Selasa, 27 November 2012

Mohon Perhatikan Kesejahteraan Dokter Umum

Walaupun saya dokter desa, saya sendiri berusaha untuk tetap memperbaharui berita-berita di luar. Saya pun tiap malam tak pernah absen menyimak kanal PemprovDKI yang mengunggah video-video kegiatan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Ada satu hal yang cukup menyentil saya, dalam video yang membahas pengupahan supir bus sedang dan bus TransJakarta, Wagub Basuki T. Purnama mengatakan mereka digaji masing-masing 2x dan 3,5x UMP alias Upah Minimum Propinsi DKI yang berjumlah 2,2 juta sekian rupiah Menurut Wagub gaji itu layak karena mereka bekerja dengan risiko besar, tanggung jawab besar, membawa nyawa penumpang dan lainnya. Mereka pun diatur setelah beberapa rit harus beristirahat.

Saya di Simpang Nyawan, Desa Nangka, Menjalin
 

Mengenaskan bila dibandingkan dengan Dokter, terutama Dokter Umum. Mengenaskan, sungguh.

Saya, seorang dokter umum PTT yang ditempatkan di kawasan terpencil di Kalimantan Barat. Saya digaji dengan gaji pokok sekitar 1,7 juta rupiah (setelah potong PPh dan askes) dan insentif terpencil 3 jutaan dengan total gaji 5,365jt dan dipotong PPh dan biaya askes menjadi 4,85jt/bulan.

Kalau dibandingkan kategori Biasa (misalnya DKI Jakarta dan sebagian besar kota kecamatan), hanya dibayarkan gaji pokok tanpa insentif.

Cukupkah? Ini tentu tergantung medan masing-masing. Medan saya di Kalimantan tentu berbeda dengan Papua atau NTT. Biaya transportasi dan hidup pun berbeda. Konon ada yang perlu merogoh jutaan rupiah untuk sekedar ke kabupaten. Bagaimana pula jika ada dokter yang memboyong anak isterinya ke tempat tugas?

Walau demikian kami pun tak harus hilang akal. Saya sendiri pun bersyukur masih bisa praktik luar jam dinas sehingga menambah sedikit penghasilan, daripada menunggu gaji yang tak tentu ini. Ada juga yang sampai bercocok tanam dan mendapat buah tangan dari warga sekitar. Saya sendiri mendapat gaji pertama di akhir bulan kedua. Untuk mengambil gaji pun harus ke kecamatan terdekat yang memiliki Bank BRI.

Kini kami dihadapkan lagi engan situasi sebagai dokter PTT, selama triwulan IV 2012 ditunda pembayaran insentifnya. Tak terbayangkan sejawat kami yang bekerja di Papua dengan 1,7jt per bulannya. Cukupkah?

Tak hanya PTT, dokter di Jakarta yang kebanyakan bekerja banting tulang di klinik 24 jam pun demikian. Rata-rata bergaji di bawah 200rb per hari dengan 24 jam standby di klinik. Jika satu minggu bekerja 48 jam maka dokter jaga 24 jam hanya 2 hari saja bekerja? Bahkan jika ditotalkan pun hanya menyerempet sedikit atau bahkan tak sampai pada batas UMP.

Jika buruh mendemo adalah hal biasa. Bagaimana jika dokter mendemo? Pasien bisa saja terlantar dan kami bisa dicap tak manusiawi. Namun kami pun harus dapat memperjuangkan haknya agar menjadi warganegara yang setara haknya.

Buruh mendemokan upahnya adalah hal biasa. Dokter jika berdemo mungkin dianggap luar biasa. Mungkin dokter sudah dianggap mampu bak pengusaha konglomerat. Namun saya ingin membukakan mata kita bahwa kesejahteraan dokter, terutama dokter umum, perlu diperhatikan dengan serius.

Jadi, kapan?

Bagaimana pendapat Anda, sudahkah dokter sejahtera?

 

1 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

  1. Jika ingin dokter tetap objektif dan berorientasi kepada pasien, tidak mencari "sampingan" dengan cara lain, maka kesejahteraan minimumnya harus dipenuhi sesuai pekerjaannya.

    Jika tidak, tentu semulia apapun hati dokter, akan sulit ramah dan perhatian pada pasien/konsulen jika masih dipayungi awan kekuatiran akan makan apa nanti, kenapa rasanya dibayar tidak sesuai dengan jam kerja, dan lain sebagainya.

    Ini sebenarnya masalah yang umum di hampir setiap lingkup dunia kerja pelayanan masyarakat. Tidak hanya di dunia kedokteran umum.

    BalasHapus

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: