Sabtu, 23 Juni 2012

Belajar Abjad Sirilik: Done!

"Старославянская азбука (староболгарская азбука): то же, что кирилли́ческий (или кири́лловский) алфави́т: одна из двух (наряду с глаголицей) древних азбук для старославянского языка;" - Potongan artikel di Wikipedia
Apa artinya? Bagaimana cara membacanya? Saya penasaran.

Akhir minggu ini merupakan waktu yang sangat saya tunggu. Saya akan melewatkan bersama dua buku pesanan saya yang sudah tiba sejak satu minggu lalu. Ya, saya memesan buku secara online yaitu tentang travelling ke Filipina dan buku Russian for Tourism.


Yang saya buka yang pertama adalah buku bahasa Rusia tersebut. Saya sangat penasaran bagaimana dengan bahasa ini. Saya sangat ingin tahu sekali apa yang ada di balik tulisan-tulisan sirilik (Cyrillic alphabet) yang digunakan di bahasa-bahasa Slavik ini. Tulisannya tampak keren dan eksotik, dan tentu sangat menarik mempelajari hal yang tidak banyak dipelajari orang bukan?

Saya selalu penasaran dengan apa yang ditulis dan makna dari sebuah bahasa. Saya mengiyakan dengan apa yang disebut oleh loki2504 di youtube ini. Memahami sesuatu yang baru, memahami suatu yang unik, memahami suatu yang ada di luar sana, menjadi sebuah tantangan dan rasa ingin tahu tersendiri. Sangat menarik.

Tulisan Sirilik

Awalnya memang agak sulit, karena ternyata dari 33 alfabet sirilik, hanya 6 yang sama pengucapannya dengan bahasa Indonesia! Yaitu A, K, O, M, E, T. Sedangkan dua puluh tujuh lainnya sangat-sangat berbeda jauh, walau ada yang tulisannya mirip dengan Latin. Misalnya C yang dibaca /es/, P /er/, B /ve/, Y /u/. Namun ada huruf-huruf unik lainnya seperti Ш, Щ, dan si cantik Ж.

Banyak huruf-huruf vokal rusia yang tampak seperti huruf mati dalam bahasa Indonesia misalnya: Россия, yang ternyata adalah /russiya/. Ternyata tak begitu sulit dan sederhana.

Saya menemukan bahan belajar yang baik, walau awalnya sedikit membosankan. Namun dijelaskan dengan gamblang dan pelan yaitu Russian World Lesson. Pelajaran pertamanya di klik di sini. Saya baru samapai pelajaran ke delapan. Sangat menarik.

My Baby in the weekend


Saya pun mencoba-coba menuliskan nama saya dan impresi pertama saya: cool! Tulisan sirilik ini sangat keren.

Nama saya dalam abjad sirilik. Semoga benar translasi siriliknya :)


Abjad Sirilik dalam Bahasa Rusia
Hal yang unik juga dalam abjad sirilik adalah mempelajari tulisan kursifnya atau tulisan rangkainya. Sangat berbeda dengan apa yang dipelajari di bahasa latin. Seperti huruf T sirilik kursif yang mirip M dari tulisan rangkai yang saya pelajari di SD.

Saya pun jadi terbakar juga mempelajari skrip-skrip bahasa tertentu, mungkin seperti tulisan bahasan Brahmik seperti Devanagari, Thai, atau skrip lainnya seperti Arabia.

Well, Xорошо! /horosho/ (Baiklah!)

Senin, 18 Juni 2012

Pasca Pusling Amawakng: Hargailah Pasien

Hari ini sungguh luar biasa. Saya mendapatkan sesuatu yang berbeda hari ini. Saya tidak hanya menjaga kandang di poliklinik umum, tapi melakukan puskesmas keliling. Hari ini saya diajak Bang Agustinus, seorang perawat di Puskesmas Menjalin bersama Kak Fina, bidan di polindes Re'es. Ya, hari ini saya pergi ke desa Re'es, tepatnya dusun Amawakng.

Desa Re'es adalah salah satu desa di Menjalin yang berada di sebelah barat yang lebih cepat dijangkau kalau melalui jalan dari Gunseng, Toho, dibandingkan harus melalui simpang Raba di Menjalin.

Desa Re'es yang dilingkar di sebelah kiri. Yang dilingkar di tengah adalah Dusun Sungai Bandung, temapat Puskesmas Menjalin.



Saya sudah diberi wanti-wanti bahwa perjalanan mungkin tidak akan seluwes biasa bahkan menuju Baweng, Lamoanak di arah timur. Namun hal ini terus terang malah membuat saya kian penasaran.

Setelah saya bersiap-siap obat dan lainnya. Rasa penasaran saya semakin memuncak. Tiba Bang Agus datang untuk mengambil vaksin dan menjemput saya di Puskesmas. Perjalanan memang lurus-lurus saja dan lancar sampai di suatu simpang di Gunseng.

Kami masuk melalui jalan tanah. Untung saja hari itu kering dan tidak hujan kemarin. Kalau tidak mungkin jalan menjadi becek dan bisa dibayangkan kalau dilalui motor. Pastinya ajubileh. Perjalanan ini melalui medan yang beragam, dari jalan setapak, jalan dimana motor harus meniti kayu, melewati jembatan gantung, melalui jalan kecil yang mana kiri kanan hutan, melalui jalan lebar kebun sawit, jalan tanah dengan tanjakan yang aduhai, dan jalan becek dimana saya harus turun. Sungguh bermacam-macam. Dan baru akhirnya kami tiba di Re'es dan kemudian ke arah Amawakng untuk posyandu dan puskesmas keliling di rumah ibu dusun Amawakng. Saya sangat senang bahwa warga cukup antusias, dokter masuk ke dusun. Saya juga senang berinteraksi dengan mereka.

Tiba di Polindes Re'es. Lanjut lagi ke dusun...

Dan hal ini membuat saya berefleksi sejenak. Jikalau saya sendiri merasa kesulitan melalui jalan ini, bagaimana dengan warga sekitar di sini. Bagaimana dengan warga yang lebih pedalaman lagi? Saya sendiri juga sering mendapat pasien dari Re'es. Bagaimana tidak membayangkan perjuangan mereka ke  Puskesmas Menjalin di tepi jalan raya. Tentu mereka memiliki ekspektasi besar terhadap masalah mereka. Namun kadang-kadang sebagai dokter, kita juga terlena dengan rasa mood dan suasana hati, dan kadang pasien juga "menjadi korban". Mungkin suasana hati tak senang, pasien kita ketuskan. Namun dengan perjalanan ini saya sadar, bahwa dengan keadaan sakit mereka, mereka harus lagi berjalan pulang pergi melalui jalan yang tak hanya bisa dilewati tanpa rasa legowo dan kekuatan ekstra.

Jembatan gantung
Dan kadang kita pun harus berputar otak bagaimana menangani pasien dari pedalaman secara optimal. Kita tidak akan pernah mudah mengatakan, "kontrol lagi ya nanti". Seberapa besar effort yang harus mereka lakukan. Mereka ke Puskesmas bukan dengan kendaraan jalan tol, tetapi dengan motor dengan jalan yang rusak, dan tak jarang juga dengan kaki mereka sendiri.

Memang di satu sisi, terbatas ini terbatas itu. Tetapi dengan keterbatasan kita tidak boleh melalaikan harkat martabat manusia dan juga pelayanan yang optimal.

*Dituliskan di siang hari nan panas. Bokong dan punggung masih terasa sakit setelah berbonceng motor dengan Bang Agus. Namun hati senang. :)

Sabtu, 16 Juni 2012

Udah Pane Bahasa Diri', Pak Dokter?

Kisah ini dimulai malam kemarin, ketika saya menjelang terlelap setelah bermain dengan iPad, saya mendengar tiba-tiba pintu rumah diketuk-ketuk. Ternyata ada orang ramai di luar rumah, tak pelak saya pun terkejut. Ada pun kata pertama yang terlontar di mulut saya, "Sae nang sakit? Ada urakng jantu'?". (Siapa yang sakit? Ada orang jatuh?) Laki-laki di depan pun menjawab, "Inak pak. Ada bayi kami nanak mao nangis satalah melahirkan barusan.". "Au pak. Tama' pak." (Ya pak, silakan masuk.)

Meja Praktik di Puskesmas :)


Dan tiba-tiba orang di sebelahnya bercetus, "Orang dayak-kah Pak Dokter? Kenapa bisa bahasa kami?". "Inak. Saya orang sobat (Istilah tionghoa dalam Dayak Kanayatn)." "Wah, udah pane bahasa diri' ya Pak Dokter?" (Sudah pandai bahasa kita ya Pak Dokter?) "Saya sudah 2 bulan di sini, sudah belajar sedikit-sedikit." Saya pun tersenyum simpul.

Saya pun menjadi tersadar akan suatu kelebihan yang saya miliki, belajar bahasa. Memang saya pun senang untuk belajar bahasa. Mungkin suatu hal yang paradoksal juga dengan saya yang cenderung introvert, hahaha. Namun saya semakin yakin ini bisa menjadi suatu plus bagi saya.

Penduduk yang kaget dengan saya yang berbahasa Dayak ini, bukan satu kali ini saja. Banyak yang bingung kalau saya berbahasa lokal. Hipotesa saya, rata-rata dokter PTT di Menjalin berasal dari luar Kalimantan Barat. Namun sebenarnya tidak juga, saya baru mengenal bahasa Dayak Kanayatn ini ketika saya bertugas di Menjalin.

Sebenarnya saya pun memiliki bingkai pikiran bahwa saya harus dapat mengenal bahasa lokal. Hal ini saya coba terapkan semenjak koas dulu. Seperti saat saya menjalani koas di Sukabumi, saya pun belajar sedikit bahasa Sunda. Dulu tujuan utamanya adalah memahami anamnesis pasien-dokter konsulen yang sering berbahasa Sunda. Dan lama-lama saya juga memahami bahwa dengan berbahasa lokal, kita lebih luwes dengan pasien.

Semakin luwes, inilah yang saya rasakan juga dengan pasien di Menjalin. Rata-rata mereka senang kalau mendengar kita berbahasa lokal, lebih akrab. Walaupun demikian biasanya saya hanya sebagai pembuka saja menggunakan bahasa lokal, karena saya sudah mulai pusing kepala kalau sudah menggunakan kosakata yang tidak saya ketahui. Hehehe, Pak Dokternya masih balajar uga'.

Dan kadang bahasa lokal ini juga menjadi satu-satunya jalan mewawancarai pasien, terutama pasien yang sudah lansia yang seringkali tidak fasih berbahasa Indonesia. Walaupun sebenarnya di Menjalin ini, tersebar juga bahasa Melayu, namun sepengamatan saya pada lansia-lansia yang bersuku Dayak juga tidak begitu fasih bahasa Melayu.

Jadi, sebenarnya ini sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Saya jadi belajar kearifan lokal, saya pun bisa meluweskan relasi dokter-pasien ini.

Pak Dokternyu udah pane sabebet bahasa diri'. Tapi masih nanak pane incakng bamotor koa. =D
(Pak Dokternya sudah pandai sedikit bahasa kita, tapi masih tidak pandai bawa motor :D) 

Rabu, 13 Juni 2012

Saat Pasien Menghadap Bapa

Hari ini adalah hari yang cukup mengena di hati saya dan mungkin hari di mana seluruh dokter pun di dunia pun pernah mengingatnya. Hari di mana seorang dokter kehilangan seorang pasiennya untuk selamanya.

Ya, hari ini pasien yang saya rawat menghadap Bapa. Kami berusaha dalam keterbatasan, memang Puskesmas di daerah tidak selengkap rumah sakit, dan kami pun masih harus bergelut dengan pertimbangan sosioekonomi dan lainnya. Apa yang saya lakukan memang tak serta merta buku teks yang begitu lugasnya menyatakan pasien ini harus dirujuk dan lainnya.



Dengan pasien ini, memang nurani saya berasa berbeda dengan pasien sebelumnya. Saya merasakan sesuatu insting yang tak nyaman. Hati saya berkata lain. Pasien ini tak biasa. Badannya begitu terkulai, kurus tak berdaya. Berbicara pun payah. Saya melihat kakinya yang bengkak. Di pikiran saya sudah bermain-main, "Gagal ginjal kah? Gangguan imunologis? Malnutrisi berat? Gangguan jantung?".

Saya pun meminta untuk segera memasang jalur infus untuk keperluan nanti. Saya pun meminta keluarga untuk segera merujuk ke rumah sakit, namun keluarga meminta untuk esok pagi saja. Saya hanya bisa menjawab bahwa, kami berusaha sebaik yang kami bisa di sini, tetapi memang lebih baik dirujuk. Namun semua kembali ke pertimbangan keluarga.

Dan tak lama 2-3 jam kemudian, saya dipanggil. Salah satu keluarga itu datang dan berkata, "Dok, tampaknya dia sudah tidak ada." Seketika adrenalin saya pecah ke ubun-ubun. Saya langsung menyergap tas kecil saya dan memanggil bantuan perawat. Ketika saya tiba di bangsal, memang sudah tidak berdaya, tidak ada denyut nadi, pupil sudah sangat melebar. Saya mencoba resusitasi dan hasilnya tetap nihil. Dan inilah saya pertama kali menyatakan, "Bapak sudah tidak ada." Dan seketika hening.

Perasaan berkecamuk dalam benak saya, ketika saya berjalan ke rumah dinas. Saya bertanya-tanya mengapa, apa yang sebabkan ia meninggal? Dan seketika saya merasakan nurani saya. Saya mungkin sangat senang, bahwa pasien saya sembuh, membaik. Bagaimana bila pasien meninggal? Tak pelak saya mencoba mengoreksi diri dan mencoba menyerahkan pada Tuhan.

Namun saya mencoba berpikir lagi, dokter tetap harus profesional. Konon, empati yang harus ditunjukkan, bukan simpati, apalagi apatis. Namun perasaan ini tetap melayang-layang dengan beribu perkataan.

Saya pun sempat melakukan kilas balik, ketika dulu koas. Saya seperti sudah "biasa saja" dengan kematian pasien, kecuali resusitasi jantung paru saya yang pertama saat stase Penyakit Dalam. Namun perasaan ini kembali lagi mencuat.

Saya mencoba lagi untuk membela diri, inilah hidup manusia dengan dinamikanya, ada senang dan susah, ada hidup dan kelahiran. Dan inilah pekerjaan dokter dan petugas kesehatan yang mana manusia adalah "objek" ilmunya, dan seketika mereka menceburkan diri juga dalam dinamika manusia tersebut.

13 Juni 2012, 00:31 WIB
Setelah sehabis menemani Mas Pur mengantar jenazah pasien tersebut di Silung, Menjalin.

Selasa, 12 Juni 2012

Resensi Buku: Untaian Garnet dalam Hidupku


Judul Buku: Untaian Garnet dalam Hidupku
Penulis: Endang Rahayu Sedyaningsih Mamahit
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tebal: 215 halaman

Sebenarnya saya sebagai peresensi sudah lama ingin membaca buku ini. Selain karena saya adalah sejawat almarhumah Menteri Kesehatan Ibu Endang sebagai petugas medis, saya penasaran dengan apa yang menjadi buah-buah pikirnya.

Kisah-kisah yang disampaikan dalam buku ini memang tak melulu soal dunia kesehatan atau kedokteran yang menjadi profesi selama hidupnya. Ia banyak menyampaikan soal keluarganya, suaminya, dan anak-anak yang dikasihinya. 

Semua kisah dalam buku ini disusun dengan alur yang tak kronologis. Alurnya bagai potongan puzzle, dan mungkin melompat-lompat. Mungkin saja, ini adalah ide penyunting untuk memacu kita merangkai sendiri kisahnya. Atau duga-dugaan saya, mungkin inilah memang urutan tulisan yang dibuat oleh Bu Endang, dan penyunting tetap mempertahankan orisinalitas kronologisnya.

Saya sebenarnya cukup takjub dengan apa yang disampaikan oleh Bu Endang dalam tulisannya. Ia menulis dengan lugu, apa adanya sesuai dengan apa yang ia rasakan. Mungkin ini akan bermain dalam pikiran kita, mengimajinasikan ketika ia menangis semasa hidupnya, bagaimana ia kaget bukan kepalang ketika diminta menjadi menteri, ketegasannya walaupun ia dalam hidupnya banyak tidak disukai oleh rekan sejawatnya. Semua ia curahkan tanpa malu dalam buku ini.

Memang, biografi ini dapat menjadi media belajar kita dalam merefleksikan jalan hidup kita, bagaimana naik turunnya dinamika perjalanan kita. Dan bahkan kita diberikan sedikit buah pikirnya di kala menjelang kepergiannya.

Buku ini baik bagi kita, baik bagi seorang ibu, layak dibaca bagi sesiapapun juga yang mau mengenal dan mendalami untaian hidup seorang Ibu Endang Rahayu Sedyaningsih Mamahit.

Tulisan ini juga diterbitkan di tanyadokter.com

Minggu, 10 Juni 2012

Menerbitkan Buku: Satu Impian yang Tercapai

Saya masih ingat dulu ketika berbicara dengan rekan saya, Bimo, bahwa saya memiliki impian untuk bisa menerbitkan buku dimana saya yang menulisnya. Saya kira itu sudah sangat lama, dan pada awal tahun ini impian itu bersambut. Ada rekan penerbit ternama yang mau menerbitkan tulisan-tulisan kami yang dituliskan di web tanyadokteranda.com (kini tanyadok.com). Oh Yesus, ini salah satu mimpi saya.

Saya kira, tidak ada suatu kesenangan yang lebih luar biasa bagi seorang penulis selain tulisannya diterbitkan bagi khalayak luas, apalagi tulisan itu terbit ke dalam media yang lebih abadi yaitu sebuah buku.

Memang ini bukanlah kali pertama tulisan saya dimuat di media masa. Saya ingat pada masa tahun 2000an awal, saya gemar sekali menuliskan surat pembaca ke dalam majalah game (Digigame dan HotGame), saya dulu masih kerap menggunakan nama samaran seperti v01d3m0rt (alay karena waktu itu lagi panasnya soal novel Harry Potter pertama) dan Zidane Tribal (tokoh dari Final Fantasy IX). Saya amat senang tak kepalang, ketika tulisan yang saya kirimkan melalui faksimili kantor itu dimuat! Sungguh sangat senang. Padahal itu baru saja surat pembaca toh.

Salah satu lompatan juga bagi saya adalah dimuatnya tulisan walkthrough (panduan game) Final Fantasy VIII dalam majalah by product HotGame yaitu edisi khusus Final Fantasy. Saya masih ingat saya mengirimkan tulisan melalui disket floppy 3.5" dan saya mendapatkan honorarium (sekitar 100.000 atau 200.000 rupiah) melalui wesel pos. Saat itu sepertinya tahun 2001-2002, saat saya SMP.

Saat saya SMA, saya pun aktif membangun web komunitas Final Fantasy Indonesia Online yang kini sudah terkubur. Saya bisa dibilang saat itu salah satu pentolan fans Final Fantasy di Indonesia. Saya aktif menulis di majalah Final Fantasy World, menulis kisah karakter dan artikel fitur mengenai Final Fantasy.

Setelah itu saya tersadar bahwa hidup saya semakin spesifik ketika saya masuk ke dalam Fakultas Kedokteran. Maka banyak tulisan-tulisan saya mengenai dunia kesehatan. Beberapa tulisan saya pun dimuat dalam beberapa media (Intisari Extra "Sehat" Februari 2012, Majalah Arue Juni 2012 dari Keluarga Ordo Dominikan Pontianak), dan beberapa tulisan ilmiah di Cermin Dunia Kedokteran.

Saya pun bergabung dengan rekan-rekan di TanyaDokterAnda.com dan bekerja sebagai editorial, sehingga saya cukup produktif menulis. Dan akhirnya tulisan-tulisan ini dapat dimuat dan dipublikasikan massal ke seluruh Indonesia melalui buku 58 QA Diet, Makanan, dan Suplemen. Saya tak percaya bahwa ada sepotong halaman foto dan diri saya di dalam rak Gramedia, walau pada kover semua tergabung dalam Tim DokterAnda. Siapa yang menyangka.

Dengan buku pertamaku :)


Ini pun menjadi satu batu loncatan dan tercontrengnya salah satu impian dari hidup saya. Saya pun ingin sekali membuat buku lainnya dan mungkin saja dengan nama saya terpampang pada kovernya.

Tulisan yang diterbitkan bagi seorang penulis adalah suatu orgasme aktualisasi dari dalam dirinya. Ide-idenya tersebar ke penjuru masyarakat, dan tentunya akan lebih baik bila idenya tersebut berfaedah bagi mereka yang menikmati setiap guratan tulisannya.

Tulisan di Majalah Arue, Juni 2012

Yeay! Mom, I'm in the book!

Sabtu, 09 Juni 2012

Soegija, Film "Bisu" Penuh Pesan

Film "Soegija" ini merupakan salah satu film yang sangat saya tunggu. Mungkin ini timbul salah satunya karena saya sebagai penganut Katolik. Film-film Indonesia yang mengangkat Katolik sangat sedikit, dan mungkin saya sendiri tak pernah melihatnya kecuali FTV yang ramai jelang Natal. Terakhir saya menonton film Katolik, kalau tak salah "Lourdes". Jadi ini menjadi suatu euforia bagi saya.

Saya pun sebenarnya suka dengan sejarah. Suatu kisah yang menciptakan masa kini dan masa mendatang. Saya sangat suka mendengar kisah lampau. Apalagi tentang kehidupan seseorang yang mahsyur tentang apa yang ia perbuat dan pemikirannya. Suatu film biopik tentu menjadi suatu pilihan bagi saya.

Saya pun membela-bela untuk dapat mengajak ayah saya untuk ikut nonton, paling tidak saya tidak dilihat miris oleh penonton sebelah karena saya menonton sendirian. Saya membela-bela datang dari Menjalin untuk segera menonton ini (saya ingat sekali bahwa film karya Garin ini akan premiere 7 Juni kemarin). Saya membela-bela datang dulu ke mal pada siang hari untuk membeli tiket, dan alamak saya mendapati film untuk malam ini sudah setengah penuh. Saya pun bergegas ke Gramedia untuk membeli bahan bacaan yang dapat menjadi modal saya mencerna film ini, karena konon dari review yang ada, film ini cukup dalam dan harus memutar otak. Saya pun akhirnya mendapatkan buku Kilasan Kisah Soegijapranata oleh G. Budi Subanar SJ. Dari buku lain Romo Banar mengenai Mgr. Albertus Soegijapranata SJ juga akar dari Soegija ini.



Dari Sisi Film

Kesan yang saya dapatkan bahwa memang film ini ternyata cukup datar. Terlalu datar bahkan. Sedikit sekali suara tembakan atau dentuman bom (karena film dilatarkan masa perang sekitar 1 Agustus 1940 sejak pengangkatan Romo Soegija menjadi uskup di Vikariat Apostolik Semarang hingga Pengakuan Kedaulatan Indonesia oleh Belanda 27 Desember 1949). Sedikit sekali teriakan dan riuh rendah orang, padahal ratusan lebih figuran hadir. Mungkin ini suasana yang ingin dibawa oleh Garin, ingin mengambarkan susana dan citra Romo Kanjeng yang diam dan diplomatis.

Alur cerita pun memaksa saya untuk mengingat kembali pelajaran-pelajaran sejarah yang selama SD hingga SMA saya pelajari. Saya perlu merunut lagi tentang penjajahan Belanda, pendudukan Jepang di Indonesia dengan slogan "Jepang Saudara Asia" dan "Asia Rayanya" (Gerakan 3A, kalau tak salah?), kemudian pernyataan kemerdekaan pasca berakhirnya Perang Dunia II, pendudukan Belanda dan sekutu kembali di Indonesia (saya jadi gatal membuka lagi mengenai Marshall Plan, Republik Indonesia Serikat, Tan Malaka, Jenderal Soedirman, Perjanjian Linggarjati, Roem-Royen, hingga Konferensi Meja Bundar). Ingin sekali hasrat diri untuk membaca kembali sejarah di seputaran kemerdekaan Indonesia.

Dan film ini memperhatikan setiap detail, baik figuran, properti film, pemakaian lokasi, benar-benar katanya seperti suasana saat itu (maklum saya anak 80an hehehe), yang mengingatkan saya kembali ke film biopik Gie. Figurannya pun tak main-main, jika orang bule tetaplah bule. Bukan Indonesia yang dibule-bulekan. Saya pun tak heran kalau konon ini adalah film termahal Garin dengan nilai 12 M.

Dan yang membuat saya juga tak kalah takjub adalah sisi penggunaan bahasa. Semua begitu detail, bahasa Jawa, bahasa Indonesia, Latin, Jepang, bahasa Belanda, dan lainnya. Semua ditempatkan dengan apik dan layaknya saya melihat situasi asli, bukan film. Begitupula dengan music score yang digunakan, begitu bagusnya (Saya tak ragu kalau hasil garapan Djaduk Feriyanto).

Dari Sisi Pesan


Memang film datar dan cenderung "bisu" tanpa suasana yang hingar bingar. Tidak ada lautan emosi yang diaduk-aduk. Namun semua ini digarap dengan memberikan banyak pesan. Pesan yang menjadi buah pikir Soegija (karena banyak pesan ini berasal dari catatan harian Romo Soegija). Dan ternyata apa yang ingin disampaikan masih valid hingga saat ini. Walaupun di dalamnya ada beberapa pesan yang diselipkan Garin sebagai tambahan seperti pesan "Tionghoa yang selalu tertindas".

Banyak pesan yang ingin disampaikan, namun yang menjadi terutama bagi saya adalah ingin memperkenalkan Agama Katolik itu sendiri. Ini bukanlah katolisasi, namun hanya ingin menunjukkan saja bahwa inilah Katolik. Katolik yang selama ini tidak dikenal, atau sering dihubung-hubungkan dengan kebarat-baratan atau perang atau lainnya. Sama seperti dulu bahwa Katolik sering dianggap sama dengan orang penjajah. Namun degan kehadiran Romo Soegija, ia membawa pesan bahwa seorang Katolik Indonesia tetap harus 100% republik, mendukung sepenuh hati dan berjuang demi negara.

Pesan Soegija bahwa "Kemanusiaan itu satu, kendati berbeda bangsa, asal usul, dan ragamnya. Berlainan bahasa dan adat istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya" atau "Politikus itu harus punya mental politik. Tanpa itu, politikus jadi benalu buat negara" tentu masih sahih kalau kita kobarkan saat ini, menilik dengan apa yang terjadi saat ini.

Tentu Soegija bukan semata-mata menjadi permenungan bagi orang Katolik saja, namun juga sebuah kontemplasi universal untuk seluruh republik tanpa memandang sesiapa ia.

Selasa, 05 Juni 2012

Pasien Indonesia yang Lari

Ada sebuah kesedihan dari diri saya melihat pasien Indonesia yang banyak "melarikan diri" ke negeri sebelah, sebut saja Malaysia atau Singapura. Saya pun bertanya-tanya dalam diri, apa yang menyebabkan hal demikian? Apa yang salah dengan sistem kesehatan negeri Indonesia?

Saya pun mencoba membela, mencari argumen penenang. Mungkin saja karena mereka memiliki uang lebih sehingga boleh boleh saja mencari pelayanan bintang enam. Namun saya melihat ini tidak lagi menjadi alasan. Kini tidak lagi golongan kelas kakap yang kabur ke luar. Bahkan golongan menengah pun mencari pelayanan kesehatan di luar negeri. Kini negara jiran tersebut menyediakan pelayanan pariwisata kesehatan dengan berbagai kelas, kita bisa memilih mau dengan koper atau ransel. Jika kelompok menengah pun sudah mencari pelayanan kesehatan ke luar negeri, apa kabar pelayanan kesehatan kita?

Sungguh sedih melihat pelayanan kesehatan Malaysia dijejali dengan masyarakat Indonesia. Padahal secara keilmuan, tidak ada yang berbeda secara standar medis. Namun apakah memang sumber daya kita sudah memadai? Apakah ibukota kekurangan dokter spesialis? Tidak juga.




Mereka mencari pelayanan medis di luar negeri dengan berbagai tujuan dari memang memiliki gangguan penyakit dari yang sampai sekedar medical check up. Medical check up-nya pun sebenarnya tergolong biasa saja, mulai dari cek darah lengkap, pemeriksaan laboratorium lainnya, bahkan sampai EKG yang sebenarnya bisa dilakukan di praktik dokter biasa dengan alat yang memadai. Memang, ada beberapa alat yang kurang misalnya MS-CT atau MRI.

Melihat pasien berpaspor hijau di pelayanan kesehatan Malaysia membuat saya mengelus dada. Bahkan ada sekelompok ibu-ibu muda yang hanya sekedar Pap Smear di Malaysia, yang dengan mata membelalak ketika dikatakan hasil hanya dapat diambil satu minggu kemudian. Saya pun hanya bisa tersenyum simpul, masyarakat kita belum teredukasi dengn baik soal kesehatan, dan bahkan mereka melakukan pemeriksaan kesehatan hingga indikasi pemeriksaan pun menjadi terabaikan, karena tanpa nasihat medis.

Saya pun gatal melihat fenomena ini. Saya hanya mencuri dengar. Katanya dokter di sini lulusan dari luar negeri, memang di akhir nama mereka bertebaran gelar dari Australia, Amerika, dan Inggris Raya. Selain itu bagi masyarakat Tionghoa Indonesia, lebih nyaman bagi mereka untuk mendapat penjelaan soal penyakit mereka dengan bahasa Mandarin. Kemudian memang alat lebih memadai. Selain itu mungkin saja ada faktor gengsi? Namun saya pun tak langsung setuju, dalam urusan kesehatan tak mungkin lagi kita memperhatikan gengsi bukan?

Untuk di atas, memang faktor pelayanan kesehatan dan pendidikan kedokteran di Indonesia harus berbenah. Kita perlu membuka akses pendidikan kesehatan yang seluas-luasnya, bagi siapapun, dengan minat apapun, paling tidak untuk warga negara Indonesia sendiri. Dan bagi dokter Indonesia lulusan luar negeri juga harus dibuka akses yang memudahkan mereka untuk mengabdi di Indonesia. Orang lama berkata kejarlah ilmu sampai ke negeri China, ini berarti jika kita mencari ilmu seluas-luasnya, maka sesuatu akan berkembang dan menjadi lebih baik.

Sebenarnya pelayanan kesehatan luar negeri pun tak luput dari kekurangan. Namun memang hal ini kadang kala tak tampak bagi awam atau pasien. Misalnya yang terjadi pada saudara saya, yang menunjukkan dengan bangga adanya obat buatan Jerman yang katanya digunakan untuk masalah prostatnya. Saya melihat isinya berisi tamsulosin. Saya pun bertanya berapa lama ia harus mengonsumsi obat ini. Dokternya tidak mengatakan apa-apa, dan hanya memberi obat yang katanya bagus ini.  Saya pun hanya terdiam, tamsulosin hanya 10 buah tidak akan memberi efek yang bermakna, apalagi masalah prostat yang mana sebaiknya dilakukan pembedahan seperti TURP dahulu sebelum menggunakan tamsulosin yang berfungsi memperlambat pembesaran prostat dikemudian hari. Jadi obat ini, selain tak signifikan hanya membuang uang.

Memang tiada gading yang tak retak. Segala sesuatunya pelyanan kesehatan kita harus dibenahi. Kita harus dapat menjaring lagi mereka yang lari. Tentu segala sesuatu jika diberikan kepada dalam negeri akan lebih baik. Mudah, murah, dan efisien bagi pasien dan dokter.

Kapan gong pembenahan akan didengungkan?

Sabtu, 02 Juni 2012

Kemanapun Harus Ke Museum

Saya tiba-tiba mendapat inspirasi menulis ini ketika tak sengaja mengobrol dengan dr. Tena Djuartina, dosen saya di Atma Jaya yang mengepalai Museum Anatomi Atma Jaya. Ya, museum kebanggaan Fakultas Kedokteran UNIKA Atma Jaya ini dinominasikan bersama 63 museum dalam acara Museum Award.

Museum. Saya merasakan euforia yang luar biasa ketika mendengar kata ini. Saya sangat senang mengunjungi tempat ini. Museum ini seakan-akan melegakan dahaga kering saya. Kemanapun saya pergi saya menyempatkan ke museum, apalagi tempat-tempat itu yang mungkin saya pikir saya mungkin hanya satu kali menjejakkan kaki di sana. Alangkah sayangnya kalau saya melewatkan untuk bertandang ke museum.

Saya masih ingat dulu ketika saya kecil pergi ke Kota Kuching di Sarawak, Malaysia Timur. Saya bersemangat penuh dalam menyusun daftar tempat mana-mana yang mau saya kunjungi. Saya memberikan daftar kepada ayah saya, dan di sana terdaftar beberapa museum seperti Museum Nasional Sarawak, Museum Cina Sarawak. Saya hanyalah anak kecil dengan segala mimpinya yang melihat museum dengan mata berbinar.

Saya tidak bisa melewatkan sejengkal pun ruangan yang ada di museum. Dengan melihat diorama-diorama, fantasi saya begitu berjalan. Ketika melihat barang-barang pameran, saya terbang ke dalam alam masa lalu. Mungkin karena itulah euforianya. Saya juga menikmati perkembangan budaya masyarakat dari museum yang dipamerkan.

Banyak museum-museum yang menggetarkan hati saya seperti Museum Makau yang berada di sebelah dari reruntuhan Gereja Saint Paul, Makau. Kemudian juga museum Ripley's Believe It or Not di Genting Malaysia (saya masih ingat dulu sempat ada di Jakarta, Puri atau Pondok Indah ya?), Museum Affandi di Jogjakarta. Sayang memang museum di Indonesia masih dipandang seperempat mata, lebih miris dari sebelah mata. 

Saya di depan pintu Museum Kedua, Museum Affandi, Yogyakarta


Saya sebenarnya masih punya impian untuk menjelajah museum di Jakarta. Saya dulu sempat memproposalkan perjalanan ini dengan rekan-rekan kampus namun belum terselesaikan. Museum Monas, Museum Nasional, Museum Jakarta di Kota, Museum Mandiri, Museum Bank Indonesia, dan lainnya. Sayang memang dalam 10 tahun waktu saya di Jakarta, saya tidak sempat mencicipinya. Ada hasrat ketika saya ke Jakarta mungkin berjalan-jalan seorang diri disana juga tak kalah menyenangkan? 

Saya juga punya pengalaman ketika hati merasa sangat gondok dengan ibu-ibu dalam rombongan tur saya ketika perjalanan wisata ke Korea Selatan. Saya sulit untuk menikmati wisata sejarahnya karena mereka yang tidak mau berlama-lama di sana, mereka lebih memilih berbelanja di Myong-do. Saya hanyalah minoritas dari ibu-ibu tersebut. Sedih rasanya mendengar, "Untuk apa ke museum? Tidak ada apa-apanya." Akhirnya di Gyeongbokgung hanya sebentar saja dan kunjungan ke National Folk Museum of Korea (Gungnip Minsok Bangmulgwan, 국립민속박물관) dibatalkan dengan jaya. Dan saat itu saya berjanji untuk kembali ke Korea dengan perjalanan ala ransel, di mana saya bisa menikmatinya hingga saya puas.

Di tengah pembicaraan, dr. Tena berkata, "Iya saya juga kemana pergi ke suatu tempat pasti saya mampir ke museum. Rada-rada gila juga aku. :)"

Saya pun mengiyakan. Penikmat museum memang "gila". Hehehehe....

Jumat, 01 Juni 2012

Renungan PTT Bulan Kedua: Nurani dan Bongkahan Berlian

Jika saya tersadar saya berada di hari pertama pada bulan baru, dan di sinilah saya memiliki waktu untuk merenung. Di sinilah 2 bulan lalu saya resmi menjalankan tugas sebagai pegawai tidak tetap Kementerian Kesehatan sebagai dokter.

Setelah dua bulan ini dengan segala keunikannya, dengan segala dinamikanya, dengan bergejolak antara kekuasaan dan nurani. Berbagai hal saya alami, walau mungkin tidak se-wah pengalaman bila di Papua atau NTT. Namun saya mendapatkan sesuatu.

Saya pun senang ketika masyarakat mulai mengenal saya. Ketika saya berada di depan rumah atau menunggu bus, masyarakat mulai menyapa "Pak Dokter". Saya pun senang dan mendapatkan pengalaman ketika pasien-pasien yang saya rawat mendapatkan perbaikan kesehatan. Walau saya sadari bahwa kebiasaan saya merawat pasien sudah lama sekali sejak terakhir di koas.

Saya kadang-kadang pun harus berpacu dengan adrenalin. Hal ini saya dapatkan kemarin ketika melakukan resusitasi bayi baru lahir (neonatus) dengan kondisi yang buruk. Satu menit tanpa nafas membuat saya terus terang panik dan memberikan kompresi dada serta pernapasan mulut ke mulut. Dulu saat koas saya mungkin masih tenang karena ada teman satu koas, atau paling tidak dokter jaga. Namun kini semua ada di pundak saya. Untungnyalah ada suara tangisan bayi lemah ketika diresusitasi. Puji Tuhan, Kau berikan nafas kehidupanMu melalui aku.

Di sini saya teringat pada kutipan di Kitab Sirakh 38:12

Tetapi berikanlah tempat kepada tabib juga, sebab ia pun diciptakan Tuhan, janganlah tabib jauh daripadamu sebab kau butuhkan pula.  
Then let the doctor take over -- the Lord created him too -- do not let him leave you, for you need him.
Saya merasa bahwa menjadi dokter ini suatu hal yang berbeda. Suatu hal yang menyangkut manusia, kesehatan manusia, kegembiraan manusia, kesedihan, kedukaan, kehidupan, kesakitan. Saya senang bahwa saya bisa membantu meringankan sedikit beban mereka.

Suatu hal yang saya sadari pula dalam profesi ini. Saya kadang merasa dan berpikir, pantaskah aku menarik dana dari mereka? Saya tahu bahwa jasa adalah sesuatu yang dapat dihargai dan dapat dinominalkan. Saya pun perlu uang untuk kehidupan saya. Namun memang menarik uang dari orang yang kesakitan, menjadi suatu buah pikir bagi saya.

Saya bersama Bu Nia dan Bu Yones, di Poli Umum Puskesmas Menjalin

Apa yang dilakukan dokter ini bukanlah seperti seseorang untuk membeli Tas LV atau Gucci, yang dengan riang gembira membeli tas. Pekerjaan seorang dokter -walaupun sebuah pelayanan jasa- bagi saya bukanlah semata-mata serupa dengan seorang montir karena apa yang dikerjakannya adalah benda mati. Namun di sinilah saya merasa, inilah seorang dokter. Kekhasan. Ada mungkin sesuatu hal yang agak tinggi hati menyatakan bahwa dokter adalah profesi terpilih.

Saya sudah merasakannya, bahwa menjadi dokter di desa ini sudah mendapat nominal yang memadai untuk hidup. Mungkin selain pengeluaran yang tak setinggi di kota, "daya beli" terhadap jasa (dan obat) tetap lebih tinggi dari kota. Walau demikian kadang-kadang saya masih terpikir dalam benak saya, berapa pasien harus membayar jasa saya. Mampukah mereka? Ataukah jangan sampai saya malahan menambah beban bagi mereka. Namun entahlah, mungkin ini hanya suatu bisikan saja, bisikan yang mungkin juga terlalu berlebihan. Tetapi saya yakin bahwa ini dapat menjadi pemandu bagi saya untuk tetap waspada dan memperhatikan hati pasien, beban pasien, dan jangan sampai menjadi seorang dokter yang kehilangan hati nuraninya karena terus mencari bongkahan berlian.

Saya teringat pada kutipan dari Pak Mega (Pak Tomas Apon), Kepala Puskesmas Kecamatan Menjalin, "Mungkin ada sesuatu yang kita ingin secara manusiawi, namun semua kembali ke nurani. Bekerja yang penting adalah dengan bahagia, dan uang bukanlah segalanya."