah dan remuk dan sebagian tulang keringnya keluar dari kulit.

Ia sebenarnya sudah mendapat penanganan di Mempawah. Namun setelah saya gali, ternyata mereka minta pulang lagi atas permintaan keluarga. Saya mengelus dada. Mempawah adalah kota yang dekat dengan Pontianak, tempat satu-satunya yang ada dokter bedah ortopedi (bedah tulang). Tinggal selangkah lagi ia akan mendapatkan penanganan yang baik.

Keluarga tersebut menanyakan kepada saya, apakah bisa saya masukkan kembali tulang itu dan selanjutnya dirujuk saja ke dukun tulang kampung. Dalam imajinasi saya, there is a facepalm. Saya mencoba menjelaskan ini tidak mungkin saya reposisi mengingat keadaannya yang sudah bengkak. Pergeseran tulangnya pun sudah 2 cm ke depan dan patahan tulang saling bertumpu. Ini memerlukan penanganan seperti pemasangan pen.

Keluarga pun masih bersikeras. Saya menolak dan ini adalah kasus yang perlu dirujuk, lebih cepat lebih baik. Apalagi tulang ini sangat terekspos keluar.

Dengan segala daya upaya, menjelaskan satu per satu pada setiap pertanyaan. Mereka pun mau dirujuk. Saya bernapas lega lagi.

Komunikasi pasien


Apa yang saya dapat bahwa komunikasi dengan pasien dan keluarga adalah suatu hal yang sulit, sangat sulit. Apalagi jika mereka sudah berkomitmen atau memegang prinsip tertentu. Apa yang saya bisa lakukan sebagai dokter adalah menjelaskan sesuai dengan keilmuan saya sebagai medis. Apa yang terbaik secara medis inilah yang saya tawarkan. Walaupun memang tidak semua pasien akan mendengar advis saya.

Memang, apapun itu, ketika informed consent sudah terbubuhi tanda tangan, dokter seperti "lepas tangan". Namun saya pribadi memang tidak dapat langsung setenang itu. Saya sering kali ingin mencoba menawarkan terus. Namun saya sadar bahwa saya tidak dalam kapasitas demikian. I have done my job.

Namun saya pun berpikir lagi, sudah tepatkah hal yang saya lakukan ini? Ini menjadi sebuah kontemplasi.