Selasa, 26 April 2011

Terjerat Sushi

Sushi, I'm craving for this =)


Saya lupa tepatnya kapan saya berkenalan dengan makanan yang namanya sushi. Saya dulu membayangkannya masuk ke dalam mulut pun membuat saya bergidik. Barang mentah tak dimasak? Oh, bukan mimpi yang indah tentunya.

Yang saya ingat dulu saya dan rekan-rekan, dijamu oleh salah satu yang berhari jadi. Kami dijamu di Poke Sushi yang hingga kini masih tenar dengan sushi semua-dapat-kau-makan (All you can eat, AYCE). Saya hanya berani makan yang matang. Saya belum punya nyali untuk yang mentah. Namun saya pun ditawari, saya hanya makan sebuah. Dan saya sudah siap dengan kertas tisu, jika alih-alih saya harus melepehkan. Ups, ternyata Tuhan, itu surga.

Hingga kini sushi masuk ke dalam salah satu jenis kuliner yang saya sukai. Bisa dibilang, satu kali sebulan saya pasti ke restoran sushi. Padahal harganya lumayan menguras saku dalam-dalam. Dan entah mungkin adiksi, makanan ini seringkali peneman atau antidotum ketika pikiran tak tenang nan galau. Tentunya saya lebih memilih sushi, daripada harus menenggak alprazolam. Sushi ini juga yang menjadi peneman saya dan rekan-rekan "Oncom Jaya" yang akhirnya menyegarkan jiwa kami ketika kami dijatuhi sanksi. Hehehe.....

Sushi ini kian menjadi dambaan dan rinduan. Apalagi ketika saya berdinas di luar kota seperti Pontianak dan Sukabumi. Oh Tuhan, tidak ada sushi. Dan hal ini membuat saya berpesta pora sushi setibanya di Jakarta.

Kini, saya tak bisa lepas dari sushi. Saya terjerat.

Kamis, 21 April 2011

Detik-detik Terakhir Menjadi Sarden?

Konsulen (dr. Harie SpM dan dr. Arief SpM), saya dan rekan-rekan FKUAJ dan FKUKRIDA di Poli Mata RSUD R. Syamsudin SH, Kota Sukabumi.


Tidak menyangka bahwa tanggal ini semakin dekat. 23 April 2011. Sebuah tanggal di hari Sabtu sebagai tanda hari terakhir rutinitas sebagai koas akan berakhir. Mungkin agak angkuh disebut terakhir, namun sudah mereda.

Sebenarnya secara de facto 21 April 2011, saya menyelesaikan hari di Poli Mata bersama dr. Harie BS, SpM dan rekan-rekan lainnya. Ketika berpamitan dengan dr. Harie, ada satu rasa kelegaan yang merasuki. "Saya sudah selesai. Paling tidak saya menyelesaikan hari-hari saya di siklus terakhir ini." Seperti yang saya tulis di paragraf pertama, ini memang terlalu angkuh. Sebenarnya saya masih menyisakan ujian IKM yang seyogyanya awal tahun 2010 saya selesaikan. Karena satu dan lain hal akhirnya ditunda hingga koas ini berakhir. Saya juga masih harus ujian radiologi. "Tapi, ini hari terakhir rutinitas saya!", bela saya.

Tanggal ini 23 April 2011 ini, jujur saja, sudah mulai saya hitung-hitung. Sejak awal masuk koas tanggal 14 September 2009. Entah perasaan ingin cepat-cepat selesai, ataukah ada maksud lain. Apalagi ketika hitungan hari sudah mencapai H-100. Ada rasa keinginan yang begitu besar, "Ayo cepat-cepat selesai!" Diiringi rasa penat, satu saat saya sadar, bahwa saya takut alih-alih saya malah jadi terokupasi dengan pemikiran ini. Saya pun tak mau lagi mulai menghitung mundur. Tapi saya tetap menantikan tanggal itu.

Tanggal ini menjadi batu lompatan (milestone) yang memang tak begitu besar. Saya masih perlu berusaha untuk melewatkan hal lainnya seperti ujian, judisium, dan UKDI. Bahkan tantangan di depan mata masih besar. Dan masalah klasik saya pun masih belum dapat saya jawab dengan lantang, "Setelah Koas, Lalu Mau Apa?"

Semoga saya bisa jalani dengan mengalir, perjalanan dari sarden menuju tuna, dan akhirnya menjadi lumba-lumba (mengutip dari wejangan dr. Alex saat sumpah dokter periode yang lalu).

Tetap Semangat Erick!

Ket: Sarden adalah analogi terhadap koas, tuna adalah dokter baru, dan lumba-lumba adalah dokter yang telah mapan dan mumpuni.

Minggu, 10 April 2011

Musik Popular Meningkatkan Risiko Depresi: Ugh, Is That Me?

Teenagers who are avid popular music listeners have a significantly increased risk for major depressive disorder (MDD). (Arch Pediatr Adolesc Med. 2011;165:360-365).

Saya cukup tertarik membaca pernyataan di atas ketika berselancar di Medscape. Ternyata oh ternyata. Menurut jurnal tersebut remaja yang sering mendengar musik popular 8,3 kali lebih tinggi dapat mengalami gangguan depresi mayor. Hal ini disebabkan musik popular banyak yang mengusung tema kesedihan dan ratapan.

Saya kemudian berpikir, apakah saya masuk dalam salah satunya? Ok, saya sudah dewasa, dewasa awal, di usia 23 menjelang 24 ini. Toh, tulisnya remaja. Lalu saya berpikir lagi dan mengecek lagu-lagu di playlist pada Blackberry.

Josh Groban - Broken Vow
Samsons - Kenangan Terindah
Samsons - Luluh
BCL - Mengapa Harus Terjadi
Afgan - Bawalah Cintaku
Dewa - Risalah Cinta
Keris Patih - Tetap Mengerti
Dewi Lestari - Malaikat Juga Tahu
Ronnie Liang - Ngiti
Richie Ren - Zhu Guang

Bah! Dan lagu-lagu pula itu yang saya dendangkan saat mandi pagi. Saya jadi takut mengalami depresi mayor juga. Apa saya perlu menggantinya dengan lagu yang sedikit ceria ya? Hmmm..... Yang pasti saya tak mau kena depresi... Tidaaakk.... T_T

Sabtu, 09 April 2011

Apakah Saya Tahu Sedikit Tentang Kehidupan Pasien Ini?

Ketika mengakses NEJM tadi pagi, saya tidak sengaja mendapatkan artikel-artikel di rubrik Perspective. Saya tertarik membaca bagaimana dokter-dokter di luar negeri memberikan refleksi dan pemahaman terhadap keprofesian dan masalah kedokteran, baik ditinjau dari sisi politik, etika, dan pendidikan.

Saya mendapat kutipan: "Osler said, "It is much more important to know what sort of a patient has a disease than what sort of a disease a patient has." We have to know even a little bit about a patient's life. Lose that knowledge, and we risk becoming more technician than clinician. (N Engl J Med 2009; 361:442-443)"

Kalau dialihbahasakan, kurang lebih demikian: "Osler mengatakan bahwa lebih penting untuk tahu hal mengenai diri pasien yang sakit itu daripada mengenai penyakit apa yang dia derita. Kita mungkin perlu tahu sedikit kehidupan pasien. Kalau kita tak tahu, kita akan lebih menjadi teknisi daripada seorang klinisi."

Mungkin bagi seseorang merasa tak penting untuk tahu nenek renta yang akan menjalani operasi katarak ini sudah punya berapa cucu. Mungkin kita kadang merasa bertanya apa makanan kesukaan seorang bapak-bapak adalah membuang waktu. Namun ini sangat berarti, apalagi bagi mereka kaum geriatri.

Kita mungkin baru akan menyadari bahwa ketika nenek itu tertawa dan bersemangat menceritakan kenakalan cucunya, akan menghibur hatinya yang tengah takut karena akan dioperasi. Kita mungkin baru merasakan ketika pasien bapak-bapak tersebut menanyakan sebaliknya dan ia membawakan makanan kesukaan kita dengan sukarela pada saat kunjungan berikutnya.

Dengan mengenal diri pasien, saya sebagai dokter kelak pun mudah-mudahan bisa menjalani keprofesian ini.