Minggu, 26 Desember 2010

Setelah Koas, Belajar Bahasa!

Saya dan rekan-rekan saat studi Bahasa Jerman di Goethe Institut Internationes Jakarta, Menteng.
Kalau tidak salah ini tahun 2003-2004!

Saya tiba-tiba ingin sekali menulis tentang ini. Ya, mungkin ini adalah tulisan mengenai hal-hal yang akan segera datang (Yeay!) paling tidak kurang dari 1 tahun mendatang. Artinya? Setelah saya menyelesaikan studi di Kepaniteraan Klinik ini. Mengapa harus setelah koas? Ya, koas ini secara tidak langsung mengubur beberapa impian saya, membuat hal-hal tidak bisa saya lakukan dalam masa ini. Ya, artinya hal-hal ini sudah terkubur selama 1,5 tahun terakhir. Saya sangat tidak sabar menunggu pertengahan 2011, dan artinya saya akan "bebas". Hahaha!

Pertama, saya sangat ingin melanjutkan kembali mempelajari kembali bahasa-bahasa, terutama beberapa bahasa yang saya rasa tanggung. Ya dulu sempat mempelajari beberapa tata bahasa sederhana. Saya ingin sekali melanjutkan lagi belajar bahasa Jerman, bahasa Mandarin, belajar bahasa Tio Ciu (Masak orang Pontianak, Tio Ciunya amburadul?), bahasa Jepang, bahasa Tagalog, dan ada keinginan untuk satu dari bahasa Eropa Selatan (Italia, mungkin?) dan satu bahasa Eropa Timur (Rusia!).

Saya kembali terinspirasi dari salah satu pengguna Youtube, loki2504, yang belajar banyak sekali bahasa dan dia bisa mempraktikkan dengan lancar. Seandainya, saya bisa seperti dia! Ingin sekali bisa seperti dia.

Hingga kini yang lancar saya hanya bisa Bahasa Indonesia (Hiks) baik untuk berbicara, menulis, dan mendengar serta menulis ilmiah. Bahasa Inggris ya kalau membaca buku teks kedokteran masih bisa, tapi berantakan juga kalau disuruh presentasi ilmiah (Jadi ingat presentasi Emergency Case Report ketika di stase Bedah). Kelompok bahasa Mandarin menjadi suatu impian juga untuk dikuasai, ya karena saya keturunan Tionghoa, paling tidak saya harus bisa juga. Bahasa Jepang sedikit-sedikit tahu kana (itu dulu, sekarang lupaa... ) karena kekerapan menonton anime. Bahasa Jerman, karena dulu terlanjur bahasa belajar resmi di Goethe. Bahasa lainnya menjadi keinginan.

Saya memang berusaha mempelajari secara otodidak, mendengar melalui ipod (sekarang ipodnya diwariskan ke adik saya). Koleksi beberapa buku belajar bahasa pun ada. Namun waktu tidak ada... Yang ada pulang ke rumah setelah koas, capai, dan tidur. Atau kalau tidak mengerjakan tugas. Hemmm, impian itu masih ada, dan sempat terkubur dan terlupa. Tetapi sejak melihat video dari loki2504, mimpi itu kembali bangkit.

Mungkin Anda bertanya mengapa susah-susah belajar bahasa? Saya juga sulit menjawabnya. Bagi saya sangat menarik belajar bahasa, dan itu sangat membuka wawasan yang ada di luar ilmu berbahasa lokal. Dan ternyata saya baru menyadari bahwa ini juga berhubungan dengan salah satu impian saya lainnya (setelah koas, tentunya) yaitu menjelajah, berpergian, keliling dunia. Semoga mimpi itu tetap ada!

Jumat, 03 Desember 2010

Kisah dengan Pasien-pasien Neurologi

Saya dan rekan-rekan koas neurologi

Blog ini sudah tampak berdebu, penuh tikus dan laba-laba. Sudah lama sekali -sangat lama-, saya tidak tulis menulis di tempat ini. Sebenarnya saya sangat merindukan untuk menulis. Tapi, ya, kegiatan koas begitu banyak memakan waktu. Dan bulan kemarin saya menghabiskan kepaniteraan di RSUD S di Kota Sukabumi. Celakanya, saya tidak memiliki akses internet kecuali si Blackberry yang semakin lama semakin rewel minta di-reboot ulang terus.

Yang saya ingin bagikan kali ini, lagi-lagi tentang pasien. Ya, saya tidak punya cerita tentang apapun lagi yang berkesan di bulan kemarin. Yup, sudah saya pikirkan dan bongkar-bongkar lagi. Mungkin Anda bosan dengan cerita tentang pasien melulu. Namun, ini cukup berbeda dari cerita dua anak retardasi mental dan pasien dengan penyakit jiwa yang sudah lalu saya kisahkan. Mari saya mulai.

Saya menghabiskan waktu sebulan di bagian neurologi di RSUD Syamsudin, ya sebelumnya di seminggu di RS A di Jakarta. Ada satu hal yang menarik saya ketika salah satu konsulen berkata: "Saya lebih suka Anda berada dengan pasien, menghabiskan waktu dengan pasien, ataupun sebisanya sering dengan pasien." Ya, mungkin kata-kata ini tidak biasa bagi para koas. Ada beberapa yang menganggap pasien adalah guru. Beberapa pihak juga merasakan pasien adalah beban, terutama bagi yang jaga malam karena harus mengisi laporan. Kalau saya? Saya memilih jalan tengah saja, pasien jangan terlalu banyak tapi saya senang bersama dengan pasien. =)

Saya senang bersama dengan pasien-pasien neurologi. Ya, tentunya bukannya saya senang dengan penyakit mereka. Tetapi karakteristik mereka yang berbeda dengan pasien bagian lainnya. Pasien neurologi, terutama pasien stroke adalah pasien yang secara sekonyong-konyong harus menerima kenyataan mereka stroke, badan lumpuh, atau berbicara pelo. Mereka adalah orang-orang yang menyesali diri akan kesehatan mereka, kebiasaan mereka. Mereka adalah pasien yang sepenuhnya bergantung pada orang lain. Selain karena dimakan usia, mereka kehilangan kemampuan untuk hal-hal dasar seperti berjalan, mandi, makan, dan bahkan berbicara. Dan dibalik itu semua, mereka masih memiliki jiwa yang sadar dan bergejolak dahsyat.

Tn L

Adalah pasien Tn L yang terbaring lemah di unit stroke. Pasien ini sebenarnya bukan pasien yang secara langsung saya terima. Ia sudah menjalani beberapa hari perawatan di sana sebelum saya memulai kepaniteraan. Pasien ini terkenal banyak maunya, sering memanggil perawat, sering meminta untuk diukur tekanan darahnya. Ketika membagi follow-up pasien, saya mendapat pasien ini. Ya, untuk permulaan saya tentunya mendatangi pasien untuk mengetahui riwayat penyakitnya. Dia banyak bercerita, banyak berkisah. Sampai suatu ketika saya menyimpulkan pasien ini memiliki kepribadian yang cemas. Ia takut stroke iskemik itu terjadi pada dirinya. Dia takut semuanya. Bahkan makanan rumah sakit ia takuti bergaram dan bisa memperburuk kesehatannya. Saya berusaha untuk memberitahunya berbagai hal yang tak perlu ia takuti. Setelahnya saya berpamitan dan pulang ke asrama koas di sana.

Keesokan harinya saya mendapati kabar bahwa ternyata saya dicari-cari oleh keluarga pasien itu. Mau ketemu "dr. Andrian" katanya. Ternyata dia lagi-lagi cemas pada malam itu. Memang kepribadiannya begitu rentan. Dan hari-hari berikutnya saya terus menerus dicari. Saya agak sedikit jengkel sebenarnya, hahahaha... Karena saya tidak jaga kok dicari-cari. Namun saya cukup senang, karena mungkin itu adalah tanda penghargaan. Dan ketika ia pulang pun saya sudah tak berdinas di unit stroke, saya masih dapat bertemu isterinya dan berpamitan.

Ny T

Ny T, seorang ibu separuh baya dengan stroke iskemik. Mulutnya pelo, badannya lemas separuh. Apa yang saya dapati berbeda dengan kasus Tn L. Walaupun ia terkena stroke, ia masih berusaha untuk semangat, bahkan ia menjawab pertanyaan dengan lantang. Ia pun sering tertawa, bahkan kadang-kadang menjadikan dirinya bahan humor di seantero bangsal kelas 3.

Keesokan harinya, saya mem-follow-up Ny T. Saya menemukan bahwa tangan dan kakinya yang lemas mulai pulih, mulai kuat. Saya pun mengatakan, "Wah ibu, Alhamdullilah. Ini sudah perbaikan. Sudah bisa main panco ya bu." Ny T terkejut dan senang sekali. "Benar dok?" Saya hanya bisa tersenyum dan anak yang menunggunya pun tersenyum senang. Saya pun menjawabnya, "Ini karena pikiran ibu yang tetap semangat." Saya pun meninggalkannya, dan ia pun menggerak-gerakkan tangannya yang dulu lemas itu. Dan hingga beberapa hari ke depan, ia tetap senang dan gembira sampai pada akhirnya pulang untuk perawatan di rumah.

Mungkin ini kebiasaan yang terkadang dikeluhkan oleh teman-teman saya. Bahwa kalau saya anamnesa terlalu lama. Terkadang saya keluar anamnesa malah menjadi mengobrol, tanpa membicarakan penyakitnya. =P Namun bagian ini yang saya suka, bergaul dengan pasien.

Tidak ada salahnya bukan kalau kita tahu berapa cucunya dan apa makanan kesukaannya?

Kamis, 02 September 2010

Dokter Muda (Koas): Benarkah Mereka itu Sombong Sekali?

Ada sebuah tulisan yang cukup menghebohkan dunia kedokteran, terutama pendidikan dokter. Tulisan yang dimuat di kompasiana itu berjudul Para Calon Dokter itu Sombong Sekali yang ditulis oleh Afandi Sido. Penulis blog itu menuturkan tanggapannya atas apa yang ia lihat dan rasakan terhadap dokter-dokter muda yang ada di salah satu RS di Yogyakarta. Ia merasakan dari sisi awam bahwa dokter-dokter muda menyebabkan kesenjangan sosial dan cenderung eksklusif, tidak memiliki rasa empati terhadap pasien dan orang-orang sekitar.

Dalam tulisan ini saya mencoba untuk memberikan tanggapan dari sisi dokter muda mengenai tulisan dan berbagai streotipe yang beredar di masyarakat. Semoga dapat memberi cakrawala lain bagi tulisan tersebut. Dan tentu tulisan ini adalah opini dan argumentasi.

 

Menjadi dokter adalah sebuah cita-cita bagi banyak orang. Menjadi dokter juga adalah sebuah impian, harapan bagi berbagai idealisme. Baik idealisme menolong orang lain, memenuhi harapan keluarga, hingga mengangkat harkat martabat keluarga. Apapun itu dasarnya, tidak bisa dielakkan, tidak bisa diubah, dan itulah keunikan setiap individu yang ingin menjadi dokter.

 

Menjadi dokter pula bukan berarti tanpa biaya. Namun juga bukan berarti biayanya murah. Memang sebuah fakta, bahwa menjadi dokter, di Indonesia, adalah barang yang mahal. Kocek memang harus diraba lebih dalam. Hal ini membuat asumsi masyarakat bahwa FK (Fakultas Kedokteran) adalah Fakultas Kaya. Saya kira suatu hal yang masuk akal saja bahwa orang yang mampu secara ekonomi dapat masuk FK, toh dia mampu-mampu saja. Dan tentu saja dibalik itu orang yang tidak mampu, tidak boleh tidak dapat masuk FK karena terdapat banyak jalur pembiayaan pendidikan termasuk beasiswa. Yang jelas kedua-duanya, baik yang kaya atau tidak mampu, memiliki satu kesamaan yang tidak dimiliki orang lain, yaitu kemampuan akademik yang tepat untuk menjadi dokter. Itu saja. Maka saya kira masalah pundi-pundi bukan alasan untuk masuk FK.

 

Menjadi dokter harus melalui dua tahap pendidikan, yaitu praklinik dan kepaniteraan klinik. Praklinik adalah menjalani kuliah-kuliah selama 3,5 tahun-4 tahun dan setelah menyelesaikannya akan diberi gelar S.Ked (Sarjana Kedokteran). Seorang S.Ked belum dapat menjadi dokter. Sama seperti Seorang SE (Sarjana Ekonomi) belum dapat menjadi akuntan. Seorang SH (Sarjana Hukum) belum dapat menjadi advokat atau notaris. Maka seorang S.Ked harus menjalani kepaniteraan klinik atau koas (dari kata ko-asisten, artinya jelas sebagai asisten dokter, bukan dokter) atau periode dokter muda selama 1,5-2 tahun. Setelah itu, dengan kurikulum baru dan kebijakan baru harus melewati masa internship selama 1 tahun dengan STR sementara, sebelum itu menjalani UKDI (Ujian Kompetensi Dokter Indonesia). Baru dapat mengajukan STR tetap dan SIP sesuai dengan UU Praktik Kedokteran. Baru dapat praktik mandiri sebagai dokter.

 

Menjadi koas. Menjadi koas adalah suatu periode pendidikan dokter yang ditekankan pada penerapan (aplikasi) teori-teori yang sebelumnya sudah didapat dari periode praklinik. Menjadi koas bukanlah menjadi dokter mandiri. Koas memiliki hak dan kewajibannya sendiri dan serupa-tak-sama dengan hak dan kewajiban dokter. Koas dan dokter punya kewajiban untuk menghormati pasien, bersikap profesional sesuai keilmuan, dan lainnya. Namun koas tidak ada hak untuk berpraktik mandiri. Semua apa yang dilakukan koas harus berada dibawah supervisi dokter pembimbingnya. Namun dibalik itu mereka pun dituntut untuk memiliki profesionalisme layaknya dokter mandiri. Jadi, saya kira ketika masyarakat awam berhadapan dengan koas, maka sudah sesuai aturan yang ada, bila mereka tidak dapat menegakkan diagnosis dan memberi terapi secara mandiri di depan pasien tanpa dikonsultasikan dengan pembimbingnya.

 

Menjadi koas memang posisinya seperti serba tanggung. Mereka menganamnesa pasien, memeriksa pasien, kemudian baru dilaporkan ke pembimbing, dan diricek ulang pembimbing, baru dapat ditegakkan diagnosis oleh pembimbing. Memang tampak ribet, dan tidak seperti ke dokter biasa yang bisa dilewati proses oleh dokter muda langsung ke dokter praktiknya. Hal ini tidak jarang memberi kesan bagi pasien, apakah saya jadi bahan percobaan? Tentunya di sini perlu ada kesepahaman antara dua pihak. Koas perlu bersikap profesional dan memberi rasa nyaman sehingga pasien tidak dirugikan. Dan sebaliknya pasien perlu paham bahwa dirinya bukanlah kelinci percobaan, tetapi dirinya terlibat sebagai guru bagi koas sehingga koas pun bisa mengembangkan dirinya untuk menjadi dokter yang baik kelak. Apakah masyarakat mau punya dokter yang selama hidupnya hanya melakukan tindakan dengan boneka saja?

 

Apakah pasien harus takut bila diperiksa koas? Ini kembali lagi kesepahaman. Koas harus bersikap profesional, rasional, dan sesuai dengan janji hipokratiknya untuk "First do no harm -- Yang terutama, jangan mencelakakan orang". Kemudian ia menerapkan apa yang ia pelajari sesuai dengan standar ilmu yang ada. Di dalam proses dunia fana ini, mungkin terjadi kesalahan. Misalnya koas yang menginfus pasien menyebabkan bengkak di tempat penusukan dan akhirnya penusukan infus diberikan ke pembimbing. Ingat bahwa semata-mata, koas tidak ada niat mencelakakan pasien, ia berusaha yang terbaik bagi pasien. Kesalahan yang ada bukan disengaja. Tindakan-tindakan ini memerlukan pengalaman yang tak hanya sekali. Seperti anak yang belajar berjalan, apakah ia dapat tanpa tejatuh atau tertatih dahulu?

 

Menjadi koas, seperti yang disebutkan, perlu mengedepankan rasa profesionalisme layaknya dokter praktik. Harus mampu menempatkan diri dan sikap yang sesuai. Jelas dokter muda tidak boleh terlihat asyik bermain game di depan pasien. Dokter muda tidak boleh diam saja ketika pasien memerlukan pertolongan. Dokter muda tidak boleh terlihat cengengesan di depan pasien. Ya, ini layaknya seorang dokter.

 

Selama hampir 1 tahun saya menjadi koas, saya merasakan banyak pengalaman menjadi dokter muda. Baik dari yang diacuhkan pasien karena saya seorang dokter muda, namun tidak sedikit saya mendapat pengalaman berharga bersama pasien. Banyak pasien yang juga senang terhadap dokter muda, karena mereka dapat mencurahkan isi hatinya lebih banyak, karena mereka dapat bertanya lebih banyak. Karena dengan dokter mudalah yang lebih sering berinteraksi dengan mereka daripada dokter konsulen dan perawat. Karena dokter mudalah yang sering menjawab bel panggilan mereka ketika infus mereka macet. Karena dokter mudalah yang seharian membantu memberi napas bantuan melalui kantung ambu ketika pasien tidak mampu membayar ICU. Dokter mudalah yang menghitung detail air minum dan air kencing pasien yang gagal jantung. Dan tentunya ini berakhir dengan ucapan: "Terima kasih dokter" kepada dokter muda itu.

 

Apa kesimpulannya? Antara pasien dan koas perlu ada kesepahaman, perlu ada rasa menghargai dan menghormati satu sama lain. Eksistensi keduanya saling diperlukan. Pasien tidak perlu lagi merasa dirinya kelinci percobaan. Koas tidak perlu merasa pasien adalah duri dalam daging. Tetapi keduanya saling merasa membutuhkan sehingga menghasilkan hubungan yang mutualisme satu sama lainnya.

 

 

Jumat, 30 Juli 2010

Senyuman dan Keluguan di Bangsal Anak

Ini adalah sebuah tulisan, yang ditulis di saat-saat terakhir siklus junior pediatri di RS A. Ya, minggu depan sedianya saya berada di RS di Pontianak. Sembari menunggu pula datangnya adik dan orang tua di sebuah mal di bilangan Pluit dan terlintaslah tulisan ini.

Delapan hari belakangan ini saya berdinas di bangsal Anak. Jelas berbeda ketika saya berada di kamar bayi dan unit gawat darurat pada saat yang lalu. Ruang lingkupnya luas dan ya, sama dengan bangsal Penyakit Dalam yang pernah saya jalani.

Ada hal yang menarik bagi saya dengan bangsal ini. Bukan karena penyakit, bukan karena hiruk pikuknya. Tetapi dengan kehadiran dua anak yang mengesankan. Dua anak ini memiliki hal khusus, mereka menderita gizi kurang dan gizi buruk. Sebut saja mereka R dan O.

Walau memang saya bukanlah dokter muda yang menangani mereka, tetapi saya berusaha memperhatikan mereka. Ya, pertemuan saya yang pertama dengan mereka memang lebih awal dari kehadiran saya di bangsal. Saya, yang pada saat itu bertugas di UGD, sempat dipanggil ke atas untuk membantu memantau kedua anak ini ketika mereka transfusi. Mereka nakal tidak tertolong, bisa-bisa selang transfusi itu dicabut begitu saja dan tentu saja menghambat terapi.

Saya menghampiri O, anak dengan gizi buruk, setelah saya merasa bosan hanya melihat dan observasi dari jauh. O, Badannya tak sesuai dengan anak 12 tahun. Apalagi perkembangan mentalnya. Tetapi setidaknya ia masih bisa diajak berkomunikasi sederhana. Pada awalnya, tentu tangisan, melihat orang asing baginya. Ia kemudian menunjukkan mainannya, sebuah kertas tempel-tempelan, ia meminta untuk dibuka. Kemudian saya buka mainan itu dan ditempelkannya di tiang infus transfusinya. Kemudian memang pembicaraan sangat tidak nyambung. Ia selalu mengucapkan "Polisii...!", "Bajaj, bajaj!" "Om mau mam...". Lucu dan miris sebenarnya melihat keadannya. Entah bagaimana ia, entah bagaimana kehidupannya, tapi dia hidup begitu tanpa beban.

Pada saatnya makan, dokter muda bangsal lainnya sedang dalam tutor, akhirnya saya berbagi tugas dengan petugas bangsal untuk menyuapi kedua anak itu. Lucu sekali melihat mereka, bagaimana membujuk mereka untuk menghabiskan makanannya, dan menyembunyikan sayuran yang tidak disukainya agar tetap termakan. Seperti ada kesenangan tersendiri bagi saya ketika mereka berhasil melahap tuntas makanannya.

Dan apa yang membuat saya sedikit kaget adalah ternyata O dengan segala keterbatasannya memiliki rasa berbagi dengan rekannya R yang keadaannya lebih buruk darinya. "Ayamnya buat R saja!". Tidak ada keserakahan dari dirinya. Nah kita?

Semakin lama kehadiran O dan R memberi warna tersendiri bagi bangsal ini. Terkadang kami pun hanya bisa tertawa ketika O berendam dalam bak kamar mandi bangsal, ketika O menyuapi temannya R ketika R harus berpuasa. Dan tentunya yang membuat kami senang adalah ketika O dapat kembali ke panti dengan badan yang lebih segar dan gizi yang lebih baik.

O memberi pesan bahwa dengan kesederhanaan dan keterbatasan bahwa mereka dapat berbagi, menikmati hidup mereka, walau mungkin merekalah yang paling merasakan kejamnya dunia ini.

Terima kasih atas pengalaman yang kalian berikan!


Minggu, 04 Juli 2010

Mukhlis


Sangkala begitu cepat berlalu
Sekiranya rintih ini sudah tak lagi menitik
Menyisakan gusar yang tiada murka
Namun ihwal apa sebab kau bersoal

Jangan lagi kau kenang
Berjalan dan berlarilah
Biarkan jasadku tersenyum karam terlalaikan
Dan rohku merajut kembali atmaku

Jakarta, 4 Juli 2010

Jumat, 02 Juli 2010

Pasien Psikiatri: Sebuah Topi Biru

Hari ini hari terakhir di Psikiatri. Sebuah perjalanan yang cukup panjang, 5 minggu. Hari-hari yang berbeda dengan apa yang saya jalani selama beberapa stase belakangan ini. Ada satu hal yang saya peroleh di sini. Saya harus mampu mendengar. Jelas, kepekaan harus diasah dan dipertajam di sini. Mungkin dulu saya mendengarkan pasien yang mengeluh demam lima hari tak urung sembuh. Namun kini mungkin saya mendengarkan kisah serupa, pasien marah-marah dan mengamuk, misalnya. Yang membuat berbeda adalah akar kisah-kisah yang ada. Mungkin bila dulu akar masalahnya adalah karena lingkungannya sedang banyak nyamuk demam berdarah. Nah yang ini, karena sejak dulu ia memang pendiam dan sulit mengungkapkan perasaannya.

Di dalam psikiatri, yang saya rasakan, diperlukan sensor-sensor rasa yang peka. Ketika ia mutisme, tidak mau bercerita. Atau mungkin ia sedang euforia, sehingga meluap-luap berbicara. Dan tentunya keduanya memiliki artinya masing-masing. Dan di sinilah bergantung bagaimana kita mampu berkomunikasi dan observasi. Dan tentunya hal ini tak sekedar menggunakan logika dan rasional saja, tetapi perasaan.

Itulah uniknya psikiatri sejauh yang saya peroleh. Kita pun perlu merajut ulang bagaimana perjalanan hati mereka sehingga pada akhirnya mereka mengalami gangguan jiwa. Memahami mereka sebagai individu dan bagaimana kita, mungkin, bisa menjadi pihak yang bisa "membela" mereka ketika mereka dihantui dan ditikam oleh stigma masyarakat.

Mengarungi Hidup

Gangguan jiwa memiliki perjalanan yang pelik dan rumit, serta personal. Di sinilah kehidupan seorang pasien dirajut. Bagaimana pasien bisa akhirnya terjatuh dan mengarungi hidup mereka. Hidup rumit bagi mereka dan jelas tak serumit apa yang selama ini kita keluhkan. Mereka merasakan lebih dari kita.

Adalah Tn. F, pasien yang kebetulan menjadi tanggung jawab saya untuk menyusun laporan kasus. Ok, pada awalnya mungkin sebuah "neraka" bagi saya. Bagaimana tidak! Ia mutisme (tidak mau berbicara), miskin isi pikiran, tertawa menyeringai, suasana perasaan sulit dirabarasakan, kurang kooperatif. Ya, sebuah kasus yang tentunya sulit. Dasar memang otak saya, keluarlah isi pikiran egoistik: "Bagaimana laporan saya ini?", "Apa yang mau saya tulis kalau dia ngomong saja tidak mau?". "Haduh! Cilaka ini.". Otak saya yang egois itu berceramah panjang. Tapi ada satu hal yang akhirnya meredam semua, "Memang nanti kalau praktik bisa memilih pasien sesuka jidatmu?". Hati nurani pun menang. Saya mulai mendekati dia.

Dan... oh Tuhan ternyata ia lumpuh, dengan otot tungkai bawahnya yang mengecil. Ketika saya memperkenalkan diri, ternyata ia menyambut jabatan tangan itu. Saya pun mulai berbicara dan ketika saya mulai dengan pembicaraan formal sesuai dengan isi status laporan (Riwayat gangguan sekarang, riwayat gangguan sebelumnya, dsb), semuanya kacau. Ia tidak tahu apa-apa. Ya, saya sadar bahwa saya salah langkah. Akhirnya saya berbicara biasa saja, tentang makanan kesukaannya, apa cita-citanya, siapa artis favoritnya, memberinya kertas dan membiarkan ia menggambar. Memang masih kesulitan, dan ternyata pembicaraannya lebih baik daripada sebelumnya, walaupun status laporan saya masih kosong.

Mulai Tersenyum

Dan pada akhirnya pembicaraan itu mulai lunak, walau tidak selancar pasien lainnya. Menilai perilaku, tindak-tanduk dari observasi ternyata mulai memberi tanda untuk saya tuliskan. Mungkin pembicaraan saya tidak berstandar wawancara psikiatri sama sekali. Mungkin bila saya OSCE wawancara, saya sudah pasti akan her skillslab itu. Masa bodohlah pikir saya, yang penting bina rapportnya sudah mulai ada. Apa yang membuat saya senang adalah pada akhirnya dia bisa tersenyum simpul (bukan menyeringai tentunya) dengan membuat lelucon bodoh. Saya bilang saya malam-malam melihat dia sedang berbicara. Namun tiba-tiba ia seperti tertarik: "Memang dokter tahu saya berbicara apa?" (Satu-satunya kalimat terpanjang dia). Walaupun sepertinya tidak ada lucunya, namun mungkin bagi dia sesuatu yang menarik. Padahal itu lelucon lagi-lagi, untuk mengisi kolom "Halusinasi" di status.

Harapan Sebuah Topi

Lama kelamaan dia pun mulai berkata, "Saya mau topi." Ketika saya bertanya untuk apa, "Untuk gaul." Ternyata untuk gaul. Ah, menurut saya suatu hal yang biasa-biasa saja. Ternyata hal itu bukan hal yang bisa dipandang sebelah mata setelah saya mewawancara ibunya. Ternyata ia adalah anak tertutup, sulit menyatakan perasaannya pada orang lain, dan seringkali putus asa karena harapannya sering tak tergapai. Dan inilah yang menjadikannya, skizofrenia hebefrenik, selain masa kecil dan remaja yang juga kurang baik. Ini membuat saya sedikit terpanggil. Mungkin saya selama ini masih tidak bersyukur dengan apa yang saya miliki, dengan kemampuan yang dimiliki orang tuaku. Saya padahal semestinya bersyukur dengan apa yang saya miliki dan saya masih bisa mewujudkan apa yang saya inginkan. Saya pun berkata kepadanya, "Dokter janji ya nanti dokter carikan topi yang dokter sudah tidak pakai lagi." Saya ingin paling tidak ia sesekali bisa menikmati apa yang ia ingini.

Saya pun kembali ke F,setelah laporan kasus selesai saya sampaikan. Pada akhirnya saya bertemu dengannya seraya memberikan topi biru berlogo sepak bola nasional Prancis kepadanya. Saat bertemu dengannya saya menemukannya sedang duduk sendiri, dengan baju yang dilepaskan dan diletakkan begitu saja di kepalanya. Saya pun menghampirinya, "F, kok begitu, bajunya dipakai atuh." dan saya mengenakan topi kepadanya. "Ayo, bilang apa?", kata saya. "Terima kasih dok" dan ia pun tersenyum. "Jangan hilang ya F topinya. Tetap semangat ya F, biar cepat pulih!" Dalam pikir saya, entah apakah kalimat terakhir itu dapat ia cerna atau tidak. Namun yang membuat saya senang adalah bisa membuat ia senang, itu saja.

Keesokan harinya, rekan saya mengabarkan kabar yang membuat saya sedikit terharu. F ternyata masih mengenakan topi itu, walaupun miring! Sedikit lega sih, saya kira barang itu akan entah bagaimana nasibnya. Terima kasih ya F, telah memberikan pengalaman ini di stase psikiatri.

Terima kasih bagian psikiatri, dan selamat datang stase anak untuk 11 minggu ke depan!

Kamis, 01 Juli 2010

Akhirnya menemukan Tesaurus

Kemarin adalah hari ujian di stase jiwa. Wew, lumayan menegangkan. Mengingat sekalian ujian referat dan ujian kasus. Akhirnya setelahnya, saya memutuskan untuk sedikit memanjakan mata. Ya seperti biasa, saya memanjakan mata dengan melihat-lihat buku di Gramedia Sunter Mal.

Mungkin memang dasar beruntung atau apapun itu. Saya menemukan.... TESAURUS diskon 50%. AAArrrrgghhhh! Seperti mendapat durian runtuh. Selama dua tahun ini saya memendam keinginan untuk memiliki satu buku tesaurus bahasa Indonesia. Namun harganya cukup mahal. Nah kini tengah didiskon 50% dan bukunya tinggal satu. Ya, hati ini pun luluh. Ya memang bukunya agak cacat, namanya juga buku diskonan. Namun yang penting isinya toh.

EEEhh bentar-bentar. Apakah kalian tahu apa itu tesaurus? Yang jelas dia bukan saudara tyranosaurus atau brontosaurus! ya, tesaurus adalah buku kamus sinonim. Terkadang dalam kita menulis, seringkali kita berusaha untuk menghindari penggunaan kata yang berganda atau diulang. Di sinilah kita memerlukan sinonim atau kata yang sama artinya.


Tesaurus Bahasa Indonesia

Ya, saya sangat takjub dengan buku tesaurus. Namun ada satu hal yang saya dapat ketika membaca tesaurus. Ternyata apa yang kita ketahui mengenai kosakata bahasa Indonesia selama ini, ternyata masih sangat-sangat sedikit. Lema-lema yang ada begitu banyak, begitu luas, dan kita masih harus terus belajar.


Sabtu, 19 Juni 2010

Pasien Gangguan Jiwa: Merangkul Mereka




Kini, saya sudah berada di minggu ke-3 di stase Ilmu Kedokteran Jiwa dan Perilaku. Sehari-hari memang saya menghabiskan waktu di Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heerdjan, atau oleh masyarakat lebih populer disebut RSJ Grogol.

Ya, namanya sudah RSJ, berarti pasien yang ada adalah pasien dengan gangguan jiwa. Ini sebuah pengalaman yang menarik, pertama kalinya, hingga menegangkan. Bagaimana tidak, mungkin kalau kita bertemu dengan pasien lainnya sehari-hari, kita lebih mudah untuk membina hubungan dokter-pasien dan berkomunikasi satu sama lainnya. Tapi bagaimana dengan pasien gangguan jiwa? Akan seperti itu pulakah?

Bayangan Stigma

Di bayangan saya memang memiliki stigma, yang saya sadari sudah terlekat sejak kecil. Saya masih mengingat dulu di samping rumah saya di Sisingamangaraja, Pontianak. Adalah seorang ibu-ibu berperawakan menor, berperilaku aneh, berbicara cadel, dan bisa saja membuka baju dia bila disuruh. Pekerja tetangga saya sering mengerjai dia dan akhirnya memperolok dia, "Orang gila!". Selain itu, sering pula saya menemukan orang tanpa busana, jorok, hanya berjalan-jalan saja, tidur di trotoar, dan tak jarang mengamuk. Dan itu juga kata ayah saya, "Itu orang gila." Dan korelasi yang saya dapat adalah orang gila itu ada gangguan jiwanya. Dan saya pun berpikir sejenak,"Apakah saya akan bertemu seperti bayangan saya itu." Saya pun mula terbukakan ketika belajar Psikiatri, apa itu gangguan jiwa, apa itu rentang gangguan jiwa, dari Gangguan Mental Organik hingga berbagai gangguan semacam penggunaan zat psikoaktif, skizofrenia, manik-depresi, neurotik, dan lainnya. Ternyata sangat luas.

Namun tetap saja, jantung ini berdebar, pasien macam apa yang akan saya temui nanti.
Dan apa yang saya temukan di RSJ, memang pasien dalam rentang yang lebar. Memang ada yang berperilaku diam-diam saja, ada yang paranoid, gaduh-gelisah, namun tak sedikit yang bersahabat. Tetapi jujur saja, ketika masuk bangsal, saya masih tetap deg-degan, bagaimana kalau pasien mengamuk? Namun untungnya, itu hanya pikiran yang bodoh. Memang itu bisa saja terjadi, namun kalau bisa membina rapport yang baik, membuat pasien bisa merasa nyaman, dan itu bisa terjadi.

Dua Pengalaman

Ada pengalaman pula bahwa ada pasien yang tengah curiga gaduh-gelisah tiba-tiba menghardik saya, "Mana tangan dokter!". Terus-terang saya bingung apa saya memberi tangan saya atau tidak. Akhirnya saya berpikir mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa. Saya memberi tangan saya. Tapi hasilnya, tangan saya dijabat begitu erat dengan ekspresi mukanya yang galak. Saya bingung. Namun saya mencoba, "Sudah ya bu ya. Dokter mau keluar dulu.", dengan nada rendah. Untungnya, pada akhirnya ia melepaskannya.

Saya juga ada pengalaman dengan pasien yang logorrhea (banyak bicara) dan flight of ideas (ide pikirannya banyak). Dan seringkali kepala saya pusing, karena tak biasa. Mereka bercerita banyak dan berlompat-lompat, dan sulit dihentikan. Namun saya berpikir, mungkin ini karena ketidakbiasaan saya. Tentunya, saya perlu untuk biasa. Allah bisa karena biasa.

Apakah Mereka Berbeda?

Pada akhirnya saya mendapat jawaban bahwa mereka toh sama saja dengan pasien lain, kita dapat berkomunikas, berinteraksi dengan mereka, dan pastinya dengan cara berbeda. Cara yang berbeda ini juga bukanlah hal yang luar biasa, anggaplah pasien dengan gangguan saraf dengan pasien patah tulang, juga cara komunikasinya berbeda. Begitu pula dengan pasien gangguan jiwa.
Kita harus kembali disadarkan bahwa mereka tetaplah pasien, tetaplah sesama. Mereka bukan alien, atau orang yang perlu disingkirkan. Mereka memang kini termarjinalisasi oleh lingkungan sosial, namun kita yang sadar jangan ikut menyingkirkan atau bahkan memperburuk keadaan. Justru, kita perlu merangkul mereka.

Senin, 24 Mei 2010

Harus Ke Jerman, Suatu Saat

Sepertinya ini sekitar tahun 2003-2004.
Saya bersama rekan-rekan di Goethe Institut Internationes Jakarta.



Jerman? Ya, nama suatu negara yang tujuh tahun lalu muncul dalam benak saya dan ayah saya. Suatu negara yang harapannya saya melanjutkan studi. Tetapi, dengan pertimbangan bahwa keilmuan yang saya harapkan akan lebih baik dipelajari di dalam negeri, akhirnya saya memutuskan untuk kelak saya berkunjung untuk kursus atau seminar kedokteran saja di sana.

Saking saya mempersiapkannya, sejak kelas 2 SMA, saya sudah memulai kursus di Goethe Institue Internationes Jakarta di bilangan Menteng, dekat sekali dengan Kanisius, almamater saya. Tinggal jalan kaki saja. Dua tahun saya menghabiskan waktu di sana, walaupun pada akhirnya saya tidak mengambil ujian Zertifikat Deutsch (ZD), masih agak menyesal sih. Tapi walaupun demikian, saya tidak menyesal bahwa telah mempelajari bahasa Jerman ini. Ya, secara garis besar, banyak membantu dalam mempelajari kedokteran, paling tidak dari bahasanya. Paling tidak dari pelafalannya, seperti roentgen (demikian penulisan yang benar, dan dilafalkan: /ruensyen/). Dan syukurnya, saya masih bisa mengingat sedikit-sedikit tentang bahasa ini.

Saya juga mempelajari budaya, walau itu terbayang dalam benak fantasi saya. Bagaimana bisa menikmati Bradwurst yang lezat, minum Bier, budaya dan suasana Eropa yang kental. Aduh, sepertinya pengalaman yang bakal menarik. Saya masih menyimpan bertandang di Jerman menjadi hal yang akan saya lakukan. Kalau pun saya tidak bisa belajar di sana, saya paling tidak harus bisa berkunjung. =) Mudah-mudahan kelak Tuhan mengizinkannya ya.

Ngomong-ngomong soal Jerman, saya jadi teringat rekan SMA saya yang bernama Frans. Ada kisah menarik. Dulu saya yang mengajaknya untuk belajar bahasa Jerman, bahkan seingat saya, saya 1 tahun lebih dulu darinya. Namun, hasilnya sungguh luar biasa! Dia yang akhirnya ke Jerman, melanjutkan studinya di sana. Hehehe, mungkin dulu tidak terbayang, namun dengan usaha keras, hal itu bukanlah mustahil. Mudah-mudahan saya bisa menyusul ke sana ya, Frans!

Kamis, 20 Mei 2010

Catatan Kuliner Koas Forensik (2-tamat)

Ternyata oh ternyata! Saya masih memiliki hutang untuk menulis lanjutan Catatan Kuliner Koas Forensik. Yup, memang di minggu kedua hingga keempat di Semarang, saya tak mampu lagi makan segencar di minggu pertama. Mengapa? Soalnya mulai kismin (baca: miskin, uang yang ada jauh berkurang). Tapi beberapa catatan ini, mungkin bisa menjadi pertimbangan bagi Anda, terutama koas yang akan bertandang ke Semarang. Mari mas!

  • Semawis. Semacam festival jajanan di Pecinan Semarang. Hanya buka di Malam Sabtu hingga Malam Senin (Jumat Malam hingga Minggu Malam). Makanannya beragam, dari nasi campur, siomay, hingga mie cool. Mie cool? Ya, itu semacam es sirop dengan jelly berbentuk mie, jadi memakannya pun harus menggunakan sumpit.
  • Dim Sum All You Can Eat di Restoran Mutiara. Lokasinya di Setiabudi, di sebelum Pom Bensin Gombel. Yang asik, pandangan restorannya bisa melihat hamparan kota Semarang yang lebih rendah. Restoran ini berada di atas bukit. Dim Sumnya overall lumayan, hakau-nya lezat. (Saya pecinta hakau). Namun sayang, somai-nya masih kurang enak. Harganya hanya dimsum (tak termasuk bubur) adalah 45.000++ dengan 10 porsi/orang dan order hingga 18:00 WIB.
  • Roti Swiss. Langganan saya yang ada di Jalan Gajahmada. Favoritnya: Kue spons durian. Hmmm...
  • Nasi Ayam Bu Wido. Ada di jalan ke arah Karanganyar Loyola, di sebelah Roti Swiss. Rasanya lumayan (menurut saya lebih enak Nasi Ayam Bu Nyoto di Mataram), Harga 5000.
  • Soto Neon. Saya lupa nama daerahnya, tetapi dekat Loyola. Yang enak ya, nasi sotonya. Dan favorit saya yang kedua adalah tahu gimbalnya (mirip ketoprak (?))! Yummy! Basonya biasa saja menurut saya. Harga soto sekitar 6000, tahu gimbal 9000.
  • Pondok Makan 78. Ini ada di depan Kariadi, sederetan dengan Mie Lampung dan Rumah Ijo. Rasanya lumayan, kalau merasa bosan dengan Mie Lampung atau Rumah Ijo. Entah mengapa, saya cukup senang dengan Nasio Goreng Kornetnya! Tapi kelemahan dari rumah makan ini, masaknya lammaaa....
  • Nasi Goreng Ayam atau Nasi Gongso Bu Pawon, masih di Jalan Kariadi, di dekat toko galon air Biru. Rasanya enak! Beneran. Ayamnya juga banyak. Dan mungkin resep enaknya adalah, ibunya masak porsi per porsi, tidak rombongan. Tapi jeleknya, ya jadinya lama. Harga per porsi nasi goreng ayamnya 7000.
  • Warung Pecel Bu Sumo. Ada di depan kantor Golkar Jateng. Warungnya sih sederhana tapi ramai, tampaknya warung ini memiliki legenda sendiri. Rasanya lumayan, apalagi bila dihidangkan dengan bakwan hangat. Hmmm... Harga pecel sekitar 5000-10000 tergantung dari ragam isi-nya. Bisa ditampah empal, dan lainnya.
  • The Hills. Ada di dekat perumahan Bukit Sari daerah Gombel, tepatnya di Jalan Bukit Bisma. Lingkungannya sih luar biasa, melihat kota Semarang dari atas, dan restoran yang asik untuk berpacaran (sayang sekali saya tidak bisa menikmatinya hahahaha). Namun, makanannya sendiri mahal dan tidak worthed, apalagi untuk kantong mahasiswa. Begitupula dengan cita rasanya, terlalu biasa. Jadi menurut saya, hanya lingkungan dan suasananya saja yang bisa dinikmati.
  • Kampung Laut. Lokasinya di Puri Anjasmoro, Semarang Utara. Lingkungannya bagus, mengingatkan saya pada Bandar Djakarta di Ancol atau Sei Kakap di Pontianak. Tapi harganya mahal dan rasanya tidak begitu luar biasa. Bahkan D'Cost di Jakarta, masih sebanding!
  • Pujasera Manggala. Ya semacam foodcourt di perempatan jalan. Suasananya lumayan untuk berkumpul, diiringi musik hidup. Yang menarik adalah restoran Hiu Segara, ada berbagai macam menu hiu. Favorit saya: Hiu Goreng Tepung!
Mungkin demikian apa yang bisa saya dokumentasikan. Dan... kalau ada yang punya catatan lain, monggo dikomentarin! Matur nuwun!

Memoar Ilmu Forensik dan Medikolegal: Kultur Jawa

Hari ini adalah hari pengumuman ujian OSCA (Objective Structured Clinical Assesment) untuk kompetensi Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal di FK UNDIP Semarang. Dan, puji Tuhan, saya mendapat penilaian A untuk itu. Pada akhirnya, saya pun bisa menghela napas lega. Secara de jure, 4 minggu pembelajaran Forensik ini sudah selesai, dengan menunggu waktu beberapa rekan yang akan remedial pada akhir minggu ini. Dan tak lama lagi pula, saya akan kembali ke kota Jakarta untuk melanjutkan kepaniteraan Psikiatri dua minggu lagi.

Memang di Forensik ini saya mempelajari dan mempraktekkan seperti pembuatan Visum et Repertum yang sebelumnya belum pernah saya buat di masa preklinik, teknik otopsi, masalah-masalah medikolegal seperti informed consent, dan berbagai hukum yang ada. Saya mencoba menelaah benar, karena bila nanti PTT di daerah terpencil yang tidak ada ahli forensiknya, mudah-mudahan saya bisa memahaminya.

4 minggu di Kota Semarang ini memberi banyak kesan, selain kesan jalan-jalan tentunya. Paling menarik adalah ketika saya bisa berinteraksi dengan orang-orang dalam kultur lain. Mungkin di Jakarta, perbedaan kultur sudah hampir sedikit, bahasanya pun demikian. Tetapi mungkin berbeda dengan di Semarang, yang budaya Jawanya sangat terasa. Bahkan lidah ini pun ikut-ikutan medok. Hahahaha... Mungkin lafal saya agak runyam, namun ketika mengucapkan "pinten", "piro", "ndi", "opo", "mbak", "mas", "piye", "toh yo", bisa dimengerti oleh orang lokal. Sekalian belajar bagaimana bisa beradaptasi. Itupun terjadi ketika berinteraksi dengan para supir angkot. Ya, sebagian besar dari kami tidak membawa mobil, angkutan tersayang kami adalah angkot. Bahkan ke Mal Paragon atau katedral, semua dengan angkot. Kadang kala taksi pun menjadi pilihan.

Semarang ini mampu memberi kesan yang baik bagi saya. Dan, suatu kali saya pun perlu bertandang lagi ke sini.

Kamis, 13 Mei 2010

Nadir

Hai sang kelam
Kini aku terbaring
Menatap langit-langit
Yang tanpa noda, tanpa cercah
Dan aku pun ingin seperti itu

Aku melirik kepadaku yang tiada berada
Ketika ku hening sejenak
Seberkas apa yang kupunya
Gegap gempita harta?
Keelokkan paras?
Seuntungnya itukah diriku?
Sekuat Pangrango-kah?

Sesirna itukah aku
Aku nan lara
Bahkan angin pun tertawa pilu
Aku nan terkulai

Aku kembali melirik kepadaku yang tiada berada
Yang mengais sedikit kesempurnaan
Bahkan rintih menjadi tak berarti
Aku mengasah asa dalam puruk

Oh asa, demikiankah aku?
Demikian sulitkah?
Tak bisakah sejuk semilir hadir?
Tak dapatkah hingga titik nadir?

Aku kembali kepada langit-langit
Aku pun merindukannya
Dan tetaplah hati ini takkan lelayu

Semarang, 13 Mei 2010

Kamis, 06 Mei 2010

Medali Perunggu ISBA Award 2010!

Sungguh tak disangka, sungguh tak disangka. Akhirnya blog ini diberikan penghargaan dari panitia Internet Sehat Blog Award 2010 untuk Minggu Pertama Mei 2010. Tidak terkira sebenarnya, bisa mendapatkan penghargaan ini. Blog ini pada sebenarnya ingin dipublikasikan secara luas, tetapi biarkan saja mengalir begitu saja. Dan mudah-mudahan sesuai kategorinya, blog ini dapat menginspirasi Anda, selain sebagai memoar bagi saya.

Minggu, 02 Mei 2010

Perjalanan Malam Lawang Sewu (+Berbonus Napak Tilas AAC)

Salah satu menara Lawang Sewu.


Lawang Sewu, sebuah bangunan tua dan megah di bundaran Tugu Muda Kota Semarang. Saya sebenarnya memang telah merencanakan perjalanan ke sana, namun kemarin malam sontak rekan-rekan berinisiatif ke sana tanpa perencanaan.

Saat itu Lawang Sewu tengah ramai karena sedang ada pemilihan Dhenok dan Kenang (semacam Abang dan None) Kota Semarang. Yup, tapi tentu tak menyurutkan hati kami. Beberapa rekan sudah menolak untuk ikut dan memilih pulang ke rumah kost mereka. Dan tinggallah 13 orang menjalani perjalanan malam di Lawang Sewu.

Tiket masuk Rp5000,00. Ya cukup murah dan guide sendiri kami bayar Rp20000,00 secara sukarela saja dari rombongan.

Ketika masuk ke dalam Lawang Sewu. Suasana gelap, dan kami dijelaskan asal muasal gedung ini. Di lobby gedung, suasana sangat sepi. Sangat sepi dan gulita.

Lawang Sewu, menurut guide, didirikan 1904 dan digunakan sebagai kantor Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij, sebuah perusahaan kereta api masa Hindia Belanda. Dan kemudian pada masa penduduk Jepang, terutama pertempuran Angkatan Muda Kereta Api, digunakan sebagai tempat pembantaian dan penjara. Setelah masa kemerdekaan pernah dipakai sebagai kantor Kodam dan Kementerian Perhubungan.

Lawang Sewu, artinya Pintu Seribu, ya, gedung ini memiliki banyak sekali pintu-pintu. Dan dasar pikiran saya... kalau begitu apa arti Taman Lawang? Hahaha....

Kemudian setelah dijelaskan, kami naik ke lantai dua melalui tangga utama. Di sini sebenarnya ada kaca mosaik yang indah, namun sayangnya, gulita malam menyembunyikannya. Dan sebenarnya yang membuat saya krik-krik dimulai di sini.

Pemandu: "Ehm, di sini adalah tangga pengadilan."
Saya: "Pengadilan?"
Pemandu: "Iya, pengadilan di film Ayat-Ayat Cinta."
Saya: ... ...

Okay, saya pikir saya tidak menonton Ayat-Ayat Cinta. Ya, tangga pengadilan.

Kemudian kami masuk ke kamar pimpinan dan menikmati sejenak bundaran Tugu Muda atau bekas Tama Wilhelmina. Dan perjalanan dilanjutkan ke sebuah lorong tangga.

Pemandu: "Ya ini ada tangga apartemen yang digunakan ketika mengerek makanan."
Saya: (What the... Apartemen?)
Pemandu: "Ini adalah kamar apartemen Maria di Ayat-Ayat Cinta."
Saya: -.-! (No more Ayat-Ayat Cinta! Mana wisata seramnya.....)

Dan kami naik ke lantai tiga. Okay, ini baru saya sebut seram. Di sebuah plafon luas dan suasananya sangat berbeda. Sangat berbeda. Hawanya. Aroma udaranya. Berbeda. Ini adalah teman pembantaian pada masa pendudukan Jepang. Ada juga mereka yang digantung di besi-besi plafon. Setelah itu kami juga melewati plafon kantor pimpinan dengan aroma kelelawar. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke gedung tambahan Lawang Sewu.

Pemandu: "Ya, ini adalah rumah sakit ketika Farid (Benarkan Farid? Apa Faris? Haris? Entahlah.-red)."
Saya: -.-! (Ayat-Ayat Cinta lagi!)
Rekan: Wah, pas syuting mas di sini ya?
Pemandu: (Senyam-senyum)

Pada akhirnya perjalanan di Lawang Sewu berakhir di sebuah lokomotif di depan gedung. Sayangnya, penjara bawah tanah yang terkenal itu sedang tidak dapat diakses. Dan perjalanan malam di Lawang Sewu dengan bonus napak tilas syuting Ayat-Ayat Cinta (yang saya tak pernah tonton) pun selesai. Dan saran saya mungkin bisa dibuat dua paket, satu napak tilas sejarah Lawang Sewu da satu lagi napak tilas Ayat-Ayat Cinta.

*Saya sebenarnya ada banyak berfoto hanya tidak di kamera saya...

Sabtu, 01 Mei 2010

Catatan Kuliner Koas Forensik (1)

Super Penyet


Memang tidak dapat dipungkiri lagi bahwa waktu 4 minggu di Semarang, oleh koas forensik juga dimanfaatkan sebagai waktu bernapas sedikit lega. Mungkin juga mendapat suasana yang berbeda dari Jakarta, menghabiskan waktu penuh di Semarang, juga tentunya dimanfaatkan untuk berwisata. Apalagi bila sebelumnya adalah koas siklus mayor yang juga menguras tenaga selama 10-11 minggu.

Salah satu wisatanya adalah wisata kuliner! Wisata olahraga mulut. Mungkin beberapa catatan ini berguna bagi mereka yang akan berada di Semarang:


  • Warteg Ibu Dewi, depan RS Kariadi di dekat Jalan Solo. Warteg yang lumayan untuk rasa dan harganya. Udang gorengnya cukup nikmat dan banyak pilihan makanan lain. Range harga sekitar Rp 5000-10000.
  • Super Penyet. Restoran sekitar Jalan Gajahmada. Yang mengagetkan bagi saya, makanannya cukup terjangkau antara Rp 10000-25000
  • Kantin Departemen Forensik. Ya cukuplah, nasi kotak 5000an. Gorengan 1500an. Juice 4500an. Belum ditambah ibunya yang lembbbuuuttt banget ngomongnya. Sampai ketika saya tak sengaja memecahkan botol teh, "Ndak apa-apa, mas". Waduh, jadi nggak enak..
  • Mie Lampung. Di dekat RS Kariadi. Harganya lumayan Rp5000-15000. Biasanya tempat kami makan sayur (karena makanan khas koas sering kurang serat). Kangkung cah tauconya lumayan. Untuk rasa, standar-standar saja.
  • Sapi Bali Semarang. Di Jalan Sibayak dekat Hotel Grand Candi di daerah Sisingamangaraja. Jelas sekali ini adalah makanan penuh dosa karena: enak banget, mahal, banyak lemaknya. Untuk iga bakar kecap saja seharga Rp35000+
  • Rumah Ijo. Sebelah Mie Lampung. Menu penyet. Harga lumayan murah, dan rasa standar. Namun yang enak banget adalah jus alpokat oreo... (seharga Rp 4500).
  • Delivery Lombok Idjo, menu ayam dan empal. Harga sekitar 10.000an. Rasanya enak dan apalagi para penikmat sambal. Saya memesan empal sambal terasi, enak. Tetapi menurut saya lebih enak di Super Penyet.
  • Nasi Ayam Bu Nyoto di depan sekolahan Pangudi Luhur Santo Yusup di Jalan Mataram. Ada si Eric dan Dedi yang mengantar ke sini. Makanan ala Semarang. Nasi dengan kuah santan, kuah sayur labu (?), dan potongan ayam. Harga Rp 8000.
  • Es Puter Conglik di dekat Hotel Horison Simpang Lima, jalan Ahmad Dahlan. Semacam es puter, ketika saya datang ada rasa cokelat, duren, leci, dan kelapa. Harga es krim duren 10000, non-duren 8000.
  • Nasi Pecel Yu Surip. Saya lupa dimana, karena saya hanya diantar saja oleh si Eric. Hehehehe... thanks sarapan paginya. Enak! Harganya Rp 5000.
  • Nasi Gandul Pak Subur di Jalan Ahmad Dahlan setelah RS Telogorejo dari arah Simpang Lima. Nasi dengan kuah daging sapi bersantan. Yang suka jeroan, bisa dipesan. Apalagi diiringi dengan penyanyi jalan yang bagus suaranya! Harga Rp 8000an.
  • Jagung Bakar Serut, sama di sepanjang Jalan Ahmad Dahlan. Ya, jagung bakar seperti biasa yang dilepaskan dari tongkolnya.
  • Lekker Paimo di depan Kolese Loyola, Jalan Karanganyar. Lekker cokelat, karamel, hingga telor sosis keju. Harga range Rp 1000-8000an. Dan tampaknya lekker ini legendaris dan ia tahu kita mahasiswa forensik dari Jakarta. Ketahuan kali ya gelagatnya hahahaha....
  • Asem-asem Koh Liem, tak jauh dari Kolese Loyola. Asem-asem itu semacam daging sapi kuah asam. Enak, dan ada juga menjual sate babi. Asem-asemnya seharga Rp 15.000.
  • Bakmi Titee Gang Lombok di Jalan Gajahmada samping bakery Swiss. Semacam bakmi, kuah, daging ayam dengan sayur. Lumayanlah, menurut saya. Harga Rp 12500.
  • Nasi Goreng Babat, ada di satu area Bakmi Titee. Menurut saya sih masih enakan nasi goreng babat di eat and eat, MKG5, Jakarta. Tapi bolehlah. Harga Rp 15000.
  • Es krim Toko Oen, di Jalan Pemuda di depan Mall Sri Ratu. Es krimnya sungguh luar biasa. Rasanya beda dan terasa asli banget. Apalagi rasa buah-buahannya. Memang harga agak mahal, tapi enak banget. Setaralah dengan harganya. Harganya berkisar Rp10000-17500an.
Dan ini adalah wisata pada 7 hari pertama dan sudah berhasil membuat berat badan saya naik 3 kg. =) Nantikan jilid keduanya.

Jumat, 30 April 2010

Memoar Ilmu Penyakit Dalam

No greater opportunity, responsibility, or obligation can fall to the lot of a human being than to become a physician. In the care of the suffering, [the physician] needs technical skill, scientific knowledge, and human understanding. . . .

–Harrison's Principles of Internal Medicine, 1950


Sekali lagi saya unduh kutipan dari edisi pertama Harrison's Principles of Internal Medicine pada tahun 1950. Terkadang kita tidak menyadari begitu penting sebuah tanggung jawab seorang dokter, apalagi seorang dokter muda, yang setengah dokter setengah bukan. Tanggung jawab dan membangun integritas seorang (calon) dokter menjadi pembelajaran.


Banyak hal yang dapatkan dalam sepuluh minggu bercokol di siklus ilmu penyakit dalam. Dan kembali sepuluh minggu yang berkesan. Ada sesuatu yang unik yang saya rasakan ketika menyelesaikan stase penyakit dalam ini, paling tidak suatu kebanggaan yang tidak penting, saya telah berhasil menyelesaikan tiga stase mayor berturut-turut, walaupun stase IKM saya masih berhutang ujian. Hahaha.... Tiga puluh dua minggu ini akhirnya telah saya lewati. Setengah tahun lebih saya sudah menyandang profesi koas. Dan satu tahun lagi akan selesai. Sungguh waktu yang tidak sebentar tetapi tidak terasa terlalu lama juga.


Mungkin baiknya kisah ini dimulai.


Menjadi Komandan Tingkat


Sebenarnya kata komandan tingkat tidak benar adanya. Tidak ada tingkat di sepuluh minggu ini. Yang ada mungkin ketua rombongan atau bagaimanalah sebutannya. Menjadi kepala ini memang bukan untuk pertama kalinya. Mengingat dulu sempat menjadi ketua kelas abadi saat akhir SD dan SMP. Menjadi komti sejenak untuk satu semester pun pernah di semester 3 saat kuliah preklinik, dan akhirnya berkarir di badan eksekutif mahasiswa. Bukan suatu hal yang mengagetkan tetapi menjadi komti di stase ini menjadi perjalanan yang luar biasa.


Bersama dengan 42 rekan dokter muda menjalani stase ini bukanlah yang mudah, lagi-laginya. Berbicara, berinstruksi pun menjadi tak semudah dulu. Bahkan menjadi yang saya bergeleng dan mengelus dada, suatu hal sederhana,"Menjaga Kebersihan". Mungkin inilah namanya bagaimana berinteraksi dengan pribadi dewasa, atau berinteraksi dengan pribadi tak seminat yang heterogenik. Namun inilah tantangan, mungkin yang akan saya temukan di masyarakat yang jauh lebih heterogenik. Namun saya tetap memberikan wanprestasi pada mereka dan stase ini dapat berakhir dengan baik.


Pengalaman yang tak terlupakan ketika saya dipanggil oleh dosen. Pengalaman yang berhasil membuat saya palpitasi sejenak, hiperhidrosis pula. Namun pada akhirnya menjadi impresi. Hal yang membuat menghela nafas adalah semua berakhir baik-baik saja.


Menjalani Stase


Menjalani stase ini juga mempunyai suatu harapan. Menjadi dokter penyakit dalam dan kardiolog masuk ke dalam perkiraan peminatan kelak. Artinya saya perlu bekerja lebih keras untuk itu. Mudah-mudahan tercapai. Namun, lagi-lagi hal terkesan saya pun kembali pada pasien. Saya berjumpa dengan berbagai pasien. Dari mereka yang kronis, keracunan zat, hingga hanya perlu tanggapan. Mereka sakit kronis, mereka perlu semangat menjalani pengobatan yang lama.


Saya lagi-lagi bertemu dengan pasien sekampung halaman. Awalnya saya kira pasien ini sulit diapproach karena tampak gelisah dan kurang kooperatif. Saya dan teman saya yang bertanggung jawab atas pasien itu menghampiri dia dan ternyata dia dari Pontianak, maka cobalah saya menggunakan bahasa setempat dan setelah itu komunikasi berjalan sangat baik.


Menjalani stase ini juga penuh banyak memberi pelajaran adaptif. Dengan bahan penyakit dalam yang banyak dengan sub-subnya saya mesti memilah mana yang sekiranya saya perlu pelajari dan tentunya strategi yang sulit. Karena tentu saja tak mungkin bisa melahap semua dalam 10 minggu.


Carolus!


Menjalani stase di Pelayanan Kesehatan Sint Carolus juga adalah keberuntungan. Dengan adanya perombakan nama, akhirnya saya ke Carolus. Di sana memang paparan pasien langsung lebih sedikit, namun apa yang saya dapatkan adalah pelajaran bagaimana kehidupan seorang dokter, gaya seorang dokter, karakter seorang dokter. Sebuah filsafat.


Memang sehari-hari letih. Pulang larut malam. Tetapi semakin lama semakin dibawa enak dan dibarengi rekan-rekan yang menyenangkan. Sekranya tidak menjadikan waktu menjadi halangan. Ilmu-ilmu pun dibawa dan diarahkan menjadi berorientasi pada jurnal yang terakreditasi. Suatu hal yang perlu pembiasaan. Dan satu hal yang sangat penting pula, kami diajarkan bagaimana menyadari diri bahwa ada hal yang tidak tahu dan bagaimana mencari solusi atas itu.


Menjalani hari di ruang endoskopi, tutorial, mengikuti visite satu rumah sakit, makan siang dan malam bersama rekan sejawat (tuan muda, tuan puteri, nenek degeneratif, si sipit, si tonggos) dan dokter observer, menjadi hari-hari bernilai. Dan pada akhirnya di hari terakhir, terasa memang hari berjalan begitu cepat dan pada akhirnya kenangan Carolus membekas.


Pada akhirnya


Pada akhirnya menjalani ujian yang panjang, saya telah melalui stase ilmu penyakit dalam. Dan saya mendapat banyak hal di sini.

Minggu, 25 April 2010

Semarang, aku datang.

Lawang Sewu, sebuah landmark Semarang


Siklus ilmu penyakit dalam sudah selesai, dan dimulailah siklus ilmu kedokteran kehakiman atau forensik. Seharusnya, tulisan ini adalah sedikit memoar mengenai kejadian di ilmu penyakit dalam. Tapi nantilah tunggu ada masanya.

Hari ini dimulai dengan perjalanan kami 19 orang dari Atma Jaya, berkumpul di Soekarno Hatta, menaiki Boeing 737-900ER baru dari Lion Air menuju Ahmad Yani Semarang.

Yap, Semarang. Kota yang dalam impresi saya mirip Medan, dulu ketika saya menghadiri Temilnas BAPIN-ISMKI 2008. Jelas, lebih besar dari Pontianak. Kotanya padat dan sedikit asing bagi saya, mungkin saya yang tidak terbiasa dengan satu kota berlogat Jawa. Hahaha... karena terbiasa dengan logat Betawi di Jakarta.

Saya pun telah melihat beberapa tempat yang ingin dikunjungi, Sam Poo Kong, Lawang Sewu, dan jelas RS dr. Kariadi yang akan menjadi rumah kedua selama satu bulan kepaniteraan forensik ini. Dan saya pun mengambil tempat singgahan di Jalan Solo, tak jauh dari RS. Kamar yang saya tempati memang relatif kecil, namun besar harapan akan menjadi rumah yang mengasyikkan dan akhirnya tetap menjadi suatu kerinduan.

Dan Semarang, semoga kepaniteraan ditempatmu ini berkesan!

Selasa, 20 April 2010

Med-life: Berkorban, Mengorbankan?

Ada hal menarik yang dituliskan oleh Kendra Campbell di Medscape Student. Ia mengisahkan bagaimana hidup seorang mahasiswa kedokteran sangat dipengaruhi oleh hal kedokteran. Bagaimana belajar kedokteran itu menggunakan banyak waktu, membuat banyak pengorbanan, membuat sesuatu yang berlainan, sehingga penghuni di dalamnya perlu membuat perubahan atau penyesuaian kehidupan di dalamnya.

Belajar kedokteran adalah pengorbanan lebih. Waktunya yang lama. Tanggungjawab yang besar. Dunia yang berbeda. Di kala minggu, mungkin orang kebanyakan berekreasi, namun seorang dokter jaga mesti berekreasi di rumah sakit. Mungkin hal ini kalau dilihat secara umum, orang akan berpikir, "Kasihan benar, harus bekerja di hari libur." Atau mungkin diri sendiri berpikir demikian, "Kasihan saya." Namun di dalam prosesnya orang akan berusaha menggeserkan pokok pikiran seperti itu untuk berusaha menikmati tugas jaganya itu, walaupun di sisi lain orang dapat berpesta melepas tanggung jawab, seorang dokter perlu mengemban tanggung jawab.

Apakah kehidupan kedokteran merasuki orang di dalamnya? Iya. Setidaknya itu yang saya amati. Seorang dokter tetap menjadi dokter ketika ia sudah berada di rumah. Ia tetap ditelpon untuk konsul, jam berapapun, saat ia sedang apapun. 24/7 kehidupan tercurah. Sekali lagi, yang diperlukan adalah adaptasi yang sungguh luar biasa dan mungkin kemampuan untuk berlapang dada dan legawa untuk menerima tugas yang ada, dan haram untuk bersungut-sungut. Dokter saya samakan dengan tentara, ia harus siap sedia kapanpun.

Dari tulisan Kendra dan tanggapan dari mahasiswa kedokteran di seluruh dunia yang tercermin dari komentar tulisan tersebut, saya mendapati bahwa hal yang tak kalah penting adalah dukungan dari orang-orang sekitar. Dukungan tentu tak hanya sekedar dukungan, namun pengertian yang sungguh luar biasa terhadap kehidupan seorang (calon) dokter. Kehidupannya akan berbeda. Pengorbanan orang di sekitarnya, amat sangat diperlukan.

Bahasa itu Penting!

Saya menyukai bahasa. Mempelajari bahasa adalah mempelajari budaya suatu bangsa. Dan saya tidak pernah menyesal mempelajari bahasa.

Tentunya saya harus bisa menggunakan bahasa Indonesia, karena ini adalah bahasa resmi di negara saya. Saya harus bisa dalam tahap yang "gape", yaitu bahasa bisa digunakan dalam bahasa cakapan hingga bahasa ilmiah. Bahasa Inggris tidak terlalu baik, saya masih menggunakan secara pasif untuk akademik. Bahasa Mandarin pernah saya pelajari sejak kelas 4 SD hingga SMP dan masih bisa saya gunakan sedikit untuk cakapan sehari-hari. Bahasa Jerman pernah dipelajari juga tapi sayangnya tak selesai dalam kelas Zertifikat Deutsch-nya. Bahasa lain saya pelajari secara otodidak.

Saya menyadari bahwa bahasa adalah sesuatu yang teramat penting. Apalagi saya akan bekerja sebagai profesi yang memerlukan komunikasi dan berhadapan langsung antarpersona.

Saya baru mendapatkan tadi seorang pasien asli RRC yang baru saja pulang dari Pontianak dan mengalami demam 1 minggu. Ia saat itu membawa penerjemah, dan pada akhirnya penerjemah itu hilang, saya diminta untuk memberitahunya untuk menampung urine dan fases di botol bukal. Apa daya saya mencoba menggunakan bahasa yang saya tahu: "Xien shen, ru guo ni yao da bian he xiao bian, ni na zai zhe li. Ru guo hao le, ni ge yi gao xu wo men yung zhe ge (sambil nunjuk bel)." Bahasa yang aneh, gado-gado, nggak jelas. Tapi dia bisa mengerti juga.

Dulu juga terdapat pasien rekan yang berasal dari Pontianak, saya mengajaknya berbicara Tio Ciu, bahasa ibu di Pontianak. Memang, seketika suasana langsung berubah. Suasana kian akrab, seakan kami adalah keluarga yang sudah lama tak berjumpa.

Memang bahasa itu penting, itu kata bapak saya. Saya pun mengangkat jempol kepadanya. Ia menunjukkan kemampuannya bergaul dengan orang lain mulai dari bahasa dan komunikasi. Hal ini juga membuat saya berpikir untuk perlu mengembangkan bahasa ketika saya sudah menyelesaikan pendidikan kepaniteraan klinik ini. Mudah-mudahan bisa! =)

Rabu, 07 April 2010

Tidak Sengaja Menjadi (Calon) Dokter

Ada sebuah grup di situs jejaring Facebook yang unik, namanya Gaster (Ga Sengaja Jadi Dokter). Di dalamnya bayak cerita-cerita bagaimana mereka yang pada awalnya tidak ada pikiran menjadi dokter dan akhirnya terdampar di Fakultas Kedokteran dan tak sedikit yang berhasil bertahan hidup. Seperti yang pernah saya tuliskan bahwa, dokter bukanlah cita-cita saya sejak dulu. Saya ingin menjadi insinyur. Adapun dipikiran saya, insinyur adalah profesi yang mengagumkan. Membangun rumah, membangun gedung bertingkat bak di Jakarta. Menakjubkan.

Adapun suatu proses yang berjalan... Bahwa hingga saya SMP pun belum ada terpikir untuk menjadi dokter, yang ada ingin mencoba yang "menyimpang" (dalam artian tidak biasa di keluarga, mungkin saya yang pertama mempunyai profesi itu kelak di keluarga). Anggaplah wartawan. Sebuah pekerjaan yang menyenangkan, menulis mendeskripsikan pikiran, turun ke lapangan, mengamati lingkungan, bisa pergi ke mana saja. Tetapi sepertinya hal ini tidak cukup baik untuk diterima di keluarga. Sempat terpikir agak jauh, bagaimana bila menjadi rohaniwan? (Hahahaha....)

Adapun saran untuk menjadi dokter mengerucut di SMA, memperoleh segala pengalaman seperti mengunjungi panti asuhan, dan lainnya dan melihat begitu dapat luhurnya seorang dokter. Dan dukungan yang besar dari orangtua akhirnya saya menjejakkan kaki di FK. Tetapi selama di FK, masih banyak hasrat untuk melakukan yang lain. Entah itu menulis, berolah komputer, berjalan-jalan ke tempat baru dan jauh... Asia Timur, Eropa, Indocina... Hmmm....

Banyak impian yang sebenarnya bisa disebutkan "terhambat" ketika menjalani pendidikan dokter yang sangat padat (alias sedikit waktu luang, itupun banyak untuk tidur hahaha) Adapun hasrat ini disimpan dalam-dalam dan berharap agar dapat dikeluarkan di kemudian hari ketika waktu memungkinkan.

Ada sedikit keinginan agar pendidikan ini selesai, agar dapat melakukan hal lainnya... Ya bukan berarti tidak menikmati pendidikan ini. Tetapi mungkin sudah agak jenuh dengan pendidikan yang hampir 5 tahun ini. Dan saya tetap mengumpulkan semangat dan menjalani arung kehidupan.

Jumat, 02 April 2010

Pikiran akan Waktu


Pernah saya berpikir bahwa menjalani koas bukanlah masa yang membuat keilmuan kedokteran terserap sedemikian rupa. Koas, dalam masa 1,5 tahun adalah masa teramat singkat untuk menghabiskan tiap lembar buku teks kedokteran. Terlihat mustahil? Ya, memang mustahil. Namun saya menyadari bahwa, waktu koas bukan untuk demikian. Namun untuk bagaimana para dokter muda menyelami pengalaman, menggodok dalam otaknya, dan membuat caranya dalam menjalani kehidupan menjadi dokter. Pengalaman di sini adalah pengalaman yang tak tertulis di buku teks apapun atau yang selengkap apapun, yaitu cara berpikir, cara hidup, dan cara bertindak. Salah satu dari cara hidup adalah bagaimana menghabiskan waktu sebagai dokter klinisi.

Cara dokter klinisi menggunakan waktu mereka. Kehidupannya ketat dan tak jarang pulang malam. Bekerja dalam poli, bekerja dalam bangsal, belum lagi sebagai dosen pengajar dokter muda. Waktu berjalan begitu berdempet. Makan pun tak jarang begitu cepat, dan bekerja begitu keras, telepon genggam terus menerus berdering karena panggilan dari bangsal.

Bela saya, mungkin ini kembali lagi kepada tipe orang masing-masing, namun dalam pandangan saya sebagian besar pun demikian. Entah ini adalah patognomik untuk dokter? Saya pun berpikir dulu saya sebagai aktivis mahasiswa pun "dicap" sebagai pecandu-kerja, dan mengundang banyak tanya. Dan saya kembali melihat hal seperti ini dan tidak jauh berbeda seperti saya dulu, menurut saya. Saya pun merenung lagi, bagaimana kehidupan saya kelak? Apalagi saya sendiri pun tak jarang kelimpungan mengatur waktu di koas, hingga kehidupan hanya berkisar antara belajar di rumah sakit dan tidur di rumah. Apakah kehidupan dokter demikian, atau mungkin, secara deduktif, apakah seperti inikah dunia kerja?

Dan saya pun kembali berpikir. Saya akan seperti apa kelak?

Jumat, 26 Maret 2010

Diagnosis ala Google: Ancaman?

Sumber gambar: http://www.murtiindahsentosa.com

Disela waktu setelah morning report hari ini, saya tidak sengaja mendapat jurnal dari NEJM mengenai pengaruh perkembangan teknologi kedokteran dikaitkan dengan hubungan tradisional dari relasi pasien dan dokter. Dalam salah satu referensinya, ada judul yang menarik perhatian, Googling for a diagnosis - use of Google as diagnostic aid: internet based study yang diterbitkan oleh BMJ tahun 2006 yang ditulis oleh Tang dan Ng dari Australia.

Mereka bercerita bahwa mereka memiliki pasien laki-laki berusia 16 tahun dengan trombosis vena subklavia akut. Ketika dokter tersebut berusaha menjelaskan diagnosa kepada keluarga pasien, sekonyong-konyong ayah dari pasien tersebut berceletuk, "Itu sindroma Paget von Schroetter" Ia mendapatkan sindroma itu dengan menelusuri gejala klinis anaknya di bar google. Kemudian ia dapat menjelaskan patofisiologi singkatnya. Setidaknya ini mejadi buah pikiran bagi dokter, sejauh mana pencarian di google memberikan hasil diagnosa yang tepat.

Clinical decision support (CDS) memang menjadi pembicaraan. Dikala spektrum penyakit begitu banyak, CDS menjadi masalah etis dan non-etis, serta berkaitan apakah hal ini akan mengganggu keprofesian dokter. Sudah banyak CDS yang dikembangkan dari CDS mengenai nyeri abdomen, CDS Addison disease. Tang dan Ng menemukan bahwa 58% kasus benar "didiagnosa" oleh google. Apalagi google dapat menjadi CDS yang inklusif, karena google dapat diakses oleh sesiapa saja untuk apa saja. Apalagi hal ini ditunjang dengan distribusi akses jaringan internet yang kian meluas.

Internet menjadi dua muka, antara pasien dapat mencari data selengkapnya sehingga dapat saja melebihi apa yang diketahui oleh dokter. Dokter pun harus bisa legawa, terus memutakhirkan ilmunya agar dapat terjadi relasi yang ekuivalen. Dan pasien pun harus bisa menempatkan relasi setara, tanpa chauvinik satu sama lainnya.

Selain itu kita pun perlu mengingat adanya hak dan kewajiban legal, hak keprofesian dokter, bahwa hal ini tetap menempatkan posisi dokter yang mantap. Begitu juga dengan pasien. Maka seharusnya relasi ini sekali lagi tetap ekuivalen, dan tidak ada pihak yang menjadi objek penderita. Dan dokter ataupun pasien tidak perlu untuk takut dengan kehadiran teknologi apapun, CDS apapun.

Kamis, 18 Maret 2010

Rekan Jaga Malam

Sepertinya saya belum pernah cerita soal jaga malam di sini. Jaga malam sebenarnya adalah keseharian yang menjadi rutinitas para koas. Ada yang dua hari sekali hingga empat hari sekali. Tiap kali jaga ada yang seorang diri dan ada pula yang sepuluh orang bersama.

Memang jaga malam seyogyanya dalam ketentuan akademiknya, kita belajar lebih banyak, saat berinteraksi dengan pasien yang lebih intens, belajar menikmati suasana klinik dan rumah sakit di luar jam akademik lain seperti presentasi kasus atau ronde pagi.

Yang sebenarnya ingin saya tuliskan, bahwa jaga malam juga adalah saat interaksi yang lebih jauh dengan teman sejawat sehingga membuat saat penuh kisah dan cerita. Banyak hal-hal unik dan pribadi di sini.

Kasarnya, rekan jaga malam adalah rekan seatap, rekan satu kamar, rekan sepenanggungan. Rekan yang bisa diajak cerita dari cerita bodoh hingga curahan, rekan yang bisa meributkan makan malam yang hendak dipesan, rekan yang bisa berlelucon saat membagi jadwal jaga. Adapun rekan juga yang bisa diajak berebut bantal dan kantong tidur. Atau berebut remote AC ketika ada yang kedinginan dan kepanasan. Sungguh unik dan luas, peran dari rekan-rekan jaga malam.

Ada yang bilang, di koaslah taring terlihat. Pribadi-pribadi menjadi terbukakan, hingga ada yang menyebut bahwa "tidak ada cinta di antara sehidup semati koas". Ya, intinya bahwa hubungan yang ada cukup erat.

Ya seperti rekan-rekan satu kelompok jaga malam di interna ini. Saya mungkin tak akan tahu ada rekan yang toa dan cerewetnya minta ampun dengan rekannya yang selalu menggeplak dia. Ada rekan yang menggunakan aritmatika 2x+y=89 untuk menghitung harga sepotong martabak manis dan martabak telor, serta ingin berfoto -kiyut-kiyut-. Ada rekan yang mabuk (jelas bukan dalam artian mabuk alkohol, namun suasana yang membuat hilang tenaga) dan tidak niat makan saat jaga malam pertama selama hidupnya. Ada rekan dengan lelucon "me-Rumple Leede" leher. Rekan yang seringkali kehilangan apapun itu dari stetoskop, tensimeter, hingga pemutar musik -yang akhirnya ditemukan juga. Ada yang selalu sigap dengan kantung tidurnya. Ada yang selalu mengambil sapunya membersihkan kelas saat jam jaga tiba. Ada yang hompimpah untuk menelpon delivery makanan. Ada yang kebelet defekasi (BAB-red) saat tengah menelpon delivery. Ada yang selalu diapelin oleh kekasihnya saat jaga malam. Begitu warna-warni kehidupan koas.

Kehidupan jaga malam pun dapat melelahkan, apalagi ketika pasien baru datang dalam jumlah yang tak sedikit. Waktu tidur memang berkurang, namun menjadi cerita unik di pagi harinya dan mencoba menebak dan mencenayang, gara-gara muka siapa yang mengundang pasien?

Jaga malam adalah suatu rutinitas kehidupan koas, namun begitu berwarna, begitu unik.
Mengutip salah satu status facebook saya:

Seperih apapun hidup seorang koas, tawa dan riuh rendah teman sejawat menjadi obat.


Dan kelompok jaga malam ini telah berakhir dua hari lalu, dan berharap bahwa keriangan ini dapat terulang di kemudian hari.

Sabtu, 13 Maret 2010

Akhir Hayat



Aku sudah di akhir jalan Ya Tuhanku
Aku telah memprasahkan diriku dalam rintihanku
Aku memang telah sakit Ya Tuhanku
Sakit di masa mudaku, terluka di dalam batinku

Aku kini teringat sejenak
Ketika kemarin baru saja aku bersenda bersama sanak
Menikmati makanan enak
Ini adalah dunia

Aku kini dalam sebuah paradoks
Badanku tak dapat sedikitpun aku gerakkan
Di dalam kerongkonganku terpajan selang
Dan bunyi mesin yang menakutkan itu selalu kudengar
Mata ini tak dapat kukedipkan jua
Bahkan rintihanku takkan terdengar pada mereka yang mengelilingiku

Aku hanya berserah padamu Ya Tuhanku
Tak lambatkah aku mengakui kealpaanku
Aku tak ingin apa-apa lagi Ya Tuhanku
Hanya ingin agar Kau dapat menerimaku

Bunyi mesin itu kudengar berbeda
Iramanya semakin cepat bagai penanda
Aku merasa dadaku ditekan berirama
Dan resahan serta tangis dari sanakku mereka

Kini
Aku tak dapat mengelak lagi Ya Tuhanku
Aku siap menghadapiMu
Inilah akhir hayatku

Jakarta, 13 Maret 2010, 00:20 WIB
Bagi semua mereka yang telah berpulang

Jumat, 05 Maret 2010

Hadiah dan Doa Pasien

No greater opportunity, responsibility, or obligation can fall to the lot of a human being than to become a physician. In the care of the suffering, [the physician] needs technical skill, scientific knowledge, and human understanding. . . .
–Harrison's Principles of Internal Medicine, 1950

Ini adalah sebuah tulisan di malam hari di dalam dinas jaga malam di bangsal interna. Di kala 4 jam lagi matahari akan segera terbit. Seharusnya kini saya dalam jatah tidur saya sebelum harus bangun untuk melakukan follow-up pasien.

Ada sebuah hal yang menarik, sebuah hal yang pertama terjadi pada saya. Sebuah hal yang akan diingat dalam karir saya.

Adalah sebuah hal yang tidak disengaja atau direncanakan. Syahdan, seorang rekan saya mau memfollow-up pasien di bangsal lain yang tengah melakukan rawat bersama antara interna dan bedah. Saya hanya menawarkan diri untuk ikut. Ya, sekedar menyertai saja. Setelah itu di bangsal bedah, tampak seorang yang menuju usia tuanya. Berambut putih, berbadan tegap. Ia baru saja dua hari yang lalu melakukan TURP, sebuah operasi untuk membantunya mengatasi pembesaran prostat jinaknya. Dia begitu tenang, tersenyum, dan mempersilahkan kami. Tak lama hanya berbasa-basi, kemudian ia berkisah akan kejadian masa kecilnya, di tahun 1942. Ketika ia berpencar karena sebuah khaos dalam lingkungannya. Saya sendiri tidak begitu mengerti dan saya hanya mengangguk, tanda saya tengah menyimak. Tak lama ia berceloteh, "Kalau kalian sudah menjadi dokter yang sukses, kelak saya akan berkisah bahwa saya pernah dirawat oleh kalian." Sebuah doa yang baik. Sebuah kata yang terus terang jarang saya dengar dari pasien, apalagi kepada kami, para dokter muda.

Tak hanya sampai di situ, tiba-tiba ia bertanya di mana kami tinggal, saya menyebut bahwa saya orang dari Kalimantan, dan kisah pun terus berlanjut hingga legenda yang pernah ia dengar mengenai seorang dokter asing di pedalaman gunung Kalimantan. Kadang pembicaraan tidak ada kaitannya, namun semua berjalan begitu lancar. Memang berbicara seperti ini, masih lebih sulit bila anamnesis. =)

Kemudian rekan saya ingin meminta pendapat soal rhonkinya. Dan di tengah saya memeriksa, ia tiba-tiba mengambil sesuatu dari lacinya. Ternyata, dua buah apel dan jeruk yang ia tak makan. Kami sempat kaget, bahwa ini akan diberinya. Siapa kami, sehingga ia berbuat demikian? Dan kami pun berterima kasih atas pemberian kecilnya. Terkadang mungkin terlihat aneh, namun bagi saya sendiri, ini memiliki arti.

Kemudian saya pun turun, kembali ke bangsal, dan menghampiri pasien yang menjadi penanganan saya di atas pengawasan konsulen. Seorang ibu muda, yang tengah sakit. Saya hanya berbasa-basi, kemudian berlanjut menjadi bercerita, dan hingga sesuatu yang tidak ada dalam alur anamnesis apapun. Beberapa hal yang tak pernah ia sampaikan pada siapapun dan ia pendam sendiri, tercurah. Hal yang sudah saya tulis di status, ada beberapa yang perlu direvisi karena fakta. Hingga di akhir bercerita, ia mengatakan, "Terima kasih dok, sudah mendengarkan." Saya merasa sesuatu yang berbeda dari ucapan ini. Sesuatu hal yang agak chauvinik sebenarnya. Saya merasa bahwa saya pun bermain peran dalam hidupnya, dan untunglah peran yang memberi arti dan baik baginya.

Inilah yang berkesan bagi saya pada jaga malam kali ini. Dan saya pun terus berharap agar saya pun dapat kelak memberi kontribusi positif pada mereka.

Tact, sympathy, and understanding are expected of the physician, for the patient is no mere collection of symptoms, signs, disordered functions, damaged organs, and disturbed emotions. [The patient] is human, fearful, and hopeful, seeking relief, help, and reassurance.
–Harrison's Principles of Internal Medicine, 1950

Jumat, 26 Februari 2010

Api Tetap Hidup

Tidur memang cukup, tapi badan merasa tidak enak.
Pikiran tak terawang.
Kepala rumit, benang sukar.
Dan diri ini tetap berusaha memantikkan api,
Agar ia tetap hidup.

Minggu, 21 Februari 2010

Kasih Ibu: Tak Layakkah Dibalas?

Tulisan ini adalah tulisan yang mendadak dan begitu spontan. Ketika di bangsal rumah sakit, terdapat seorang oma yang dapat dikatakan tua renta. Umurnya tak muda lagi, 82 tahun. Badannya begitu terkulai lemah, tak berdaya. Badannya dulu mungkin gemuk, karena itu yang tersisa dari masa mudanya selain disertai dengan segala raut wajah tua yang menghiasinya. Matanya sayu dan cenderung untuk selalu tertutup, entah mungkin untuk meratapi segala nasibnya. Frase yang keluar dari mulutnya hanya gumaman yang sedengarnya bagaikan rintihan. Dia sudah lama terbaring di rumah sakit. Tubuhnya yang lemah kian digerogoti oleh usia tuanya.

Bukan itu sebenarnya, yang saya pikirkan. Pikiran ini muncul ketika saya melihat ke jam tangan dan ternyata sudah saatnya melakukan pemeriksaan tanda vital semua pasien. Mulailah saya menenteng satu kantung tensimeter dengan stetoskop terkalung. Saya mulai dengan kebiasaan menyapa. Seperti biasa sang oma hanya terkulai. Ia sedang bersama anaknya, tebak saya, atau paling tidak menantunya. Sang wanita muda itu tengah menyuapi bubur kepada oma. Sebuah hal yang cukup miris, bagi saya, ketika wanita muda itu bertindak kasar padanya. Ia hanya menukas "Ma, ayo makan!" dengan nada tinggi. Caranya untuk meminta membuka mulut pun tak pantas. Begitupula ketika sang oma enggan memakan sesuatu.

Saya memang dalam posisi tak layak untuk berkomentar. Saya hanya dokter muda yang tengah ingin memeriksa. Tetapi dalam pikiran saya luluh lantak. Tak bisakah engkau sabar padanya? Tak bisakah engkau lembut padanya? Ia yang dulu merawatmu atau suamimu hingga dapat besar seperti ini. Tanpa dia, siapa engkau? Tanpa belas kasihnya, mungkin engkau tak di sini. Tanpa pantang menyerahnya menghadapi kerasnya hidup, mungkin engkau pun tak bisa seperti ini. Kalau ia menyerah merawatmu dulu, kamu takkan bisa hidup.

Ibu tak mengharap apa-apa, inilah yang pernah diucapkan oleh ibu saya. Tidak perlu harta mewah, tak perlu cincin permata disetiap hari jadinya. Ia dalam hati mungkin berkata, air susuku tak perlu dikembalikan. Begitu ikhlas! Namun tak layakkah hal ini untuk dibalas? Tak pantaskah kalau kita pun bersikap lembut dan pantang menyerah ketika ia sudah tak berdaya di masa tuanya. Dan yang terpenting adalah, buatlah ia percaya dan bangga bahwa benar kita adalah anaknya.

Sabtu, 20 Februari 2010

Minggu Pertama Interna

Akhirnya, interna.

Dalam minggu ini saya telah tiba di Interna, alias Ilmu Penyakit Dalam. Suatu stase yang juga saya awali dengan perasaan harap-harap cemas. Apa mungkin saya setiap masuk ke stase baru selalu mengalami hal yang serupa. Banyak hal baru yang dialami. Dimulai mengemban amanah menjadi kepala kelompok, membangun hubungan dokter-pasien yang baik, mendapat pengalaman baru. Namun, yang berkesan adalah yang kedua. Saya mendapat pasien pertama yang konon tak lazim penyakitnya. Dengan tanda ini, saya mencari bahannya di jurnal, hanya sekitar 40 kasus yang diketahui dan tercatat. Dan, pengharapannya hanya satu, semoga ia baik-baik saja.

Sabtu, 13 Februari 2010

Perut yang Progresif

Ada sebuah anekdot. Ia menyebutkan bahwa: "Justru Dokter yang Sulit Menjaga Kesehatan Dirinya Sendiri". Entah benar atau salah, entah apakah ini adalah pembenaran sinistik, atau apa? Kemudian ada juga yang menyebutkan bahwa dokter pria memiliki kemungkinan 40% lebih tinggi dari risiko bunuh diri dibandingkan pria umumnya. Begitu pula, dokter wanita memiki kemungkinan risiko 140% lebih tinggi. (Center et al, 2003 dan Schernhammer et al, 2004), Mungkin gampangnya begini, dari jumlah 10 orang pria dari populasi umum yang bunuh diri, 14 orang dokter pria bunuh diri. Dan dari jumlah 10 orang wanita dari populasi umum, maka 24 orang dokter wanita bunuh diri. Mencengangkan?

Sudahlah itu soal bunuh diri-bunuh dirian. Mengenai kesehatan umumnya pun tak sedikit yang mengalami kesulitan. Kita ambil salah satu indikator antropometrik, IMT misalnya. Tak sedikit yang IMTnya overweight atau obese (saya?).

Ya, saya mengakui salah satunya saya. Perut yang melegenda sejak akhir-akhir pendidikan pre-klinik. Tak hanya "dipuji" oleh sesama sebaya, bahkan perut ini pun diketahui dosen dan pimpinan. Begitu hebohnyakah perut saya? Hahaha...

Saat saya lulus dari Kanisius, perut saya masih kisaran 70an kilo. Kini orang yang tengah mengetik tulisan ini berbobot 85 kg. 10an kilogram bertambah. Dalam statistik, mungkin ini standar deviasi yang jauh dibandingkan rerata bobot saya selama ini.

Perut yang siap diapapun (termasuk dibully). Keuntungannya, bisa menjadi probadus Leopold. Tingginya masih di antara processus xiphoideus os Sternum dan umbilikus. Ya, anggaplah 6-7 bulan kehamilan. Perut ini juga tergolong dalam bamilresti (bapak hamil resiko tinggi) yang perlu mendapat pelayanan antenatal hingga indikator K-8 (Kunjugan ke-delapan).

Perut ini pun sempat disindir, Perut IT. Ya salah satu dosen berkata: "Wah, Hau gemuk sekali. Mungkin gara-gara kebanyakan main komputer, duduk saja." Tak juga ada perkataan ilmiah, "Hau, Perut Saudara sangat progresif".

Boleh ditanya, bahwa tiada hari tanpa membicarakan sang perut. Bahkan ibu saya selalu (saya saja sampai bosen) mengingatkan: "Kalau bisa fitness, di sebelah kampus kan ada Celebrity Fitness." Saya masih mengingat dulu (2 tahun lalu?) bahwa ibu saya begitu gembira ketika mendengar bahwa fitness akan dibuka di sebelah kampus. Sayangnya harapannya masih tak tercapai. Karena, "Waduh koas kan sibuk....", tukas saya.

Saya sendiri masih membingungkan diri saya. Tilikan saya akan kegemukan ini, saya masih dalam tahap tilikan yang sadar sesadar-sadarnya, bahwa keadaan ini salah. Bahwa kondisi badan saya tak baik. Bahwa saya memiliki resiko tinggi pada penyakit jantung koroner, stroke, perlemakan hati.

Tapi perut ini kian membesar, karena lambung yang cepat mengosong (salah lambung sekarang?). Hahahaha....

Ya mudah-mudahan saja, setelah koas ini, perut dapat mengecil (optimis atau pesimis?)


Jumat, 12 Februari 2010

Memoar IKM: Oncom dan Peneguhan

Hari ini, 12 Pebruari 2010, akhirnya saya menyelesaikan rotasi Ilmu Kesehatan Masyarakat. Hari diselesaikan dengn ujian tutor dan masih menyisakan hutang kami, sebuah ujian yang harus dilaksanakan saat setelah seluruh rotasi berakhir. Yup rotasi yang dijalankan dari 30 November 2009 memberikan kesan bagi saya. Sebuah kesan yang menarik.

Rekan-rekan Sableng, Luar Biasa, dan Oncom

Belajar atau... Tidur?

Kami bersembilan belas. Sebuah kelompok yang cukup, namun tetap saja sering dikatakan "rombongan pasar" karena ributnya minta ampun. Dan saya juga pertama kali bertemu dengan rekan-rekan yang belum kenal sebelumnya dan ada juga beberapa yang sudah pernah berjumpa di siklus Bedah.

Memang pada awalnya kelihatannya adem-ayem. Masing-masing bak belum menunjukkan taringnya. Namun sembari berjalannya waktu, mulailah bisnis peroncoman. Oncom? Yup, sebutan khas dari Michelle yang konon sebagai pronomina pengganti kata "o-on", dan akhirnya melegenda di IKM. Panggilan itu tak hanya kepada seseorang dan bahkan siapapun bisa menyandang nama "oncom". Oncom sudah seperti "panggilan sayang". Akhirnya guyonan oncom-oncoman semakin naik daun. Dan, mungkin sejak saat itu, suasana mencair.

Mungkin saya dulu tak pernah mengenal mereka dan hanya sebatas sapa. Namun riuh-rendah telah dimulai.

Ice Breaking

Di IKM, memang waktu lebih luang dibandingkan rotasi yang berbasis bangsal rumah sakit. Jam 13:00 adalah waktu pulang. Dan tak jarang waktu-waktu ini dimanfaatkan untuk apapun. Sebut saja: makan di Pluit Village, makan di Emporium, makan di Kantin, karaoke di Pluit Junction. Tampak hedonista ya? Tapi suasana semakin pecah di saat-saat itu.

Dengan semua hal-hal yang dilakukan, wajah ini kian ditelanjangi. Mungkin heran melihat saya yang "agak rakus" (salahkan lambung saya!), Michelle yang "makin dong-dong", Ririn dengan perilaku bayi sehat, Tia dengan kehebohan dan tawanya, Irene dengan kebawelannya, Stacy dengan aksi nekatnya, Ricky Pantat dengan salah satu asetnya yang merupakan yin-yang bersama saya, Andi Tan dengan ocehannya (makanya sempat masuk Pengadilan kan di?), Vonny dengan chichongfan dan nasi babi, Christ dengan paparazinya, Vani dengan "maaf ya..." dan semuanya rekan-rekan di IKM yang luar biasa. Tak lupa juga dengan kompetisi Plant Versus Zombie di kala senggang.

Tawa tak hanya berhenti saat bersama. Bahkan di Facebook dengan "banci comment-nya" menjadi penggerus duka.

Hiduplah dengan Ceria, Koas

Koas memang perlu ceria. Tak hanya murung, apatis, dan lainnya. Bahkan di kala kami mendapat kabar ujian tertunda, untuk apa terus bersedih? Ceria!

Makan-makan!

Begitu banyak banyolan aneh dari segala detik. Dari banyolan sehari-hari, banyolan saya sang best seller (penting nih ini didokumentasi), hingga banyolan a la Puskesmas Stacy. Eiittss... saya best seller? Iya! Hahahaha... Saya memiliki enam "Desperate Hau's Wife". Dasar poligami! Emang ini hanya lelucon, tidak ada benar-benarnya, salah luar biasa. Tapi ini hanya sekedar agar IKM kian ceria!

Apa yang Dilakukan, Sebenarnya?

Mungkin Anda bingung, dari tadi saya hanya menuliskan hal-hal sableng, banyolan, ceria. Apa sih sebenarnya yang dilakukan di IKM? Ya tugas pokok kami tetaplah sebagai koas. Pada minggu-minggu junior, kami melaksanakan program Sanggar Kegiatan Remaja Sehat (STARE) di RW 06 dan 16 Kelurahan Penjaringan. Ya sesuai dengan prinsip manajemen, kami merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi kerja-kerja kami. Selain itu kami juga mendapatkan tutor dari dosen pembimbing. Setelah itu di minggu senior, kami turun ke Puskesmas. Beberapa pengalaman saya di Puskesmas sudah sempat saya tuliskan di blog ini.

STARE di Kel. Penjaringan

Saya dan rekan di Puskesmas Kamal Muara

Saya mendapatkan banyak hal, dan yang terpenting adalah peneguhan saya terhadap kepercayaan diri saya sebagai dokter. Kemudian bagaimana turun ke masyarakat, menjadi dokter sejuta masyarakat. Berempati, mengolah komunikasi yang baik, dan melihat sistem kesehatan di negara ini.

Ohya, kami juga turut membantu bakti sosial dalam perlindungan anak jalanan dari Dinas Sosial. Dan menyadarkan saya bahwa masalah-masalah seperti ini adalah lingkaran setan, yang perlu diatasi secara serempak oleh semua sektor-sektor yang ada.

Jadi?

Saya mendapatkan banyak hal. Namun yang paling berkesan (yang terpenting tak selalu harus berkesan kan?) adalah keluarbiasaan para oncom. Ingin kali suatu saat kita bisa berkumpul lagi. Terima kasih dosen pembimbing di IKM, terima kasih teman-teman di IKM. Sukses selalu beserta kita!