Selasa, 29 November 2011

Annyeonghaseyo! 안녕하세요!

Dalam minggu-minggu ini, saya mungkin akan meninggalkan sejenak studi Tagalog saya dan mulai melirik bahasa Korea alias 한국 (Han-guk).

Sebenarnya saya dulu cukup penasaran dengan bahasa Korea. Saya sudah memiliki buku tata bahasa Korea sekitar 2 tahun lalu, tapi saya hanya pakai untuk mengerti penulisan Hangeul setelah itu bablas sudah. Namun karena saya berencana ingin ke Korea pada akhir tahun ini, tak ada salahnya juga bukan untuk paham bahasa mereka?

Ya, sebenarnya cukup menarik melihat tulisan a la Korea ini, dan ternyata tulisan ini adalah tulisan yang agak unik. Cara penulisannya berbeda dengan kanji Mandarin atau kana Jepang. Jika kanji Mandarin satu abjadnya adalah satu pengucapan, atau pada kana Jepang adalah satu suku kata, namun berbeda dengan abjad Hangul Korea. Ia memang satu suku kata seperti Jepang, tetapi penulisannya sebenarnya ada gabungan huruf-huruf seperti alfabet Latin.

Misalnya, 한국, sebearnya berasal dari ㅎ (h) ㅏ(a) ㄴ (n), dan ㄱ (g) ㅜ (u) ㄱ (k). Jadi, sangat-sangat mirip dengan aksara Latin. Kalau dalam aksara Latin semua dituliskan dalam bentuk memanjang, di sini penulisannya dengan gaya Kanji. Sungguh luar biasa hasil karya Raja Sejong ini. Memang dulu, sebelum abad ke-15, masyarakat Korea masih menggunakan kanji Mandarin (Hanja) dan akhirnya diganti dengan Hangul.

Selain itu, saya juga merasa tertantang untuk bisa membaca Hangul. Ya, kalau untuk membaca tulisan Latin atau sedikit kanji Mandarin mungkin saya bisa, namun untuk Hangul? Jangan salah, lumayan sulit untuk lancar membacanya. Apalagi kalau ingin membaca secara fasih seperti membaca Latin.

Yang tidak kalah buat saya penasaran adalah pengucapannya. Kalau selama ini saya menonton film Korea, mereka tampak bergumam-gumam penuh arti, atau dengan nada-nada cadelnya, atau berkata "Ne..." "Anio..." "Aboji..." atau kalau wanita-wanita suka berteriak, "Opaa.... Saranghae...." :)

Sungguh menarik tentu dan bisa menjadi pengalaman tersendiri dalam belajar bahasa Korea. Dan kini saya tengah memantapkan membaca Hangul :) Semoga saya mendapat sesuatu dalam belajar bahasa Korea.

Selasa, 22 November 2011

Maniak Buku Bahasa Asing

Saat itu saya tengah melakukan koas di Sukabumi, Jawa Barat, Tanah Parahyangan. Saat tiba di sebuah plaza, saya langsung ke toko buku. Apa yang saya cari? Kamus Bahasa Indonesia-Sunda. Dan rekan-rekan saya yang lain pun kebingungan melihat saya.

Beberapa pengalaman belajar bahasa asing sudah pernah saya tuliskan di blog ini misalkan di Belajar Logika dan Sejarah dengan Berbahasa. Dan kali ini saya terpikir untuk membahas mengenai buku bahasa yang saya punya.

Ketika saya memandang rak saya, saya tersadar bahwa koleksi buku bahasa saya tidak wajar. Pernahkah Anda melihat rak buku orang dengan deretan buku bahasa Indonesia, bahasa Inggris, Prancis, Belanda, Jerman, Italia, Mandarin, Kanton, bahkan Latin, Tagalog, Thai. Di benak Anda mungkin, apakah iya ia belajar semua ini? 

Saya akan menjawab iya, namun tidak semua saya dalami. Seperti bahasa Thai, saya hanya sambil lalu saja, mempelajari salam seperti Sawadhee krap! (Jangan katakan Sawadhee kha! Ini untuk perempuan). Demikian juga bahasa Perancis, Italia. Yang pernah saya dalami benar adalah bahasa Indonesia (tentu), bahasa Inggris, Mandarin, Jerman. Ini yang saya pernah dapatkan secara formal.

Sedangkan lain-lainnya hanyalah karena rasa ingin tahu saja. Seperti bahasa Korea, saya penasaran bagaimana mereka membacanya. Untuk bahasa Latin, saya penganut Katolik rasa-rasanya bagai kopi tanpa susu kalau tidak tahu sedikit soal Latin. Bahasa Mandarin ya paling tidak untuk nilai plus bagi saya yang bahasa ibu Tiociu dan Hakka-nya tak lancar. Bahasa Kanton, karena saya keturunan dari Kanton dan punya saudara di Hong Kong. Bahasa Tagalog? Sudah saya jelaskan di tulisan sebelumnya :)

Buku seperti apa?

Ada beberapa jenis buku yang saya sukai secara pribadi, yaitu menjelaskan sejarah bahasa, tata bahasa, tulisan bahasa, kultur, dan cara pengucapan. Saya sadar bahwa saya sangat lemah di bahasa berirama, telinga saya sulit menangkap bahasa tonal, maka dari itu bahasa-bahasa Indochina seperti Mandarin, Thai, Lao, Vietnam, Khmer tidak cocok bagi saya, walaupun saya penasaran dengan di balik guratan tulisannya. Namun saya tetap berusaha di Mandarin dan Kanton, paling tidak sudah berusaha ya :D.

Buku bahasa Indonesia?

Belajar bahasa Indonesia, bukan berarti kita balik ke SD. Namun saya pun berpikir, apakah bahasa Indonesia saya sudah sampai ke tingkat mahir? Benarkah penggunaan kata-kata saya? Walaupun mungkin dalam bahasa cakapan hal ini tidak menjadi masalah yang besar. Namun ini menjadi bom ketika kita disuruh untuk membuat bahasa tulisan. Dalam bahasa tulisan, orang lain akan lebih mudah menilai kita. Karena saya merasa bahasa Indonesia saya tidak cukup mahir, maka dari itu saya akhirnya membelu buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia dari Balai Pustaka. Saya pun memiliki satu kopi Ejaan yang Disempurnakan.

Saya kira jangan malu untuk terus menerus belajar bahasa Indonesia. =)

Buku bahasa Latin dan Tagalog

Kedua bahasa ini tidak populer di Indonesia. Mungkin populer di kalangan seminari (calon pastor) untuk bahasa Latin, atau pada mereka yang mau studi ke Filipina untuk belajar bahasa Tagalog. Semua ini sebenarnya berasal dari keisengan dan ternyata bahwa kedua bahasa menarik. Latin adalah bahasa hampir mati namun digunakan dalam sains dan agama Katolik, dan kalau Tagalog sebenarnya saya sempat memiliki rencana belajar ke Filipina namun saya tunda. Saat belajar Tagalog, saya juga menemukan komunitas online yang ingin mengajarkan bahasa ini, ini juga yang akhirnya membuat saya ada percikan api untuk belajar.

Kemudian di balik deretan buku ini, saya memiliki mimpi untuk melahapnya. Bahkan saya juga ingin menambahkannya dengan koleksi buku bahasa unik lainnya seperti Rusia dan bahkan Ibrani dan Arab. =D

Sabtu, 15 Oktober 2011

Rupiah Pertama Sebagai Dokter

Sebenarnya saya cukup menantikan hari ini. Ya ini adalah pekerjaan medis saya pertama sejak disumpah menjadi seorang dokter.

Dan yang cukup membanggakan dan kenangan bagi saya, saya mendapat pendapatan pertama saya sebagai dokter. Bahwa peluh saya sebagai dokter bisa menghasilkan dan membiayai sedikit dari hidup. Memang ini adalah salah satu hal yang menjadi perhatian bagi saya. Saya sebenarnya cukup iri melihat rekan-rekan saya yang sudah bekerja dan sudah bisa memiliki pendapatan. Tetapi saya di usia 24 tahun ini dan baru saja resmi berprofesi. Saya harus bisa mandiri, untuk kelak bisa menghidupi diri saya dan keluarga saya di waktu depan.

Saya sangat senang. =) Thanks God.

Rabu, 12 Oktober 2011

Nag-aaral ako ba sa Pilipinas?



Kumusta po kayo. Ako si Andreas. Nagtatrabaho ako sa TDA. Doktor ako. Medicine ang major ko. Ikinagagalak ko pong makilala kayo.

Ini adalah sepenggal kata-kata yang keluar dari mulutku. Aku mengulang-ulang kata ini. Layaknya aku sedang berbicara dengan lawan bicara ku. Terkadang lidahku terselip, aku pun salah mengucapkan kata-katanya. Ya, aku sedang belajar bahasa Tagalog, bahasa nasional Filipina.

Aku sebenarnya sudah mulai belajar bahasa ini sejak April lalu, setelah aku menyelesaikan keseluruhan studiku menjadi koas. Di situlah aku mulai resah, bahwa waktu-waktuku di fakultas kedokteran ini tak lama lagi akan berakhir. Jarum jam sudah mulai berdetak berlari. Ke manakah aku akan berlabuh dalam jalan hidupku berikutnya? Ketika inilah aku menentukan arah hidupku menjadi seorang dokter.

Beberapa pilihan melayang-layang di dalam benakku. Apakah aku akan belajar ilmu kedokteran spesialistik? Spesialistik apa? Kalau iya di manakah akan kuambil? Di Indonesiakah? Di Filipinakah? Di luarkah? Banyak tanda tanya dalam pikiranku. Semua hal ini membuatku semakin di dalam gulana.

Aku berpikir dalam segala hal, semua hal memiliki jalan terjalnya masing-masing. Jalan terjal yang amat sungguh curam. Aku harus benar-benar mempersiapkan segala perlengkapanku, dimanapun jalan itu. Walau tak pelak juga aku harus berkelahi dengan impianku. Pertentangan antara cita dan realita. Walau aku pun tak boleh angkuh dengan diriku, bahwa aku harus mencari jalan tengah.

Aku menetapkan diriku. Aku berpikir untuk menjadi kardiolog. Walau tak jarang juga pikiran-pikiran yang menjerumuskan masih terngiang dalam telingaku. "Apakah engkau yakin ini jalanmu? Apakah engkau benar telah siap menanggung semuanya? Segala kesulitan dan kesenangannya?" Memang ini tampak seperti aku akan menikah saja, mengikatkan sebuah janji sehidup semati. Tetapi, inilah penentuan satu lagi batu pijakan dalam hidupku.

Aku pun berpikir lagi, ke manakah akan ku jalani hidupku ini? Apakah di Indonesia? Di Filipina? Di entah negeri dongeng mana yang akan kutempuh? Aku sempat memasukkan Filipina dalam daftarku, namun setelah aku berpikir, sebaiknya aku menempuh dulu jalan terdekat, yaitu di Indonesia. Walau sebenarnya aku tak mengubur penuh impianku untuk menimba ilmu di luar negeri. Tapi apa daya inilahh hukum dan aturan yang berlaku di negeriku. Aku pun masih bermimpi untuk suatu saat ke sana, entah sebagai pencari ilmu atau pelancong.

Namun kini aku tak menyesal bila masih membuka buku Tagalogku. Aku masih menyimpan impianku.

Pupunta ako.

Rabu, 05 Oktober 2011

Dokter pun Juga Manusia, Cemas Bila Dibedah


Cemas. Yup, ini yang saya rasakan menjelang operasi esok hari. Besok pukul 4 sore, saya akan menjalani bedah untuk ekstraksi atau pengeluaran gigi bungsu saya yang tumbuh miring tidak pada tempatnya. Apapun itu yang saya rasakan adalah cemas. Saya tahu saya adalah seorang dokter. Seorang dokter! Namun kini saya berposisi sebagai seorang pasien. Pasien yang cemas menghadapi operasi.

Mengingat pasienku dulu


Saya masih ingat betul, 2 tahun lalu, ketika saya menjalani pendidikan profesi. Tepat waktu itu saya menjalani siklus ilmu bedah. Saya masih ingat Tuan R yang mengalami fraktur pada tulang di kakinya (os calcaneus kalau saya tak salah).

Karena saat itu siklus masih bersifat integrasi dengan anestesi, saya juga melakukan pemeriksaan pra-bedah (pre-op). Saat itu ibu dan ayahnya cemas bukan main, mereka khawatir dengan bedah ini. Mengingat mereka sempat kehilangan anaknya yang tak bisa tertolong karena meninggal akibat kecelakaan. Cemaslah mereka. Saat itu, saya adalah dokter muda yang menangani kasus itu. Saya hanya bisa menepuk bahu sang ayah, "Tenang pak, kami mencoba melakukan yang terbaik. Berdoa untuk dia dan kami ya." Saat itu saya mungkin hanya berkata sesuai dengan apa yang diajarkan dalam buku teks medis, bahwa sebagai dokter kita harus mendukung pasien, atau meningkatkan semangatnya. Saya kira hanya dengan begitu, selesai tugas saya, dan pasien menjadi tenang. Kini saya sadar bahwa apa yang saya lakukan mungkin hanyalah sebuah untaian kata dalam checklist buku teks.

Pecundang?

Saya sempat berpikir lagi dalam hati dan kembali merenungkan kebodohan saya. Hati saya berujar, "Hei kamu bodoh. Kamu adalah dokter. Kamulah yang selama ini mengatakan kepada pasien untuk tak perlu untuk cemas. Kamu yang selalu mengatakan semua akan baik-baik saja. Namun apa yang kamu rasakan kini?" Saya tampak menjadi pecundang.

Saya kembali berujar dalam diri bahwa esok adalah operasi kecil, operasi minor pada gigi. Saya mencoba menenangkan hati, tak perlu cemas. Jangan saya terus melebih-lebihkan. Namun saya pun harus jujur pada hati saya dan membiarkan di kepala saya menari-nari, "Bagaimana ya besok? Apakah akan terasa sakit? Ya Tuhan, semoga baik-baik saja."

Menjadi dokter, saya harus sedikit mematikan rasa. Saya harus tampak tenang dan tegar menghadapi apa yang disebut kesakitan. I should become an angel. Namun semua ini semakin saya sadari bahwa saya dokter, namun saya juga manusia. Saya juga seorang pasien.

Dan saya kini hanya berdoa dan Tuhan akan mengatakan, "Semua akan baik-baik saja."




Rabu, 21 September 2011

Officially, An MD!

Para Dokter Baru :D - Photo by Momoyama.
Akhirnya saya resmi diangkat sumpah menjadi dokter dalam Sumpah Dokter FK-UAJ Periode III/2011 bersama 47 dokter baru lainnya. Tabik!

Karena saya menjadi Ketua Panitia pula, inilah memoar dalam kata sambutannya:

Yang terhormat,
- Perwakilan dari Yayasan Atma Jaya
- Rektor UNIKA Atma Jaya, Prof. F. G. Winarno serta jajaran pimpinan UNIKA Atma Jaya
- Dekan FK UNIKA Atma Jaya, dr. Felicia Kurniawan M.Kes serta jajaran wakil dekan serta pimpinan FK UNIKA Atma Jaya
- Perwakilan dari rumah sakit jejaring
- Dosen, dokter, dan semua civitas academica FK UNIKA Atma Jaya
- Para rohaniwan, orang tua, wali, keluarga dokter baru, dan segenap undangan

Yang berbahagia, semua rekan dokter baru.

Selamat pagi dan salam sejahtera,

Pertama, patutlah kita berucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena kasih dan anugerah-Nya, kita semua dapat berkumpul di sini dalam acara Sumpah Dokter Periode III Tahun 2011 ini.

Acara sumpah dokter ini merupakan suatu penantian yang tentunya telah ditunggu-tunggu oleh kita semua. Sebuah momen yang menandakan dimulainya perjalanan hidup kami sebagai seorang dokter. 

Hadirin dan para undangan yang kami hormati,
Kita akan sedikit menilik ke belakang, tatkala kami, para dokter baru, masih dalam masa kemahasiswaan. Sebagai mahasiswa kedokteran, kami telah menempuh waktu yang tak sedikit untuk menimba ilmu di fakultas kedokteran ini. Masa praklinik adalah saat seorang mahasiswa berbaju kaus dan jins yang mengejar mimpinya untuk menjadi sarjana. Kemudian setelah menyandang gelar sarjana, ketika kami diangkat janji sebagai dokter muda, kami diingatkan atas amanah yang diletakkan di atas pundak kami, untuk belajar bekerja menjadi seorang dokter yang baik, bukan hanya sekedar melihat dokter bekerja.  Masa yang tak kurang dari 6 tahun ini, kami berusaha keras menorehkan semangat, membentuk idealisme, dan berpeluh keringat, walau tak pelak juga adanya tantangan mewarnai hari-hari kami. Namun, kami bersyukur bahwa dalam dinamika hidup ini, kami lewati bersama dengan berbagai pihak yang tak kenal lelah mendukung dan terus mengobarkan semangat kepada kami.

Dalam sumpah dokter ini kita secara khusus mengambil tema "Homo Hominis in Servitio Perficitur", the man only becomes a man when provides service. Dalam mengaktualisasi diri sebagai dokter baru, kami ingin untuk tetap memegang teguh prinsip dan sikap terhadap pelayanan medis kami. Seperti yang pernah dikatakan oleh Paracelcus, seorang dokter Swiss dalam Masa Renaisans, bahwa prinsip mendasar ilmu kedokteran ialah cinta. Kita seyogyanya hidup dan bekerja melayani sesama dengan landasan cinta kasih, terlebih juga memperhatikan mereka yang tidak mampu. Inilah tantangan bagi keahlian, kepedulian, dan hati nurani kami sebagai seorang dokter Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

Hadirin dan para undangan yang kami hormati,
Baiklah dalam kesempatan yang berbahagia ini, kami memberikan beberapa ucap patah kata terima kasih:
- Kami berterima kasih kepada almamater kami dan segenap pimpinannya serta civitas academica UNIKA Atma Jaya, tempat kami belajar. 
- Kepada dosen-dosen kami selama praklinik dan klinik, sebagai orang tua dan mentor yang mengarahkan kami menjadi dokter yang baik. 
- Kepada pasien-pasien kami selama pendidikan klinik, merekalah guru yang mengajari kami untuk menjadi seorang dokter.
- Kepada orang tua dan keluarga yang membanting tulang dan mendukung kami dalam perjalanan panjang kami sebagai mahasiswa kedokteran hingga kini.
- Tak lupa juga kami berterima kasih pula kepada teman-teman selama kami sebagai mahasiswa kedokteran, yang juga menjadi saksi langsung dalam berbagai kisah kehidupan kami. 
- Untuk pelaksanaan acara sumpah dokter ini kami berterima kasih pula kepada pimpinan dan staf Program Studi Profesi Dokter FK UNIKA Atma Jaya, kepada dr. Iwan Irawan Karman, drg. Isadora Gracia, Ibu Cicilia Ernawati, Ibu Debora Yuliawati, Ibu Agnes Ginting, Ibu Hotma. Kami juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada teman-teman kami, baik dari klinik maupun praklinik yang membantu kami sebagai panitia lapangan dalam sumpah ini. 
- Selain itu terima kasih kami pula kepada semua pihak yang tak bisa kami sebutkan satu per satu.

Hadirin dan para undangan yang kami hormati,
Kami pun menyadari adanya kesalahan yang kami perbuat selama sebagai mahasiswa kedokteran, oleh karena itu kami memohon maaf kepada semua pihak. Kami pun meminta maaf bila ada kekurangan dan kesalahan selama penyelenggaraan acara sumpah dokter ini.

Akhir kata, terima kasih atas kehadiran hadirin dan semua undangan pada hari ini. Terima kasih telah menjadi saksi dalam satu momen tahapan pencapaian dalam kehidupan kami.

Proficiat bagi kita semua! Sekian dan terima kasih.

dr. Andreas Erick Haurissa

Rabu, 14 September 2011

Rekan Koas Sehidup Semati

Catatan ini dituliskan karena peringatan 2 tahun kami mulai bertemu. Happy anniversary Anoa, Tapir, Trenggiling, dan Babi Hutan!

Saya, Ririn, Michelle, dan Ricky
Kalau di Atma Jaya, ada namanya rekan koas sehidup semati. Artinya, selama koas ada orang-orang tertentu yang akan bersama-sama terus dalam satu siklus. Ya, orangnya "itu lagi itu lagi". Orang-orang inilah yang akan bersama Anda selama sepanjang hidup Anda di koas.

Sebenarnya, rekan sehidup semati ini bisa menjadi pedang bermata dua. Kalau ternyata ia cocok atau baik-baik saja, maka hidup Anda akan langgeng di koas. Kalau ternyata dia adalah musuh bebuyutan, mungkin selama 2 tahun bisa saja jadi gondokan.

Saya sendiri bersyukur, saya punya rekan sehidup semati yang baik-baik saja dan bahkan bisa menjadi penyejuk hati. Inilah kami, saya (Andreas Erick Haurissa) dan tiga rekan lainnya (Yohanes Ricky Permadi, Michelle Angelina, dan Cornelia Arina Pradipta).

Semua bermula di 14 September 2009


Ini adalah tanggal yang selalu saya ingat. Teringat karena ini adalah tanggal pertama saya masuk koas, dan saya masuk ke siklus Ilmu Bedah. Siklus ilmu bedah yang tentunya berat dan ditambah integrasi dengan Anestesiologi dan Radiologi. 11 minggu yang berat. Di sini pula pertemuan kami bermula.

Apalagi kami 33 orang tersesat yang masuk pertama ke koas, dibandingkan 90an teman kami lainnya yang harus mengulang OSCE. Angkatan anak ayam ini masuk duluan dan betapa cemasnya kami.

Terus terang, saya sebenarnya tidak begitu kenal dengan mereka sebelumnya. Istilahnya bukan teman main saat preklinik. Namun di siklus bedah ini dipertemukan. Di sini kami berusaha untuk bangkit dari siklus pertama kami. Berbagai masalah menghantui kami, tawa hingga tangis. Namun akhirnya kami bisa melewatinya juga. Apalagi di ujian perdana saya sebagai koas di RS Polri juga dilewatkan bersama Ricky. Ya, dua cecurut ini akhirnya bisa melewatkannya!

Karakter yang berbeda


Untungnya kami didesain dengan karakter yang berbeda. Mungkin saya cenderung lebih diam, dan diimbangi dengan kebawelan dua wanita. Dua wanita yang dengan istimewanya menyandang gelar "2 dari 6 isteri saya" saat IKM (Ohhh, really miss that moment! Di mana saya sedang dalam masa sulit dalam masalah percintaan hahaha...).

Michelle dengan karakternya yang periang, bawel, dan yang lucu adalah ketika masa "dong-dong-pret"nya muncul. Suka tiba-tiba lemot dan di sinilah keunikannya. Ririn yang juga bawel tetapi bisa sangat galau dan mellow dengan perasaannya. Begitupun dengan Ricky yang selalu optimis dan cerdas.

Kami pun terpisah


Kami pun terpisah di tengah-tengah, artinya tak sesiklus lagi. Ketika saya dan Ricky ke THT, sedangkan Michelle dan Ririn ke Ob/Gyn. Namun cerita-cerita pun tak putus di tengah jalan.

Kami ingin lulus bersama


Setelah 1,5 tahun perjalanan kami di koas, memang saya lulus yudisium dahulu. Yang lainnya masih mengurus beberapa masalah akademisnya. Pernah di satu titik, kami merasa senang bisa lulus bersama-sama setelah mereka menyelesaikan masalah akademisnya. Namun Ricky harus menunda UKDInya karean satu dan lain hal. Sangat disayangkan sebenarnya, namun ini adalah hal diluar kemampuan kami. Namun pada UKDI Agustus 2011 yang berat ini, syukurnya, saya, Ririn dan Michelle bisa lulus dari lubang jarum ini.

Dan tak kurang dari seminggu lagi kami akan diangkat sumpah sebagai seorang dokter. Tentunya, persahabatan ini tak lekang oleh waktu.


Happy anniversary Anoa, Tapir, Trenggiling, dan Babi Hutan!


NB: Tulisan di bawah ini ditambahkan 21 Sep 2011, H+1 Sumpah Dokter Periode III/2011. Ini adalah tulisan dari Michelle dari statusnya:
Andreas Erick HaurissaRie ReenYohanes Ricky Permadi : terima kasih sudah menemani saia selama 2 tahun yang penuh cerita ini....
Thanks for all your support in time of difficulities, temen2 yg selalu bs bikin gw ketawa lagi meskipun abis nangis ;) xixixi...
So happy to be wtih you guys !!! we've shared a lot of stories, a lot of laughs, a lot of tears, and a lot of love !! maap kalo gw bawel and lemot yeee.
May GOD will always bless our next journey.. keep in touch teman sehidup semati !!

Selasa, 06 September 2011

Jelang Hari-hari Terakhir di FKUAJ

Hari ini adalah hari penentuan. Saya sendiri tak henti-hentinya berucap syukur pada Tuhan. Hari ini Ujian Kompetensi Dokter Indonesia alias UKDI saya lulus. Rasa senang yang merupakan akhir dari penantian satu bulan, tepat 6 Agustus lalu saat UKDI dilaksanakan. Ini juga sebuah batu pijakan setelah saya menyelesaikan koas dan kemudian yudisium di kampus.

Entah saya merasakan sesuatu hal yang saya definisikan sebagai hal yang sedih. Terutama ketika rekan saya menginisiasi membagi-bagikan makanan kepada seluruh karyawan kampus. Ada suatu rasa yang entah bagaimana ketika mengatakan, "Bapak, ini syukuran dari kami. Kami lulus dan akan sumpah dokter. Terima kasih selama ini." Hm, saat menulis saya sadar, mungkin ini yang disebut farewell. Seperti yang salah satu teman saya, Intan, katakan, "Ini adalah sesuatu hal yang manis."

Saya langsung sadar dan diam, bahwa ini adalah perpisahan saya dengan kampus ini. 6 tahun waktu hidup saya, dihabiskan dalam lingkungan FK UNIKA Atma Jaya ini. Banyak kenangan yang saya habiskan di sini. Terbayangkan entah itu tawa dengan teman-teman, teriakan ketika saya diceburkan ke kolam saat ulang tahun, lorong-lorong kampus yang menjadi saksi kisah kasih, perpustakaan dan jendela yang menjadi inspirasi membuat lirik lirih puisi, ruang senat mahasiswa dan laboratorium komputer tempat saya berkegiatan, ruang AToMA tempat saya kabur saat bolos kuliah, kantin nan kotor namun tetap dirindu, dan banyak lagi. Saya merasa, saya tak akan lama lagi di kampus ini.

Saya merasa bahwa suatu saat saya akan rindu hal ini, menjalani masa-masa di kampus sebagai mahasiswa bercelana jeans, dan koas bersnelli. Ah, saya pun bodoh, saya tak bisa menahan air mata ketika mengenangnya.

Dan empat belas hari ke depan, sumpah dokter pun menjelang.

Saya pun ke dalam perasaan yang selalu saya tekan, "ternyata waktu berjalan begitu cepat".

Minggu, 28 Agustus 2011

Koas Saat Di "Injury Time"

Tulisan ini terinspirasi dari tweet @ferdiriva milik dr. Ferdiriva Hamzah SpM yang sering berkicau mengenai lika-liku kehidupan koas. Lika-liku? Iya, kehidupan koas adalah kehidupan dunia fana yang penuh emosi. Memang tak hanya duka namun ada pula gelak tawa.

Salah satu dalam waktu yang bisa disebut waktu paling membahagiakan adalah "detik-detik berakhir waktu dinas" apalagi dari dinas malam ke pagi hari yang merupakan hari libur. Setelah lebih dari 24 jam waktu didedikasikan khusus untuk pasien, saatnya menghirup napas pagi meninggalkan kaki, walaupun itu sejengkal dari pintu bangsal atau rumah sakit, rasanya mendapat anugerah terindah. Saya tak bilang bahwa bekerja semalaman sebelumnya itu suatu hal yang buruk, tetapi ini adalah saatnya kembali ke rumah dan menikmati homynya rumah atau kos. Setidaknya itu saya yang pikirkan, tak ada "mengapel kekasih" di daftar saya saat itu. Hahaha....

OK, hal ini menjadi galau bila menjelang pergantian dinas ada bunyi suara brankar, atau suara dari perawat yang menerima telepon di nurse station, "Mas Koas, ada PB". Hmmmpphh, PB ini adalah istilah yang dihindari, apalagi ketika bangsal sudah begitu hectic. PB adalah Pasien Baru.

Kalau PB ini muncul ketika saya sudah berganti dinas sih tidak apa-apa. Tapi kalau menjelang pergantian dinas alias injury time ini??? Oh Tidak. Oh Mama, Oh Papa. Jika ada PB artinya saya harus menerima pasien ini, menganamnesanya, memeriksanya, membuat perencanaan terapi, melaporkan kepada dokter jaga atau konsulen untuk menerima terapi, belum lagi kalau otak koas sudah mulai korsleting, terkena omelan. It will take about an hour! Belum lagi untuk operan dinas ke koas jaga berikutnya yang harus ikut visite pagi. Well, waktu saya untuk di tempat peraduan saya di rumah alhasil berkurang.

Dalam hati ego saya, saya tidak suka dengan terganggunya koas di saat injury time. Apalagi ketika sudah mulai berberes, handuk semalam sudah kering dan dilipat rapi jali dalam tas, kantung tidur sudah apik digulungkan. Saya hanya perlu menunggu kedatangan koas jaga berikutnya datang dan jarum panjang jam lewat dari angka 12.

Saya dulu pernah merasakan, tepatnya hampir 2 tahun lalu. Ketika saya sebagai koas bedah, berjaga di saat malam takbiran. Yup, keesokannya adalah 1 Syawal Lebaran, artinya saya gantian jaga jam 10 pagi. Saat itu saya berjaga di UGD. Ketika jam 9 tiba-tiba, saya sudah bersuka cita. 1 jam lagi saya akan berlibur 2 hari (jaga berikutnya di H+2 lebaran atau 3 Syawal). Betapa senangnya hati seorang koas. Dan... tiba2 terdengar suara bajaj, derik roda brankar berbunyi, dan yang saya takuti adalah pintu UGD terbuka. Saya berdoa dalam hati, "Ya Tuhan Yesus, jangan pasien bedah. Pasien PD, Neuro, Anak, atau apapun. Jangan pasien bedah ya Tuhan." Brankar itu masuk dan, pasien berdarah-darah. Tidaakk.... pasien trauma, artinya pasien bedah. Dan pasien itu sampai selesai perawatan di UGD sampai 2 jam kemudian. Memang setelah itu ada teman saya yang ganti jaga. Tapi saya pun tak tega meninggalkan dia, saya yang menerima pasien, saya juga akan pulang setelah saya menyelesaikannya.

Koas tidak bisa seperti karyawan kantoran yang bisa bilang, "Jam kerja saya berakhir, saya tak mau bekerja lagi." Koas tak bisa bilang "Jam dinas saya habis, dan seketika itu meninggalkan pasiennya." Tidak bisa. Ini adalah pengorbanan seorang koas.

Rabu, 17 Agustus 2011

Penjajahan Kesehatan (Kompas, 24 Agustus 2010)

Mengingat 17 Agustus-an, saya jadi teringat bahwa tahun lalu saya pernah menulis untuk rubrik Argumentasi di Kompas. Dan tanpa terkira, artikel tersebut masuk di Kompas Kampus di 24 Agustus 2010. Dan artikel ini juga belum terdokumentasi di web ini :) Ah, sudah lama ya 1 tahun yang lalu.


Rabu, 10 Agustus 2011

Konferensi Pers Pertamaku

Hari ini adalah hari pertama saya sebagai jurnalis, mengerjakan tugas jurnalis sungguhan, dengan teknik yang amatiran, pas-pasan. Pastinya hal ini membuat Anda berpikir, ada dunia runtuh apa ini, saya yang seorang calon dokter malahan beralih menjadi seorang jurnalis.

Saya dan rekan, Peter, ditugaskan dari tempat bekerja saya untuk meliput peluncuran salah satu produk di Planet Holywood Jakarta. Saya sudah bersiap dengan laptop di tas ransel, dan kamera SLR pinjaman adik di tangan. Saya tak tahu harus berbuat apa. Saya tak pernah mengikuti konferensi pers. This is my first press conference.

Well, di depan saya adalah wartawan yang sudah senior. Di bajunya ada label atau logo teve-teve nasional. Saya? Saya hanyalah wartawan amatir dari sebuah web. Saya sebenarnya cukup berhingar bingar bahwa saya mengikuti acara sekelas ini. Oh Tuhan, saya adalah manusia yang mudah kagok.

Saya registrasi dan masuk, sembari menunggu dengan rekan saya menunggu. Kemudian mengecek kamera SLR bagaikan wartawan. Nerakanya adalah, gue bukan pengguna SLR. Saya hanya mahfum dengan kamera tempelan Blackberry, atau paling tidak, kamera kantung yang saya sering pinjam dari Michelle. Saya tidak mengerti segala modenya. Dengan walahualam, saya memilih mode nightshot saja. Saya tidak tahu apa-apa, hingga flash di kamera otomatis beraksi. Saya pun berbisik ke Peter, "Kalau konferensi pers, boleh pakai flash? Menganggu tidak?" - Ngek.

Kemudian acara dimulai saya pun mendengar, sambil mencatat bak mahasiswa sedang kuliah. Kemudian pemandu acara mengatakan inilah saatnya bagi wartawan untuk mengabadikan momen. Ini adalah suatu saat yang penting bagi wartawan, mengambil gambar! Saya sering melihat di teve, bahwa wartawan menyemuti orang tertentu lalu mengambil gambar. Saya pun senang, tapi saya pun berkeringat dingin. How can mengambil gambarnya? Dikerubuti orang. Akhirnya saya mengambil kamera saya, mengangkatnya tinggi-tinggi, dan berharap tak ada gambar kepala orang tambahan di gambar yang saya ambil. Saya tidak tahu bagaiman menampilkan gambar di display! Oh Tuhan!

Kemudian ada sesi memotret the ladies, wanita SPG (atau ambasador?) dari produk itu. Saya masih tak berani seperti wartawan lain yang memandu pose mereka. Saya mendapatkan gambar mereka, walau mata mereka tak melihat ke kamera saya, namun lumayan juga kok. :D

Dan pengalaman ini ditutup dengan buka puasa bersama dan pembagian merchandise. Dan lumayan loh, modem yang kata Bimantoro bernilai 500 ribu. Asoy-geboy.

Minggu, 26 Juni 2011

Istora: Live Badminton

Tiket DIO 2011!
Saat mengetik tulisan ini tangan saya masih merasa sakit karena pegal. Seharian ini saya dan rekan-rekan (Rudi, Rico, Eddy, Debby, dan Ellen) menonton badminton langsung. Ya, final Indonesian Open 2011. Wew, walaupun sedih sekali, karena Indonesia tanpa gelar di kandang, namun hati ini senang. Senang karena baru pertama kali menonton langsung, merasakan riuh rendahnya suporter, merasakan serunya "bom-bom-bom" (Ini bukan bom peledak, namun suara dua bantal angin yang diketok). Pokoknya merasakan hal baru, hal yang belum pernah saya alami.

Sebelumnya saya hanya menatap teve saja untuk menonton, belum lagi dipotong sana-sini, atau tidak disiarkan oleh layanan First Media karena alasan hak siar. Jadi sangat senang bahwa kesempatan ini muncul. Apalagi hitung-hitung, mungkin tahun ini saya berada di Jakarta, kalau saya PTT. Jadi, ada kesempatan, ini waktunya, mengapa tidak?

Saya sungguh jadi udik. Seseorang yang terpukau dengan suasana. Ya, ini menjadi pengalaman lagi bagi saya. Saya ingin suatu saat menonton langsung dan merasakan atmosfer kemenangan Indonesia. Ayo, Indonesia!

*Ohya, dan cepat sembuh ya jempol kaki Eddy yang tersundut pintu Busway :(

Jumat, 24 Juni 2011

What an orgasmic exploring!

Saya memiliki kesukaan yang saya sendiri jarang temukan di orang lain. Saya suka untuk menjelajah tanpa mobil, berjalan kaki, dan tak sengaja menemukan hal-hal yang menarik.

Hari ini saya memutuskan untuk berjelajah sedikit, kebetulan Bimbim meminta saya untuk mengambil surat Atoma di Mayapada Tower. Saya memutuskan untuk tidak membawa kendaraan, karena sudah lama sepertinya saya tidak menggunakan kendaraan umum lagi. Semester 6, sebelum saya memiliki mobil, saya adalah pelanggan tetap Kopaja U27 dan Kopami B02, jalur dari rumah ke kampus dan sebaliknya. Hitung-hitung "latihan kardio" juga menerjang panas dan teriknya Jakarta.

Saya mulai pada pukul 9, harap-harapnya lalu lintas sudah sedikit tenang saat pergi kantoran. Ternyata saya salah total, Kopaja U27 begitu lama dan penuh, untungnya tak begitu sesak. Kemudian saya turun di Mangga Dua dan melanjutkan dengan Mikrolet ke halte Busway. Busway juga begitu penuh. Alamak.

Pada awalnya di busway, saya mendapatkan tempat duduk. Namun karena rasa kemanusiaan dan kelaki-lakian saya, saya memberikan tempat bagi mereka yang memerlukan, alhasil saya berdiri hingga ke halte Karet. Pagi-pagi sih masih kuat ya kakinya. =D

Ketika tiba di Mayapada Tower, saya menemukan atmosfer yang berbeda. Saya jarang masuk kantoran, beneran. Saya sempat kikuk dan canggung. Padahal cuma mengambil surat kan. Tapi suasananya tampak, ya berbeda. Berbeda dengan suasana rumah sakit yang jadi makanan saya sehari-hari.

Kemudian saya memutuskan melanjutkan ke Plaza Senayan. Ya, sudah lama sekali saya ingin ke Toko Buku Kinokuniya, toko buku yang bisa memenuhi hasrat saya. Namun dalam perjalanan ke Plaza Senayan, maka saya turun di Ratu Plaza, kalau tak mau dibawa lari abang Kopaja 19 ke Blok M. Saya mampir bentar karena teringat siapa tahu saya bisa menemukan kabel mini DVI saya yang hilang.

Ternyata tokonya masih tutup untuk shalat siang, jadi saya iseng ke Lotte Mart di bawah. Dan... saya menemukan Quaker beli 2 gratis 1! Hahaha, lumayan sekali. Akhirnya saya memutuskan beli 2 dengan 1 cuma-cuma, dan menambah beban 2,4 kg pada ransel saya...

Saya melanjutkan ke Plaza Senayan dan ke Kinokuniya. Ketika Saya melihat buku-buku, rasanya sangat senang. Apalagi di rak sejarah dan linguistik. Banyak sekali buku bahasa, bahkan buku bahasa Kamboja, Albania, Arab Mesir, dan lainnya. Semua tidak ada di Gramedia. Lalu hati saya tertancap pada buku frase Tagalog. Lumayan, untuk bahan belajar. Lain-lainnya saya hanya bisa mengiler saja. Ingin rasanya punya semua.... Begitu pula saat lihat buku Romawi Kuno, Sejarah Yunani di rak sejarah. Harganya ampun om...! Nanti suatu saat saya pasti bisa. Tak terasa 2 jam saya di Kinokuniya!

Akhirnya saya memutuskan untuk pulang karena takut macet di jalan pulang, sebelumnya mampir makan dulu di Ichiban Sushi, sebagai rasa selebrasi saja untuk diri sendiri. Dan saya tak lupa membeli kabel dulu di Ratu Plaza. Namun ada keajaiban, ketika saya masuk ke Ratu Plaza ternyata ada banner bazaar buku murah yang sebelumnya tidak terbaca. Kemudian saya menghampiri bazaar tersebut, dan ternyata bukan "bazaar". Sepi dan bukunya sedikit sekali, tapi akhirnya saya menemukan 3 buku kedokteran harga miring sekali (cuma Rp 5.000), dan buku Selimut Debu! Buku Selimut Debu ini sudah saya cari dibeberapa Gramedia dan akhirnya saya temukan di sini! Oh Tuhan! Rejeki!

Tanpa basa-basi kemudian saya pulang dengan busway lagi, dan lagi-lagi saya tak dapat tempat duduk. Namun saya melihat di tangga sisi kiri samping supir, ada penumpang lain yang sedang duduk disana. Penumpang itu kemudian turun dan akhirnya saya yang menjajahi tempat itu. Entah kenapa saya merasa senang sekali. Saya lurus melihat jalur busway yang lapang, melaju dengan kencang. Tidak penting ya, tapi sangat menyenangkan!

Saya pulang dengan kaki yang nyut-nyutan karena berjalan kaki seharian, namun what an orgasmic exploring that I had!

Memilih Jadi Dokter

Catatan: Ini adalah permenungan yang dituliskan oleh dr. Aditya Putra, yang kemarin dibacakan oleh dr. Alex Kusanto dalam pidatonya saat Sumpah Dokter FKUAJ Periode II/2011. Semoga bisa menjadi permenungan yang baik bagi para dokter.

Rekan sejawat yang terhormat.. 

Jika Anda ingin menjadi dokter untuk bisa kaya raya, maka segeralah kemasi barang-barang Anda. Mungkin fakultas ekonomi lebih tepat untuk mendidik anda menjadi businessman bergelimang rupiah. Daripada Anda harus mengorbankan pasien dan keluarga Anda sendiri demi mengejar kekayaan. 

Jika Anda ingin menjadi dokter untuk mendapatkan kedudukan sosial tinggi di masyarakat, dipuja dan didewakan, maka silahkan kembali ke Mesir ribuan tahun yang lalu dan jadilah fir’aun di sana. Daripada Anda di sini harus menjadi arogan dan merendahkan orang lain di sekitar Anda hanya agar Anda terkesan paling berharga. 

Jika Anda ingin menjadi dokter untuk memudahkan mencari jodoh atau menarik perhatian calon mertua, mungkin lebih baik Anda mencari agency selebritis yang akan mengorbitkan Anda sehingga menjadi artis pujaan para wanita. Daripada Anda bersembunyi di balik topeng klimis dan jas putih necis, sementara Anda alpa dari makna dokter yang sesungguhnya. 

Dokter tidak diciptakan untuk itu, kawan. 

Memilih menjadi dokter bukan sekadar agar bisa bergaya dengan BMW keluaran terbaru, bukan sekadar bisa terihat tampan dengan jas putih kebanggaan, bukan sekadar agar para tetangga terbungkuk-bungkuk hormat melihat kita lewat. 

Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan pengabdian. Mengabdi pada masyarakat yang masih akrab dengan busung lapar dan gizi buruk. Mengabdi pada masyarakat yang masih sering mengunjungi dukun ketika anaknya demam tinggi. 

Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan empati, ketika dengan lembut kita merangkul dan menguatkan seorang bapak tua yang baru saja kehilangan anaknya karena malaria. 

Memilih jalan menjadi dokter adalah memilih jalan kemanusiaan, ketika kita tergerak mengabdikan diri dalam tim medis penanggulangan bencana dengan bayaran cuma-cuma. 

Memilih jalan menjadi dokter adalah memilih jalan kepedulian, saat kita terpaku dalam sujud-sujud panjang, mendoakan kesembuhan dan kebahagiaan pasien-pasien kita. 

Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan berbagi, ketika seorang tukang becak menangis di depan kita karena tidak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit anaknya yang terkena demam berdarah. Lalu dengan senyum terindah yang pernah disaksikan dunia, kita menepuk bahunya dan berkata, “Jangan menangis lagi, pak, Insya Allah saya bantu pembayarannya.” 

Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan kasih sayang, ketika dengan sepenuh cinta kita mengusap lembut rambut seorang anak dengan leukemia dan berbisik lembut di telinganya,”dik, mau diceritain dongeng nggak sama oom dokter?” 

Memilih jalan menjadi dokter adalah memilih jalan ketegasan, ketika sebuah perusahaan farmasi menjanjikan komisi besar untuk target penjualan obat-obatnya, lalu dengan tetap tersenyum kita mantap berkata, “maaf, saya tidak mungkin mengkhianati pasien dan hati nurani saya” 

Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan pengorbanan, saat tengah malam tetangga dari kampung sebelah dengan panik mengetuk pintu rumah kita karena anaknya demam dan kejang-kejang. Lalu dengan ikhlas kita beranjak meninggalkan hangatnya peraduan menembus pekat dan dinginnya malam. 

Memilih menjadi dokter adalah memilih jalan terjal lagi mendaki untuk meraih cita-cita kita. Bukan, bukan kekayaan atau penghormatan manusia yang kita cari. Tapi ridha Allah lah yang senantiasa kita perjuangkan. 

Kamis, 23 Juni 2011

Kung-kung dan Po-po: Mengingat Mereka

Foto saat Ultah saya ke-3. Saya digendong ibu (berbaju biru), bersama Ie Ie Gede (sebelah kanan ibu), dan Kung-kung serta Po-po di kiri ibu

Hari ini saya tiba-tiba penasaran dengan isi kardus-kardus yang ada di depan kamar saya. Kardus? Ya, kardus-kardus berisi barang-barang Ie Ie Susan (kakak ibu yang kelima). Sejak tiga tahun lalu ia banyak menitipkan barang-barangnya di rumah Ie Ie Puspa (kakak ibu juga yang keempat, tempat saya tinggal sekarang). Kardus-kardus ini menghiasi jendela kamar, alhasil sebenarnya jendela kamar saya tak bisa dibuka karena tertahan barang. Saat siang pun tak ada sinar matahari yang masuk. Oh tidak, risiko tinggi untuk kuman Mikobakterium huh?


Saya menemukan banyak harta benda di sana! Saya menemukan buku kenangan tante saya yang bertanggal 27 Agustus 1970 (Sudah masuk barang purba?), perangko lama yang masih rapi-jali, dan foto-foto. Saya menemukan banyak foto-foto lama, dari gaya ibu saya yang ajubileh (atau untung anak sekarang disebut ababil. Sorry mommy, beneran ini!). Saya juga menemukan foto saya saat ulang tahun ke-3! Berarti tahun 1990. Oh tidak, saya sudah om-om di umur 24 ini.

Ternyata ulang tahun ke-3 saya dirayakan di rumah Ie Ie Susan yang lama di Jakarta. Ulang tahun ini dirayakan bersama ulang tahun Cici Maya yang ke-11 (Ultahnya memang 4 hari sebelum saya). Saya masih tak berdosa, kecil mungil, rambut berbelah samping. Sekarang? Seperti shrek.

Ok, yang membuat saya tersentuh. Di foto ini ada senyuman Kung-kung dan Po-po alias kakek dan nenek dari pihak ibu. Entah mengapa terlintas di pikiran saya, I really miss them so much.

Saya merasa bahwa saya tidak cukup beruntung sebagai cucu. Sejauh otak saya ini mampu merekam pengalaman saya, saya tidak mengingat kenangan apapun tentang mereka. Po-po meninggalkan duluan kemudian beberapa tahun kemudian Kung-kung menyusul. Saya tidak pernah melihat (mengingat langsung) wajah mereka, kecuali dengan foto-foto ini dan cerita-cerita dari ibu.

Saya ingin sekali memiliki kenangan bahwa saya sebagai cucu mereka. Berjalan dengan mereka, atau paling tidak melihat saya tumbuh. Saya dulu memang tidak banyak berinteraksi dengan mereka, karena mereka tinggal di Jakarta dan masa kecil saya di Pontianak. Saya hanya bisa tersenyum simpul ketika rekan-rekan lainnya yang masih memiliki kakek dan nenek, menceritakan betapa mereka harus menemani kakek dan nenek mereka, berinteraksi, dan menghabiskan hari. Kadangkala ada semacam, "jika saja saya dapat mengalami hal yang sama".

Walau demikian saya tak merasakan langsung "kasih sayang" mereka, saya diceritakan oleh ibu. Bahwa suatu ketika Kung-kung bertandang ke Pontianak, saya dibawanya jalan-jalan ke kota. Dengan badan tuanya dan tongkatnya, ia menggendong dan menggandeng saya. Saya yakin bahwa saya pernah melewatkan hari-hari sebagai cucu.

Kini, saya memang hanya bisa membuka album foto, membayangkan apa yang terjadi saat itu, tawa dan canda, kemudian ketika mereka memanggil nama saya agar saya melihat ke arah kamera dan tersenyum saat difoto. Saya pun yakin bahwa mereka tersenyum berdua di sorga.

Miss you so much, Kung-kung dan Po-po.

Rabu, 22 Juni 2011

Muka Baru CatatanKoas

Yeah!

Sudah lama saya ingin membaharui lagi wajah web ini. Dan saya mencoba dengan warna yang lebih terang. Hm, tak buruk juga kan. Selamat datang di wajah baru Catatan Koas. =D

Masih dalam dilema: Mau tetap judulnya Catatan Koas atau bagaiamana =P

Suatu Hari Bersama Bhante: Menikmati Apa yang Kita Punyai sebagai Manusia

Kisah ini dimulai saat ponsel saya berdering. Saya melihat ternyata Jhonsen yang memanggil, koordinator acara sumpah dokter. Saya membantu rekan-rekan calon dokter baru yang akan disumpah. Ia meminta saya untuk bersamanya bertemu dengan bhikkhu yang diminta kesediannya untuk mendampingi saat pengambilan sumpah dokter keesokan harinya. Saya diminta untuk menjemput dan menghantar pulang bhikkhu, kebetulan rumah saya dan viharanya dekat.

Memang dasar saya yang entah kenapa bisa cemas. Saya merasa canggung. Saya tidak pernah bertemu, atau bercakap-cakap dengan bhikkhu. Saya takut kalau ada saja tingkah laku saya yang tidak sesuai. Apalagi ini pemuka agama! Dia harus duduk dimana? Bagaimana cara memulai pembicaraan? Apakah perjalanan Sunter-Semanggi akan jadi diam tanpa kata? Walau rasa-rasanya tak penting, ini berputar di kepala saya.

Ok, saya dan sepupu saya -yang kebetulan juga bertugas- menjemput bhikkhu di vihara. Saya memanggilnya bhante. Bhante, dengan pakaiannya yang sederhana saya jemput dan masuk ke mobil saya. Saya takut salah berucap, saya menguncupkan tangan dan mempersilahkannya. Tampaknya mungkin agak berlebihan, tapi saya tak mau jadi tak sopan.

Mobil sudah melaju ke arah Semanggi, dan saya mulai pembicaraan mengenai sampai jam berapa beliau berkenan hadir, bagaimana makannya, dan lainnya. Ternyata beliau tak pantang makanan yang dijual di pasaran, daging yang dipantang biasa tak dijual. Bahkan beliau sempat bercanda bahwa, "Yang saya tak makan, daging manusia." Hahaha, suasana semakin cair. Kemudian ia bertanya-tanya soal dunia mahasiswa kedokteran dan lain-lainnya seperti, apakah dokter ada bedah mayat, dan teman-teman seangkatannya yang sudah menjadi dokter juga.

Akhirnya kami sampai, mengikuti acara, dan saatnya menghantar pulang. Di sini banyak ia bercerita juga tentang kehidupan bhikkhunya, bagaimana orang menjadi bhikkhu. Walau saya seorang katolik, apa yang diceritakan sangat menarik. Ketika berada di perempatan Harmoni, tiba-tiba beliau berkata, "Saya menikmati kesendirian. Saya juga menikmati kegembiraan. Itulah hidup. Ada banyak mantan-mantan orang besar, yang akhirnya luluh bila sudah tak bekerja lagi. Tapi inilah kita manusia, ketika sebaiknya menikmati apa yang kita punyai."

Saya cukup terkejut dan tertarik juga, serta termenung dalam hati "Yup, menikmati apapun yang kita punyai. Bersyukur apa yang kita dapati. Baik itu rasa kesepian, rasa kesenangan, rasa berbagi, lainnya." Suatu bait yang sederhana, dan selalu kita iyakan, namun sangat sulit diresapi di dalam hati. Ini menjadi permenungan bagi saya juga, mengapa saya tidak mudah untuk bersyukur?

Bhante pun menceritakan hal lainnya, bagaimana ia bersama umat-umatnya di Jambi dan Kepulauan Riau. Begitu banyak juga yang beliau untuk melayani umat-umatnya. Dengan segala apapun yang ia punya, ia selalu bersyukur dan menikmati. Kalau dibandingkan dengan awam, seorang bhikkhu melepaskan keduniawiannya, melepaskan harta, dan lainnya. Tetapi seorang biarawan mencapai suatu titik dimana ia mampu bersyukur dengan apa yang dipunyai. Suatu kedewasaan dan kelegawaan yang luar biasa, dan layak kita teladani. Kalau kita, tak ber-Blackberry-an sehari saja sudah cemberut bukan main.

Dan tak terasa kami sudah tiba di vihara, dan bhante telah memberi permenungan yang baik. Dan untungnya pula kecemasan saya tidak terjadi. Saya memang harus banyak belajar lagi untuk tak mudah cemas dan untuk mudah bersyukur. Saya pun belajar banyak mengenai kehidupan sesama manusia.

Sabtu, 18 Juni 2011

Belajar Logika dan Sejarah dengan Berbahasa

Terkadang saya ditanyakan dengan orang-orang, mengapa saya suka dengan pengetahuan berbahasa. Yup, saya suka dengan bahasa. Paling tidak saya menguasai Bahasa Indonesia hingga tahap mahir, saya dapat menggunakannya hingga penulisan ilmiah. Bahasa Inggris saya, terus terang saja lebih bersifat pasif mendengar dan membaca, berbicara masih baik, namun yang terburuk adalah menulis. Bahasa lainnya saya pelajari hingga tahap dasar saja seperti Bahasa Mandarin, Bahasa Jerman. Saya pernah belajar bahasa lainnya, mulai dari Bahasa Latin, Jepang, namun kebanyakan saya sudah lupa >.<. Kini saya belajar bahasa Tagalog.

Saya sangat antusias belajar bahasa. Bila saya pergi ke tempat baru, saya berusaha untuk mempelajari bahasanya terlebih dahulu, misalnya seperti saya ke Thailand kemarin. (Saya hanya masih mengingat Sawadhee Krap/Kha!).

Sebenanrya, ini adalah hal yang sangat menyenangkan dalam belajar bahasa. Belajar bahasa artinya belajar berlogika dan belajar kebudayaan dasarnya. Seperti saya belajar bahasa Latin, bahasa yang dikatakan hampir mati, karena kini hanya digunakan di Tanah Suci Vatikan dalam berbahasa sedangkan dalam keilmuan digunakan sebagai istilah saja. Namun di dalamnya terkandung banyak nilai sejarah, apa yang terjadi dalam kehidupan Romawi dulu. Banyak sekali hal-hal yang dapat ditarik.

Bermain Logika

Selain itu logika juga turut bermain. Mungkin kita yang menguasai bahasa Indonesia, sudah terbiasa dengan logika berbahasa kita. Ketika berhadapan dengan bahasa Inggris menjadi merasa pusing. Mulai dari perubahan kata kerja menurut waktu dan segala tenses yang ada.

Ok, ini hanya dalam bahasa Inggris. Ketika saya masuk belajar bahasa Jerman di Goethe (karena saat itu ada rencana studi di Jerman, namun akhirnya gagal total =D). Saya terkaget dengan logika bahasa yang baru lagi. Mulai dari kata benda berjenis kelamin (maskulin, feminin, neutral),  macam-macam kata ganti (pronomen, akkusativ, kausativ, genetiv, dll), hingga logika dengan kata ehm... -saya lupa, kalau di bahasa Inggris disebut auxilliary verb-, yang harus menempatkan kata kerjanya bentuk pertama di paling belakang.

Belum lagi kini saya mempelajari Tagalog yang bisa menukar susunan kalimat dari SP (Subjek-predikat) menjadi PS (Predikat-subjek), tergantung dari seperti apa penekanan kalimatnya, seperti Si Budi ay mabait, bisa menjadi Mabait si Budi. Memusingkan, namun ini sangat menyenangkan. Kita bisa belajar logika mereka.

Budaya


Yang bisa dinikmati juga adalah mempelajari sisi budayanya. Hal ini bisa menjadi jembatan mempelajari latar historis, budaya tanpa berkunjung ke sana (Tapi tetap mau kalau bisa ke sana? :D ).

Misalnya saja dalam bahasa Indonesia, kita akan banyak menemukan kata serapan dari bahasa Belanda, Arab, China, Sanskrit, Jawa, Sunda, Melayu dan lainnya. Ini menandakan bahwa bangsa Indonesia melewati berbagai banyak hal saat perjalanan sejarahnya.

Selain itu kita bisa melihat relasi antar bahasa, misalnya setelah saya pelajari Bahasa Tagalog memiliki kedekatan dengan bahasa Indonesia, bahkan Bahasa Jawa. Mungkin memang karena ditelusuri, bahasa Tagalog dan bahasa Indonesia masih dalam satu keluarga bahasa. Misalnya saja angka dalam Bahasa Tagalog seperti isa, dalawa, tatlo, ampat, lima, anim, pito, walo, sayim, sampo. Mirip kan?

Suatu hal yang mengagumkan bukan?

Keinginan

Saya masih menginginkan belajar bahasa-bahasa lainnya, terutama bahasa yang tak biasa. Misalnya bahasa-bahasa besar Eropa (Italia, Perancis, Spanyol, Belanda) bahasa Yunani, bahasa Skandinavia, bahasa Rusia dengan huruf cyrillic-nya, bahasa Korea, dan lainnya. Karena ini semua membantu saya membuka dunia.

Jumat, 10 Juni 2011

Finally!

Saya menyelesaikan studi kedokteran. Lulus.

Well, terus terang saya tidak menyangka. Entah mungkin saya sebut saja keajaiban, rahmat, atau apapun tentunya anugerah indah dari Tuhan. Saya tidak bisa terisak tangis bahagia ini. Saya hanya bisa berteriak dalam hati, "Finally!". Saya bersyukur saya melangkah lagi dalam jejak-jejak dalam hidup saya.

Sekali lagi saya merasakan waktu yang berjalan begitu cepat. Berlari dengan riuhnya. Saya baru merasakan, tampaknya saya kemarin baru masuk koas dan mengucapkan janji dokter muda, kemudian galau saat siklus pertama. Kini saya sudah menyelesaikan fase dokter muda, dan one step closer alias selangkah lagi untuk mengubah janji menjadi sumpah hipokratik. Sungguh 6 tahun yang menguras tenaga. Saya masih menepuk-nepuk pipi sendiri, apakah ini nyata?

Ok, saya tak boleh bereuforia. Tetap bekerja, menatap yang ada di depan. Seperti kata Cinta Fitri: "Jalan kita masih panjaaaanggg...." Ouch.

Seperti kata dr. Alex, dalam pesannya saat pidato sumpah dokter lampau: Saya sedang bertransformasi dari sarden menjadi tuna.

NB: Saya jadi terpikir, apakah nama blog ini perlu diganti? --'

Senin, 06 Juni 2011

Kala Malam di Taman Tribeca

Kala itu suatu malam

Aku berada di Taman Tribeca

Malam yang sejuk berkawankan angin sepoi

Dialuni lagu-lagu jazz yang bersahabat


Di kala itu aku sedang berkelahi

Meringkuk dengan pikiran dan nuraniku

Dengan segala serba-serbi kata

Yang terpapar riuh dalam benakku


Aku pun ricuh kepada Tuhan

Walau aku tahu segala apapun yang kudapat dariNya

Adalah sebuah hal yang disebut anugerah

Aku tak bisa melawan jaman dan takdir


Aku pun menertawai diriku dengan pilu

Hei dasar kamu bodoh, belajarlah dari apa yang kamu dapati

Tak semua orang bisa mendapat apa yang ia mau

Namun tetap itulah indah di mataNya


Akupun hanya bisa menatap rembulan sabit di atas Tribeca

Menghela segala napas yang aku punya

Aku berpikir akupun sebenarnya tak ingin merintih

Aku ingin tenang sebagaimana rembulan tanpa bintang


Akupun harus tetap seperti anak kecil di depanku

Lari kemana ia mau

Walau ia sebenarnya tak tahu

Bahwa selalu ada tangan yang menuntunnya


Aku ingin seperti itu


Tribeca Park, Central Park, Jakarta

6 Juni 2011, 18:37 waktu macintoshku yang setia

Jumat, 03 Juni 2011

Tolong! Teman-Teman Saya Mulai Bertunangan, Saya?

Ok, saat ini saya sedang berada di perpustakaan fakultas kedokteran tercinta. Saya harusnya stand by mengurus segala pernak pernik judisium. Sambil menunggu rekan yang belum datang, saya terpaksa merenungkan diri saya dan tiba-tiba terpikir hal ini.

Ketika kemarin malam saya menjawab beberapa konsultasi dan otak sudah mulai minta ditiduri -dalam arti kata sebenarnya- Saya mendapati berita-berita bahagia, yaitu pertunangan. Ya, sudah banyak teman-teman saya bertunangan, dari sejak SMA, teman senangkatan, kakak kelas, hingga adik kelas! Sepertinya harusnya ini adalah kabar yang sukacita dan ya… berita yang harus ditanggapi dengan senang hati. Tapi tiba-tiba saya merasa saya ada di dalam aura kegelapan dan memantik tuas yang ada di sanubari saya. Saya berteriak dalam hati, "Bagaimana dengan saya?"

Yang menjadi pikiran bagi saya, apakah saya yang terlambat? Mengapa semua orang begitu sibuknya mengurus hal-hal berkaitan dengan pertunangan atau pernikahan. Kok saya masih begini-begini saja? Apakah saya yang lamban bak siput, tidak ada progresnya sampai saat ini? Pikir dipikir, saya memang tidak memasukkan hal-hal itu dalam prioritas saya, paling tidak untuk detik ini.

Di balik ketidakacuhan itu, seperti tadi yang disebutkan, saya tersentil. Saya memikirkan juga bagaimana dengan saya? Bagaimana progres saya mengenai hal ini? Di balik saya anggota Ijo Lumut (Ikatan Jomblo Nunggu Sampai Lumutan), ada secercah keinginan untuk bisa mencapai batu pijakan itu juga.Tapi entah kapan? Karena ini sudah berbicara masalah hati, namun saya tetap ingin mengawinkan dengan kerasionalan saya. Entah ini konsep yang benar, atau tidak?

Namun di satu sisi saya juga perlu memperhatikan "tuntutan" orang tua. Ya, tuntutan dalam tanda petik, walau saya yakin orang tua saya tak memaksa, namun saya juga ingin mereka bisa menikmati pernikahan saya yang bahagia, paling tidak dengan cucu mereka.

Wew, semuanya begitu berkomplikasi dan kronis. Tolooooonggg!

Sabtu, 28 Mei 2011

"Sindrom (Jelang) Pasca Koas" dan Travelling?

Ok, tiba-tiba di malam ini saya kebelet ingin mengetik pikiran saya. Suatu hal yang sebenarnya terus terang saja, cukup sulit dibangkitkan. Hasrat saya untuk menulis sepertinya sudah mulai megap-megap. Yeah, saya perlu mood untuk menulisnya.

Sindrom pasca koas akut

Seperti kebanyakan yang kalian tahu, mungkin, bahwa sekarang saya menderita sindrom pasca koas. Sebuah sindrom ciptaan saya, ya bukan itu nama yang tepat. Saya belum selesai dengan koas, paling tidak untuk satu minggu ke depan, saya bisa menanggalkan kata-kata "koas" hingga judisium tiba. Jika ujung-ujung hasilnya bertajuk "her", walahualam. Maka saya putuskan pemberian adendum kata (jelang).

Sekarang saya dalam keadaan yang agak luntang-lantung. Memang dasar saya yang manusia egoistik, saat koas mengerut dahinya dan tampaknya dunia ini sungguh melelahkan buat saya. Namun setelah koas, saya malahan cemburu dengan keadaan koas yang saya anggap penuh "dinamika". Tidak tahu mengapa, mungkin ada dipengaruhi rasa pribadi yang menyalahkan diri sendiri yang masih meminta uang tanpa malu ke orang tua. Sedangkan rekan-rekan saya yang lainnya, bahkan sudah berkeluarga. How can?

Saya memang tak menganggur seratus persen. Ada juga saya bekerja bersama rekan menggarap sana sini. Jadi, bukannya saya membabi di rumah dengan kudapan-kudapan tinggi kalori. Saya sempat bermimpi juga ingin membeli PS3, ya anggaplah membangkitkan mimpi saya untuk bermain game yang tertunda selama koas. Namun setelah timbang kanan, timbang kiri, lebih banyak mudharatnya. Saldo tabungan akan terjun bebas setelahnya. Jadi, saya putuskan untuk bekerja saja.

Travelling?

Lagi-lagi soal travelling. Bukan pesta pora di dalam benak. Namun kalau saya membaca weblog Trinity dan jurnal The Naked Traveler-nya atau buku yang baru saya beli, The Journeys, air liur saya bagai air bah. Meluap-luap. Saya hidup dalam fantasi. Saya ingin menikmati Hagia Sofia di Turki, mencoba bratwurst langsung dari Jerman, indahnya atoll di Maladewa, atau sekedar menikmati ramainya Shibuya atau Ginza di Jepang atau birunya air Raja Ampat.

Entahlah hal ini mengiang-ngiang. Pikiran ini disela bahwa, "Hei-hei, kau belum selesai dari koas sepenuhnya. Judisium, judisium." Ah, memang menganggu pikiran. Namun fantasi tersebut benar-benar psikostimulansia.

Debby, hari ini seraya merayakan detik-detik terakhirnya di stase IKM, tiba-tiba mengungkapkan keinginannya untuk berjalan-jalan, backpacking, atau apalah itu. Menikmati Bali, bahkan hingga ke Filipina. Ketika berada di pusat perbelanjaan di bilangan Pluit, ia menemukan buku semacam log travelling di Filipina dengan sekian juta. Hal ini lumayan membuat saya tertarik, bukan saja karena saya tengah belajar Tagalog. Tapi that's travelling! Ok, keinginan saya.

Oh tidak. Saya sudah bermain dengan bayangan-bayangan saya. Walau pada akhirnya saya harus sadar penuh, kaki saya masih menapak label koas. Dan saya mulai berhitung.

Selasa, 26 April 2011

Terjerat Sushi

Sushi, I'm craving for this =)


Saya lupa tepatnya kapan saya berkenalan dengan makanan yang namanya sushi. Saya dulu membayangkannya masuk ke dalam mulut pun membuat saya bergidik. Barang mentah tak dimasak? Oh, bukan mimpi yang indah tentunya.

Yang saya ingat dulu saya dan rekan-rekan, dijamu oleh salah satu yang berhari jadi. Kami dijamu di Poke Sushi yang hingga kini masih tenar dengan sushi semua-dapat-kau-makan (All you can eat, AYCE). Saya hanya berani makan yang matang. Saya belum punya nyali untuk yang mentah. Namun saya pun ditawari, saya hanya makan sebuah. Dan saya sudah siap dengan kertas tisu, jika alih-alih saya harus melepehkan. Ups, ternyata Tuhan, itu surga.

Hingga kini sushi masuk ke dalam salah satu jenis kuliner yang saya sukai. Bisa dibilang, satu kali sebulan saya pasti ke restoran sushi. Padahal harganya lumayan menguras saku dalam-dalam. Dan entah mungkin adiksi, makanan ini seringkali peneman atau antidotum ketika pikiran tak tenang nan galau. Tentunya saya lebih memilih sushi, daripada harus menenggak alprazolam. Sushi ini juga yang menjadi peneman saya dan rekan-rekan "Oncom Jaya" yang akhirnya menyegarkan jiwa kami ketika kami dijatuhi sanksi. Hehehe.....

Sushi ini kian menjadi dambaan dan rinduan. Apalagi ketika saya berdinas di luar kota seperti Pontianak dan Sukabumi. Oh Tuhan, tidak ada sushi. Dan hal ini membuat saya berpesta pora sushi setibanya di Jakarta.

Kini, saya tak bisa lepas dari sushi. Saya terjerat.

Kamis, 21 April 2011

Detik-detik Terakhir Menjadi Sarden?

Konsulen (dr. Harie SpM dan dr. Arief SpM), saya dan rekan-rekan FKUAJ dan FKUKRIDA di Poli Mata RSUD R. Syamsudin SH, Kota Sukabumi.


Tidak menyangka bahwa tanggal ini semakin dekat. 23 April 2011. Sebuah tanggal di hari Sabtu sebagai tanda hari terakhir rutinitas sebagai koas akan berakhir. Mungkin agak angkuh disebut terakhir, namun sudah mereda.

Sebenarnya secara de facto 21 April 2011, saya menyelesaikan hari di Poli Mata bersama dr. Harie BS, SpM dan rekan-rekan lainnya. Ketika berpamitan dengan dr. Harie, ada satu rasa kelegaan yang merasuki. "Saya sudah selesai. Paling tidak saya menyelesaikan hari-hari saya di siklus terakhir ini." Seperti yang saya tulis di paragraf pertama, ini memang terlalu angkuh. Sebenarnya saya masih menyisakan ujian IKM yang seyogyanya awal tahun 2010 saya selesaikan. Karena satu dan lain hal akhirnya ditunda hingga koas ini berakhir. Saya juga masih harus ujian radiologi. "Tapi, ini hari terakhir rutinitas saya!", bela saya.

Tanggal ini 23 April 2011 ini, jujur saja, sudah mulai saya hitung-hitung. Sejak awal masuk koas tanggal 14 September 2009. Entah perasaan ingin cepat-cepat selesai, ataukah ada maksud lain. Apalagi ketika hitungan hari sudah mencapai H-100. Ada rasa keinginan yang begitu besar, "Ayo cepat-cepat selesai!" Diiringi rasa penat, satu saat saya sadar, bahwa saya takut alih-alih saya malah jadi terokupasi dengan pemikiran ini. Saya pun tak mau lagi mulai menghitung mundur. Tapi saya tetap menantikan tanggal itu.

Tanggal ini menjadi batu lompatan (milestone) yang memang tak begitu besar. Saya masih perlu berusaha untuk melewatkan hal lainnya seperti ujian, judisium, dan UKDI. Bahkan tantangan di depan mata masih besar. Dan masalah klasik saya pun masih belum dapat saya jawab dengan lantang, "Setelah Koas, Lalu Mau Apa?"

Semoga saya bisa jalani dengan mengalir, perjalanan dari sarden menuju tuna, dan akhirnya menjadi lumba-lumba (mengutip dari wejangan dr. Alex saat sumpah dokter periode yang lalu).

Tetap Semangat Erick!

Ket: Sarden adalah analogi terhadap koas, tuna adalah dokter baru, dan lumba-lumba adalah dokter yang telah mapan dan mumpuni.

Minggu, 10 April 2011

Musik Popular Meningkatkan Risiko Depresi: Ugh, Is That Me?

Teenagers who are avid popular music listeners have a significantly increased risk for major depressive disorder (MDD). (Arch Pediatr Adolesc Med. 2011;165:360-365).

Saya cukup tertarik membaca pernyataan di atas ketika berselancar di Medscape. Ternyata oh ternyata. Menurut jurnal tersebut remaja yang sering mendengar musik popular 8,3 kali lebih tinggi dapat mengalami gangguan depresi mayor. Hal ini disebabkan musik popular banyak yang mengusung tema kesedihan dan ratapan.

Saya kemudian berpikir, apakah saya masuk dalam salah satunya? Ok, saya sudah dewasa, dewasa awal, di usia 23 menjelang 24 ini. Toh, tulisnya remaja. Lalu saya berpikir lagi dan mengecek lagu-lagu di playlist pada Blackberry.

Josh Groban - Broken Vow
Samsons - Kenangan Terindah
Samsons - Luluh
BCL - Mengapa Harus Terjadi
Afgan - Bawalah Cintaku
Dewa - Risalah Cinta
Keris Patih - Tetap Mengerti
Dewi Lestari - Malaikat Juga Tahu
Ronnie Liang - Ngiti
Richie Ren - Zhu Guang

Bah! Dan lagu-lagu pula itu yang saya dendangkan saat mandi pagi. Saya jadi takut mengalami depresi mayor juga. Apa saya perlu menggantinya dengan lagu yang sedikit ceria ya? Hmmm..... Yang pasti saya tak mau kena depresi... Tidaaakk.... T_T

Sabtu, 09 April 2011

Apakah Saya Tahu Sedikit Tentang Kehidupan Pasien Ini?

Ketika mengakses NEJM tadi pagi, saya tidak sengaja mendapatkan artikel-artikel di rubrik Perspective. Saya tertarik membaca bagaimana dokter-dokter di luar negeri memberikan refleksi dan pemahaman terhadap keprofesian dan masalah kedokteran, baik ditinjau dari sisi politik, etika, dan pendidikan.

Saya mendapat kutipan: "Osler said, "It is much more important to know what sort of a patient has a disease than what sort of a disease a patient has." We have to know even a little bit about a patient's life. Lose that knowledge, and we risk becoming more technician than clinician. (N Engl J Med 2009; 361:442-443)"

Kalau dialihbahasakan, kurang lebih demikian: "Osler mengatakan bahwa lebih penting untuk tahu hal mengenai diri pasien yang sakit itu daripada mengenai penyakit apa yang dia derita. Kita mungkin perlu tahu sedikit kehidupan pasien. Kalau kita tak tahu, kita akan lebih menjadi teknisi daripada seorang klinisi."

Mungkin bagi seseorang merasa tak penting untuk tahu nenek renta yang akan menjalani operasi katarak ini sudah punya berapa cucu. Mungkin kita kadang merasa bertanya apa makanan kesukaan seorang bapak-bapak adalah membuang waktu. Namun ini sangat berarti, apalagi bagi mereka kaum geriatri.

Kita mungkin baru akan menyadari bahwa ketika nenek itu tertawa dan bersemangat menceritakan kenakalan cucunya, akan menghibur hatinya yang tengah takut karena akan dioperasi. Kita mungkin baru merasakan ketika pasien bapak-bapak tersebut menanyakan sebaliknya dan ia membawakan makanan kesukaan kita dengan sukarela pada saat kunjungan berikutnya.

Dengan mengenal diri pasien, saya sebagai dokter kelak pun mudah-mudahan bisa menjalani keprofesian ini.


Rabu, 30 Maret 2011

Siklus Terakhir? Wew.

Suatu waktu yang berjalan begitu cepatnya, hingga-hingga saya pun merasa terkejut bahwa kini saya sudah berada di siklus terakhir di dunia perkoasan. Saya pun masih ingat 1,5 tahun lalu saya masih "anak ayam" yang menciap-ciap, yang begitu khawatirnya masuk ke siklus bedah. Koas pertama, siklus mayor pula.

Walau kini saya belum bisa bilang saya induk ayam, saya merasa masih ada di tahap remaja. Saya tengah berkembang di dalam perkembangan menjadi dokter, dan tentunya dengan segala kegalauan yang ada. Kegalauan karir, jodoh, dan keuangan. Sungguh klise, namun mau tak mau semua memasuki alam pikiran saya.

Di siklus terakhir ini, yang kebetulan minor, ini sebenarnya ingin dijadikan suatu antiklimaks. Namun sepertinya hal itu tak selamanya benar. Laiknya, menjadi klimaks untuk menghadapi UKDI dan perjalanan yang sesungguhnya. Dan pikiran saya kini harus didorong untuk mencapai klimaks dari suatu anti yang terlanjur terjadi. *Fuuh....*

Siklus terakhir ini juga menjadi momen evaluasi, sejauh mana saya sudah kompeten, sejauh mana hal yang perlu diasah lagi. Ilmu kedokteran seperti samudera, namun tidak mustahil untuk menjelajahnya senti demi senti. Dan saya pun kini berusaha menggapai senti tiap senti.




Sabtu, 22 Januari 2011

Cerita Tentang Makan-memakan Koas



Saya dan rekan-rekan (Vili, Devi, dr. Hendy, Astrid, Darwin, dan Gerry *yang mengambil gambar*) di Kantin STIKES St. Carolus di PK Sint Carolus Salemba, Jakarta. Gambar ini diambil saat Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Sint Carolus.

Koas juga manusia. Koas juga perlu makan.

Bukannya karena saya berperut tambun terus berkoar-koar tentang makanan ya. Tetapi menurut saya, topik ini cukup menarik untuk diceritakan. Memang, makanan yang dimakan oleh koas itu tidak luar biasa. Namun, sebuah proses untuk mendapatkannya, itu yang luar biasa.

Kapan koas makan?

Ini pertanyaan pertama, yang mendasar. Kapan koas makan? Terkadang jawaban saya pada pernyataan ini membuat ibu saya mengelus dada. Saya selalu menjawab, saya akan makan ketika ada waktu. Saya seringkali tak makan pagi. Hanya menenggak susu panas buatan Mak Unah (salah satu orang di rumah tante saya), dan saya tak jarang mengatakan tak perlu susu bila pukul jam menunjukkan jam 5 pagi.

Ketika siklus mayor, saya sering harus mengeset alarm weker di pukul 04:30. Sering pula weker itu saya matikan tak sadar, dan ketika bangun sudah pukul 05:30. Astaganaga! Seringkali tak mandi (ups), tak makan, hanya bergegas ricuh, menyalakan si perak, tanpa pamit (karena orang rumah belum bangun kecuali Mak Unah), dan langsung ngacir ke rumah sakit yang menempuh 15-20 menit. Itu di rumah sakit di Pluit. Nah kalau di Kramat Jati, waktu harus diatur lebih awal lagi. Hal ini membuat ketika di rumah sakit, perut pun bernyanyi keroncong-an.

Memang, kalau di siklus minor yang datang jam 7, tidak perlu follow-up pasien, memang kesejahteraan perut di pagi hari lebih terjamin.

Tidak makan di pagi hari, sering juga dilanjutkan sampai siang menjelang sore, sehingga baru menyuapi perut dengan makanan pada sore hari.

Rekor saya makan adalah mendekati makan malam, karean harus menjaga pasien yang begitu buruk, dan rekan-rekan saya lain juga sibuk dengan pasiennya. Memang urusan pasien harus diutamakan dari urusan perut. Krukk.. krukkk...

Bagaimana cara koas makan?

Terutama kalau jaga malam, dan jam sudah mulai maghrib, inilah waktu koas mencari makan. Serunya, kalau jaganya ramai, kita akan berseragam memesan makanan. Saya sendiri jarang dan hampir tak pernah membawa makanan jaga untuk makan malam. Selain basi, tentu rasanya tidak sepenanggungan dengan rekan-rekan sejaga malam.

Mengapa saya katakan seru kalau memesan makanan? Karena masing-masing otak akan memesan seleranya masing-masing. Nah, sampai menemukan suara bulat, perlu waktu, dan menengok ke belakang makanan apa saja yang pernah dimakan di jaga malam sebelumnya. Untungnya kalau sedikit orang, dulu saya pernah memesan belasan kepala (karena ditebengi oleh koas bagian lain yang bangsalnya dekat). Hahaha... Selain ribet nelponnya karena pesanannya banyak, repot harus konfirmasi lagi (takut kalau ada yang ketinggalan), dan repot menagihnya! Pastinya uang itu akan ditalangi oleh seseorang dan menagihnya yang cukup repot. Di sinilah terlihat, siapa yang cincai-cincai (apa yang terjemahannya?) dan orang yang kikir dan teliti (bahkan ratusan pun dihitung!). Bagaimana membayar KFC yang harganya Rp 28.976 ya? Hehehe...

Apa saja yang dimakan koas?

Kami makan segala hal. Mulai dari nasi padang, nasi ayam, pesenan warung, indomie, sampai ayam goreng cepat saji. Kalau lagi di awal bulan atau uang masih "berlimpah" terkadang kami bisa sedikit royal memesan makanan. Kalau lagi bokek, indomie sudah bersyukur hehehehe....

Makan malam koas adalah suatu peristiwa yang harus disyukuri, peristiwa yang tak boleh dilewatkan. Dari sini akan mengenal kebiasaan masing-masing. Siapa yang jorok tidak cuci tangan, siapa yang makan supercepat tidak bernapas (*tunjuk tangan*), siapa yang makan berbunyi hehehe...

Ketika yang lain bersama keluarga

Satu hal lagi yang perlu diperhatikan adalah kami, para koas, harus makan malam di rumah sakit, dan sedangkan orang lain akan makan malam bersama keluarga mereka di rumah, menikmati masakan rumah. Ya, bisa menjadi suatu kerinduan, namun tetap menjadi suatu bela rasa di dalam diri, mengabdi dan melayani. Dan makan bersama rekan-rekan jaga pun tak kalah nikmat karena sudah anggap jadi keluarga sejaga malam.

Itulah kisah kami para koas, dokter muda dengan segala kisahnya mengenai makan-memakan. (Asal jangan makan teman saja ya... =p)