Senin, 24 Mei 2010

Harus Ke Jerman, Suatu Saat

Sepertinya ini sekitar tahun 2003-2004.
Saya bersama rekan-rekan di Goethe Institut Internationes Jakarta.



Jerman? Ya, nama suatu negara yang tujuh tahun lalu muncul dalam benak saya dan ayah saya. Suatu negara yang harapannya saya melanjutkan studi. Tetapi, dengan pertimbangan bahwa keilmuan yang saya harapkan akan lebih baik dipelajari di dalam negeri, akhirnya saya memutuskan untuk kelak saya berkunjung untuk kursus atau seminar kedokteran saja di sana.

Saking saya mempersiapkannya, sejak kelas 2 SMA, saya sudah memulai kursus di Goethe Institue Internationes Jakarta di bilangan Menteng, dekat sekali dengan Kanisius, almamater saya. Tinggal jalan kaki saja. Dua tahun saya menghabiskan waktu di sana, walaupun pada akhirnya saya tidak mengambil ujian Zertifikat Deutsch (ZD), masih agak menyesal sih. Tapi walaupun demikian, saya tidak menyesal bahwa telah mempelajari bahasa Jerman ini. Ya, secara garis besar, banyak membantu dalam mempelajari kedokteran, paling tidak dari bahasanya. Paling tidak dari pelafalannya, seperti roentgen (demikian penulisan yang benar, dan dilafalkan: /ruensyen/). Dan syukurnya, saya masih bisa mengingat sedikit-sedikit tentang bahasa ini.

Saya juga mempelajari budaya, walau itu terbayang dalam benak fantasi saya. Bagaimana bisa menikmati Bradwurst yang lezat, minum Bier, budaya dan suasana Eropa yang kental. Aduh, sepertinya pengalaman yang bakal menarik. Saya masih menyimpan bertandang di Jerman menjadi hal yang akan saya lakukan. Kalau pun saya tidak bisa belajar di sana, saya paling tidak harus bisa berkunjung. =) Mudah-mudahan kelak Tuhan mengizinkannya ya.

Ngomong-ngomong soal Jerman, saya jadi teringat rekan SMA saya yang bernama Frans. Ada kisah menarik. Dulu saya yang mengajaknya untuk belajar bahasa Jerman, bahkan seingat saya, saya 1 tahun lebih dulu darinya. Namun, hasilnya sungguh luar biasa! Dia yang akhirnya ke Jerman, melanjutkan studinya di sana. Hehehe, mungkin dulu tidak terbayang, namun dengan usaha keras, hal itu bukanlah mustahil. Mudah-mudahan saya bisa menyusul ke sana ya, Frans!

Kamis, 20 Mei 2010

Catatan Kuliner Koas Forensik (2-tamat)

Ternyata oh ternyata! Saya masih memiliki hutang untuk menulis lanjutan Catatan Kuliner Koas Forensik. Yup, memang di minggu kedua hingga keempat di Semarang, saya tak mampu lagi makan segencar di minggu pertama. Mengapa? Soalnya mulai kismin (baca: miskin, uang yang ada jauh berkurang). Tapi beberapa catatan ini, mungkin bisa menjadi pertimbangan bagi Anda, terutama koas yang akan bertandang ke Semarang. Mari mas!

  • Semawis. Semacam festival jajanan di Pecinan Semarang. Hanya buka di Malam Sabtu hingga Malam Senin (Jumat Malam hingga Minggu Malam). Makanannya beragam, dari nasi campur, siomay, hingga mie cool. Mie cool? Ya, itu semacam es sirop dengan jelly berbentuk mie, jadi memakannya pun harus menggunakan sumpit.
  • Dim Sum All You Can Eat di Restoran Mutiara. Lokasinya di Setiabudi, di sebelum Pom Bensin Gombel. Yang asik, pandangan restorannya bisa melihat hamparan kota Semarang yang lebih rendah. Restoran ini berada di atas bukit. Dim Sumnya overall lumayan, hakau-nya lezat. (Saya pecinta hakau). Namun sayang, somai-nya masih kurang enak. Harganya hanya dimsum (tak termasuk bubur) adalah 45.000++ dengan 10 porsi/orang dan order hingga 18:00 WIB.
  • Roti Swiss. Langganan saya yang ada di Jalan Gajahmada. Favoritnya: Kue spons durian. Hmmm...
  • Nasi Ayam Bu Wido. Ada di jalan ke arah Karanganyar Loyola, di sebelah Roti Swiss. Rasanya lumayan (menurut saya lebih enak Nasi Ayam Bu Nyoto di Mataram), Harga 5000.
  • Soto Neon. Saya lupa nama daerahnya, tetapi dekat Loyola. Yang enak ya, nasi sotonya. Dan favorit saya yang kedua adalah tahu gimbalnya (mirip ketoprak (?))! Yummy! Basonya biasa saja menurut saya. Harga soto sekitar 6000, tahu gimbal 9000.
  • Pondok Makan 78. Ini ada di depan Kariadi, sederetan dengan Mie Lampung dan Rumah Ijo. Rasanya lumayan, kalau merasa bosan dengan Mie Lampung atau Rumah Ijo. Entah mengapa, saya cukup senang dengan Nasio Goreng Kornetnya! Tapi kelemahan dari rumah makan ini, masaknya lammaaa....
  • Nasi Goreng Ayam atau Nasi Gongso Bu Pawon, masih di Jalan Kariadi, di dekat toko galon air Biru. Rasanya enak! Beneran. Ayamnya juga banyak. Dan mungkin resep enaknya adalah, ibunya masak porsi per porsi, tidak rombongan. Tapi jeleknya, ya jadinya lama. Harga per porsi nasi goreng ayamnya 7000.
  • Warung Pecel Bu Sumo. Ada di depan kantor Golkar Jateng. Warungnya sih sederhana tapi ramai, tampaknya warung ini memiliki legenda sendiri. Rasanya lumayan, apalagi bila dihidangkan dengan bakwan hangat. Hmmm... Harga pecel sekitar 5000-10000 tergantung dari ragam isi-nya. Bisa ditampah empal, dan lainnya.
  • The Hills. Ada di dekat perumahan Bukit Sari daerah Gombel, tepatnya di Jalan Bukit Bisma. Lingkungannya sih luar biasa, melihat kota Semarang dari atas, dan restoran yang asik untuk berpacaran (sayang sekali saya tidak bisa menikmatinya hahahaha). Namun, makanannya sendiri mahal dan tidak worthed, apalagi untuk kantong mahasiswa. Begitupula dengan cita rasanya, terlalu biasa. Jadi menurut saya, hanya lingkungan dan suasananya saja yang bisa dinikmati.
  • Kampung Laut. Lokasinya di Puri Anjasmoro, Semarang Utara. Lingkungannya bagus, mengingatkan saya pada Bandar Djakarta di Ancol atau Sei Kakap di Pontianak. Tapi harganya mahal dan rasanya tidak begitu luar biasa. Bahkan D'Cost di Jakarta, masih sebanding!
  • Pujasera Manggala. Ya semacam foodcourt di perempatan jalan. Suasananya lumayan untuk berkumpul, diiringi musik hidup. Yang menarik adalah restoran Hiu Segara, ada berbagai macam menu hiu. Favorit saya: Hiu Goreng Tepung!
Mungkin demikian apa yang bisa saya dokumentasikan. Dan... kalau ada yang punya catatan lain, monggo dikomentarin! Matur nuwun!

Memoar Ilmu Forensik dan Medikolegal: Kultur Jawa

Hari ini adalah hari pengumuman ujian OSCA (Objective Structured Clinical Assesment) untuk kompetensi Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal di FK UNDIP Semarang. Dan, puji Tuhan, saya mendapat penilaian A untuk itu. Pada akhirnya, saya pun bisa menghela napas lega. Secara de jure, 4 minggu pembelajaran Forensik ini sudah selesai, dengan menunggu waktu beberapa rekan yang akan remedial pada akhir minggu ini. Dan tak lama lagi pula, saya akan kembali ke kota Jakarta untuk melanjutkan kepaniteraan Psikiatri dua minggu lagi.

Memang di Forensik ini saya mempelajari dan mempraktekkan seperti pembuatan Visum et Repertum yang sebelumnya belum pernah saya buat di masa preklinik, teknik otopsi, masalah-masalah medikolegal seperti informed consent, dan berbagai hukum yang ada. Saya mencoba menelaah benar, karena bila nanti PTT di daerah terpencil yang tidak ada ahli forensiknya, mudah-mudahan saya bisa memahaminya.

4 minggu di Kota Semarang ini memberi banyak kesan, selain kesan jalan-jalan tentunya. Paling menarik adalah ketika saya bisa berinteraksi dengan orang-orang dalam kultur lain. Mungkin di Jakarta, perbedaan kultur sudah hampir sedikit, bahasanya pun demikian. Tetapi mungkin berbeda dengan di Semarang, yang budaya Jawanya sangat terasa. Bahkan lidah ini pun ikut-ikutan medok. Hahahaha... Mungkin lafal saya agak runyam, namun ketika mengucapkan "pinten", "piro", "ndi", "opo", "mbak", "mas", "piye", "toh yo", bisa dimengerti oleh orang lokal. Sekalian belajar bagaimana bisa beradaptasi. Itupun terjadi ketika berinteraksi dengan para supir angkot. Ya, sebagian besar dari kami tidak membawa mobil, angkutan tersayang kami adalah angkot. Bahkan ke Mal Paragon atau katedral, semua dengan angkot. Kadang kala taksi pun menjadi pilihan.

Semarang ini mampu memberi kesan yang baik bagi saya. Dan, suatu kali saya pun perlu bertandang lagi ke sini.

Kamis, 13 Mei 2010

Nadir

Hai sang kelam
Kini aku terbaring
Menatap langit-langit
Yang tanpa noda, tanpa cercah
Dan aku pun ingin seperti itu

Aku melirik kepadaku yang tiada berada
Ketika ku hening sejenak
Seberkas apa yang kupunya
Gegap gempita harta?
Keelokkan paras?
Seuntungnya itukah diriku?
Sekuat Pangrango-kah?

Sesirna itukah aku
Aku nan lara
Bahkan angin pun tertawa pilu
Aku nan terkulai

Aku kembali melirik kepadaku yang tiada berada
Yang mengais sedikit kesempurnaan
Bahkan rintih menjadi tak berarti
Aku mengasah asa dalam puruk

Oh asa, demikiankah aku?
Demikian sulitkah?
Tak bisakah sejuk semilir hadir?
Tak dapatkah hingga titik nadir?

Aku kembali kepada langit-langit
Aku pun merindukannya
Dan tetaplah hati ini takkan lelayu

Semarang, 13 Mei 2010

Kamis, 06 Mei 2010

Medali Perunggu ISBA Award 2010!

Sungguh tak disangka, sungguh tak disangka. Akhirnya blog ini diberikan penghargaan dari panitia Internet Sehat Blog Award 2010 untuk Minggu Pertama Mei 2010. Tidak terkira sebenarnya, bisa mendapatkan penghargaan ini. Blog ini pada sebenarnya ingin dipublikasikan secara luas, tetapi biarkan saja mengalir begitu saja. Dan mudah-mudahan sesuai kategorinya, blog ini dapat menginspirasi Anda, selain sebagai memoar bagi saya.

Minggu, 02 Mei 2010

Perjalanan Malam Lawang Sewu (+Berbonus Napak Tilas AAC)

Salah satu menara Lawang Sewu.


Lawang Sewu, sebuah bangunan tua dan megah di bundaran Tugu Muda Kota Semarang. Saya sebenarnya memang telah merencanakan perjalanan ke sana, namun kemarin malam sontak rekan-rekan berinisiatif ke sana tanpa perencanaan.

Saat itu Lawang Sewu tengah ramai karena sedang ada pemilihan Dhenok dan Kenang (semacam Abang dan None) Kota Semarang. Yup, tapi tentu tak menyurutkan hati kami. Beberapa rekan sudah menolak untuk ikut dan memilih pulang ke rumah kost mereka. Dan tinggallah 13 orang menjalani perjalanan malam di Lawang Sewu.

Tiket masuk Rp5000,00. Ya cukup murah dan guide sendiri kami bayar Rp20000,00 secara sukarela saja dari rombongan.

Ketika masuk ke dalam Lawang Sewu. Suasana gelap, dan kami dijelaskan asal muasal gedung ini. Di lobby gedung, suasana sangat sepi. Sangat sepi dan gulita.

Lawang Sewu, menurut guide, didirikan 1904 dan digunakan sebagai kantor Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij, sebuah perusahaan kereta api masa Hindia Belanda. Dan kemudian pada masa penduduk Jepang, terutama pertempuran Angkatan Muda Kereta Api, digunakan sebagai tempat pembantaian dan penjara. Setelah masa kemerdekaan pernah dipakai sebagai kantor Kodam dan Kementerian Perhubungan.

Lawang Sewu, artinya Pintu Seribu, ya, gedung ini memiliki banyak sekali pintu-pintu. Dan dasar pikiran saya... kalau begitu apa arti Taman Lawang? Hahaha....

Kemudian setelah dijelaskan, kami naik ke lantai dua melalui tangga utama. Di sini sebenarnya ada kaca mosaik yang indah, namun sayangnya, gulita malam menyembunyikannya. Dan sebenarnya yang membuat saya krik-krik dimulai di sini.

Pemandu: "Ehm, di sini adalah tangga pengadilan."
Saya: "Pengadilan?"
Pemandu: "Iya, pengadilan di film Ayat-Ayat Cinta."
Saya: ... ...

Okay, saya pikir saya tidak menonton Ayat-Ayat Cinta. Ya, tangga pengadilan.

Kemudian kami masuk ke kamar pimpinan dan menikmati sejenak bundaran Tugu Muda atau bekas Tama Wilhelmina. Dan perjalanan dilanjutkan ke sebuah lorong tangga.

Pemandu: "Ya ini ada tangga apartemen yang digunakan ketika mengerek makanan."
Saya: (What the... Apartemen?)
Pemandu: "Ini adalah kamar apartemen Maria di Ayat-Ayat Cinta."
Saya: -.-! (No more Ayat-Ayat Cinta! Mana wisata seramnya.....)

Dan kami naik ke lantai tiga. Okay, ini baru saya sebut seram. Di sebuah plafon luas dan suasananya sangat berbeda. Sangat berbeda. Hawanya. Aroma udaranya. Berbeda. Ini adalah teman pembantaian pada masa pendudukan Jepang. Ada juga mereka yang digantung di besi-besi plafon. Setelah itu kami juga melewati plafon kantor pimpinan dengan aroma kelelawar. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke gedung tambahan Lawang Sewu.

Pemandu: "Ya, ini adalah rumah sakit ketika Farid (Benarkan Farid? Apa Faris? Haris? Entahlah.-red)."
Saya: -.-! (Ayat-Ayat Cinta lagi!)
Rekan: Wah, pas syuting mas di sini ya?
Pemandu: (Senyam-senyum)

Pada akhirnya perjalanan di Lawang Sewu berakhir di sebuah lokomotif di depan gedung. Sayangnya, penjara bawah tanah yang terkenal itu sedang tidak dapat diakses. Dan perjalanan malam di Lawang Sewu dengan bonus napak tilas syuting Ayat-Ayat Cinta (yang saya tak pernah tonton) pun selesai. Dan saran saya mungkin bisa dibuat dua paket, satu napak tilas sejarah Lawang Sewu da satu lagi napak tilas Ayat-Ayat Cinta.

*Saya sebenarnya ada banyak berfoto hanya tidak di kamera saya...

Sabtu, 01 Mei 2010

Catatan Kuliner Koas Forensik (1)

Super Penyet


Memang tidak dapat dipungkiri lagi bahwa waktu 4 minggu di Semarang, oleh koas forensik juga dimanfaatkan sebagai waktu bernapas sedikit lega. Mungkin juga mendapat suasana yang berbeda dari Jakarta, menghabiskan waktu penuh di Semarang, juga tentunya dimanfaatkan untuk berwisata. Apalagi bila sebelumnya adalah koas siklus mayor yang juga menguras tenaga selama 10-11 minggu.

Salah satu wisatanya adalah wisata kuliner! Wisata olahraga mulut. Mungkin beberapa catatan ini berguna bagi mereka yang akan berada di Semarang:


  • Warteg Ibu Dewi, depan RS Kariadi di dekat Jalan Solo. Warteg yang lumayan untuk rasa dan harganya. Udang gorengnya cukup nikmat dan banyak pilihan makanan lain. Range harga sekitar Rp 5000-10000.
  • Super Penyet. Restoran sekitar Jalan Gajahmada. Yang mengagetkan bagi saya, makanannya cukup terjangkau antara Rp 10000-25000
  • Kantin Departemen Forensik. Ya cukuplah, nasi kotak 5000an. Gorengan 1500an. Juice 4500an. Belum ditambah ibunya yang lembbbuuuttt banget ngomongnya. Sampai ketika saya tak sengaja memecahkan botol teh, "Ndak apa-apa, mas". Waduh, jadi nggak enak..
  • Mie Lampung. Di dekat RS Kariadi. Harganya lumayan Rp5000-15000. Biasanya tempat kami makan sayur (karena makanan khas koas sering kurang serat). Kangkung cah tauconya lumayan. Untuk rasa, standar-standar saja.
  • Sapi Bali Semarang. Di Jalan Sibayak dekat Hotel Grand Candi di daerah Sisingamangaraja. Jelas sekali ini adalah makanan penuh dosa karena: enak banget, mahal, banyak lemaknya. Untuk iga bakar kecap saja seharga Rp35000+
  • Rumah Ijo. Sebelah Mie Lampung. Menu penyet. Harga lumayan murah, dan rasa standar. Namun yang enak banget adalah jus alpokat oreo... (seharga Rp 4500).
  • Delivery Lombok Idjo, menu ayam dan empal. Harga sekitar 10.000an. Rasanya enak dan apalagi para penikmat sambal. Saya memesan empal sambal terasi, enak. Tetapi menurut saya lebih enak di Super Penyet.
  • Nasi Ayam Bu Nyoto di depan sekolahan Pangudi Luhur Santo Yusup di Jalan Mataram. Ada si Eric dan Dedi yang mengantar ke sini. Makanan ala Semarang. Nasi dengan kuah santan, kuah sayur labu (?), dan potongan ayam. Harga Rp 8000.
  • Es Puter Conglik di dekat Hotel Horison Simpang Lima, jalan Ahmad Dahlan. Semacam es puter, ketika saya datang ada rasa cokelat, duren, leci, dan kelapa. Harga es krim duren 10000, non-duren 8000.
  • Nasi Pecel Yu Surip. Saya lupa dimana, karena saya hanya diantar saja oleh si Eric. Hehehehe... thanks sarapan paginya. Enak! Harganya Rp 5000.
  • Nasi Gandul Pak Subur di Jalan Ahmad Dahlan setelah RS Telogorejo dari arah Simpang Lima. Nasi dengan kuah daging sapi bersantan. Yang suka jeroan, bisa dipesan. Apalagi diiringi dengan penyanyi jalan yang bagus suaranya! Harga Rp 8000an.
  • Jagung Bakar Serut, sama di sepanjang Jalan Ahmad Dahlan. Ya, jagung bakar seperti biasa yang dilepaskan dari tongkolnya.
  • Lekker Paimo di depan Kolese Loyola, Jalan Karanganyar. Lekker cokelat, karamel, hingga telor sosis keju. Harga range Rp 1000-8000an. Dan tampaknya lekker ini legendaris dan ia tahu kita mahasiswa forensik dari Jakarta. Ketahuan kali ya gelagatnya hahahaha....
  • Asem-asem Koh Liem, tak jauh dari Kolese Loyola. Asem-asem itu semacam daging sapi kuah asam. Enak, dan ada juga menjual sate babi. Asem-asemnya seharga Rp 15.000.
  • Bakmi Titee Gang Lombok di Jalan Gajahmada samping bakery Swiss. Semacam bakmi, kuah, daging ayam dengan sayur. Lumayanlah, menurut saya. Harga Rp 12500.
  • Nasi Goreng Babat, ada di satu area Bakmi Titee. Menurut saya sih masih enakan nasi goreng babat di eat and eat, MKG5, Jakarta. Tapi bolehlah. Harga Rp 15000.
  • Es krim Toko Oen, di Jalan Pemuda di depan Mall Sri Ratu. Es krimnya sungguh luar biasa. Rasanya beda dan terasa asli banget. Apalagi rasa buah-buahannya. Memang harga agak mahal, tapi enak banget. Setaralah dengan harganya. Harganya berkisar Rp10000-17500an.
Dan ini adalah wisata pada 7 hari pertama dan sudah berhasil membuat berat badan saya naik 3 kg. =) Nantikan jilid keduanya.