Selasa, 29 Agustus 2006

Dia yang Telah Lalu

Akhir-akhir ini saya menghadapi sepasang teman yang mengalami masalah dalam hubungan mereka ketika yang satu tak dapat melepaskan, yang satu asih terus terbayang masa lalu.


Masa lalu. Ya masa lalu. Mengungkit sebuah kenangan yang hedak dikuburkan, terus berteriak menyeruak.


Entah mengapa masa lalu begitu menghambat perjalanan? Tidakkah bisa terlupakan?


Ketika kita menghadapkan cermin? Ia muncul.
Ketika kita termenung? Ia hadir.
Ketika kita mangkir? Ia di hadapan kita.
Ketika kita tak melakukan apapun? Ia di depan pelupuk mata.


Pertanyaan-pertanyaan defensif terus diteriakkan. Tidakkah ada yang lainnya? Apakah aku tak mampu harus hidup tanpanya? Ketika pertanyaan menjadi kemangkiran, bukan reflektif.


Sebenarnya ini bukanlah pda problema hubungan yang sudah terjalin (maslah rekan saya)., ketika ingin membangun saja, dia yang telah lalu hadir kembali bak dari kubur. Apakah itu artinya menduakan? Apa itu artinya gw berdusta? Tapi, sekali lagi, apakah saya akan terus-terusan demikian? Inikah kedewasaan atau kekanakan? atau ini hidup? Ini takdir? Ini kepasrahan? ini tak dapat diubah? Memaradokskan hidup di dalam relung?


Ketika hidup tak lagi dpat ditampar? Benarkah?
Ketika hidup tak dapat bergoyang? Walau gempa?
Tumpuan yang begitu eratkah?
Ketika harapan hanya sebuah harap.

Ketika terus saya pikirkan:
Jika demikian, matilah aku. Jika in adalah takdir, adilkah?

Sebuah hidup, ataukah kita akan terus hidup dalam negativistis?

Senin, 28 Agustus 2006

In Memoriam: Dr. Oen Budi Susanto, MS

Sebuah kabar yang sangat mengagetkan saya tadi sore di kost Andy. Berita ini membuat Dye sampai tidak dapat berkata apa-apa. Semua pesan pendek menyebutkan: dr. Oen telah tiada. Seorang sosok dosen yang akan sulit dicari. Meninggal dalam ketenangan tidur.


dr. Oen Budi Susanto, dosen dari Bagian Biokimia FK Atmajaya. Ya, sebelum saya masuk ke mata kuliah Biokimia II, saya telah mendengar bagian ini cukup menakutkan. Banyak mahasiswa yang tersangkut di mata kuliah ini. Memang, saya akui mata kuliah ini sulit. Di sinilah kelas mulai iajar oleh dosen seperti dr. Jenny, dr. Oen, dr. Sadikin (dosen tamu dari UI), dan dokter-dokter asdos.


Sosok dr. Oen dikenal galak bahkan "killer" oleh angkatan atas. Dan… menurut saya malah jauh dari kesan itu. Konon, katanya ia telah berubah sikapnya sejak operasi transplantasi ginjal. Di balik itu, saya sebenarya tidak begitu mempersoalkan dosen killer. Karena toh tidak demikian adanya, mereka punya metode sendiri dan pada dasarnya mereka baik-baik saja, bukan pembunuh. Kalaupun banyak yang tidak lulus, salah dosenkah?


Sebuah hal yang masih teringat adalah sosoknya yang menerima mahasiswa. Kalau ada persoalan, akan dibantu. Ia sendiri sangat mengenal mahasiswa, siapa yang bermasalah dengan mata kuliah Biokimia, dan lainnya. Bahkan ia sempat bertanya "Apakah bisa ujiannya?" selepas ujian praktikum.


Memang beliau keras dan berpegang pada kejujuran, dan tidak ada kompromi soal ini misalnya menitipkan absen. Suatu hal yang memang salah, dan memang harus ditindak tegas.


Saya sendiri lumayan sering berkomunikasi dengan beliau, karena dulu saya memegang komti (komandan tingkat, seperti ketua kelas) Biokimia I saat semester 2. Yup, mengenal sosok yang religius ini. Beliau selalu menjadi diakon pada misa Rabu di Kapel Rumah Sakit Atmajaya.


Di balik deritanya saat operasi dan mendapatkan keberkahan mukjizat telah dialaminya. Segala kerendahan hati tertunjukkan di dalam doa-doanya sebelum memulai kuliah.


Ini adalah sebuah memoriam.


Selamat jalan dr. Oen. Engkau tetap menjadi guruku.

Minggu, 27 Agustus 2006

Sebuah Tabrakan di Kota

Hari ini anjrit abis... Well, gw tabrak trotoar gara-gara salah perkiraan waktu belok. Damn.

Hari ini gw kembali keliling jakarta pake mobil sodara, gw bawa dari Menteng, ke Kota, Grogol, Tomang, Pluit, Ancol, Sunter. Alhasil lancar-lancar aja, cuma konsen gw lagi ancur banget. Gw sering hampir cium trotoar, hampir nabrak bajaj (abang bajajnya yang goblok). Yang terparah itu pas naik trotoar di persimpangan Kota di dekat Hotel Batavia. Alhasil bagian bawah mobil lumayan hancur. Mampus, mampus!

Argh gw pikir-pikir kayaknya lebih enak punya mobil sendiri yang seken, jadi mau nabrak juga nggak diomelin sama siapa-siapa. Argh, kapan gw punya mobil sendiri ya?

Rabu, 23 Agustus 2006

C'est Une Raison

Sebuah mata mulai mengurai hasrat
Menilik dalam sebuah waktu
Hendak temu dalam kalbu
Ternyata ada sebuah yang tersisa


Ketika itu menisik hati
Memulai rasa yang hadir
Insan-insan jatuh
Memulai sebuah lika liku


Hendak hari berjalan bersama
Kita sombongkan diri di tengah Bima
Menyata alpa segala dunia
Tak mungkin semua akan berubah


Sadar akan segala perbedaan
Tikam diri tikam kata
Menyusut rindu dalam cita
Kita tahu semua


Menumpahkan derita menyuarakan suka
Berbagi dalam seri dan jera
Segalanya telah terjadi
Dua insan tak terpisahkan?


Mala hadir menyeringai kita
Terbawa lara simpan amarah
Kita tak sadar
Kita bersalah


Ketika semua berakhir dalam ketiadaan dirimu
Tak luput dari sebuah akhir jiwa
Aku tak dapat lagi mengenang
Memulai sebuah akhir


Semua yang ada hanya sebuah
Guratan pena guratan hati
Kau tak dapat lagi memandangku
Namun kaulah aku tetap hidup


C'est une raison
Itulah alasan itu

Selasa, 15 Agustus 2006

Masa Depanku Masih Ada

Ketika setiap orang menanyakan: "Kamu mau jadi apa?" atau "Apa sih cita-citamu?" Ada berbagai jawaban yang terlontar. Ada yang mengatakan "Saya akan menjadi pengusaha sukses", "Err, belajar dulu deh", "Belum saya pikirkan", "Masa depan? Hah?".


Sebuah pemikiran yang bisa dikatakan sebagai sebuah futurologi. Mengira dan setidaknya dapat sedikit memastikan apa yang akan saya kerjakan di kemudian hari. Berpikir pada suatu yang ideal, seperti yang diharapkan.


Muncullah suatu pertentangan yang runyam. Ya, ada yang berkomentar "Yakin kamu?", "Berat loh", "Terlalu idelistik". Membangun sesuatu yang idela memang susah, tapi apakah suatu ketidakmungkinan? Membangun apa yang dicita-citakan, sesuatu yang salah? Ketika kita mengatakan "Tidak mungkin" adalah arogan. Arogan dalam arti, kamu memutuskan begitu sepihak dan tanpa berpikir jauh. Berkata tidak mungkin, karena saat ini hal itu tidak mungkin. Secara logika, memang tidak mungkin hal itu lakukakan sekarang, tetapi apakah masih tidak mungkin untuk masa depan?


Menuju sebuah cita-cita bukan sebuah hal yang gampang. Sebuah hal yang perlu diperjuangkan dan mengorbankan daya upaya. Ketika waktu hanya menjadi bekas jejak saja, jejak menuju tujuan. Jejak inilah yang akan mengingatkan kita begitu banyaknya hal yang kita lakukan dalam waktu itu. Tanpa sesuatu yang tidak kita lakukan, apakah jejak itu akan ada?


Jejak adalah keringat, bahkan perlu setets darah. Jejak adalah suatu perjuangan, bukan kesenangan hura-hura. Jejak itu berawal dari tekad, komitmen, dan keyakinan. Akhirlah sebuah tujuan hampiri.


Ketika jejak itu menorehkan setengah rupa. Kita berhenti karena kita telah berkeringat. Ingatlah, bahwa kita perlu keringat lain untuk menyempurnakan jejak. Jejak yang tak selesai tak akan berarti apapun. Bahkan orang lain pun tak tahu bahwa itu adalah jejak. Suatu bekas mungkin. Apakah setengah jejak akan mencerminkan komitmen? Tidak ada komitmen yang setengah rupa, itu saja.


Memahami semua yang telah terjadi dari perjuangan. Melawan anti-idealisme, anti-kerja keras, dan anti-perjuangan. Semua jejak yang kita bangun tidak akan sia-sia, menorehkan sebuah yang baik untuk kita. Ketika sebuah tujuan tiba, kita pun akan dibukakan waktu untuk memberikan jejak berikutnya.


Masa depanku masih ada.


Rabu, 02 Agustus 2006

Dokter Pasti Kaya ya?

Mas, masuk ke Kedokteran. Pasti orang kaya dan nanti ke depannya juga kaya ya.

Itulah potongan yang pernah gw terima dari bapak sopir taksi Blue Bird sudah lama banget. Lupa waktu itu mau kemana. Sebuah kalimat yang perlu di cari artinya.


Dokter itu anak orang kaya
Ketika kita berbicara tentang dokter, pasti ada streotipe dari masyarakat: pasti dia kaya atau anak orang kaya. Sebetulnya kata kaya dalam konteks orang tua dapat dibenarkan untuk beberapa pihak dan untuk beberapa pihak harus dikoreksi dengan kata "mampu" karena hasil tabungan orang tua dan "berjuang" dengan beasiswa. Sebenarnya tidak salah juga anggapan masyarakat. Hitung-hitung uang sekarang, untuk masuk FK Swasta sekaliber Atma harus merogoh kocek lebih dari 100juta. Angka 100juta ini hitungan dari uang pangkal (baru uang pangkal) untuk peringkat 3 (dan emmang kebanyakan siswa peringkat 3 kecuali PMDK). Angka ratusan juta ini katanya sebanding dengan investasi baru KBK Kedokteran yang katanya mencapai 10 miliar. Wuih....


Ratusan juta itu masih ditambah dengan sumbangan sukarela yang "sukarela". Kalau keluarga kaya bisa setengah dari uang pangkal, atau bahkan lebih. Atau angkanya mencapai puluhan juta. Untungnya saya masuk Atma, dengan uang pangkal 60juta dan sukarela 1juta. Tih katanya sukarela kan. Konotasi positif dong.


Itu baru hitungan S1, Sked. SKed adalah titel sarjana yang boleh dibilang mahal tapi nggak tahu arahnya mau kemana karena statusnya "dokter nggak jadi". Lain dengan SE, SKom yang bisa langsung melamar kerja. SKed terasa sulit. SKed harus iteruskan dengan pendidikan profesi Dokter selama 2 tahun. Hitunga-hitungan masih tinggi. Untuk harga sekarang saja sudah mencapai belasan juta per semester. hitung saja untuk empat semester. Belum lagi untuk angkatan baru ini, hitunghitungan tahun 2010 sudah berapa?


Perlu investasi besar bagi orang tua. Kadangkala saya terpikir juga ketika anak kecil dari keluarga yang kurang mampu.


Cita-citaku mau jadi dokter.


Yup, bisakah mereka?


Tapi jangan kita abaikan dari kelompok menengah yang berjuang keras untuk mengumpulkan uang untuk menyekolahkan anaknya di FK. Sebuah perjuangan bagi orang tua. Kadang-kadang saya berpikir seperti ini, kalau sya tidak belajar baik misalna urak-urakan, melenyapkan seketika uang orang tua. Walaupun dalam hati merka, mereka tak mengharap imbalan apa-apa. Tapi, hal itu tetap membuat mreka sedih kan? Berjuang!



Dokter itu orang kaya

Dokter itu orang kaya bisa karena orang tuanya kaya atau memang dari kerjanya sehari-hari ia menarik uang yang besar dan membuatnya kaya. Tapi berpikirlah, semua harus berjalan seiiring waktu. Masih banyak tahapan yang diperlukan dari dokter ke mendapat surat ijin praktik. Lama.


Menjadi dokter yang bersih benar, setelah saya pikir adlah sebuah hal yang agak diimpikan belaka. Misalnya tanpa menarik biaya dari setiap (di sini saya tekankan setiap) dengan idealis menyembuhkan semua orang. Kecuali memang kalau ada yang benar2 membutuhkan, gunakan hati nurani. Tapi kalau orang tajir mubasir? Bertolak belakang dengan idealisme. Nah lo.


Sebenarnya dogma "beranikah kamu menarik uang dari orang yang menderita" hal yang realtif. Dikecualikan kalau memang pasien perlu sekali misalnya pasien tidak mampu. Kalau pasien kaya, dia menderita toh. Sebenarnya secara aksarnya, dokter seperti seorang montir. Kita menarik biaya untuk pembetulan PS dari seorang anak yang tersedu2 karena PSnya jatuh. Menarik uang dari orang yang menderita bukan? Lihatlah keadaan.


Menarik biaya dari pasien. Di sinilah kalau seorang dokter murni mendapatkan pendapatannya. Bukan dari kasak-kusuk dengan salesman obat atau supplier alat. Nah dari pendapatan pasien itu TIDAK BISA KAYA! Kaya diartikan kalau kita punya harta berlebih setelah bisa menutup kembali investasi ratusan juta saat pendidikan. Hal ini patut diperhitungkan.... untuk menghidupi istri dan anak. Nah, dokter juga manusia, dia perlu menghidupi lainnya...


Dokter juga manusiaaaa....