Jumat, 23 November 2012

Ya Inilah Risiko Seorang Dokter

Ada suatu hal yang ingin saya bagi. Suatu hal unik yang menyentil hati nurani saya sebagai dokter.

Suatu saat, saya mengabari ibunda saya, seorang ibu rumah tangga. Saya mengatakan maaf baru membala pesan singkatnya karena saya baru saja dipanggil ke rumah warga. Ya, mungkin karena insting ibu-ibu, ia menanyakan setiap detail.

Saya mengatakan bahwa saya melakukan resusitasi jantung paru pada pasien yang diduga terkena serangan jantung dan stroke. Ketika saya di sana, saya merasa masih bisa meraba sedikit nadi pasien tersebut dan akhirnya saya melakukan resusitasi itu hingga saya melihat bahwa pasien telah tak dapat diselamatkan lagi dan saya nyatakan pasien meninggal.

Ibu bertanya lagi detail bagaimana saya melakukan resusitasi tersebut. Saya mengatakan menekan-nekan dan memberi bantuan nafas kepada pasien. Ia bertanya apakah mulut ke mulut, saya mengatakan kebetulan saya membawa masker udara dari pelatihan ACLS dahulu. Saya tak membuat bantuan mulut ke mulut langsung.

Hingga suatu saat yang membuat saya gerah, bahwa kata ibunda, janganlah terlalu 'idealistis' menjadi seorang dokter, tak perlu katanya memberi bantuan nafas, "cukup pompa-pompa saja". Memang maksudnya baik, bahwa saya takut tertular penyakit dari "nafas" itu. Di kala dokter mempertahankan idealismenya dan menghindari malpraktik, nurani saya teriris perih.

Saya mencoba memberikan beberapa argumen pada ibunda:

  1. Apa yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, selalu memperhatikan kewaspadaan universal, bahwa mengondisikan atau memperhatikan sekitarnya agar dirinya tetap terhindar dari hal yang seharusnya dapat dihindari.
  2. Terkena penyakit memang risiko dokter dan tenaga kesehatan, namun seperti poin 1 bahwa kewaspadaan universal tetap dilakukan. Bagi saya, jika, umpamanya, suatu ketika saya dihadiahkan penyakit yang tertular karena kontak saya dengan pasien, saya tidak akan mempersalahkan siapa-siapa atau menyesalinya. Ya, memang itulah risiko saya sebagai dokter. Orang yang mencari dokter, adalah orang-orang yang memang sakit. Dan inilah klien dokter. Begitu pula bahwa profesi lain memiliki risiko-risikonya sendiri.
  3. Melakukan hal yang melemahkan pasien dengan mencoba melindungi diri secara berlebihan adalah hal yang sungguh keliru. Misalnya ada pasien yang perlu resusitasi, memberi nafas buatan, tetapi dalam diri Anda percaya sekali bahwa saya malah akan mendapat hawa nafasnya dan akan merugikan saya. Padahal sesuai ilmu yang sudah diamini, dengan hembusan nafas Anda, suatu rencana Pencipta bisa saja terjadi. Saya mengingat kembali ketika membantu bayi P, dimana saya dengan refleks memberi nafas mulut ke mulut. Dan suatu kebanggaan diri bagi saya ketika bayi P ini datang ke poli saya dan mengobati batuk pileknya. Saya sempat tercetus bahwa jika saja bayi biru itu tak saya beri nafas, apa mungkin dia kini bisa tumbuh baik. Bagi saya, sudah sangat cukup jika diri saya ini mampu berguna bagi mereka yang memerlukan saya, khususnya saya sebagai dokter.
  4. Coba kita memposisikan diri kita sebagai keluarga pasien. Bagaimana perasaan kita bila asa saudara kita yang sekarat yang memerlukan pertolongan kegawatdaruratan tapi dokternya memberi dengan setengah hati? Apakah hati kita tak sakit dibuatnya?
  5. Saya mengatakan bahwa saya adalah dokter desa, dokter dengan segala keterbatasannya. Ketika saya dalam keadaan tak membawa ambu bag, apakah saya boleh meniadakan bantuan nafas karena saya takut atau jijik dengan bantuan mulut ke mulut? Kalau saya memiliki fasilitas yang lengkap, maka tentu tidak demikian. Namun saya juga tak boleh menggerutu di balik ini, apapun itu saya tetap harus mencoba apa yang saya bisa untuk kebaikan pasien. Saya mempercayai satu hal, bahwa memang dalam keterbatasan mungkin tak sebaik yang lengkap, namun apapun itu seberkas cahaya tetap ada. Cahaya itu tetap ada dan dokter di dalam berkat Yang Kuasa, memberikan hal yang terbaik yang dapat diberikan.
Saya memang dokter yang idealis. Idealisme saya dan Anda mungkin berbeda. Mari kita kejar idealis dan harapan kita masing-masing. Dan inilah jalan hidup kita. Saya pun mengerti kecemasan dan kekhawatiran orang tua saya. Saya mencoba menjelaskan dunia profesi saya, yang mungkin asing bagi mereka.

 

*Dituliskan di Menjalin.

 

1 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

  1. Ada artikel bermanfaat, untuk mengantisipasi resiko tertular penyakit ketika bertugas

    https://berkahberasuransi.com/2016/12/14/asuransi-untuk-dokter/

    BalasHapus

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: