Jumat, 26 Februari 2010

Api Tetap Hidup

Tidur memang cukup, tapi badan merasa tidak enak.
Pikiran tak terawang.
Kepala rumit, benang sukar.
Dan diri ini tetap berusaha memantikkan api,
Agar ia tetap hidup.

Minggu, 21 Februari 2010

Kasih Ibu: Tak Layakkah Dibalas?

Tulisan ini adalah tulisan yang mendadak dan begitu spontan. Ketika di bangsal rumah sakit, terdapat seorang oma yang dapat dikatakan tua renta. Umurnya tak muda lagi, 82 tahun. Badannya begitu terkulai lemah, tak berdaya. Badannya dulu mungkin gemuk, karena itu yang tersisa dari masa mudanya selain disertai dengan segala raut wajah tua yang menghiasinya. Matanya sayu dan cenderung untuk selalu tertutup, entah mungkin untuk meratapi segala nasibnya. Frase yang keluar dari mulutnya hanya gumaman yang sedengarnya bagaikan rintihan. Dia sudah lama terbaring di rumah sakit. Tubuhnya yang lemah kian digerogoti oleh usia tuanya.

Bukan itu sebenarnya, yang saya pikirkan. Pikiran ini muncul ketika saya melihat ke jam tangan dan ternyata sudah saatnya melakukan pemeriksaan tanda vital semua pasien. Mulailah saya menenteng satu kantung tensimeter dengan stetoskop terkalung. Saya mulai dengan kebiasaan menyapa. Seperti biasa sang oma hanya terkulai. Ia sedang bersama anaknya, tebak saya, atau paling tidak menantunya. Sang wanita muda itu tengah menyuapi bubur kepada oma. Sebuah hal yang cukup miris, bagi saya, ketika wanita muda itu bertindak kasar padanya. Ia hanya menukas "Ma, ayo makan!" dengan nada tinggi. Caranya untuk meminta membuka mulut pun tak pantas. Begitupula ketika sang oma enggan memakan sesuatu.

Saya memang dalam posisi tak layak untuk berkomentar. Saya hanya dokter muda yang tengah ingin memeriksa. Tetapi dalam pikiran saya luluh lantak. Tak bisakah engkau sabar padanya? Tak bisakah engkau lembut padanya? Ia yang dulu merawatmu atau suamimu hingga dapat besar seperti ini. Tanpa dia, siapa engkau? Tanpa belas kasihnya, mungkin engkau tak di sini. Tanpa pantang menyerahnya menghadapi kerasnya hidup, mungkin engkau pun tak bisa seperti ini. Kalau ia menyerah merawatmu dulu, kamu takkan bisa hidup.

Ibu tak mengharap apa-apa, inilah yang pernah diucapkan oleh ibu saya. Tidak perlu harta mewah, tak perlu cincin permata disetiap hari jadinya. Ia dalam hati mungkin berkata, air susuku tak perlu dikembalikan. Begitu ikhlas! Namun tak layakkah hal ini untuk dibalas? Tak pantaskah kalau kita pun bersikap lembut dan pantang menyerah ketika ia sudah tak berdaya di masa tuanya. Dan yang terpenting adalah, buatlah ia percaya dan bangga bahwa benar kita adalah anaknya.

Sabtu, 20 Februari 2010

Minggu Pertama Interna

Akhirnya, interna.

Dalam minggu ini saya telah tiba di Interna, alias Ilmu Penyakit Dalam. Suatu stase yang juga saya awali dengan perasaan harap-harap cemas. Apa mungkin saya setiap masuk ke stase baru selalu mengalami hal yang serupa. Banyak hal baru yang dialami. Dimulai mengemban amanah menjadi kepala kelompok, membangun hubungan dokter-pasien yang baik, mendapat pengalaman baru. Namun, yang berkesan adalah yang kedua. Saya mendapat pasien pertama yang konon tak lazim penyakitnya. Dengan tanda ini, saya mencari bahannya di jurnal, hanya sekitar 40 kasus yang diketahui dan tercatat. Dan, pengharapannya hanya satu, semoga ia baik-baik saja.

Sabtu, 13 Februari 2010

Perut yang Progresif

Ada sebuah anekdot. Ia menyebutkan bahwa: "Justru Dokter yang Sulit Menjaga Kesehatan Dirinya Sendiri". Entah benar atau salah, entah apakah ini adalah pembenaran sinistik, atau apa? Kemudian ada juga yang menyebutkan bahwa dokter pria memiliki kemungkinan 40% lebih tinggi dari risiko bunuh diri dibandingkan pria umumnya. Begitu pula, dokter wanita memiki kemungkinan risiko 140% lebih tinggi. (Center et al, 2003 dan Schernhammer et al, 2004), Mungkin gampangnya begini, dari jumlah 10 orang pria dari populasi umum yang bunuh diri, 14 orang dokter pria bunuh diri. Dan dari jumlah 10 orang wanita dari populasi umum, maka 24 orang dokter wanita bunuh diri. Mencengangkan?

Sudahlah itu soal bunuh diri-bunuh dirian. Mengenai kesehatan umumnya pun tak sedikit yang mengalami kesulitan. Kita ambil salah satu indikator antropometrik, IMT misalnya. Tak sedikit yang IMTnya overweight atau obese (saya?).

Ya, saya mengakui salah satunya saya. Perut yang melegenda sejak akhir-akhir pendidikan pre-klinik. Tak hanya "dipuji" oleh sesama sebaya, bahkan perut ini pun diketahui dosen dan pimpinan. Begitu hebohnyakah perut saya? Hahaha...

Saat saya lulus dari Kanisius, perut saya masih kisaran 70an kilo. Kini orang yang tengah mengetik tulisan ini berbobot 85 kg. 10an kilogram bertambah. Dalam statistik, mungkin ini standar deviasi yang jauh dibandingkan rerata bobot saya selama ini.

Perut yang siap diapapun (termasuk dibully). Keuntungannya, bisa menjadi probadus Leopold. Tingginya masih di antara processus xiphoideus os Sternum dan umbilikus. Ya, anggaplah 6-7 bulan kehamilan. Perut ini juga tergolong dalam bamilresti (bapak hamil resiko tinggi) yang perlu mendapat pelayanan antenatal hingga indikator K-8 (Kunjugan ke-delapan).

Perut ini pun sempat disindir, Perut IT. Ya salah satu dosen berkata: "Wah, Hau gemuk sekali. Mungkin gara-gara kebanyakan main komputer, duduk saja." Tak juga ada perkataan ilmiah, "Hau, Perut Saudara sangat progresif".

Boleh ditanya, bahwa tiada hari tanpa membicarakan sang perut. Bahkan ibu saya selalu (saya saja sampai bosen) mengingatkan: "Kalau bisa fitness, di sebelah kampus kan ada Celebrity Fitness." Saya masih mengingat dulu (2 tahun lalu?) bahwa ibu saya begitu gembira ketika mendengar bahwa fitness akan dibuka di sebelah kampus. Sayangnya harapannya masih tak tercapai. Karena, "Waduh koas kan sibuk....", tukas saya.

Saya sendiri masih membingungkan diri saya. Tilikan saya akan kegemukan ini, saya masih dalam tahap tilikan yang sadar sesadar-sadarnya, bahwa keadaan ini salah. Bahwa kondisi badan saya tak baik. Bahwa saya memiliki resiko tinggi pada penyakit jantung koroner, stroke, perlemakan hati.

Tapi perut ini kian membesar, karena lambung yang cepat mengosong (salah lambung sekarang?). Hahahaha....

Ya mudah-mudahan saja, setelah koas ini, perut dapat mengecil (optimis atau pesimis?)


Jumat, 12 Februari 2010

Memoar IKM: Oncom dan Peneguhan

Hari ini, 12 Pebruari 2010, akhirnya saya menyelesaikan rotasi Ilmu Kesehatan Masyarakat. Hari diselesaikan dengn ujian tutor dan masih menyisakan hutang kami, sebuah ujian yang harus dilaksanakan saat setelah seluruh rotasi berakhir. Yup rotasi yang dijalankan dari 30 November 2009 memberikan kesan bagi saya. Sebuah kesan yang menarik.

Rekan-rekan Sableng, Luar Biasa, dan Oncom

Belajar atau... Tidur?

Kami bersembilan belas. Sebuah kelompok yang cukup, namun tetap saja sering dikatakan "rombongan pasar" karena ributnya minta ampun. Dan saya juga pertama kali bertemu dengan rekan-rekan yang belum kenal sebelumnya dan ada juga beberapa yang sudah pernah berjumpa di siklus Bedah.

Memang pada awalnya kelihatannya adem-ayem. Masing-masing bak belum menunjukkan taringnya. Namun sembari berjalannya waktu, mulailah bisnis peroncoman. Oncom? Yup, sebutan khas dari Michelle yang konon sebagai pronomina pengganti kata "o-on", dan akhirnya melegenda di IKM. Panggilan itu tak hanya kepada seseorang dan bahkan siapapun bisa menyandang nama "oncom". Oncom sudah seperti "panggilan sayang". Akhirnya guyonan oncom-oncoman semakin naik daun. Dan, mungkin sejak saat itu, suasana mencair.

Mungkin saya dulu tak pernah mengenal mereka dan hanya sebatas sapa. Namun riuh-rendah telah dimulai.

Ice Breaking

Di IKM, memang waktu lebih luang dibandingkan rotasi yang berbasis bangsal rumah sakit. Jam 13:00 adalah waktu pulang. Dan tak jarang waktu-waktu ini dimanfaatkan untuk apapun. Sebut saja: makan di Pluit Village, makan di Emporium, makan di Kantin, karaoke di Pluit Junction. Tampak hedonista ya? Tapi suasana semakin pecah di saat-saat itu.

Dengan semua hal-hal yang dilakukan, wajah ini kian ditelanjangi. Mungkin heran melihat saya yang "agak rakus" (salahkan lambung saya!), Michelle yang "makin dong-dong", Ririn dengan perilaku bayi sehat, Tia dengan kehebohan dan tawanya, Irene dengan kebawelannya, Stacy dengan aksi nekatnya, Ricky Pantat dengan salah satu asetnya yang merupakan yin-yang bersama saya, Andi Tan dengan ocehannya (makanya sempat masuk Pengadilan kan di?), Vonny dengan chichongfan dan nasi babi, Christ dengan paparazinya, Vani dengan "maaf ya..." dan semuanya rekan-rekan di IKM yang luar biasa. Tak lupa juga dengan kompetisi Plant Versus Zombie di kala senggang.

Tawa tak hanya berhenti saat bersama. Bahkan di Facebook dengan "banci comment-nya" menjadi penggerus duka.

Hiduplah dengan Ceria, Koas

Koas memang perlu ceria. Tak hanya murung, apatis, dan lainnya. Bahkan di kala kami mendapat kabar ujian tertunda, untuk apa terus bersedih? Ceria!

Makan-makan!

Begitu banyak banyolan aneh dari segala detik. Dari banyolan sehari-hari, banyolan saya sang best seller (penting nih ini didokumentasi), hingga banyolan a la Puskesmas Stacy. Eiittss... saya best seller? Iya! Hahahaha... Saya memiliki enam "Desperate Hau's Wife". Dasar poligami! Emang ini hanya lelucon, tidak ada benar-benarnya, salah luar biasa. Tapi ini hanya sekedar agar IKM kian ceria!

Apa yang Dilakukan, Sebenarnya?

Mungkin Anda bingung, dari tadi saya hanya menuliskan hal-hal sableng, banyolan, ceria. Apa sih sebenarnya yang dilakukan di IKM? Ya tugas pokok kami tetaplah sebagai koas. Pada minggu-minggu junior, kami melaksanakan program Sanggar Kegiatan Remaja Sehat (STARE) di RW 06 dan 16 Kelurahan Penjaringan. Ya sesuai dengan prinsip manajemen, kami merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi kerja-kerja kami. Selain itu kami juga mendapatkan tutor dari dosen pembimbing. Setelah itu di minggu senior, kami turun ke Puskesmas. Beberapa pengalaman saya di Puskesmas sudah sempat saya tuliskan di blog ini.

STARE di Kel. Penjaringan

Saya dan rekan di Puskesmas Kamal Muara

Saya mendapatkan banyak hal, dan yang terpenting adalah peneguhan saya terhadap kepercayaan diri saya sebagai dokter. Kemudian bagaimana turun ke masyarakat, menjadi dokter sejuta masyarakat. Berempati, mengolah komunikasi yang baik, dan melihat sistem kesehatan di negara ini.

Ohya, kami juga turut membantu bakti sosial dalam perlindungan anak jalanan dari Dinas Sosial. Dan menyadarkan saya bahwa masalah-masalah seperti ini adalah lingkaran setan, yang perlu diatasi secara serempak oleh semua sektor-sektor yang ada.

Jadi?

Saya mendapatkan banyak hal. Namun yang paling berkesan (yang terpenting tak selalu harus berkesan kan?) adalah keluarbiasaan para oncom. Ingin kali suatu saat kita bisa berkumpul lagi. Terima kasih dosen pembimbing di IKM, terima kasih teman-teman di IKM. Sukses selalu beserta kita!

Rabu, 10 Februari 2010

Menanti Koas Baru (Dengan Cemas)

Hari ini lagi-lagi mengingatkan saya pada enam bulan lalu. 9 September 2009 (09-09-09), Ketika saya melihat papan pengumuman hasil ujian OSCE, sebuah ujian klinis terstruktur dan objektif. (Lihat: Akhirnya, Dokter Muda). Saya akhirnya masuk koas. Kemudian memulai perjalanan saya per 14 September 2009 di Departemen Bedah. Sama seperti mereka, saya pun mengalami kebimbangan besar yang kalau diberi judul "Siapkah saya menjadi koas?" (Lihat: Awal Studi Klinik).

Kalau dihitung-hitung soal kuantitas, memang menerima 33 orang ini tampaknya tidak begitu kentara, karena didistribusikan 4 orang di rotasi mayor dan 2 di rotasi minor. 90an sisanya pun masuk ke gelombang kedua setelah angkatan 2003 sebagian besar telah menyelesaikan studi kepaniteraannya. Nah, menjadi masalah di kepala saya, apa kabar kalau 186 dokter muda baru akan tiba, bersama 128 koas 2005, 150 orang lebih dari angkatan 2004 ke atas? Saya sendiri tidak bisa membayangkan membludaknya koas (koas-booming?). Namun mudah-mudahan pimpinan memang sudah ada kebijakan yang bisa mengatasi ini. Ya, mudah-mudahan akan lancar-lancar saja koasnya bagi angkatan lama dan baru.

Ya, tidak ada kata lain, kami pun mengucapkan proficiat dan selamat datang di dunia perkoasan. Seperti salah satu kata konsulen: Nikmatilah masa koas.

Selasa, 09 Februari 2010

Belajar di FK: Apakah Saya Harus Tahu Segalanya?

Anak FK (baca: Mahasiswa Fakultas Kedokteran) seringkali dianggap cerdas, pintar, cenderung kutu buku, dan lain-lain-lainnya. Bukunya tebal-tebal. Itupun buku yang tak ada gambarnya. Begitu monoton dengan tulisan. Anak FK seringkali dianggap anak yang merupakan drum informasi. Ia tahu segalanya. Ya seperti dokter, yang seringkali diharapkan tahu segalanya, benar segalanya, dan zero tolerance.

Selama pendidikannya, terutama di preklinik, saya merasa diberikan begitu banyak informasi. Bukan banyak, tapi lebih banyak dari itu. Maka tak heran kuliah pun harus 160 SKS untuk sarjana, sedangkan prodi lain rata-rata 144 SKS. Segala ilmu dipelajari. Dari ilmu biomedik dasar, ilmu klinik dasar, hingga ilmu klinik terapan, termasuk pula ilmu kesehatan masyarakat. Banyak. Limpah ruah.

Walaupun ada yang mengatakan bahwa kita hanya menggunakan sepersekian otak kita. Tapi memang begitu banyak informasi yang akan didapatkan selama belajar di kedokteran.

Saya pun pernah melewatkan fase stres, tertekan selama di preklinik. Saya merasa harus membaca setiap titik dalam Sherwood (salah satu buku fisiologi-red). Saya merasa harus membaca detail-detail dalam berbagai buku. Tapi memang dasar saya, saya merasa kelenger. Celakanya, saya tidak punya kemampuan mengingat semua hal, termasuk segala detail.

Sampai suatu saat saya bertanya, apakah saya harus membaca semua? S-e-m-u-a? Apakah saya memang perlu mengingat lagi macam protein esensial? Apakah saya perlu mengingat semua otot yang menyusun tangan dengan segala macam longus dan brevisnya? Memang "perlu". Apakah kalau saya tidak paham semua maka saya akan (amit-amit) tidak lulus mata kuliah dan bisa saja ujung-ujungnya menjadi dokter yang gagal?

Ketika saya masuk ke koas, bekerja praktek lapangan di puskesmas, dan turun langsung ke dalam praktek kedokteran. Saya mulai menetapkan strategi, mempelajari yang saya anggap perlu. Karena dengan informasi ini akan lebih mudah untuk saya aplikasikan. Saya memahami patofisiologi appendisitis ketika saya berhadapan dengan pasien appendisitis, ketimbang saya harus menghapal di angan-angan. Dan lagipula, dalam transaksi kedokteran (hal yang terjadi akibat hubungan atau relasi dokter dan pasien) berjalan begitu lembut. Hingga yang saya anggap juga penting adalah kemampuan empati dengan pasien. Membangun komunikasi yang baik dengan pasien. Jadi, tidak melulu hanya soal ilmu. Dan terkadang kemampuan ilmu ini dapat saja menutupi kekurangan.

Saya memilih ini karena akan lebih mudah bagi saya untuk mengelola pengetahuan ini. Dengan praktek, maka ilmu akan lebih mudah. Salah satu konsulen saya pernah berkata: Di dalam masa pendidikan akan lebih sulit belajar dan menerima informasi, ketimbang ke dalam praktek sehari-hari hal ini akan lebih mudah.

Mengutip dari salah satu pemikiran rekan sejawat di blog Medscape: Suatu saat kita akan menemukan sendiri keseimbangan antara "mengetahui segalanya dengan "merasa tahu secukupnya dan tetap kompeten".
Part of the preclinical years, for me, involved striking a balance between knowing everything and knowing enough to feel competent. I would advise everyone to find that balance, although I'll admit it's easier said than done. You overshoot, and undershoot, and eventually you get it right.

Alex Folkl - Medscape

Terakhir, You can't always know everything.

Senin, 08 Februari 2010

Itu Saya Saat Enam Bulan Lalu

Hari ini adalah hari yang... ya bisa dikatakan hari H-1 menuju Ujian Tutor IKM. Untuk dikatakan siap? Ya, tidak juga. Saya baru menyentuh 1 satu bahan itu pun baru 1/3 (atau 1/4?) dari diktat tersebut. Kemudian baru menyadari ada diktat yang lowong. Kesimpulannya: belum (baca:tidak) siap untuk ujian besok. Huuaaaa....!

Hari ini adalah hari yang mengingatkan saya dahulu, saat panum untuk pertama kali, saat saya diijinkan secara resmi mengenakan jas putih. Sudah saya katakan dulu, itu adalah impian setiap anak pre-klinik bahwa suatu saat saya akan memakai jas itu! Saat itu, adalah saat yang siap tak siap, jas putih itu dikenakan. Dalam saat itu pula saya berusaha mencari jati diri saya, berpikir, berfilsafat, berkontemplasi pada diri saya mengenai kesiapan saya, kebolehan saya, keberdayaan saya dalam mengenakan jas putih itu. Sebenarnya mengenakan jas putih itu artinya saya adalah seorang dokter muda. Walaupun kata muda itu dikenakan, oleh nanti di dunia kepaniteraan, saya adalah "dokter". Ya, setengah dokter sungguhan, karena sumpah hipokrates belum terucap (walaupun sudah setengah terucap saat janji dokter muda) dan tidak memiliki SIP resmi.

Semua akan memanggilmu dokter atau dokter muda atau koas. Menurut salah satu konsulen saya dulu, ia menyamakan koas adalah seseorang profesi yang tengah bekerja dalam rumah sakit. Artinya, sudah memiliki tanggung jawab dan etos kerja. Bukan lagi mahasiswa yang masih wara-wiri. Ya tingkatannya sudah di atas mahasiswa. Logis, karena dokter muda pasti sudah menyandang Sarjana Kedokteran. Seorang sarjana kedokteran tentu akan disamakan dengan sarjana-sarjana lain yang bekerja. Jas putih adalah tanggung jawab.

Ketika mencari jati diri sebagai dokter muda adalah hal yang saya anggap perlu. Paling tidak untuk 2 tahun akan membangun dan mempertegas visi dan misi hidup Anda sebagai dokter. Akan sangat terlambat, akalau harus tertunda dan terkatung-katung kemudian. Di sinilah akan bergejolak dan berproses, akan menjadi seperti dokter apakah kita?

OK, rekan-rekan mahasiswa FK-UAJ 2006, selamat datang di dunia kepaniteraan klinik. Tuhan berkati Anda (Doa saat koas, punya makna yang bagus dan hasil yang tokcer).
Sampai ketemu di kepaniteraan minggu depan! (Kalau SOCAnya tidak remedial ya... hehehe... Peace!)

Rabu, 03 Februari 2010

Parodi Kehidupan Koas

Koass? Itulah impian setiap anak-anak preklinik dan juga membuat euforia menuju manik ketika sudah mulai akan mencapai masa ini. Tetapi apa yang jalani masa koas selama hampir 5 bulan ini adalah masa yang tidak dapat terprediksi, perlu panjatan doa-doa mohon perlindungan malaekat, dapat mendapat pengalaman yang mengagumkan (semengagumkannya gw ketika memasang kateter uretra untuk pertama kali di bukan manekin), dapat pengalaman yang menekan, hingga pengalaman yang membuat kita harus hidup dan sadar selama 48 jam.

Tidak terprediksi? Ya, banyak sekali dari teman-temanmu sendiri hingga orang-orang di sekitarmu. Rentangannya besar dari senang sekali hingga mengiris jiwa. Dan akan berputar-putar dalam warna-warni itu. Dan sangat diperlukan kehidupan yang lebih lebur dengan rekan sejawat baik antara koas dan perawat, karena disinilah siklus hidup berputar. Saat sedih, rekan sejawat akan menjadi obat yang lebih ampuh dari ketorolac dan morfina sekalipun. Dan jangan malu untuk menjadi badut penghibur, karena kehidupan koas perlu hiburan juga!

Panjatan doa? Ya, selain bahwa diri kita tetap harus mengingat Tuhan, tapi pertolonganNya kadang-kadang menolong. Apalagi kalau kamu termasuk "Muka Rame" (Di saat kehadiran Anda akan mengundang frekuensi pasien yang lebih tinggi dari rata-rata normal. Ya, standar deviasinya di atas rentangan normal lah.). Carilah rekan yang "Muka Sepi" untuk mengimbangi. Namun kalau dengan frekuensi nisbi yang begitu tepat, maka Anda akan mendapatkan diri Anda yang memang "Muka Rame", berjaga malam dengan rekan Anda yang "Muka Horor", dengan perawat dan dokter jaga yang terkenal "Muka Rame". Nah, jangan sampai itu juga tanggal 13 atau Jumat Kliwon, kalau dalam matematika: seberapa pangkat eksponen yang bisa terjadi?

Pengalaman mengagumkan? Ya, selama ini kamu akan hanya belajar di manekin, pasien bohong-bohongan, atau dalam imajinasi di benakmu. Kali ini kamu akan berhadapan dengan pasien sungguhan (Ya iya, masakan pasien jadi-jadian. Kamu pasti akan kabur...). Saya masih ingat bagaimana bahwa saya harus memasang kateter uretra (beda sekali dengan manekin), bagaimana harus menjahit luka (beda dengan spons yang dijadikan bahan percobaan), bagaimana harus anamnese pasien (urutan di panduan hanya tetap akan menjadi panduan saja). Inilah seni, tidak ada yang pasti. Kata salah satu konsulen: "Kedokteran itu bukan 1+1 selalu 2. It's art." Dan juga pengalamanmu dengan pasien yang sembuh dengan terapimu, tentu akan menjadi pengalaman sangat-sangat berbekas.

Pengalaman ketika kafein pun angkat tangan? Ya, saya pernah harus mengatasi pasien dalam kesadaran somnolen dan trauma karena kecelakaan jam 12 malam. Saat itu juga sedang hektik di UGD. 4 pasien trauma sekaligus! Dan... saya menemukan bahwa pasien tersebut menyebalkan. Saya dan perawat UGD harus selalu mengangkat dia beberapa kali kembali ke brankar setelah dia menggeliat di lantai memaksa pulang (padahal tak disetujui keluarga). Padahal keadaannya masih penuh luka, berdarah-darah. Sampai-sampai keluarga pasien lain mengataka: "Waduh dokternya kok ngga simpatik sih lihat pasien begitu." "Dokternya gimana". Saya dan perawat hanya bisa mengelus dada... Aduh mimpi apa saya tadi malam. Dan itu terjadi hingga sampai jam 5 pagi. Dan paginya di bangsal, pasien itu tetap menggeliat di lantai bangsal. Dan saya dan perawat bangsal pun harus kembali mengelus dada.

Pengalaman saat koas itu tidak dapat kau pikirkan. Kepintaran ilmu eksaknya memang perlu, tetapi yang terpenting sebenarnya adalah seninya. Ya, seninya menjadi koas dan menjadi dokter.