Minggu, 06 Januari 2013

Dokter Suntik Saya Dong!

"Dokter, saya mau disuntik vitamin."

"Tidak disuntik saja dok?"

"Pak Dokter, saya mau basuntik."

Kata-kata ini entah mungkin ribuan kali telah saya dengar selama saya bertugas di Menjalin 10 bulan ini. Semua orang minta disuntik, kecuali anak-anak tentunya. Apalagi kalau pasien Anda berusia 50 tahun ke atas. Hanya sedikit saja yang takut disuntik. Masyarakat di sana mempercayai bahwa suntikan adalah keris sakti mandraguna yang bisa mengenyahkan semua penyakit. Bahkan suntik dirasakan lebih manjur dari tablet obat apapun. Apapun sakitnya, minumnya, eh, obatnya disuntik!

 

Saya termasuk yang memegang teguh apa yang saya percayai selama di bangku kuliah. Saya "anti" terhadap pemberian suntikan yang tak perlu. Pertama, yang menjadi pegangan saya, suntikan mempertinggi risiko terjadinya renjatan atau syok. Kedua, saya tak ingin memberi obat yang sia-sia berdasarkan evidence based medicine. Yang kedua ini misalnya, demam typhoid yang obatnya antibiotika, tapi saya berikan suntikan kobalamin yang merah jingga merona, tentu menjadi kekeliruan terbesar abad ini. Ketiga, untuk pasien rawat jalan, obat suntikan secara farmakologis memiliki pengaruh lebih cepat habis masa kerjanya dibandingkan kalau terapi oral secara berkesinambungan.

Sayang beribu sayang, dalam kedokteran dikenal juga namanya pengobatan yang dipengaruhi oleh sugestif. Secara psikis bisa merangsang proses tertentu dalam tubuh dan memberi efek kesembuhan. Misalnya ada nenek-nenek yang merasa pegal-pegal, lalu disuntik anggaplah plasebo, maka bisa saja nenek ini merasakan efek kesembuhannya dibandingkan tidak diberi sama sekali.

Saya berpikir, apakah hal ini bisa dikurangi? Memang sambil mengikuti waktu, bisa, karena meningat masyarakat generasi baru (baca:anak dari pasien yang menyenangi suntikan) biasanya lebih menyukai terapi oral dibandingkan suntikan. Tapi sampai kapan? Edukasi ini pun bukan edukasi yang mudah, mengingat masih banyak tenaga kesehatan dan acara-acara tertentu seperti baksos yang masih menganggap suntikan sebagai sang primadona. Dan memang di desa faktanya, dengan memberi suntikan biasanya orang lebih rela membayar lebih dibandingkan setumpuk blister tablet obat.

Terkadang saya pun menghadapi dilema. Misalnya ada pasien yang datang dari jauh lalu meminta disuntik. Antara idealisme menolak dan proyeksi "Ya sudahlah, kasihan datang dari jauh." menjadi saling berkecamuk. Saya pun sendiri pernah "diomeli" pasien karena tidak disuntik. Ya, memang mengubah suatu kebiasaan perlu waktu. Apalagi kalau masyarakatnya begitu banyak.

Jadi, saya pun berusaha untuk menjelaskan bahwa pengaruh suntikan seperti ini-ini-ini sesuai dengan kedokteran berbasis bukti. Dam akhirnya masyarakat pun mungkin mengenal saya, "Kalau ke dokter nggak akan disuntik." Duh!

 

0 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

Posting Komentar

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: