Minggu, 28 Agustus 2011

Koas Saat Di "Injury Time"

Tulisan ini terinspirasi dari tweet @ferdiriva milik dr. Ferdiriva Hamzah SpM yang sering berkicau mengenai lika-liku kehidupan koas. Lika-liku? Iya, kehidupan koas adalah kehidupan dunia fana yang penuh emosi. Memang tak hanya duka namun ada pula gelak tawa.

Salah satu dalam waktu yang bisa disebut waktu paling membahagiakan adalah "detik-detik berakhir waktu dinas" apalagi dari dinas malam ke pagi hari yang merupakan hari libur. Setelah lebih dari 24 jam waktu didedikasikan khusus untuk pasien, saatnya menghirup napas pagi meninggalkan kaki, walaupun itu sejengkal dari pintu bangsal atau rumah sakit, rasanya mendapat anugerah terindah. Saya tak bilang bahwa bekerja semalaman sebelumnya itu suatu hal yang buruk, tetapi ini adalah saatnya kembali ke rumah dan menikmati homynya rumah atau kos. Setidaknya itu saya yang pikirkan, tak ada "mengapel kekasih" di daftar saya saat itu. Hahaha....

OK, hal ini menjadi galau bila menjelang pergantian dinas ada bunyi suara brankar, atau suara dari perawat yang menerima telepon di nurse station, "Mas Koas, ada PB". Hmmmpphh, PB ini adalah istilah yang dihindari, apalagi ketika bangsal sudah begitu hectic. PB adalah Pasien Baru.

Kalau PB ini muncul ketika saya sudah berganti dinas sih tidak apa-apa. Tapi kalau menjelang pergantian dinas alias injury time ini??? Oh Tidak. Oh Mama, Oh Papa. Jika ada PB artinya saya harus menerima pasien ini, menganamnesanya, memeriksanya, membuat perencanaan terapi, melaporkan kepada dokter jaga atau konsulen untuk menerima terapi, belum lagi kalau otak koas sudah mulai korsleting, terkena omelan. It will take about an hour! Belum lagi untuk operan dinas ke koas jaga berikutnya yang harus ikut visite pagi. Well, waktu saya untuk di tempat peraduan saya di rumah alhasil berkurang.

Dalam hati ego saya, saya tidak suka dengan terganggunya koas di saat injury time. Apalagi ketika sudah mulai berberes, handuk semalam sudah kering dan dilipat rapi jali dalam tas, kantung tidur sudah apik digulungkan. Saya hanya perlu menunggu kedatangan koas jaga berikutnya datang dan jarum panjang jam lewat dari angka 12.

Saya dulu pernah merasakan, tepatnya hampir 2 tahun lalu. Ketika saya sebagai koas bedah, berjaga di saat malam takbiran. Yup, keesokannya adalah 1 Syawal Lebaran, artinya saya gantian jaga jam 10 pagi. Saat itu saya berjaga di UGD. Ketika jam 9 tiba-tiba, saya sudah bersuka cita. 1 jam lagi saya akan berlibur 2 hari (jaga berikutnya di H+2 lebaran atau 3 Syawal). Betapa senangnya hati seorang koas. Dan... tiba2 terdengar suara bajaj, derik roda brankar berbunyi, dan yang saya takuti adalah pintu UGD terbuka. Saya berdoa dalam hati, "Ya Tuhan Yesus, jangan pasien bedah. Pasien PD, Neuro, Anak, atau apapun. Jangan pasien bedah ya Tuhan." Brankar itu masuk dan, pasien berdarah-darah. Tidaakk.... pasien trauma, artinya pasien bedah. Dan pasien itu sampai selesai perawatan di UGD sampai 2 jam kemudian. Memang setelah itu ada teman saya yang ganti jaga. Tapi saya pun tak tega meninggalkan dia, saya yang menerima pasien, saya juga akan pulang setelah saya menyelesaikannya.

Koas tidak bisa seperti karyawan kantoran yang bisa bilang, "Jam kerja saya berakhir, saya tak mau bekerja lagi." Koas tak bisa bilang "Jam dinas saya habis, dan seketika itu meninggalkan pasiennya." Tidak bisa. Ini adalah pengorbanan seorang koas.

Rabu, 17 Agustus 2011

Penjajahan Kesehatan (Kompas, 24 Agustus 2010)

Mengingat 17 Agustus-an, saya jadi teringat bahwa tahun lalu saya pernah menulis untuk rubrik Argumentasi di Kompas. Dan tanpa terkira, artikel tersebut masuk di Kompas Kampus di 24 Agustus 2010. Dan artikel ini juga belum terdokumentasi di web ini :) Ah, sudah lama ya 1 tahun yang lalu.


Rabu, 10 Agustus 2011

Konferensi Pers Pertamaku

Hari ini adalah hari pertama saya sebagai jurnalis, mengerjakan tugas jurnalis sungguhan, dengan teknik yang amatiran, pas-pasan. Pastinya hal ini membuat Anda berpikir, ada dunia runtuh apa ini, saya yang seorang calon dokter malahan beralih menjadi seorang jurnalis.

Saya dan rekan, Peter, ditugaskan dari tempat bekerja saya untuk meliput peluncuran salah satu produk di Planet Holywood Jakarta. Saya sudah bersiap dengan laptop di tas ransel, dan kamera SLR pinjaman adik di tangan. Saya tak tahu harus berbuat apa. Saya tak pernah mengikuti konferensi pers. This is my first press conference.

Well, di depan saya adalah wartawan yang sudah senior. Di bajunya ada label atau logo teve-teve nasional. Saya? Saya hanyalah wartawan amatir dari sebuah web. Saya sebenarnya cukup berhingar bingar bahwa saya mengikuti acara sekelas ini. Oh Tuhan, saya adalah manusia yang mudah kagok.

Saya registrasi dan masuk, sembari menunggu dengan rekan saya menunggu. Kemudian mengecek kamera SLR bagaikan wartawan. Nerakanya adalah, gue bukan pengguna SLR. Saya hanya mahfum dengan kamera tempelan Blackberry, atau paling tidak, kamera kantung yang saya sering pinjam dari Michelle. Saya tidak mengerti segala modenya. Dengan walahualam, saya memilih mode nightshot saja. Saya tidak tahu apa-apa, hingga flash di kamera otomatis beraksi. Saya pun berbisik ke Peter, "Kalau konferensi pers, boleh pakai flash? Menganggu tidak?" - Ngek.

Kemudian acara dimulai saya pun mendengar, sambil mencatat bak mahasiswa sedang kuliah. Kemudian pemandu acara mengatakan inilah saatnya bagi wartawan untuk mengabadikan momen. Ini adalah suatu saat yang penting bagi wartawan, mengambil gambar! Saya sering melihat di teve, bahwa wartawan menyemuti orang tertentu lalu mengambil gambar. Saya pun senang, tapi saya pun berkeringat dingin. How can mengambil gambarnya? Dikerubuti orang. Akhirnya saya mengambil kamera saya, mengangkatnya tinggi-tinggi, dan berharap tak ada gambar kepala orang tambahan di gambar yang saya ambil. Saya tidak tahu bagaiman menampilkan gambar di display! Oh Tuhan!

Kemudian ada sesi memotret the ladies, wanita SPG (atau ambasador?) dari produk itu. Saya masih tak berani seperti wartawan lain yang memandu pose mereka. Saya mendapatkan gambar mereka, walau mata mereka tak melihat ke kamera saya, namun lumayan juga kok. :D

Dan pengalaman ini ditutup dengan buka puasa bersama dan pembagian merchandise. Dan lumayan loh, modem yang kata Bimantoro bernilai 500 ribu. Asoy-geboy.