Selasa, 10 Juli 2012

Balada Air PTT

Suatu hari itu saya ingin mandi pagi. Ketika sampai di WC rumah dinas, saya melihat bak tinggal sepertiga. Saatnya mengisi air, pikir saya. Saya pun mencolok mesin pompa air yang ada. Namun air tak ada setetes pun yang keluar. #kemudianhening.

Saya tak menyangka bahwa suatu saat saya akan merasakan yang namanya kekurangan air. Ya, saya masih ingat dulu sekali, mungkin 11-12 tahun lalu ketika saya belum beranjak ke Jakarta dan masih menetap di Pontianak. Saat itu aliran PDAM mati, dan ayah saya pun mau tak mau beli air jerigenan. Saya masih ingat, saya mandi dengan berdiri di atas waskom. Ya, air bekas bilasan mandi ini akan digunakan lagi untuk membilas BAB atau BAK di kloset. Efisiensi, katanya ayah.

Dan saat ini, di Bumi Samabue, Menjalin. Saya pun merasakannya lagi. Saya seperti buaya di game Where's My Water? yang "nangis" karena tidak ada air. Tentunya saya tak menangis secara harafiah. Namun otak saya pun berteriak, saya mau mandi dan cuci dengan apa nanti?

Di Bumi Samabue, musim hujan sepertinya sudah mulai berlalu dan frekuensi hujan mulai berkurang. Jika kemarau tiba, konon kata Perawat, adalah masalah bagi rumah dinas dokter. Ya, rumah dinas dokter hanya memiliki sumur dangkal, bukan sumur air tanah yang dalam. Jadi, sumur ini mau tak mau bergantung dengan air hujan yang turun.

Nampung air!


Air ini memang saya gunakan untuk MCK (mandi, cuci, kakus). Untuk air minum, saya berlangganan air galonan dari perawat yang membuka usaha air galonan (konon, airnya dari mata air gunung di Anjongan). Ketika air tak ada, saya harus berpikir keras mana yang harus diprioritaskan. Saya mungkin saja tak mandi, kalau menurut saya badan tidak bau-bau amat. :D Kalau masalah kakus sepertinya tidak bisa ditawar karena menahan BAB adalah derita terberat di dunia. Hehehehe XD. Untuk cuci memang menggunakan air yang cukup banyak apalagi kalau cucian baju sangat banyak. Biasalah, saya menumpuk baju, sampai tampak persediaan baju bersih sudah tak cukup baru akan dicuci.

Air hujan adalah rejeki bagi saya, dokter PTT di Menjalin. Saatnya saya menampung air hujan yang menetes dari atap dan berharap-harap sumur saya nan dangkal itu terisi sebanyak-banyaknya. Saya pun mengamati setiap tetes air yang jatuh dari atap rumah. Mungkin, saya berkilah dalam hati, ini pengalaman bagi saya juga untuk dapat menghargai setiap tetes air yang ada.

Saya memang memikirkan apakah saya sebaiknya membuat penampungan hujan, tapi setelah menghitung cost-nya, saya tinggal 8 bulan lagi. Ya, saya memutuskan untuk menikmati "derita" ini. Toh, kalau hidup saya mulus-mulus saja di PTT ini, nanti tidak ada kisah yang bisa saya bagikan di blog ini dan untuk anak cucu saya kelak.

Dituliskan di Rumah Dinas Dokter Puskesmas Menjalin. Selasa, 10 Juli 2012. 15:30 WIB.
Di saat sore dengan hujan yang hanya rintik-rintik saja X(

0 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

Posting Komentar

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: