Rabu, 27 Maret 2013

"Dokter, Tidak Akan Marah Kok"

Ada cerita unik, ketika saya bertemu dengan seorang ibu di rawat inap Puskesmas.

Saya: "Malam bu. Gajah, kitak agik ampus ka Puskesmas. Ada ahe nian?" (Malam bu. Ya ampun, Anda lagi datang ke Puskesmas. Ada apa ini?)

Ibu: "Auk Pak Dokter a. Itulah kami punya kaluarga ayak, manyak bapage. Tumare koa pak uda ku, nang ampeatn koa ipar ku" (Iya Pak Dokter. Itulah kami keluarga besar, banyak saudara. Kemarin itu om saya, sekarang ipar saya.)

Saya: "Ooo... Lekoa." (Oooo... Begitu.)

Lalu saya bersama ia masuk bersama Om Saibu, staf Puskesmas yang sedang dinas sore. Singkat cerita kami banyak berbicara, terutama tentang "pak uda"-nya yang sakit 2 hari yang lalu. Pak uda-nya ini dirawat di Puskesmas dan kemudian dirujuk ke Pontianak untuk mendapat perawatan lebih lanjut.

Namun, Bapak ini sebelum dirujuk sempat membuat "heboh" Puskesmas. Sebenarnya ia sudah mau dibawa rujuk ke Pontianak pada pukul 22:00 malam setelah semua keluarga dari Pontianak bersepakat. Namun pasien tersebut berkata lain dan keras kepala tidak mau dibawa, dan saya pun berusaha membujuk Bapak itu juga sampai ia berbicara kalimat pamungkasnya dengan suara agak tinggi, "Ba'i aku diincakng ka Pontianak. Parasaatnku tak nyaman, bisa calaka kita." (Tak mau saya dibawa ke Pontianak. Perasaanku tidak enak, bisa celaka kita.") Ya ini adalah kalimat pamungkas seperti yang saya katakan, tidak ada yang berani memaksa lagi jika ada yang berkata demikian. Hingga akhirnya keadaan memburuk dan pasien meminta sendiri untuk merujuk lagi pukul 03:00 pagi.

Bagaimana perasaan saya yang dibangunkan dua kali "hanya" untuk menyetujui rujukan di tengah subuh dan mimpi indah karena pasien yang tampaknya "keras kepala"? Ya seketika mungkin rasa dongkol, tapi saya selalu merasa tak elok mengungkapkannya.

Si ibu yang saya bertemu pada awal tulisan ini berkata ternyata ada sesuatu yang terjadi pada keluarganya, bisa dikatakan konflik keluarga baik vertikal dan horizontal. Mungkin sebagai suatu mekanisme defensi secara emosional dari si Bapak ini, ia berbuat demikian, berbuat menolak pendapat-pendapat keluarganya.

Ibu itu mengatakan sesuatu yang menyentuh hati, "Oh ya Pak Dokter. Bapak titip pesan, ketika saya bertemu dengan Pak Dokter. Bapak minta maaf karena sudah bera (marah) ke Pak Dokter. Dia tidak bermaksud demikian. Saya katakan padanya, Dokter tidak akan marah." Di satu sisi saya tersentuh dan menjadi teringat akan sang Bapak, dan kedua ada pesan eksplisit dari si ibu, "Dokter tidak akan marah". Ya ada suatu ekspektasi atau harapan dari pasien.

Dokter yang pemarah pun pernah saya temui sejak dari pendidikan sampai sekarang. Banyak dokter yang kadang tersulut emosi ketika beban pikiran begitu berat dan belum lagi masalah lainnya selain masalah pasien. Pekerjaan dokter memang riskan untuk mengalami tekanan mental yang luar biasa. Tapi pasien, perawat, rekan kerja pun tak ada yang mau kena omelan bukan? Manusia setengah dewa ini, memang digadang-gadang menjadi seseorang yang welas kasih dan lembut.

Ya, saya pun agak menyesali sikap dongkol saya subuh itu setelah mendengar cerita itu, karena saya sudah keburu marah dan ternyata tidak ada maksud Bapak itu dengan sengaja. Dia hanya perlu waktu untuk mengungkapkan kekecewaannha pada keluarganya itu.

Saya pun perlu terus belajar mengelola emosi. Walau demikian, pasien tetap sesama. Kalau Anda menjadi pasien, maukah Anda atau bagaimana perasaan Anda jika dokter Anda marah atau paling tidak, jutek? Tentu tidak ada yang mau. Aturan emas lagi-lagi berlaku.

Pasien pun harus mengelola emosinya juga, walaupun demikian, pendapat saya, posisi dokterlah yang harus lebih legawa untuk menahan emosinya. Jika tidak ada satu pihak yang legawa atau tepa selira, maka timbullah masalah lainnya yang tak kunjung padam. Setuju?

 

Minggu, 24 Maret 2013

PTT: Suatu Kebersyukuran

Ketika saya mengetik ini, saya berada di hari ke-7 sebelum masa bakti PTT saya berakhir sesuai dengan Surat Keputusan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Suatu hal yang tak sangka saya bisa jalani sejauh ini. Suatu hal yang menjawab keraguan saya 358 hari yang lalu.

Dokter PTT Pusat Kabupaten Landak, TMT 2012

Pada saat pendaftaran lamaran kerja sebagai dokter PTT dan bersaing dengan ribuan dokter pelamar lainnya, tujuan saya hanya dua. Satu untuk memparipurnakan Surat Masa Bakti, dan kedua, tampaknya belum afdol menjadi dokter di Indonesia, kalau tidak menjalani PTT. Ya, sebagai dokter yang ditempatkan ke daerah terpencil adalah pengalaman tersendiri, yang bahkan tak pernah akan dialami oleh dokter di Singapura sekalipun!

Awal Mula PTT

Puskesmas Menjalin

Saya dulu melamar sebagai dokter umum di Kabupaten Landak dan Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat yang menjadi provinsi kampung halamanku. Keduanya saya mencentang dengan kriteria terpencil. Terus terang, saya harap-harap cemas. Karena tidak semua pelamar yang jumlahnya ribuan ini bisa diterima, dan saya bersyukur ketika nama saya tercantum di website biro kepegawaian Kemenkes untuk bertugas di Kabupaten Landak selama 1 tahun.

Kabupaten Landak ini memang memiliki hubungan batin dengan saya, karena keluarga ayah saya kebanyakan lahir di Kecamatan Ngabang, yang kini menjadi ibukota kabupaten. Saya masih tidak tahu sama sekali di mana saya akan ditempatkan, sampai beberapa jam saya tiba di Ngabang untuk mendapat surat tugas dari dinas kesehatan kabupaten. Saya awalnya ditempatkan di Kecamatan Mandor yang sering saya lewati kalau menuju Ngabang, namun saya diminta bertukar untuk ditempatkan di Kecamatan Menjalin, suatu tempat yang tidak pernah saya tahu sebelumnya, yang suasananya lebih terpencil walau satu kriterianya sama. Karena saya dokter laki-laki, saya mencoba menjawab tantangan. Walaupun demikian, petualangan nan indah ini dimulai dari Menjalin.

Kesan Pertama Menjalin

Menjalin? Nama yang unik. Terus terang, selama hidup saya di Kalimantan Barat sampai saya SMP kelas 3, saya belum pernah mendengarnya. Dan saya tibalah di kecamatan ini bersama petugas yang mengantarkan saya, setelah mengantar rekan saya dari Mandor. Saya melewati jalan sempit yang hanya bisa dilalui satu kendaraan di sore hari dan mati lampu pula. Jalan ini kelak saya sadari adalah jalur Sembora, salah satu jalan pintas dari Mandor menuju Menjalin melalui Toho.

Saya tiba si kecamatan nan gelap gulita (saat itu sedang mati lampu!), sinyal handphone yang datang dan pergi sesuka hatinya. Saya melihat rumah dinas yang akan saya tempati dalam terang senter dan lilin. Saya masih ingat, saya disambut oleh Bu Nia (perawat yang tinggal di kompleks Puskesmas) dan Kak Agnes (Bidan yang sementara menempati rumah dinas dokter, karena dokter sebelumnya perempuan). Karena saat itu saya masih belum bisa menempati rumah karena belum dibersihkan, saya menginap sementara di rumah Pak Thomas Apon, Kepala Puskesmas saat itu.

Saya saat itu termenung, apakah ini tempat saya? Tahankah saya? Apalagi lampu saat itu belum menyala sampai pukul 22:00. Sinyal handphone pun tampak hilir mudik saat saya mau mengabarkan kedua orangtua di Pontianak. Saya tak mungkin menangis, inilah tantangan, pikirku.

Keesokan harinya, Rabu, satu hari sebelum Kamis Putih. Saya diantar Pak Mega (Nama lain Pak Thomas, karena di sini lebih sering memanggil nama Bapak/Ibu dengan nama anak pertamanya), menuju Puskesmas yang kemarin tampak temaram. Dan kejutannya, tidak seburuk yang saya sangka. Saya pertama kali bertemu Bu Yones (Mak Dela), Bidan Morni (Mak Ryan), dan staf lainnya. Masih sedikit kagok-kagok, karena pada dasarnya saya pribadi yang perlu waktu untuk beradaptasi. Dan saya pun kesulitan berkomunikasi dengan pasien-pasien yang tua yang tak bisa berbahasa Indonesia.

Saya pun kemudian meminta ijin untuk mempersiapkan barang-barang untuk rumah dinas dan sekaligus merayakan Paskah sebelum memulai tugas di minggu berikutnya. Dan saat itu saya mulai mempelajari dan mencari tahu mengenai kecamatan saya. Dari peta baru saya sadari bahwa Menjalin adalah sebelah utara dari Kecamatan Toho, Kabupaten Pontianak yang terkenal dengan gua Maria-nya. Saya baru sadari juga bahwa kecamatan ini justru lebih dekat dengan Pontianak, dibandingkan Ngabang! Kecamatan ini dapat terjangkau dengan bus dalam provinsi dalam 2,5-3 jam dari Pontianak.

Menjalin adalah tempat yang cukup ideal buat saya. Terlalu ramai tidak, terlalu kecil tidak. Dengan jumlah 8 desa, penduduk 20.000-an, Kecamatan Menjalin adalah kecamatan terkecil kedua di Landak setelah Kecamatan Meranti. Di Menjalin pula menyimpan nilai tradisi Dayak Kanayatn yang kental dan pusat syiar agama Katolik. Nyaris 95 persen, menurut perkiraan saya, penduduk di sini beragama Kristen dengan denominasi mayoritasnya Katolik. Jadi, saya pun tak perlu bersusah payah mencari gereja untuk misa.

Belajar Bahasa

Di sini pula saya banyak belajar tentang bahasa setempat. Pada dasarnya, saya memang suka mempelajari bahasa. Dengan logat saya yang pas-pasan, tak jarang saya dianggap sebagai orang lokal. Walaupun demikian saya bersyukur, perbendaharaan bahasa saya pun semakin kaya. PTT ini membuat saya cukup dapat melakukan anamnesa dengan bahasa Dayak Kanayatn atau Ba'ahe ini, hingga saya dapat berkomunikasi dengan kawan-kawan dengan Ba'ahe. Sungguh, mempelajari kearifan lokal adalah suatu kebanggaan buat saya.

Penduduk

Hampir sebagian penduduk Menjalin bersuku Dayak Kanayatn, dengan sebagian kecil adalah Tionghoa, Melayu, dan Jawa. Di Menjalin ini mereka duduk berdampingan. Dan suatu ketakutan saya sebelum PTT adalah apakah saya dapat diterima masyarakat kelak? Saya sungguh bersyukur saya tak menemui masalah berarti ketika berelasi dengan penduduk dan staf Puskesmas. Di Puskesmas Menjalin ini, saya sendiri tak pernah konflik. Oleh staf Puskesmas, kami saling menghormati pekerjaan kami masing-masing. Saya bisa melakukan tugas medis saya sesuai dengan apa yang seharusnya. Tidak pernah saya merasa diperlakukan dengan tak hormat. Walaupun saya nakal, karena praktik tanpa jas snelli di Puskesmas, atau praktik dengan celana pendek di rumah dinas, saya tetap dapat dikenali sebagai "Pak Dokter".

Poli Umum dan Rawat Inap

Apa saja pekerjaan saya di Puskesmas? Yang jelas saya tidak memegang program khusus. Saya memegang tugas medis umum, poliklinik umum di rawat jalan, dan tugas medis di rawat inap. Terkadang saya pun ikut puskesmas keliling dan posyandu di desa-desa. Saya juga kasang-kadang mendapat tugas kunjungam ke rumah, karena masyarakat di sini masih terbiasa untuk didatangi oleh petugas.

Kursi Praktik saya di Poliklinik
Saya bersama Perawat Poli, Kak Nia dan Mak Dela

Ketika tengah tahun saya berjalan, Puskesmas Menjalin mendapat pergantian Kepala Puskesmas. Dr. Didy dari Puskesmas Karangan diangkat menjadi kepala puskesmas kami. Saya untungnya masih tetap diperkenankan menyelesaikan tugas saya di Menjalin sesuai dengan SK. Saya diminta untuk membenahi rawat inap oleh Dr. Didy. Hampir semua Puskesmas di Landak adalah Puskesmas perawatan kecuali di Ngabang, Sidas, Semata.

Memang, sebelumnya rawat inap Puskesmas tidak berjalan sebagaimana mestinya. Saat itu belum ada jadwal jaga yang bergantian, tidak ada pengelolaan alkes dan barang rawat inap, sehingga pasien masih do-re-mi dalam hitungan bulan. Jadi setiap ada tindakan malam, saya harus bersenter dulu untuk mencari barang, jika ada gawat darurat hanya dikerjakan oleh saya dan Bu Nia sebagai penghuni setia di kompleks Puskesmas.

Rawat Inap yang Dihidupkan
Pengaturan yang diharapkan optimal walau sederhana

Akhirnya saya pun memulai untuk merapikan jadwal dinas, merapikan alat-alat kesehatan, dispensing obat, dispensing alkes tambahan yang tidak diberi dinas tetapi diperlukan, mengelola ambulans, sampai mengelola keuangan rawat inap. Saya bersyukur dulu saya memahami sedikit soal manajemen ini dari apa yang saya lihat selama pendidikan di almamater saya, FK Atma Jaya. Saya menerapkan apa yang saya lihat. Dan perlahan-lahan, rawat inap ini hidup. Beberapa prosedur disesuaikan dengan rumah sakit, seperti cara kewaspadaan universal, pencatatan rekam medis (saya masih ingat dulu pasien pertama rawat inap saya, saya tuliskan di lembaran HVS!), pengaturan obat dan alkes, dan lainnya. Dan saya senang sekali, masyarakat mulai dapat menikmati hasil dari penghidupan kembali rawat inap ini yang siap sedia 24 jam. Apalagi pasien dari kecamatan tetangga, Kecamatan Toho, juga kian banyak, karena tidak adanya puskesmas perawatan dan belum adanya dokter yang tinggal di daerah setempat. Saya sungguh berharap, kelak rawat inap ini terus dapat berkembang dan maju sepeninggal saya.

Jalan-jalan ke desa
Plang Praktik Pribadi di Rumah Dinas

Keluarga

Ya, saya memiliki keluarga baru di Menjalin. Mulai dari staf-staf Puskesmas, dari yang tua sampai perawat magang yang lebih muda dari saya, kemudian keluarga Mak Uwi yang membuka warung di depan Puskesmas, pasien-pasien yang sering saya temui di Puskesmas maupun praktik pribadi. Sungguh banyak hal yang dibagi, bersenda gurau, selama 12 bulan ini. Hari-hari saya di Menjalin menjadi tak terasa dan dilewati dengan rasa senang. Suka dukanya begitu berkesan. Walaupun sebagai dokter umum di negeri ini banyak hal yang memusingkan kepala, namun saya merasa diperlakukan dengan baik sebagai dokter dan terutama sebagai diri saya sendiri di Menjalin ini.

Saya bersama Trio Macan (Eka, Nia, Ado), dan si kecil Cia

Suatu saat saya akan merindukan comblangan Pak Didy, tawa renyah Kak Osik dan Kak Hatenah, candaan sesama Sobat (baca: orang Tionghoa) dengan Kak Banyu, langganan kue Kak Sri, candaan dari Bang Martinus, panggilan "yukng" dari Bang Ryan, teriakan khas "Dokter Hauuu, ada pasien nih" dari Kak Dewi, dinas penuh tawa dari Trio Macan (Kak Nia, Kak Ado, Kak Eka), bercanda dengan Kak Emi, Kak Ola, Kak Rika, Kak Wila dan Kak Agnes, pertolongan tanpa pamrih saat padam lampu dari Bang Erick, perjalanan jauh merujuk pasien sampai berkantuk ria dengan Mas Pur, kiriman pasien aneh dari Takong dan teman jajan sore bersama Bang Agustinus serta Deckri, senandung melodi lagu lama dan teman misa dari Kak Nia (Karunia), petuah tak ternilai dari Mak Dela, suara khas Pak Mega, melihat nomor angkanya Om Saibu dan Bang Eko, "diskusi" dan petuah tiada ujung dengan Bang Ason, kalemnya Om Basri, mencicipi makanan Bu De Iin yang menjadi makanan sehari-hari selama PTT, langganan talok manok kampokng (telur ayam kampung) dari Bu Betty dari Sompak, es teh hangat dan indomie Mak Uwi, bermain dengan Cia dan Vino, anjingnya. Semua terangkai dalam memori saya selama di Menjalin. Ya, walapun mereka ada yang lebih muda dari saya, terutama yang perempuan saya kerap memanggil "Kak", kebiasaan saya sejak koas di Atma Jaya, tampaknya lebih nyaman untuk disapa.

Pengalaman Baru

Banyak hal baru yang saya dapatkan selama di Menjalin ini seperti mau tak mau menjemput pasien sendiri di tengah desa yang gelap, sendiri mengendarai ambulans yang kesulitan melewati jalan tanah yang becek, masuk ke desa sangat terpencil di Desa Re'es melewati jalan tikus, menikmati kebudayaan Dayak Kanayatn seperti dijamu saat Naik Dango, makan baconcok (semeja sekelompok) saat perkawinan staf, makan pulut, tumpi, lemang, dan bontokng. Saya pun dikenal sebagai dokter yang tak pandai bermotor, memang sungguh saya tak bisa menaiki motor. Dokter yang selalu membawa ambulans saat gereja, itulah saya.

Terus teramg saya sendiri hanya dua minggu sekali turun ke kota untuk menabung dan bertemu orang tua. Selebihnya saya sisakan hari-hari saya di Menjalin.

 

Dan kini saya memang tinggal menghitung hari di Menjalin, dan tetap saya berharap bahwa ini juga kelak ditutup dengan manis. Jarum jam pun terus berdetak.

 

Kamis, 21 Maret 2013

Terlanjur

Tiada pernah ku bersangka

Tiada pernah ku berkhayal
Ketika perasaan anomali ini
Setiap jengkal kala aku rasakan

Ketika batas waktu telah berkelana
Ketika dunia telah berputar
Tetapi aku yakin akan sebuah yang tak berubah
Tak berubah rasaku padamu

Rintih tawa silih berganti
Ketika kejadian itu berlalu
Aku mencoba kerap menyangkal
Namun kusadari tak mampu

Aku sudah terlanjur sayang
Aku sudah terlanjur melawan
Aku ingin tidak terus dipertanyakan
Aku sudah terlanjur sayang

*Desa Galang, Bus Menjalin ke Pontianak. 15 Maret 2013, pk 13:45.
*Terinspirasi lirik Nathan Hartono - Terlanjur Sayang.

 

Senin, 11 Maret 2013

Penerbangan Anda Dihentikan: Tidaaaaakkkkk

Pagi yang seharusnya cerah ini tiba-tiba seketika mendung. Ya, saya menerima e-mail ini:


Dear Valued Guest,

First and foremost, we would like to take this opportunity to thank you for choosing AirAsia Indonesia.

We deeply regret to inform you that your flight QZ 8234 from Jakarta (CGK) to Ho Chi Minh City (SGN) has been cancelled effective 15th April 2013.



Ya, seketika yang terlintas di pikiran saya adalah cercaan: "WTF!".

Saya berusaha merencanakan matang-matang perjalanan backpacking dengan ibu saya ke Vietnam dan Kamboja pasca purna-PTT. Saya sudah menghitung semua, hostel, jadwal perjalanan alias itinerary-nya.

Kini tiba-tiba "hancur berantakan". Saya langsung menelepon Call Center Air Asia.

Saya: "Penerbangannya di-cancel ya?"
Petugas: "Oh ya. Tapi manajemen kami masih mengonfirmasi. Bapak telepon lagi saja lusa (karena besok libur Nyepi-ed)."
Saya: (Well... Damn...)

Gimana rasanya kalau kita harus menunggu 2 hari mengetahui ini benar atau tidak. Tapi saya ragu karena e-mail jelas-jelas ada di tangan saya! Apa saya yang terlalu gesit responsif ya? Kok bisa-bisanya saya dapat jawaban begitu?

Saya pun melewati hari dengan tak tenang. Sampai malam ini, saya penasaran dan saya menelepon lagi mencari kepastian.

Saya: "Saya penumpang QZ 8234 yang katanya dicancel?"
Petugas: "Benar sekali Bapak."
Saya: "Jadi?"
Petugas: "Jadi apa?"
Saya: (Mulai senewen) "Ya gimana nasib tiket saya?"
Petugas: "Jadi pertama bisa dimajukan tanggal penerbangannya. Kedua, dengan credit shell. Ketiga dengan refund ke rekening."
Saya: "Dimundur tanggal 14 bisa?"
Petugas: "Rute Jakarta-Ho Chi Minh tidak setiap hari Bapak. Jadi 13 yang terdekat." (Damn! 6 hari di Ho Chi Minh, serius lu?)
Saya: "Yang kedua?"
Petugas: "Itu jadi kredit di web Air Asia dan berlaku 180 hari selebihnya hangus. (Apa uang saya mau dihanguskan? - Mulai snewen). Yang ketiga direfund 30 hari kerja ke rekening Bapak. Itu juga dihitung dari transfer staf ke Bank, bukan tanggal melapor."
Saya: (Gila aja, kalau duit gw 30 hari plus plus... Kalau stafnya malas gimana, bisa bertahun-tahun.)

Saya pun akhirnya memilih opsi 2 dengan mempertimbangkan mungkin saya memilih reroute sendiri CGK-KUL-SGN dalam 2 tiket terpisah. Saya harus berputar-putar di KL LCCT kelak.

Saya amat menyayangkan dari ketiga opsi yang ada tak ada yang dirasakan membantu penumpang sama sekali. Paling nyaman adalah membantu reroute seperti di atas, karena Air Asia memiliki jaringan dan frekuensi tinggi antara CGK-KUL dan KUL-SGN. Saya terpaksa jadi mengulang dari awal. Sungguh terlalu!

Memang, saya sungguh mau tak mau menggunakan Air Asia karena memang paling murah pada rute CGK-SGN bahkan dibanding Lion Air, apalagi Vietnam Airlines. Hingga berkali-kali lipat.

Saya sendiri belajar berbesar hati. Toh ini suka dukanya backpacking bukan? Kita harus berpikir, tiada rotan akarpun jadi. Penerbangan ditundakan, cari sampai jadi.

Sungguh letihnya... Dan kini saya menunggu masuknya angka kredit shell saya di web Air Asia.

 

Kisah Saya, Tenaga Medis di Indonesia

Mungkin judul di atas terlalu bernada sedikit angkuh. Tapi hal ini yang sekelebat saya teriakkan di dalam hati saya. Apa salah saya sebagai tenaga medis di negeri ini?

Di negeri ini, dokterlah sebagai tameng, dan katanya akan dipecat karena dianggap "menolak" pasien karena ruangan penuh. Menjadi salah kami kah ketika ruangan penuh sesak pasien? Saya sendiri seumur hidup saya menjadi dokter di tempat saya belajar dan sampai di tempat saya bekerja sekarang, saya tidak pernah melihat instansi saya bahkan sejawat saya menolak pasien. Menolak pasien di sini berarti kami tak mau merawat pasien dan membiarkan pasien. Tidak pernah! Saya tetap melaksanakan seoptimal dan semaksimal yang kami bisa. Walaupun pada akhirnya pasien tak mau dirujuk, kami juga memberikan pelayanan semaksimal kami yang kami mampu.

Di negeri ini, dokterlah yang sering diketuk pintunya atau berdering teleponnya dengan keadaan apapun. Mau sedang makan, sedang tidur, sedang bermain dengan anak. Kami tidak bisa bilang: "Oh ini waktunya saya di rumah, maaf jangan ganggu saya." Dokter bekerja 24/7, lembur yang tak terkira. Bahkan ketika keluarga tidur, anda tidur nyenyak, kami masih bekerja.

Di negeri ini, dokter memeriksa laboratorium sudah disangka ingin mengambil untung dan komisi. Duh! Parahal pemeriksaan penunjang adalah salah satu bagian dari penegakkan diagnosis. Tentunya kami pun sudah memikirkan apa-apa saja yang perlu diperiksa. Namun ketika pasien kita berobat ke rumah sakit di luar negeri dan diperiksa A sampai Z, pasien diam tanpa kata protes. Sedangkan ketika kami mau memeriksa darah rutin saja untuk pasien demam, sudah disangka ingin mengutip tilang lalu masuk ke kocek sendiri dan dianggap lebih jahat dari Polantas oleh salah satu anggota dewan.

Di negeri ini, ketika bayi prematur sekian ratus gram meninggal, ini salah dokter! Dokter harus dituntut sampai ke liang kubur. Tapi ketika pasien diabetes berobat ke klinik-klinik alternatif, menggelotorkan jutaan rupiah untuk "herbal-herbal", dan akhirnya meninggal karena ketidakstabilnya glukosa darahnya. Seringkah terdengar klinik alternatif itu dituntut?

Di negeri ini, dokter (terutama dokter umum) dianggap merampok uang pasien. Tapi tak pernahkah terpikirkan betapa dokter umum membanting tulang kerja di klinik 24 jam? Tak pernahkah terpikir kami dokter umum di daerah terpencil di seluruh Indonesia ini pernah 3 bulan bergaji kurang dari sepertiga hak kami? Sedangkan kami tetap harus bertahan hidup di pedalaman negeri ini?

Di negeri ini, terutama daerah terpencil, kami sudah terbiasa dihutangi pasien. Tapi kami tak pernah menaruh dendam dengan mereka. Walaupun mereka lagi, kami tetap layani. Kami hanya berpegang pada kemanusiaan.

Di negeri ini, kami menjadi makanan jurnalis. Sedikit berita kami menjadi bombastis. Dan entah langsung talkshow atau berita apapun menjadi primadona di layar kaca. Dan kami dicecar. Kami dianggap malpraktik, kami dianggap jahat, dianggap tak berhati. Pernahkah kalian berpikir sebaliknya, apakah yang dilakukan media massa ini berhati atau mencari sensasi? Ke mana aturan emas pergi?

Ya itu keluh kesah. Tapi kami tak pantas berkeluh kesah dalam kerja dan karya kami. Itu semua kebanyakan kami simpan dan tetap lanjut berkarya. Walaupun hati ini pun terasa teriris pedih.

 

Rabu, 06 Maret 2013

Pertanyaan "Sepele" Kepada Pasien

Suatu hal yang masih saya ingat dan tidak lupa saya lakukan saat melakukan anamnesis atau visite adalah sedikit berbasa-basi dengan pasien. Mungkin ini bukan basa-basi biasa.


Perihal saya dapat dari salah satu guru saya saat di Fakultas Kedokteran UNIKA Atma Jaya. Ya, tiga atau empat tahun yang lampau. Saat itu saya tengah ronde pagi (keliling memeriksa dan melaporkan keadaan pasien) bersama dr. Iwan Irawan, SpB. Kami di Atma Jaya sudah bak residen (peserta didik dokter spesialis). Semua harus detail kami perhatikan. Suatu saat itu, saya sudah hapal luar kepala apa yang perlu saya laporkan dari keluhan pasien, hasil pemeriksaan, diagnosis, dan rencana tatalaksana yang diusulkan untuk disetujui (SOAP, kami menyebutnya). Di satu titik saya tiba-tiba ditembak oleh konsulen, "Di mana Bapak ini tinggal?" Saya pun mulai buyar. "Ia berapa bersaudara?" Nah lo, pikir saya dalam hati. "Ini perlu kamu tahu, supaya memungkinkan tidak dia konsultasi lanjut, yang mengantarnya, dan lainnya... Lalu kemudian kemarin dia bisa tidur atau tidak?"

Mungkin saat itu saya berpikir, hal itu sepele. "Untuk apa sih saya perlu tahu hal itu? Apa mungkin kelak saya perlu tahu zodiaknya apa?" Tapi pada akhirnya keluh kesah ini menjadi makna pada kemudian hari.

Ya, tampak sepele. Tapi itu memiliki banyak makna.

Pertama, seperti yang ditekankan alm Prof Sidharta dalam bukunya dan alm dr. AJ Gozali SpPD waktu dulu mengajar. Anamnesa atau wawancara pasien itu penting. Konon 70-80% diagnosis akan tegak. Jadi, kita harus banyak bertanya pada pasien. Tapi apa hubungannya kelak dengan pertanyaan "sepele" itu? Ya, kita bisa akan banyak tahu soal kebiasaan atau sedentary lifestyle yang bisa memicu gangguan kesehatannya.

Kemudian kita bisa memperkirakan bagaimana tatalaksana lanjut pasien. Seperti saya di Menjalin, banyak desa-desa sangat terpencil. Maka kira-kira kita dapat tahu bagaimana mengedukasi atau berpesan pada pasien, walau memang realisasinya pun dipertanyakan. Namun kita telah melakukan hal yang seharusnya.

Kedua, ini bisa membangun relasi dengan pasien. Salah satu kawan saya, Ricky, mengatakan demikian, "Itu menambah kepercayaan pasien terhadap kita dan pasien serta keluarganya jadi merasa diperhatikan banget."

Ya, banyak keluarga yang senang ditanya dimana, bagaimana dirinya. Apalagi pasien lansia yang ditanya berapa cucu dan cicitnya. Mereka senang sekali, walau mereka tengah terbaring lemah.

Saya pun sering juga visite sambil sedikit bergurau agar suasana menjadi lebih cair antara dokter dan pasien. Dan pertanyaan-pertanyaan sepele itu pun membuat suatu cerita yang bisa diperbincangkan antara pasien dan dokter. Apalagi di desa, bisa terkuak gosip-gosip desa (loh?). Hehehe...

Memang walau demikian saya menyadari tidak semua hal kepada pasien ini saya terapkan kepada keluarga atau rekan saya diluar relasi pasien. Tapi entah kenapa saya lebih selesa jika melakukannya bersama pasien. Entahlah... (Jadi curcol? :p)

 

Sabtu, 02 Maret 2013

Kehadiranmu

Hanya satu harapku kini

Harapku akan kehadiranmu

Hadirmu untuk bantu menyekaku
Seka peluh dan air mata pikiranku

Pikiranku yang melayang jauh
Jauh terbang tak berarah

Kemana arah jalanku kini
Walau kini aku bak benang kusut

Kekusutan ini memerlukan tanganmu
Tanganmu yang mengurai lembut

Mengurai dan meredam segala kebingunganku
Meredam segala amarah dan pelikku

Walau hidup ini tak mungkin tak pelik dan kusam
Namun kusam ini patutlah tercerah akan harapku

Hanya satu harapku kini
Harapku akan kehadiranmu

Dalam perjalanan ke Menjalin,
26 Februari 2013