Selasa, 25 November 2008

Jangan Nilai Buku dari Sampulnya

Hari ini adalah hari yang, ya..., cukup biasa walaupun apa yang dilakukan adalah banyak di luar rencana dan situasi dan kondisi menanggapinya demikian. Memang, ketika kita sudah membuat rencana apapun serapi apapun, akan menjadi lain ketika strata lebih superior mengatakan yang berbeda.


Hari ini rencananya ingin membuat manual SPAS. Dan akhirnya tertunda dengan disposisi atas tugas sebagai asisten dosen dalam mengawas ujian. Sebenarnya tidak ada yang salah dalam hal ini. Bahkan situasi pun tidak, karena ia bukanlah pihak yang dapat dipersalahkan. Walaupun demikian, kita dapat mengambil hikmah yang ada. Misalnya membuat relasi dengan dosen, misalnya. Walaupun hati agak kesal juga ketika melihat ada rekan yang ternyata hanya lenggang-lenggok non-ekspresi dan hanya bertanya: Ada apa? Ada ujian? Oh...


Okay...


Tapi tidakkah kau berpikir bahwa misalkan Aku datang pagi dan siapa tahu aku bisa menjaga ujian. Sebenarnya saya sendiri sudah mengetahui bahwa hari itu ada ujian, namun benar dikonfirmasi saat membantu Pram dalam mempersiapkan ruangan ujian. Memang pasca Pram ada PBL, saya bisa saja untuk keluar dan meninggalkan ruangan. Tetapi, apakah ada untungnya? Mungkin masalah akan semakin bermetastase dari masalah kecil, misalnya tidak adanya kabel LAN, atau tidak tahunya fungsi refresh pada piranti penjelajah. Yang ada mahasiswa yang ujian pun dirugikan. Benar, tidak ada untungnya pada akhirnya pun saya melangkah...


Memang, pada saat itu tepat dalam masa pengurusan pendaftaran semester pendek. Namun, untungnya ada rekan lain yang boleh membantu mengurusinya hingga tuntas. Sedikit tugas dapat terkurangi. Hm, saya bisa membantu dosen di stase berikutnya.


Pada akhirnya saya lanjut dengan rapat badan organisasi yang ada. Ada hal yang pada akhirnya saya boleh terima. Bagaikan kiasan lama yang mengatakan: janganlah kamu menilai buku jika hanya melalui sampulnya. Artinya hendaknya tidak mudahlah kamu menghakimi seseorang dari sedikit sisi hidupnya. Ketika kita menilik kembali mengenai pribadi yang berbudi, bahwa seseorang menggunakan akal budinya sekalipun dalam setiap ia melangkah jalan. Ketika orang berpikir matang dalam apa yang ia putuskan, apalagi ia kembali berpikir dan berpikir dalam memutuskan sesuatu yang kritis.


Memang terus terang, apa yang kita lihat sebagai pihak kedua terhadap orang lain akan menjadi proses individual kita dalam menilai orang. Pikiran kita yang ada terlalu subjektif dalam menghakimi. Inilah kita, inilah subjek. Ketika kita harus berpikir orang kedua atau ketiga dalam posisi sebagai objek, di sinilah kita berpikir dari sudut pandangnya, yaitu objektif. Dengan algoritma yang ada kita berpikir.


Tetapi dengan sudut pandang ketiga semua akan menjadi bias bila disesuaikan dengan apa yang kita pikir secara subjektif. Yang mengetahui apa yang menjadi alasan seseorang bertindak adalah seseorang itu. Dalam pikiran kita sebagai pihak yang melihat, kita hanyalah meraba atau dalam bahasa modernisnya sebagai membaca pikiran. Tetapi apa yang kita lakukan tidaklah selalu benar, kita dalam sebuah permainan teka teki di teve.


Kita kadang kala terlalu miris untuk mendengar bagaimana seseorang berpikir. Dan pada akhirnya apa yang kita tangkap menjadi berbeda dan tak seide dengan pikiran orang tersebut. Kita pun membuat penilaian sepihak, menyebar dan menyiarkannya. Dan orang lain pun hanya sependapat dengan pikiran kita tadi. Pikiran asli pada orang tersebut pun sirna dan tertiup angin. Sekiranya memang, don't judge a book by the cover.


0 buah diagnosa diferensial telah diberikan:

Posting Komentar

Para konsulen dipersilahkan menuliskan diagnosa diferensial untuk kasus ini: