Selasa, 08 Mei 2012

Satu Bulan PTT: Kontrol Diri.

Tulisan ini sebenarnya dituliskan dari sisa-sisa baterai laptop dan baterai modem wi-fi saya, di tengah mati lampunya Menjalin yang entah keberapa kalinya hari ini. Dan tiba-tiba terlintas di benak saya bahwa saya kira-kira hampir genap satu bulan bertugas sebagai dokter Pegawai Tidak Tetap Kementerian Kesehatan RI di Kecamatan Menjalin, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Saya pun terngiang di dalam hati, apa yang saya dapatkan selama bulan ini? Apa yang saya harus saya perbaiki dalam menjalani sebelas bulan sisa waktu saya sebagai dokter PTT? Dan saya pun terhisap dalam pusaran ketikan isi pikir ini.

Adapun yang saya dapatkan adalah sebuah perubahan dalam diri saya. Saya yang sudah sekian lama tenggelam dalam hingar bingar ibukota. Ya, saya hampir 10 tahun lebih berada di DKI Jakarta sejak saya melanjutkan pendidikan SMA hingga lulus dokter. Saya terbiasa dengan hidup dalam ibukota. Bahkan ketika saya berlibur di Pontianak saat itu, saya merasa lebih betah di Jakarta. Terutama lagi ketika saya sudah bersama Si Perak (Mobil Avanza saya) sejak 2008. Saya merasa bebas kemanapun saya mau. Saya bisa menikmati internet super kencang, mengunduh berkas berkapasitas besar dalam waktu singkat, menonton siaran apapun yang saya mau. Istilahnya saya tak perlu lagi jin botol.

Namun semua berubah di sini, di sebuah daerah. Saya tahu bahwa kota ini tak jauh-jauh benar dari ibu kota provinsi (2-3 jam dengan bus umum). Namun keseharian di dalamnya, membuat saya hidup dalam kesederhanaan. Sederhana bukan berarti buruk.

Saya bertempat di Dusun Sungai Bandung, sebuah dusun yang berjarak 2 kilometer dari Pasar Menjalin. Pasar di sini artinya deretan ruko yang memiliki tingkat keramaian yang lebih intens. Jika sudah pukul 18:00, yang saya dengar hanyalah deru kendaraan yang lewat di depan, suara jangkrik, dan suara anak perawat yang ada di depan. Rumah tetangga pun tak banyak di sini. Bahkan jam 20:00 atau 21:00 pun saya sudah tidur, atau kalau tidak sampai jam 23:00 kalau sedang asyik berselancar internet (kalau sinyalnya pun sedang "waras").

Keseharian saya? Bangun pukul 5 atau 6, menyiapkan makan pagi, mandi, menunggu jam dinas, lalu dinas sampai siang, setelahnya pulang, saya menyiapkan makan siang (tanak nasi, memanaskan sayur jadi yang baru dibeli di Bu Iin, penjaja sayur keliling langganan saya), lalu melayani pasien yang datang ke rumah, menunggu malam, tidur, dan siklus pun berulang. Saya pun juga menyiapkan DVD serial sebagai hiburan dan puluhan game di iPad. Saya tidak membawa teve di sini, walaupun sebenarnya bisa, namun saya tak mau menambah beban pindahan kelak. Saya pun jarang menonton teve, kecuali siaran berita. Inilah keseharian saya. Lalu saya turun ke kota Pontianak pada akhir pekan, untuk membeli barang konsumsi yang memang sudah berkurang. Jika tidak turun kota, maka saya akan melewatkan akhir minggu di Menjalin.

Yang saya sadari bahwa selama PTT ini saya menjadi orang yang tidak meminta macam-macam. Kalau di Jakarta, saya mengingat bahwa begitu kompulsifnya diri saya untuk bertandang ke Gramedia. Sangat kompulsif. Kemudian ketika diri mencetuskan keinginannya untuk makan sushi, maka sistem limbik ini menjadi aktif. Namun di sini, ketika saya terpikir sesuatu, tidak ada yang bisa saya peroleh di sini. Saya mencoba mengontrol diri saya.

Begitu pula dengan keadaan lainnya. Saya adalah orang yang tidak bisa tidur tanpa AC, mungkin saya tidur tanpa AC kalau saya ada di gunung saja. Kemudian saya juga orang yang begitu takut dengan padam lampu. Namun di sini semuanya begitu sering terjadi. Misalnya padam lampu yang bisa nyaris sepuluh kali dalam sehari. Saya hanya bisa berkata dalam hati, "Ow, mati lagi.", saya nyaris tak mau lagi mengumpat. Paling saya hanya memikirkan bagaimana nasib barang-barang elektronik saya yang kalau-kalau habis daya alias habis baterai.

Malam ditemani oleh lampu darurat.


Seperti juga dalam makan memakan. Saya tidak bisa lagi menempatkan diri menjadi picky eater. Apapun di hadapan saya, inilah makanan saya hari ini. Telur saja? Tempe tahu? Ikan? Sayur? Tidak ada empat sehat lima sempurna di sini. Walau memang ini sepertinya hanyalah akibat kemalasan saya dalam mengusahakan variasi makanan. Namun saya juga berjuang bagaimana tidak ada sushi, nasi campur, masakan China, bibimbap, dan lainnya.

Kemudian dengan lowongnya waktu, memang memberikan saya kesempatan untuk belajar banyak hal. Termasuk saya membuka lagi renungan-renungan, perikop Alkitab, dan lainnya. Mudah-mudahan ini akan membuat saya menjadi pribadi yang lebih berkenan dibandingkan sebelumnya.

Semoga.


2 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

  1. Hallo rekan TS, accidentally saya menemukan blog ini ketika saya mencari kata kunci 'PTT'. Saya sangat galau tentang kehidupan PTT yang mana akan terlintas dalam pikiran saya: susah sinyal, mati lampu, dan hewan berbahaya eq: ular. Namun dari tulisan anda, saya telah mendapatkan sedikit banyak gambaran tentang semua itu. Namun yg masih menjadi curiosity bagi saya sebagai seorang reptil phobia adalah: "Apakah pernah rumah dinas anda kemasukan ular atau binatang berbahaya lainnya?" bila pernah bagaimana anda survive dengan smua itu.

    Danke schon

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo TS Fifi. Wie gehts?

      Untuk ini sebenarnya relatif berbeda ya setiap daerah. Jika ingin PTT tapi relatif tidak sulit medannya, pilihlah kriteria Terpencil, jangan yang Sangat Terpencil.

      Dan ketika melamar PTT kan dipilih kabupatennya, jadi TS sudah bisa cari informasi dulu gimana keadaan di sana, sinyal, dll.

      Kalau lingkungan Puskesmas sih biasanya relatif aman ya dari reptil. Dan usahakan rumah dinasnya nanti dimodif sehingga hewan sulit masuk. Kalau rumah dinas saya dulu malah sering kemasukan ayam dan anjing tetangga hehehe.

      Hapus

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: