Kamis, 07 Agustus 2014

Masalah Kesehatan di Indonesia



Saya sebagai seorang dokter, dalam masa pasca penetapan presiden terpilih, tentu salah satu hal yang dinanti-nantikan adalah penyusunan kabinetnya yang salah satunya akan menjalankan segala kebijakan yang berkaitan dengan kesehatan. Terlepas dari siapa oknum Menkes yang akan dipilih, saya hanya berharap bahwa siapapun yang menduduki jabatan tersebut harusnya yang kompeten dan benar-benar mengerti soal dan peliknya masalah kesehatan di Indonesia.

Beberapa hal mayor yang menurut saya terus menghantui masalah kesehatan di Indonesia adalah:

Akses Kesehatan Bagi Siapa Saja
Jika hal ini diterapkan, maka alhasil tak ada lagi dogma "Orang (miskin) dilarang sakit." Siapapun penduduk di negeri ini harus mendapatkan akses kesehatan yang baik dan juga pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau. Akses kesehatan yang terbuka siapapun tak sama dengan "pelayanan kesehatan gratis". Jika pelayanan kesehatan gratis, tetapi untuk mencari tenaga kesehatan saja harus mendaki gunung, tentu tidak elok.

Akses kesehatan menyeluruh adalah pemerataan fasilitas kesehatan di manapun di pelosok Indonesia. Misalnya, puskesmas sebagai pelayanan strata primer harus memiliki peralatan yang standar di semua Indonesia. Jika puskesmas harus memiliki EKG, laksanakanlah. Jika puskesmas berfungsi sebagai PONED atau Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar, fungsikanlah. Yang terjadi selama ini adalah pelayanan setengah-setengah dan pengadaan hal yang justru tidak perlu.

Pelaksanaan BPJS pun harus kerap dievaluasi, walaupun sebenarnya rohnya sudah baik. Perlu adanya kebijakan untuk menghasilkan pelayanan yang baik, tidak overcharged dan tidak under-treatment. Semua harus bekerja sesuai dengan standar ilmiah, misalnya dengan clinical pathway yang menstandarkan asuhan dan perawatan pasien. Memang, perlu waktu untuk terus mengevaluasi, tetapi pemerintah pun harus bertelinga juga untuk menyempurnakannya.

Kesejahteraan Tenaga Kesehatan
Maksudnya, bukan tenaga kesehatan harus menjadi kaya. Namun pokok pikirannya adalah tenaga kesehatan dibayar sesuai kinerjanya, risiko pekerjaannya, dan kemampuannya. Tenaga kesehatan baik dokter sub spesialis sampai dokter di desa, baik ners sampai bidan desa, memiliki kehidupan yang layak. Sekali lagi, bukan untuk kaya, tetapi hidup layak. Kata salah satu dosen saya, "Jika mau kaya, jangan jadi dokter, tetapi jadi pengusaha."

Pelayanan Preventif Diutamakan
Perlu perubahan paradigma dari mengobati pesakit menjadi pencegahan sakit. Sudah terbukti di ilmu kesehatan komunitas dan kesehatan masyarakat bahwa tindakan prevensi lebih murah biayanya dari tindakan pengobatan. Paradigma ini memerlukan keberanian untuk mengintervensi hal-hal perusak kesehatan yang selama ini dibiarkan begitu saja, seperti tembakau.

Pemerataan Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia harus dikembangkan seoptimal mungkin. Siapapun yang memiliki bakat dan kemampuan harus dibina, bukan untuk melihat saingan, sisi SARA, ekonomi, dan lainnya. Sumber daya manusia harus dibina untuk bekerja sebagai tim, sebagai tenaga kesehatan yang berpadu dan berintegrasi, dan berfokus pada pasien, bukan berpusat pada keakuan atau "ini bidang saya". Tenaga kesehatan pun harus luwes untuk berubah dan beradaptasi dengan segala perubahan dalam dunia kesehatan.

Pengutamaan Penelitian
Penelitian harus kembali diangkat, sehingga Indonesia memiliki kemampuan untuk mengembangkan ilmu sendiri. Dengan adanya banyak rangsangan untuk menumbuhkan minat penelitian maka ilmu akan menjadi semakin pesat sehingga riset-riset itu sendiri akan memberi timbal balik terhadap kualitas pelayanan kesehatan.

1 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

  1. Semoga langkah-langkah yang diambil di 100 hari pertama ini tepat bagi kepentingan kesehatan bersama.

    Sebagai catatan pengalaman, KJS dan BPJS di Jakarta Pusat cukup membantu, namun saat menjadi KIS, perlu disempurnakan kembali alur layanannya, terutama mengenai penanganan kasus darurat.

    Saat ini yang saya lihat di bagan, semua harus melalui primer terlebih dahulu, diberikan surat pengantar, baru ke RS, itupun bila dapat slot.
    Bila kejadian medis darurat terjadi di bukan hari atau jam kerja, apa lacur harus melalui primer terlebih dahulu?

    Antrian pun cukup panjang dan standar pelayanan masih simpang siur.

    Demikian laporan pandangan mata dari Jakarta Pusat. Kembali ke Pontianak :)

    BalasHapus

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: